Mendengar kapten Osas hendak memberikan kabar, semua orang segera berdiri sembari memberi hormat. Dari yang sebelumnya suasana cukup ramai sekarang menjadi hening mendadak. Sekalipun para polisi saling kenal satu sama lain bila berinteraksi dengan atasan formalitas akan selalu diutamakan.
"Semalam saat bertugas lembur, Ketua Harto beserta kedua rekannya Wakil Kapten Jose dan kadet Hao diserang."
Tiap-tiap aparat seketika terkejut, khususnya Helga. Bagaimana tidak sebelumnya mereka menikmati kegembiraan sesaat ketika sebuah bingkisan yang Harto berikan di lampau hari. Kesenangan barusan seolah menjadi hambar.
Kemudian Kapten Osas kembali berkata. "Mobil yang mereka kendarai hancur meledak. Beruntung nyawa mereka terselamatkan meski harus menderita luka. Pihak Rumah Sakit Distrik 3 segera bertindak cepat begitu mereka menerima laporan tersebut."
Para aparat yang tadinya berwajah kaku, sekarang kembali melemas. Mengetahui atasan mereka selamat, itu merupakan sesuatu yang melegakan. Di dunia yang terdapat orang-orang yang memiliki kekuatan, sebuah luka masihlah hal yang teramat beruntung ketimbang hilangnya nyawa.
Setelah usai Kapten Osas memperhatikan seluruh bawahan. Dia khawatir bila kabar yang diberikan kurang dipahami. Saat mengumumkan kabar kurang baik, seorang atasan haruslah menyampaikannya secara singkat dan jelas, dan dilarang bersentimen, itu yang Kapten Osas coba tunjukan. Ketua Harto adalah rekan sejawat, tentulah dia berduka atas apa yang menimpanya. Apalagi saat dia mendengar kondisi seorang kadet bernama Hao. Apa yang Kapten Osas cemaskan adalah mental seorang pemula, junior seperti Kadet Hao pastinya belum siap secara rohani menghadapi bahaya besar dalam bekerja sebagai polisi.
"Apa ada yang ditanyakan?" kata Kapten Osas memastikan.
Sontak Ereul mengacungkan tangan.
"Apa mobilnya telah diamankan?"
"Ya. Kalau ingin memeriksanya, itu ada di ruang bawah." Kapten Osas menjawab singkat. "Apa ada lagi?
Khayalak saling memandang, tetapi pada akhirnya mereka tetap diam, dan tidak menemukan satu pun hal yang kurang mereka pahami.
"Kalau memang tidak ada. Selamat bekerja."
Kapten Osas meninggalkan ruangan, sebelum dia menutup pintu rapat. Ruangan masih sunyi dan tidak ada yang berani bersuara.
Mereka kembali ke meja kerja, menghempaskan tubuh mereka di kursi yang empuk. Salah satunya Fuad, dia termenung memandangi bingkisan berisi cemilan yangko pemberian Ketua Harto.
Dan Helga duduk sambil menopang dagu. Dirinya merasa bersalah, karena menjadi orang yang paling antusias sebelumnya. Harto adalah atasan yang dia sukai dan hormati, khususnya dia tidak pelit, dan suaranya selalu menenangkan dan sangat kebapakan. Ketua Harto adalah seorang Breaker, itu bukan rahasia lagi, dan faktor itu malah semakin menambah kekaguman aparat. Kalau orang sekuat Ketua Harto dikalahkan, Helga jadi gusar mengenai keamanan di Dulche.
"Yangko yang cantik ini jadi terasa gk enak," ujar Helga.
Makanan enak sekalipun bisa menjijikan kalau suasana di sekitar tidak mendukung, seolah makanan itu memiliki hati sehingga cenderung moody. Untuk menikmati kelezatan sesungguhnya, makanan wajib diperlakukan dengan teramat baik tanpa hal negatif sekecil apapun, niscaya potensi kenikmatannya keluar menyeluruh.
Di ujung ruangan dekat jendela, perlahan Ereul membuka bingkisan yang diberikan Helga. JRENG. Pupil-pupil di matanya berbinar-binar, hidungnya mengempis mencium aroma manis segar yang seketika keluar. Telunjuknya bergerak-gerak menghitung jumlah cemilan mungil sebesar penghapus karet, dan dia menampilkan air muka yang puas. Berbanding seratus delapan puluh derajat dengan rekan kerja lainnya di kantor.
"Eem." Ereul mengunyah-ngunyah pelan. "Lembut dan manis buahnya tersebar di lidah. Luar biasa bagi mereka yang membuat cemilan seenak ini."
Saat Ereul menjumput-jumput yangko dan menikmatinya, Helga berpaling. Dia memandang tidak senang terhadap Ereul karena seolah apa yang terjadi pada Harto tidak membuat laki-laki itu menunjukan sikap simpatis. Dan dengan santainya mengagumi kenikmatan cemilan pemberian Harto seolah tidak terjadi apa-apa. Helga lekas menyambangi.
Dengan wajah kesal, seperti kucing sedang marah yang siap mengeong panjang, Helga memelototi Ereul. "Opsir Ereul. Kamu tidak berperasaan. Si monster ketus, ketus."
Helga marah sambil memegang bahu Ereul dan menggoyang-goyangnya. Khayalak yang menyadari perbuatan Helga, terkejut menelan ludah seolah mengatakan apa yang kau lakukan? Dia Itu masihlah Polisi Pusat. Memang benar, meski Ereul bukanlah auditor dia tetaplah punya kuasa melaporkan kinerja dan perilaku para aparat di stasiun kepolisian lokal.
Ereul lalu bicara menegaskan. "Begini Opsir Helga. Salah satu cara menghargai pemberian seseorang adalah menikmati dengan penuh cinta dan kasih. Itulah yang aku perbuat sekarang."
"Tidak. Kau tidak terlihat orang yang seperti itu Opsir Ereul."
Kemarin dia sembunyi-sembunyi ketakutan, sekarang memusuhiku terang-terangan, merepotkan. Ereul mengingat-ngingat geliat aneh aparat di stasiun Dulche ketika dia mulai bekerja di sana. Salah satunya adalah Helga, opsir muda yang sama sekali tidak mau berbicara padanya, dan selalu memandang dirinya dengan tubuh bergidik acap kali berjumpa. Ereul bahkan menganggap dia agak dungu, sampai dia mengira keberadaannya sebagai polisi merupakan sebuah mukjizat Tuhan. Bagaimana bisa ada aparat macam itu?
"Ketua Harto baik-baik saja. Percayalah padaku." Ereul lalu menyesap segelas kopi di mejanya. "Bila terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan aku pasti akan menjadi orang pertama yang dikabari."
Helga membalak. Dia terlalu terbawa suasana oleh kabar diserangnya Ketua Harto sampai-sampai lupa kalau orang di depannya itu adalah Polisi Pusat, yang sedang bertugas memantau kondisi kota Dulche. Tiap-tiap dari mereka bukanlah orang biasa, meski pangkat mereka kadet sekali pun. Tak heran Ketua Harto dan Kapten Osas berlaku hormat pada Ereul seolah-olah dia atasan mereka. Mendadak kesan Helga pada Ereul meningkat drastis menjadi super positif.
"Tapi aku sangat khawatir." Helga masih merasa cemas.
Lalu Fuad memotong. "Opsir Helga. Kalau kamu cemas kita jenguk ketua sehabis sore nanti. Bagaimana Opsir Ereul?"
Kepala si Polisi Pusat seketika naik turun. "Aku setuju. Lagi pula ada banyak hal yang ingin kutanyakan pada Ketua Harto."
"Ih. Tidakkah itu terlalu kejam langsung mengintrogasi Ketua mendadak, Opsir Ereul?" protes Helga ketus.
"Kau terlalu sentimen, Opsir Helga. Ketua baik-baik saja, dia juga tahu tugasku 100 kali lebih penting dari pekerjaan kalian-kalian semua di sini. Benar-benar beban yang berat bagi orang yang ingin menikmati kedamaian masa muda seperti diriku."
Sekali lagi Helga membisu, begitu juga Fuad. Kata masa muda itu membuat mereka mengkaji ulang tentang Ereul. Di usia yang terbilang muda Ereul telah menjadi anggota polisi pusat. Bukankah itu pencapaian luar biasa.
"Opsir Ereul, kalau berkenan memang apa yang sedang Anda kerjakan sekarang ini?" Tanya Fuad.
"Minum kopi dan makan yangko."
Mendengar jawaban Ereul yang serta merta, Fuad hanya bisa tersenyum kaku seolah sedang memakan makanan yang kecut. Tentu saja itu bukan yang dia maksud.
"OPSIR EREUL!" tegas Helga sambil menatapnya dalam-dalam tanpa berkedip sekalipun.
Ereul tidak mengelak, dia mengerti apa yang diinginkan oleh Helga dan Fuad. "Tingkat kejahatan di Dulche menurun drastis. Sistem Bounty Hunter sepertinya memang efektif, hanya saja itu tidak sebanding dengan jumlah kriminal yang ditangkap."
Sejak populasi Breaker meningkat, polisi kelabakan untuk menangkap mereka. Sebagian besar polisi hanya manusia biasa, cuma segelintir saja yang mempunyai kekuatan. Maka dari itu sistem Bounty Hunter diciptakan. Melawan Breaker dengan Breaker, itulah ide yang terbenak di kepala petinggi. Bahkan untung menambah memperkuat keamanan, kepolisian membuat kebijakan untuk mempermudah persyaratan masuk bagi mereka yang memang memiliki kekuatan.
"Sebenarnya kami memang jarang menangkap Breaker belakangan ini." Fuad menjelaskan.
"Awalnya petinggi mengira kalau kepolisian Dulche disuap oleh kelompok tertentu yang memang entah untuk apa mengumpulkan para Breaker. Tapi setelah cross-check data ternyata tidak ada yang janggal, semuanya sesuai dengan yang dimiliki Tartaros."
"Jadi, kau sungguh memata-matai kami ya." Helga merengut sekaligus kaget dengan pernyataan Ereul.
Ereul menarik nafas panjang. "Ya. Tapi bukan mengawasi kinerja kalian, seperti yang kalian pikirkan kemarin-kemarin."
"Jadi apa yang salah? Bukankah bagus bilamana kejahatan menurun." Fuad kembali meluruskan topik pembicaraan.
"Kriminal itu dibunuh. Sebagian dari mereka terpenggal, atau bagian tubuh yang terpotong. Yang menjadi masalah apa semua tindak kejahatan harus divonis mati? Tidak kan."
Fuad dan Helga mendengarkan Ereul secara serius, bahkan mereka sampai tidak menyadari kedua mata mereka mengering. Dan mata mereka berangsur-angsur kemerahan.
"Kebaikan bisa menimbulkan kejahatan. Pemburu ini tidak mencari uang, dia hanya benci orang jahat," kata Ereul dengan sedikit mengeluh. "Di manapun polisi bertugas, kita memang akan selalu berurusan dengan orang gila yang waras. Menyebalkan."
Ereul sering mendapati kasus demikian. Kalau dalam tahap kecil memberi dengan hasil curian bisa menjadi contoh, seperti Robin Hood. Dia memberi kepada orang miskin dengan hasil mencuri dari bangsawan yang korup, dalam konteks norma ini bisa dianggap bias. Tetapi dalam kasus ini Ereul menilai motif si pemburu berada dalam tahap yang lebih tinggi dari Robin Hood. Robin Hood merampas sesuatu yang bisa didapat kembali, kalau pemburu itu merampas sesuatu yang tak akan pernah bisa dikembalikan. Itulah perbedaan merampas nyawa dan harta.
Helga menjadi sayu. Wajahnya terasa kaku, tangannya juga mengepal kuat. "Sejujurnya aku merasa, polisi yang bukan Breaker terlihat seperti tidak berguna."
Fuad tidak menyikapi pernyataan Helga seakan-akan itu adalah konklusi yang mutlak tanpa ada celah untuk menampik. Baik dirinya atau Helga hanya munusia biasa, bukan seorang Breaker. Sekarang manusia biasa sangat jarang melakukan kriminal, mereka jadi terlalu takut dengan keberadaan orang yang mempunyai kekuatan. Sebaliknya Breaker yang merasa dianugerahi kemampuan sering bertindak di luar batas, karena egonya mulai meninggi, alhasil sebagian besar penjahat sekarang adalah Breaker. Peran polisi menjadi tergerus karena ketidakmampuan menangani mereka.
"Aku setuju," kata Ereul. "Oleh karena itu aku pernah mengusulkan polisi yang bukan Breaker sebaiknya diberhentikan saja."
"Kejam. Kau memang kejam Opsir Ereul," tegas Helga.
Fuad lebih tenang menyikapi selayaknya om-om yang telah dalam usia matang. Opsir Ereul memang menyebalkan tapi perkatannya itu hanya candaan semata, yang tidak perlu ditanggapi serius. Fuad cuma tersenyum kecil memperhatikan Helga.
"Sepertinya Opsir Helga terlalu menanggapi serius perkataan Anda, Opsir Ereul. Dia memang kadang sukar membedakan mana candaan dan mana yang serius."
Ereul sontak melirik ke arah Fuad dengan wajahnya yang halus tanpa menunjukan garis-garis ekspresi. "Siapa yang bilang aku bercanda?"
Fuad merasa dirinya tersambar petir yang menggoncangkan setiap inci tubuhnya sampai lemas tak berdaya. Mulut, kaki, mata, sampai kepalanya menjadi sulit dioperasikan. Dan dia hanya mematung.
Polisi pusat itu kejam.