"Ibu apa ayah tidak pulang besok?" tanya Nina. Dengan matanya yang kecil Nina memandang Mallory penuh penasaran.
Dia mempunyai mata berwarna kuning ambar menyerupai bulan di cakrawala, rambutnya merah pendek, mengenakan sebuah piyama berwarna biru langit. Nina sedang tergolek di kasurnya, di samping sang Ibu Mallory.
Nina teramat rindu pada ayahnya, mereka biasa bertemu dua seminggu sekali. Rasa itu selalu muncul menyesak di hati kecilnya tatkala dia bermain ke rumah teman-temannya.
Mallory mengenakan piama persis seperti Nina, berambut merah dan matanya coklat berkilat-kilat.
Dia menjawab kegusaran Nina. "Ayah bilang dia akan pergi ke Provinsi Pusat, karena ada perkerjaan. Katanya memakan waktu berbulan-bulan."
Garis yang terbentuk diantara dua bibirnya melengkung, tapi tatapan matanya terasa mati, hingga terkesan tawar bila mana seseorang menyaksikan.
Nina memperhatikan Ibunya, jawaban yang dilontarkan membuat gadis kecil itu memurung. Kemudian dia mengambil boneka beruang merah muda di samping di dekat meja belajar, lalu mendekap si boneka beruang erat-erat.
"Jangan sedih, kan masih ada Ibu," Mallory menenangkan.
"Kalau Ayah pulang, aku gak kesepian."
"Masa?" Mallory tidak yakin.
Nina berbaring menghadap ke langi-langit. Kamarnya terlihat sederhana, hanya berupa lemari kecil serta meja belajar, tidak lupa beberapa boneka binatang seperti babi bulat merah, buaya hijau kecil.
"Iya, mereka tak mau mengajak Nina main karena Nina gk asyik kayak laki-laki, tidak semanis perempuan."
Nina menjelaskan kalau saat bermain teman-temannya terutama yang laki-laki acap kali ia kalahkan dalam permainan fisik atau pun kartu.
Mallory tertawa lepas, dia tidak tahu sikap apa yang harus dia ambil. Itu terasa campur aduk, gembira hatinya Nina adalah gadis yang serba lihai dalam berbagai hal tetapi pilu di saat yang sama, karena itu membuat teman-temannya cemburu.
"Anak Ibu hebat," Mallory memuji dengan tegas.
Nina menaikan dua alisnya yang tipis halus. "Lo, kok hebat?"
"Kamu gak usah khawatir, yang penting kamu tetap jadi anak baik, dan belajar yang rajin." Mallory menasihati. "Yuk tidur, entar kesiangan."
"Besok, lari akhir pekan?" Nina menengadah bertanya-tanya.
"Iya," Mallory menjawab singkat.
"Kalau begitu, Malam ini Ibu akan mendongeng apa?"
"Apa ya?" Mallory berpikir sejenak. "Sekarang bagaimana kalau kisah Noah sang penyelamat?"
"Emmm, boleh deh."
Sejenak sebelum mereka terlelap tidur, sudah menjadi rutinitas kalau Mallory mengantarkan dongeng. Terkadang itu membuat Nina sulit tertidur, atau bisa membuat dia terlelap dalam sekejap, tergantung dari minat Nina dalam cerita yang didongengkan.
Setelah Nina terpejam, Mallory menutupi tubuh putrinya dengan selimut, keningnya yang mungil ia kecup penuh harapan dan kasih sayang. Dia tidak lupa berdoa akan keselamatan Nina, karena mulai sekarang dirinyalah yang menjadi satu-satunya tempat Nina bernaung.
Sebelumnya Carlos menghubungi Mallory lewat telepon, menjelaskan apa yang terjadi padanya.
"Mallory kelihatannya kepulanganku akan semakin ditangguhkan, hehe," Carlos yang malah berkata riang lewat telepon dari Dulche. "Aku minta maaf, lagi-lagi aku jadi pria ceroboh."
Telinga Mallory berdengung, dia mendengar sesuatu seperti deruman kendaraan
"Carlos, kamu sedang bepergian ke mana?"
Lama Carlos membisu. "Begini, aku berada dalam mobil polisi. Kau tidak usah khawatir, ini tak akan lama, hanya beberapa bulan saja."
Mallory mendengarkan dengan seksama. Suaminya sedang dalam masalah, dia sekarang ditangkap polisi. Mallory tidak ingin menambah beban pada Carlos, dia tidak mendesaknya atau mencemoohnya. Dia tahu pekerjaan Carlos, tetapi dia memilih untuk mendukung selama ia bertanggung jawab pada keluarga. Namun, apa yang Mallory sesali adalah dia tidak ada di sana untuk memberinya pelukan, dia tidak mempunyai kekuatan agar sanggup menarik Carlos lewat ponselnya. Sekarang Mallory termangu kapan lagi dia bisa bertemu suaminya itu, mulai esok Carlos akan berada di balik jeruji.
"Mallory, Nina baik-baik saja?" tanya Carlos.
"Iya, dia baik dan sedang tidur," kata Mallory. "Nina, ingin bertemu denganmu."
Suara Mallory sediki meredam.
"Ah, gara-gara si bocah tengik itu. Sekarang putriku akan bersedih." Carlos menyampaikan kekesalannya.
"Eh," Mallory kebingungan dengan gerutu suaminya.
"Ada anak muda yang menyerahkan aku pada polisi. Dia sangat kuat, aku dipecundangi meski menggunakan berbagai cara."
Ucapan Carlos menuai tawa patah-patah bagi Mallory, "Baik sekali anak itu mau menangkapmu. Mungkin ini saatnya kamu kembali ke sini Carlos."
"Haruskah aku harus berhenti. B-bagaimana menurutmu Mallory?"
Mallory menarik napas panjang. "Aku akan menunggumu. Cepatlah kembali, kita berikan seluruh kasih sayang yang kita miliki pada Nina."
"He-eh," Carlos tertawa kecil. Kemudian dia berpesan, "Jagalah dia selama aku tidak ada."
Carlos ketimban masalah, tetapi percakapan Mallory dengan suaminya memberikann harapan. Akan ada esok hari, akan ada kali lain. Apa pun masalah yang dihadapi, apa pun kabar buruk yang kelak menghampiri paling tidak, Mallory dan Carlos masih memiliki kandil yang menerangi mereka dalam kehidupan, yang menjadi tujuan hidup mereka, hasrat itu terbentuk dalam diri anak semata wayangnya Nina. Mallory berharap mereka berkesampatan untuk menikmati kebahagiaan.
Mereka mengucapkan selamat tinggal.
*
"Hubungan dengan keluargamu baik sekali." Jose berkomentar.
Carlos memasang muka masam. Dia sebelumnya melakukan panggilan telepon melalui ponsel milik Jose. Carlos sendiri tangannya disegel borgol baja, yang menekan kekuatannya. Kalau pun dirinya tidak tersegel, toh efek dari pertarungan dengan Electrix kentara sekali. Dia tidak akan sanggup melawan para polisi tersebut.
"Itulah kenapa aku tidak ingin berurusan dengan kalian. Anak dan istriku mau makan apa nanti kalau aku dikurung," ucap Carlos ketus.
Jose tertawa lepas seolah semua baginya nampak lucu. Namun, orang lain di sekitar memandang itu adalah keanehan, semua orang beranggapan demikian, terkecuali Hao. Pendatang baru di kepolisian Dulche, dia akan selalu setuju apapun yang seniornya anggap benar.
Harto sesekali melihat ke spion tengah, memperhatikan mereka dengan senyum kecil.
"Hidup itu panjang Carlos, apapun bisa berubah....."Jose berbicara dengan memikat.
Untuk kesekian kali dia mulai kembali menasehati pria yang berprofesi sebagai preman itu. Jose dan Harto sama-sama seorang paruh baya, tetapi Jose terlihat lebih tua. Jose gemar membawa orang ke dalam kebaikan, dia adalah penganut Dominus yang taat. Bila di waktu libur, waktunya diisi dengan mengikuti kegiatan kebaktian sekhidmat mungkin.
Saat dalam perjalanan, mereka mengobrol suka ria dengan Carlos, seakan-akan suasana berada di perkumpulan bapak-bapak. Mereka bercerita keluarga masing-masing, dan saling membanggakan anak-anak mereka.
Hao kali ini kepalanya tidak naik turun. Dia tak memiliki gambaran apa yang harus disetujui dan apa yang harus dipahami. Dia adalah anak muda yang masih gagap mengenai urusan keluarga.
BRUG. Sesuatu jatuh di depan mobil, menimpa bagian body depan yang seketika penyok. Harto yang terkaget menginjak rem mendadak, membuat mobil langsung berhenti.
Setiap orang di dalam mobil terhempas ke depan membentur bagian belakang kursi depan. Kecuali Harto yang menyelendangi badannya dengan sabuk pengaman.
"Apa yang terjadi?" tanya Jose.
"Maaf, rekan-rekanku kelihatannya ada seseorang yang hendak menyergap," jelas Harto.
Sang pemula Hao, lekas mengarahkan matanya ke depan baik-baik. Dan ia terperangah dengan kehadiran sosok itu.
Dia mengenakan pakaian tipis yang terbungkus logam di beberapa bagiannya. Sosok itu adalah Algojo Tuhan.
Hao berkata mengkonfirmasi, " Lapor Pak, Itu adalah pemburu yang dimaksud. Dia adalah pemburu yang mengincar nyawa kriminal ketimbang hadiah."
Harto memicingkan mata, bibirnya berkedut-kedut dan saling menekan. Dia yakin terhadap perkataan Hao,"Jadi orang itu yang dimaksud Ereul?"
"Siap, betul sekali pak. Orang ini yang terdapat dalam laporan Senior Ereul."
Sementara Carlos mengegertakan gigi, kedua tangannya mengepal. Ia sejenak teringat apa yang Electrix katakan sebelumnya. Dia menggerutu, "Apa lagi ini? Sekarang ada pemburu gila yang mengincar nyawaku."
Algojo berdiri beberapa meter di depan mobil. Pengereman yang tiba-tiba ternyata membuat ia sedikit terhempas ke belakang.
Sebilah pedang yang berpendar keluar dari sarung lengannya, dia kemudian mengayunkan pedang ke atas secara vertikal. Keluarlah sebuah kekuatan yang membentuk bilah melengkung menyasar tepat ke tengah mobil.
Dalam sekejap mobil telah berubah menjadi dua bagian dan akhirnya hancur meledak.
Harto, Jose, Hao dan Carlos berhasil selamat setelah dalam keadaan genting mereka buru-buru keluar. Akan tetapi Jose terkena ledakan yang menimbulkan beberapa luka bakar dan lebam karena terbentur.
(Bocah itu aku pikir berbohong.) pikir Carlos mengakui.
Seorang pemburu yang memiliki motif berbeda. Uang tidaklah menjadi motivasi tetapi, kematian mangsanya yang dia inginkan. Alasan Algojo Tuhan tidaklah Carlos ketahui, sekalipun Carlos punya pengaruh di distrik 3 tidak semua hal dia bisa terawangi.
"Bajingan," Carlos mengumpat.
Malam ini ada dua orang yang berniat menangkapnya, jika berhasil lolos dari Electrix pun ternyata tidak membuat masalah lelah menghampiri. Dalam situasi itu, Carlos akan dengan senang hati tertangkap Electrix tanpa melawan ketimbang bertemu Algojo Tuhan.
Sementara Harto menyambangi Algojo Tuhan yang hendak menyasar ke arah Carlos. Sang polisi paruh baya pun berkata, "Menyerahlah, kau telah melakukan tindak kejahatan dengan menghambat tugas polisi."
Algojo Tuhan menarik pedang yang ia simpan di atas pinggulnya. Pedang yang melengkung persis bulan sabit di langit malam. Dia lalu mengarahkan pedang itu ke arah Harto seraya berujar, "Menghalangi pelaksana perintah Tuhan jauh lebih buruk daripada menghambat seorang polisi lemah. Berterima kasihlah, kami menolong kalian mengurangi kejahatan."
Algojo Tuhan sangat percaya diri dengan kekuatannya, dia berani mengancam orang seperti Harto, bahkan dia tidak menunjukan kegentaran terhadap orang sekuat Carlos.
Berdasarkan laporan salah satu bawahannya tentang seorang pemburu yang memakai zirah perak membunuh satu persatu breaker-breaker yang terlibat kriminal. Maka Harto simpulkan target Algojo Tuhan bukanlah polisi melainkan Carlos, si premanlah yang diincarnya.
"Tuan pemburu, niat baik bisa menimbulkan kejahatan," tegas Harto. "Berhati-hatilah dalam bertindak."
Carlos telah terluka di seluruh badannya karena pertarungan melawan Electrix, bisa dipastikan Carlos tidak akan sanggup melawan balik. Polisilah satu-satunya yang bisa melindungi dia, melindungi penjahat. Seorang polisi melindung penjahat terdengar tidak waras, namun, vonis yang dilayangkan terhadap Carlos bukanlah hukuman mati. Memastikan si preman tetap hidup adalah prioritas utama.
Algojo Tuhan telah bersiap untuk menyerang, pijakan di kakinya nampak lebih kuat. "Kami hanya mengantarkan dia menuju hukuman Tuhan."
Harto mencoba mengatur napas. Matanya berkedut-kedut, kualitas pandangannya sudah ujur termakan usia. Tapi Harto bukanlah orang lemah, dia juga Breaker.
Namun, Algojo Tuhan begitu kuat, dia melaju dengan cepat sampai mampu membuat angin terseok-seok karena arahnya berlawanan. Harto tidak sempat bereaksi, serangan Algojo Tuhan terlampau cepat dan lincah. Harto terbang ke udara karena tendangan lutut Algojo Tuhan, sesaat sebelum gravitasi menariknya kembali ke permukaan, Algojo Tuhan melompat, dia jejalkan kakinya tepat di punggung Harto.
Harto meluncur ke bawah, mencium aspal yang seketika berderak retak. Harto tumbang dengan genangan darah.
Tidak ada yang bisa menolong Carlos, tidak ada yang tersisa.
Hao yang seorang petugas kadet, di hari pertamanya dihadapkan dengan kebrutalan. Pemuda itu cuma terduduk mematung, pikirannya belum siap akan hal terburuk, perasaanya terguncang melihat senior yang dia hormati terpikur seperti onggokan mayat.
Dia tidak kuasa menahan berbagai emosi yang berkecamuk dalam dirinya. Tubuhnya bergerak sendiri, berlari menyerang Algojo Tuhan.
"AAKKKKKKHHHHHHH.....AKKKKHHHHHHH!!!!" Hao memekik kencang yang bila mana seseorang mendengarnya, pecahlah gendang telinga mereka seketika.
Namun, dia tiba-tiba tersungkur tanpa sebab.
"Hukuman manusia tidak pernah adil. Biarkan Tuhan yang langsung menghukum mereka. Jadi jangan kau halangi seseorang berbuat kebajikan."
Hao masih mencoba untuk bangkit, sayangnya itu mustahi. Sebab, kaki kirinya telah terpisah, oleh serangan penyayat Algojo Tuhan. Dan Hao bukanlah seorang Breaker, dia hanya polisi biasa, seorang manusia fana yang lemah.
"AAKKKKHHH," Hao melolong-lolong kesakitan.
Carlos melongo, dia tidak bisa berbuat sesuatu. Carlos berpikir kalau saja dia lebih berguna mungkin hidupnya akan lebih baik, pria itu tidak menyalahkan siapapun, tidak menyalahkan Tuhan atau, takdir. Kemalangan datang karena ketidakmampuan, ketimbang dikasihani Carlos memilih untuk ditakuti tetapi memberi sebagai pertukaran di saat yang sama. Itulah perbedaan pengemis dan berandalan seperti Carlos.
Carlos menyaksikan hal yang akan menjadi saat terakhirnya. Algojo Tuhan berderap pelan menyambangi, akan tetapi sekajam semuanya menjadi kilat putih. Dan Nina serta Mallory mengulurkan tangan padanya, itu yang Carlos lihat.
"Ni-Nina, Mallory."
Saat hendak dia gapai, mereka lenyap bak debu tersapu angin. Pemandangan seketika menjadi sosok Algojo Tuhan yang berdiri dihadapannya.
"Kau menuai apa yang kau tanam," tegas Algojo Tuhan.
Pernah ada yang bilang kalau saat menjelang maut, semua data memori seseorang membeludak serempak, apa yang tadinya dilupakan akan muncul, apa yang ditakutkan akan menyambangi, apa yang dicita-citakan akan terbayangi. Manakah diantaranya yang akan datang, itulah yang akan membentuk seperti apa wajah seseorang ketika sakaratul maut menjemput.
"Aku akan menunggumu. Cepatlah kembali, kita berikan seluruh kasih sayang yang kita miliki pada Nina." kalimat-kalimat tersebut mendengung di benak Carlos.
"Yah, aku kan kembali, dan tak akan pergi lagi."
Pandangan Carlos tiba-tiba jatuh ke bawah, dan berputar-putar, lalu semuanya menjadi gelap.
Kepala Carlos terputus menggelinding ke samping tetapi, air mukanya lembut tak nampak keruh, dan preman itu tersenyum.