(TV)
Selamat pagi, Kami melaporkan berita dari stasiun tv Evenaar, Yang Mulia merayakan ulang tahunnya yang ke-57 di Isatana Eurosia Provinsi Pusat. Berbagai perayaan ulang tahun untuk Yang Mulia akan dilaksanakan serentak secara nasional.
"Hari-hari tenangku sepertinya akan terusik." Ereul menggerutu. "Malam yang melelahkan. Aku jadi malas kerja pagi ini."
Ereul terduduk tegak di sofa, yang memberikan rasa kemalasan. Di dekat sofa terdapat meja kayu pendek berserat unik yang enak untuk dikagumi, di samping kiri terdapat samsak sebagai sarana penyedot amarah, dan sebuah balkon. Dari situ matahari membanjiri masuk melalui pintu jendela sebening air, menggurat garis-garis di rak buku di belakang sofa yang menjejerkan pelbagai novel. Di depan meja berdirilah lemari kecil berlaci, di atasnya adalah sebuah tv LED 21 inci yang ramping dan terlihat enteng.
Ereul menonton berita sembari menyesap-nyesap segelas susu melalui sedotan. Itu terlihat aneh, tetapi dia rutin melakukannya. Ereul adalah orang yang beranggapan kalau memakan sesuatu sedikit demi sedikit lebih cepat membuat perut kenyang, dan baik untuk kesehatan. Tubuh butuh 20 menit untuk merespon makanan di lambung sampai mengisyaratkan rasa kenyang, itu merupakan sedikit pelajaran kesehatan yang dia ketahui.
Ereul tidak ingin bangun, hatinya masih ogah untuk beraktifitas. Sofa kemalasan telah mendoktrin seluruh isi pikiran, memprogram ulang isi kepalanya menjadi seorang yang serbah ogah. Bagaimana tidak? Tawaran-tawan menggiurkan yang sekonyong-menghampiri benak sukar untuk diabaikan, diantaranya : tiduran sambil bermain gawai, membaca buku, bermain game konsol, atau sekedar berleyeh-leyeh menikmati cemilan.
Namun, Ereul adalah seorang polisi meski polisi biasa aja tanpa jabatan tinggi. Dia tentu tidak boleh mementingkan hasrat pribadi di atas kepentingan umum.
Dia pun bangkit berdiri.
"Sofa yang mengerikan." Komentarnya. "Aku masih punya pekerjaan yang harus ditangani."
Dia berderap ke kamar bersiap-siap untuk berangkat. Dia mengenakan kemeja putih yang licin dan cemerlang sekali sampai-sampai bisa menyilaukan mata, dasinya diikat rapi menjuntai sampai pusaran, celananya adalah sebuah katun hitam dan sepatu kulit tersemir mengkilap berhak pendek. Sekilas orang akan membayangkan Ereul berkata apa di sini sedang ada lowongan pekerjaan? Meski kesan itu akan hilang saat dia mengenakan seragam jaket biru lautnya yang memiliki resleting di samping kanan hingga ke bawah. Di pundaknya mengait sebuah lencana perak chevron.
Ereul berperawakan sedang, dia adalah orang sehat yang sungkan menghabiskan waktu di gym, tingginya nyaris enam kaki. Rambutnya hitam berkilau yang pendek di kedua sisinya. Matanya juga sangat hitam legam. Wajahnya bersiku-siku, seperti berlian, elok tetapi berbahaya bila disentuh.
Ereul segera berangkat mengenakan mantel sewarna espresso. Dia tidak lupa mengunci apartemennya.
Seteleh sampai di luar dia melangkah ke tepi jalan.
Apartemen yang ia tinggali berdiri menjulang di belakang. Itu adalah sebuah gedung kelabu yang lebar, memiliki puluhan kaca di seluruh dindingnya. Di samping kiri adalah sebuah jalan menuju tempat parkir bawah tanah, khusus bagi mereka yang memiliki kendaraan.
Ereul melayangkan pandangan ke sebrang jalan, ke sebuah taman. Orang-orang berlalu-lalang, bermain bulu tangkis, melakukan senam yoga, mengajak hewan peliharaan jalan-jalan, dan sepasang orang tua yang menikmati kehangatan mentari pagi. Pasangan tua yang teramat mirip hingga sulit dibedakan. Ereul berpikir mereka adalah pasangan bahagia yang akan semakin mirip seiring dengan waktu yang mereka lewatkan bersama.
Tiba-tiba ada seorang anak kecil menyenggol pahanya, anak itu tingginya seperut.
"Aduh, aduh," rintih anak itu.
Ereul menunduk kecut. Seraya berkata, "Apa?"
"I-itu!" anak laki-laki itu tergagap. "Pistol."
Ereul memicingkan mata sembari meraba-raba sekitar pinggang. Dia mendelik seakan bergumam oh, ini ya.
Lalu salah satu temannya menyergah. "Apaan sih? Kakak ini polisi." Dia melanjutkan, "Iya kan kak?"
"Benar." Ereul melihat dengan muka yang terasa layu.
Kedua anak itu adalah pelajar sekolah dasar. Mereka mengenakan sweeter yang sama berwarna merah gelap, hanya celana mereka saja yang tak persis, anak laki-laki memakai celana pendek dan yang perempuan mengenakan rok selutut. Kalau celana mereka seragam kejiwaan dari anak laki-laki patut diertanyakan.
"Ta-tapi katamu kakak ini, terlihat membenci kita. mukanya seperti mengutuk-ngu—"
Temannya yang perempuan menyumbat mulut si bocah laki-laki dengan tangan. "Huusssh. Jangan ngawur. aku tak pernah bilang begitu." Protesnya. "Justru kau yang bilang."
Ereul mengangkat alis. "Apa yang kalian berdua bicarakan, bocah?"
"Bukan apa-apa kok, kak, " ujarnya cepat-cepat. "Kami berangkat sekolah dulu kakak polisi. Sampai jumpa."
Mereka melangkah tergopoh-gopoh.
Ereul tinggal di apartemen kelas menengah di distrik 2, hanya beberapa kilo meter dari kantor kepolisian Dulche di distrik 1. Ia pergi bekerja menggunakan taksi, yang biasa terparkir di dekat kediamannya. Zaman modern semua serba instan, setiap hal terasa cetek tanpa perlu repot-repot ke sana-sini bila menginginkan sesuatu, tinggal pesan melalui ponsel. Tentu kendaraan pun ikut andil dalam kemajuan teknologi. Ereul biasa memesan taksi melalu aplikasi Go-taxi langsung lewat gawainya, tinggal klik-klik beres.
*
Ereul tiba di kepolisian Dulche.
"Selamat pagi Opsir Ereul," sapa salah satu aparat.
"Oh. Selamat pagi Penyidik Tia," Ereul membalas sapaan dengan seringai. Penyidik Tia menjadi salah paham.
Kemudian diikuti oleh yang lainnya
"Selamat pagi."
"Oh, Opsir Ereul. Bagaiman kabar Anda?"
Lusinan ucapan selamat pagi biasa dia terima semenjak awal bertugas di Kantor Dulche. Dan Ereul tentu membalas balik meskipun dia selalu berkomat-kamit setelahnya.
Semua orang di sana melakukan aktifitas seperti biasa, mengurus dokumen, bersiap berpatroli, meeting sebelum melakukan penyelidikan. Akan tetapi mereka curi-curi pandang acap kali Ereul nampak di mata mereka. Alasannya sederhana, karena Ereul baru di kepolisian Dulche, dia sebelumnya bertugas di kantor pusat Kepolisian Eurosia. Semua aparat di Dulche berpikir Ereul adalah seorang auditor yang ditugaskan guna memantau kinerja aparat lokal.
Ereul mungkin berjalan acuh tak acuh, tapi hatinya lain. Saat memasuki stasiun kepolisian, sekejap ribuan pisau seolah menusuk-nusuk dirinya berderetan seperti tembakan senapan bermesin. Ke mana pun dia melenggang, dari pintu masuk hingga ujung ruangan. Kepala cabang sekalipun tak luput dari kewas-wasan eksistensi Ereul di sana.
Ereul masuk ke ruangan kerja. Ada banyak laci arsip terbuat dari plastik berwarna hijau , serta beberapa komputer. Di dinding, menggantung sebuah jam serta AC yang biasa orang abaikan ketika pagi hari , di atap terdapat kipas angin berdebu tak terpakai mungkin untuk berjaga-jaga kalau-kalau AC bermasalah. Di sudut di letakan sebuah pot yang ditanami Peace Lily, tanaman dalam ruangan yang bisa mekar dengan daun hijau berukuran agak besar dan kelopak putih yang cantik, di samping pot terdapat segalon air tinggal setengah menempel di hulu dispenser.
Di meja kerja samping, sekumpulan aparat terdiri dari tiga orang wanita dan satu pria sedang membahas sesuatu.
"Semuanya cemilan untuk menemani pekerjaan kita adalah..." Ucap Helga.
"Woah." Kata khayalak penasaran.
"Tada..."Helga meraung. "Yangko." Dia membuka isi kantung plastik besar yang dibawanya.
"Yangko." Khayalak terheran-heran.
"Ini adalah, oleh-oleh dari Ketua Harto, dari kampung halamannya." Helga menjelaskan. "Katanya dia sehabis menghadiri pernikahan keluarga di Java."
Helga membagi-bagikan bungkusan Yangko ke tiap aparat. Yangko sendiri adalah makanan persegi empat yang berukuran mungil, rasanya unik tetapi manis lebih dominan, nuansanya juga kenyal-kenyal ketika dikunyah, dan tersedia dengan berbagai rasa.
Ereul melihat rekan-rekan kerjanya membuka isi bingkisan. Dan dia terpana. Makanan yang memiliki beragam warna, terasa seperti tercipta dari berbagai intisari terbaik buah-buahan. Dari balik salah satu punggung rekannya, Helga, Ereul mengintip.
"Oh. Opsir Ereul." Helga mendelik saat Ereul mendekatinya. Tentu itu reaksi berlebihan.
"Makanan yang unik," Ereul memuji.
Helga memalingkan mata, dia tersenyum kaku. "Anu, Opsir Ereul. Saya dengar Anda orang baru di sini dan Anda juga sepertinya belum lama menjadi polisi. Jadi enggak ada bagian untuk A-Anda."
Mendengar itu Ereul serasa disambar badai es, yang membuat tubuhnya membeku dalam sekejap. Dia tidak pernah terbayang dirinya diabaikan begitu, dia menjadi satu-satunya yang tidak dihadiahi bingkisan. Itu adalah perlakuan buruk bagi seorang polisi dari pusat.
"Itu adalah alasan tergila yang pernah saya dengar seumur hidup, Opsir Helga." Ereul berucap ketus. Dia lekas duduk di meja kerjanya di ujung dekat jendela.
Opsir Helga bergidik. Rambutnya yang ungu sedagu bergetar-getar seirama tubuhnya. Dia telah membuat marah seorang polisi dari kantor pusat. Wanita itu berpikir adalah akhir dari karirnya akan segera menjadi niscaya.
"Ada masalah apa?" Tanya Fuad menghampiri Helga.
Dia adalah pria tinggi, berkulit coklat, berambut hijau pendek, matanya besar seperti bola pingpong. Selain Harto dan Jose, dia adalah aparat yang telah berkeluarga.
Seseorang membisik, "Helga tidak menyisakan bingkisan untuk si opsir pusat itu."
"Jadi dia akan dipecat," Fuad terheran-heran.
Orang itu mengangguk. "Mungkin."
Ereul menajamkan alis. "Apa yang kalian obrolkan?"
Kemudian Fuad terseok-seok menghampiri Ereul. Belum pernah ada senior di kepolisian takut-takut pada juniornya. Ereul tentu keheranan karena tingkah laku yang dia terima selama berada di stasiun kepolisian Dulche.
"J-jadi begini Opsir Ereul. Apa kau akan melaporkan pada atasan dan memecat Helga?"
Ereul berdiri tegak dari duduknya. "Heran sekali apa yang sebenarnya kalian pikirkan," sergah Ereul. "Melaporkan pada atasan? Memecat opsir Helga? Sungguh konyol. Apa saya terlihat punya wewenang seperti itu."
Helga tiba-tiba menyambangi Ereul. "Nah, lo. Apa yang Kantor Pusat inginkan dari Kantor Lokal?"
"Maksud Anda saya , Opsir Helga?"
Helga mengangguk-ngangguk.
Ereul duduk kembali, dia membusungkan dada. "Seperti yang diketahui, Kerajaan Eurosia adalah gabungan dari kelima Provinsi yang bersatu. Tiap-tiap warganya damai dan menerima. Tapi, itu bagi mereka yang hanya manusia biasa, manusia tanpa kekuatan."
Khayalak yang berada di ruangan beringsut mendekati Ereul. Mereka tergugah dengan pekerjaan orang pusat tersebut.
Ereul melanjutkan. "Sedangkan mereka yang diberkati kemampuan, para Breaker ranking atas, tidaklah demikian. Mereka merasa istimewa, menganggap diri mereka berhak memerintah. Singkatnya gerakan separatisme. Provinsi Barat adalah salah satunya."
"Mereka ingin otonomi daerah sendiri? Itu terdengar luar biasa," ungkap Fuad.
"Oh. Anda punya pemikiran yang tajam rupanya Senior Fuad." Ereul memuji. "Kalau begitu karir Anda tidak akan lama lagi."
"Anda keliru Opsir Ereul. Yang saya ingin katakan adalah mereka terlalu berani, bukankah mereka dulu dimusnahkan 5 tahun lalu."
Helga menelengkan kepala. "5 tahun lalu?"
Sedangkan khayalak perhatiannya semakin terfokus pada Ereul.
"Operasi Ravenfall," sebut Ereul. "Pemusnahan Breaker besar-besar. kesatria dan militer kerajaan melawan lusinan Breaker ranking A."
"Breaker ranking A, kesatria kerajaan." Semuanya terpana mendengar dua istilah itu.
"Lalu kenapa sekarang mereka mulai menyulut api kembali?" Helga bertanya.
"Yang selamat dari mereka tidak diadili, mereka dibebaskan dengan suatu perjanjian. Aku tidak mengerti banyak. Tidak semua Breaker kuat berpartisipasi kala itu, seperti yang aku bilang mereka terikat dengan egonya masing-masing. Entah apa yang Yang Mulia pikirkan, dia seolah tidak ingin mengurangi populasi Breaker dan hanya iseng memamerkan betapa kuatnya Kerajaan."
Fuad terawa kecil. "Isengnya Yang Mulia sampai meratakan distrik 4. Untung saja dia tidak sampai iseng menghancurkan dunia."
Khayalak memandang Fuad tanpa ekspresi seakan terdengar kenapa kau bisa berkata demikia dengan santainya.
"Kesimpulannya, Opsir Ereul bukan seorang auditor?" Helga menahan pandangan terhadap Ereul.
"Memang ada polisi yang memata-matai polisi lain," kata Ereul.
Ruang sunyi membisu, setiap orang dengan mata mereka yang gilang gemilang menatap ke arah Ereul. Lalu mendadak mereka bersorak.
"Hip-hip, horaayyy. Hip-hip, horaayy." Khayalak besorak sorai gembira seakan-akan mereka baru lulus ujian dengan nilai memuaskan.
"Mereka senang sekali," Ereul bergumam pelan.
Helga datang menyambangi kemudian memberi suatu bingkisan kepada Ereul.
"Ini. Bagianmu Opsir Ereul." Raut mukanya tersenyum lega.
"Jadi, kalian menyimpan bingkisan lain. Sebegitu bencinya kalian padaku kemarin-kemarin." Ereul merengut-rengut.
"Oh, Opsir Ereul. Itu cuma kesalah pahaman." Helga menjelaskan sambil tersenyum kecut.
Ereul tidak tahu harus berkata apa lagi. Dia tidak disukai untuk alasan konyol, Ereul bahkan berpikir kalau apa memang ada polisi bersikap dan berprasangka konyol begitu? Bagi Ereul polisi tidak serta-merta didik untuk mental belaka termasuk menajamkan pikiran guna menyingkap perihal yang tak nampak. Sehingga ia luar biasa heran.
"Aku jadi benci kalian semua," ucapnya ketus.
Seorang perwira masuk menyambangi mereka. Dia tinggi dan bernampilan necis. Rambutnya biru tersisir rapi nampak lembab mengkilap, dari kacamatanya tersimpan mata seperti api yang berkobar-kobar. Rahangnya tirus, larik-larik di wajahnya bergurat-gurat menghiasi. Dia adalah Kapten Osas.
EKHEEMM. Kapten Osas berdeham.
Sorak sorai terhenti seketika. Semua serempak melakukan hormat.
"Aku punya kabar buruk," Kapten Osas mengumumkan. "Yang sebenarnya hanya kabar buruk."