Chereads / Black Breaker / Chapter 5 - Chapter 05

Chapter 5 - Chapter 05

Saat sore hari, di unit kesehatan. Dean sedang membujuk Chloe, seorang gadis yang biasanya sering membantu di sana. Bila digambarkan secara halus dia memiliki pembawaan dewasa, berambut  hijau sedagu yang mematri garis di sebelah kiri membelahnya menjadi dua bagian, serta mata lebar berkacamata seakan-akan orang yang senantiasa terperangah. Busananya pula longgar-longgar, tunik ungu dan celana hitam yang bahkan panjangnya terlihat sampai tumit kaki.

Dean  berucap lega, "Untung saja kau masih punya persediaan obat maag."

Unit kesehatan hanya menyediakan pertolongan pertama saja, tetapi itu sangat membantu mencegah hal-hal menjadi lebih buruk. Merupakan hal yang lumrah bila mahasiswa kedokteran sering membantu di unit kesehatan. Mereka selalu merawat dan menata ruangan itu bersih dan rapi. Dinding-dinding yang birunya jernih seperti air , 10 kasur beroda yang di tiap-tiapnya dibatasi oleh gordeng. Sebuah jendela juga terpampang guna mendapat penerangan alami di siang hari. Sedangkan di samping kiri pintu, berdiri satu meja kerja putih yang di atasnya terdapat  sebuah komputer serta beberapa alat tulis. Sedangkan di belakang meja berupa kursi kerja hitam yang kakinya beroda.

Chloe menopang dagu, jari telunjuknya mengacung di depan daun telinga dia yang kecil, wajahnya juga agak berpendar karena memantulkan cahaya LED dari komputer. Dean ditatapnya kecut, dia bertanya,

"Dean, kenapa kau terobsesi dengan obat ini? Apa karena rasanya enak seperti mint?"

laki-laki itu mengangkat tangan sedada dan menampiknya, "Tidak, tidak, tidak."

Rambut pirang Dean tersisir ke kiri yang agak acak bergerak-gerak. Lalu, dia rapihkan kerah kemejanya yang sedikit terlipat. Kemeja hijau keputihan yang diselimuti sweeter berwarna hijau buah zaitun, dan dia juga mengenakan celana katun berserat tebal yang warnanya abu, serta sepatu standar bertali. Dean tersenyum sampai pupilnya yang bulat biru tertutupi oleh kelopak matanya, tapi Chloe malah memicing penuh curiga.

"Oh tidak, Dean. Jangan bilang kau melakukan perbuatan ilegal?"

"Ilegal?" Dean bingung. Seterusnya dia menghalangi mulut dengan tangan kanannya, mulailah ia membisik,

"Aku selama ini tidak sarapan. Dompetku sudah langsing, atau barangkali sudah mencungkring."

Bola matanya yang kering melirik-lirk kiri kanan, memastikan orang lain yang berada di sekitaran tidak mendengus pembicaraan. Sebaliknya, apa yang Dean terima bukanlah simpati, Chloe malah tersenyum kecil yang terasa kosong. Hatinya mungkin bersungut-sungut (Pria menyedihkan, dan boros.) Dean yakin gadis itu menyerocos demikian tanpa henti, karena perihal mendarurat mulut Dean tertahan mengatup.

Dan pada akhirnya perutnya yang tipis terasa melengking serta melontarkan bunyi berkeruyuk-keruyuk. Beberapa orang memalingkan kepala ke arah mereka, dan terdapat pula seseorang dengan rasa penasaran di atas normal menengok sana-sini mencari tahu dari mana bunyi itu berasal. Dean mulai merasa kulit-kulit di wajahnya menghangat dan berdenyar merah. Ia bersikukuh,

"Lihat Chloe. Cepat berikan obatnya. Kulit di mukaku ini terlalu tipis, tidak setebal dirimu."

Gadis itu mengehembuskan nafas. "Iya, ya. Ambil nih, kamu beneran menyedihkan."

Chloe segera menyerahkan obat itu. Dia juga mulai merasa tidak enak sekaligus menunjukan gerak-gerik terganggu, itu tidaklah mengherankan sebab akhir-akhir ini Dean sering meminta obat anti asam lambung padanya. Sesudah merasa lega, bergegaslah lakil-laki itu meninggalkan unit kesehatan.

"Makasih," Dean berkata lirih tak ingin mencolok, dia juga tidak lupa melambaikan tangan. sedangkan Chloe membalas dengan menaikan alis.

Ketika akan melewati muka pintu, tanpa sengaja dia menabrak seseorang. Laki-laki berambut ikal, mengenakan kemeja berompi bernama Bam, dan orang yang satu lagi kondisinya tidak baik-baik saja karena ia pingsan, Dean tidak kenal siapa kedua orang itu. Dalam kepalanya, ia cuma bisa mengerang menahan sakit di lambung. Sedangkan di dalam hati perasan bersalah bergemuruh kencang, dua sensasi berlainan itu tercampur aduk di dalam tubuhnya.

"Oh, maafkan aku!"

Tapi Bam tidak mengatakan sepatah katapun. Dean mengernyitkan kening ketika Bam mengangkut orang pingsan itu dipundaknya tanpa harus bersusah payah.

(Breaker ya.) pikir Dean.

Bam membawa Chen ke tempat paling ujung, kemudian membaringkannya. Sementara Dean berinisiatif membawa kapas dan anti septik di laci kecil. Rasanya kurang baik bila ia diam saja tanpa melakukan apa-apa setelah menabrak mereka.

"Apa yang terjadi?" tanya Dean memandang lebar-lebar.

Bam bersandar ke dinding, kemudian dia silangkan kedua tangannya. Mulutnya perlahan terbuka dan menjawab tanpa menengok sekali pun,

"Cuma pengeroyokan kecil."

Kain kapas yang putih itu Dean celupkan pada sebotol anti septik. Perlahan,  diusap-usapkan ke pelipis dan di bagian hidung serta bibir yang lebam dan berdarah. Seenggaknya itu bisa menjadi pertolongan pertama pada Chen, sebelum dia diobati lebih lanjut. Sehabis selesai membersihkan darah di muka, dia melirik pada Bam kembali.

"Apakah ini ulah seorang Breaker?"

Bam menjawab singkat. "Siapa lagi."

Sesaat suasana agak hening diantara mereka, karena apa yang dibicarakan sebenarnya perkara yang biasa terjadi. "Ini agak menakutkan. Ketika orang-orang yang punya kekuatan bertindak serampangan. Padahal orang yang kuat itu belum tentu benar."

Bam memperhatikan laki-laki pirang bernampilan ringkih itu dengan kedua alisnya yang menajam, serta tertahan sekilas. Sementara Dean hanya datar-datar saja tidak tahu apa yang Bam pikirkan. Dia cuma merasa dari reaksinya yang kuat tersebut Bam membetulkan ucapannya. Terbawa oleh suasana, semangat Dean menggebu-gebu. Sontak ia lontarkan tanpa basa-basi apa yang dia pikirkan,

"Breaker kuat itu cenderung gila. Mereka tidak lebih dari calon-calon penghuni LAPAS." hembusan nafas yang panjang keluar dari hidungnya.

Dan rahang Bam yang lebar menjadi terlihat kaku, pun giginya gemertakan. Bibirnya berkedut-kedut seolah-olah tak kuasa menahan sesuatu. Mendengar itu ia mengira Bam sedang bermain-main dengan giginya. Sekarang orang yang tegap, terlihat kuat itu hendak berbicara. Kali ini Bam melakukannya sambil mengarahkan wajah, dan Dean rasa itu yang harusnya Bam perbuat sedari awal, sebuah dasar sopan santun.

"Ada orang kuat di kampus ini bernama Bambang. Apa yang kau pikirkan mengenai dia?" Suaranya terdengar lebih tinggi.

"Bambang?" rahang Dean terasa mendingin yang lama-kelamaan akan membeku. Dia menggit bibir, bila jawaban yang dia berikan tidak memuaskan rasanya tidaklah pantas mengingat Bam memperlihatkan antusiasme dirinya dalam bertanya, meski begitu Dean beranggapan jujur mungkin lebih baik, walau berujung sebuah kepahitan.

"M-maaf. Siapa itu Bambang?"

Di dalam memorinya, tidak ada eksistensi seorang teman bernama Bambang. Karena merasa tidak tahu, dia takut-takut saat melihat Bam yang dari kesannya menunjukan perangai keras. Ditambah lagi yang tidak Dean sadari bahwa sebenarnya orang yang menjadi teman berbincangnya adalah Bambang yang dimaksud. Sesuai prediksi, Bam terkesiap, dia mulai menunjukan ketidaknyamanan atas jawaban yang didengar.

Ketika itu terjadi komunikasi yang tidak searah antara kedua laki-laki itu. Rasanya bagi Dean keinginan kabur dari situasi canggung  itu menguat, tapi tingkat moralitasnya menghalang-halangi, terus-menerus mensugestikan itu perbuatan kurang baik kalau dilakukan.

Dan dimulailah kembali, perutnya untuk kesekian kali terasa hampa dan berkeruyuk lebih keras daripada sebelumnya. Siapa yang menyangka rintihan dari usus-usus tersebut berubah menjadi mesiah bagi Dean. Dia tidak peduli dengan rasa malu, segera saja ia membuat alasan pamit pada Bam dengan tergopoh-gopoh,

"Kelihatannya, perutku ini bebal. Aku harus memberinya sesuatu, ya---" kepalanya naik turun seolah-olah memaksa Bam untuk mengiyakan permohonannya.

Sayangnya Bam tetap bergeming dengan matanya yang berkilat-kilat. Agar terhindar oleh obrolan yang lebih merumitkan lagi Dean serta merta pergi menjauh sejauh-jauhnya meninggalkan kedua orang itu. Derapnya pun cepat seperti peserta jalan sehat.

Ketika lewat di dekat pintu, Chloe sedang asyik menikmati sneak, sambil menyentuh-nyentuh rambutnya. Chloe juga tidak lupa memasang muka masam ketika Dean lewat, itu memang menjengkelkan. Manusia cenderung menyebalkan ketika mulai merasa di dalam wilayah seseorang, karena di area itu mereka bisa mengetahui lebih luas mengenai individu tersebut, kadang membuat mereka merasa spesial.

*

***

*

Setelah meloloskan diri dari momen yang mulai bertambah pelik, Dean duduk-duduk di taman. Di bawah pohon maple yang rindang, daunnya meruncing-runcing hijau mulai agak kekuningan. Taman ditumbuhi oleh rumput  yang jika orang-orang melihatnya dari jarak agak jauh seakan-akan sebuah karpet hijau mulus menghampar. Selain itu, taman ditumbuhi oleh pohon maple dan magnolia, jumlah tanaman berbunga merah muda lebih sedikit, dan bisa dihitung oleh jari, tapi keelokannya sukar diabaikan, sedikit tapi sangatlah membekas. Untuk sekedar duduk, disediakan beberapa kursi dan bangku. Di tiap sudut jalan setapak, tersedia tempat sampah sebagai salah satu sarana dalam menjaga keindahan. Kebersihan taman sendiri sangat terjaga karena setiap hari petugas selalu rajin merawatnya.

Dia menelan pelan-pelan obat asam lambung pemberian Chloe. Itu terasa manis di lidah, sampai-sampai Dean main jejal saja ke mulutnya tanpa bantuan air. Serta dia merasa sensasi dingin ketika obat tersebut hancur melebur di tenggorokan. Sore itu cukup sunyi karena hanya segelintir orang berkegiatan di taman, sisanya bisa dipastikan sudah pulang ker rumahnya masing-masing. Untuk orang lain memang menenangkan, akan tetapi karena hanya angin yang mengisi perut Dean, nyeri akibat perut kekosongan masih belum hilang. Dia merebahkan diri untuk meringankan perih di lambung, kepalanya bertumpu pada tangan.

Sekarang yang terhampar di depan dirinya adalah daun-daun meruncing-runcing milik pohon maple yang selalu berganti warna daunnya  ketika memasuki pergantian musim, dia  melihat langit yang biru, tanpa kumpulan awan. Rasanya memberikan kedamaian fana, karena memang di dunia ini tidak ada yang namanya perdamaian kekal. Terlebih hidup tanpa masalah itu membosankan, kedamaian tidak memberi kehidupan, lebih tepatnya untuk sebagian orang saja beranggapan demikian. Perbedaan keyakinan dan ambisi membuat perdamaian itu selalu berangsur sebentar, seperti angin sepoi-sepoi yang lewat menembus kain-kain di baju dan memberikan rasa nyaman di kulit sesaat.

(Ironis, aku tak mau bersama orang yang seenaknya menggunakan kekauatan dan menyebabkan masalah, tapi aku tidak bisa hidup tanpa orang seperti itu.)