Beberapa waktu sebelumnya
Di Universitas Dulche, sekolah tinggi yang merupakan salah satu terbaik di regional. Tempat di mana para remaja melanjutkan studi setelah lulus dari jenjang sekolah menengah atas. Sebuah sekolah yang tersohor dengan dua menara jamnya, ratusan pilar, dan ribuan jendela. Tidak lupa gaya dari dekorasi tiap gedung menjadikannya suatu pemandangan tersendiri yang siap membuat orang terkesima dan hanyut di masa abad pertengahan. Barangkali Universitas Dulche sebagai tempat menimba ilmu bukan lagi sebutan yang pantas, tetapi sebuah kawasan wisata yang menyuguhkan kehidupan klasik. Merasakan bagaimana saat zaman ketika dasar ilmu pengetahuan mulai berkembang, sangat elegan. Walaupun bagi pelajar di sana, anggapan orang luar terasa melebih-lebihkan.
Dengan harapan besar, banyak dari mereka yang dulunya cuma anak tengil dan polos ingin mendapat kehidupan yang lebih baik kelak. Memilih salah satu dari universitas terbaik adalah suatu keharusan, dengan iming-iming fasilitas lengkap, lulusan kompeten, suasana yang kondusif. Berbondong-bondong para siswa terbujuk rayu dari ilusi yang menggambarkan calon nasib sukses mereka. Ujung-ujungnya banyak yang tak melihat realita, lalu terbuai dari keberhasilan yang akan dicapai kelak. Mereka semua mencintai hasil dan tak pernah mencintai proses, yang lambat laun sukses itu menjadi andaian belaka. Ya, hanya suatu fiksi bagi mereka yang mana sebagian besar orang gandrungi.
Maka dari itu, tiap manusia yang budiman haruslah berusaha dan menikmati proses, sebab barang siapa yang mau berusaha dia akan kuat. Dan yang kuat biasanya akan memiliki hak-hak tertentu yaitu hak untuk menindas yang lemah atau mengatur yang lemah. Hukum rimba ini akan selalu otomatis tertanam pada siapa saja yang mempunyai kekuatan.
"Kau bisa lihat ini?"
"Emmm, anu John," ucap Chen begidik.
Chen melihat orang-orang itu melotot marah. Dia tak kuasa untuk mendongkak balik, itu bukanlah karena rasa takut pada amarah mereka. Tetapi, cara yang dapat mereka perbuatan dalam pelampiasannya. Tidak ada yang tahu bahwa sesuatu seperti ini sering terjadi di Dulche, meski terkenal dengan ribuan jendelanya yang elok, namun itu tidaklah menyeluruh. Di salah satu gedung sosial, di bagian belakangnya sama sekali tanpa jendela. Itu sangat sempurna untuk melakukan aksi-aksi yang tidak senonoh.
John si anarkis yang bisa kapan saja memukuli orang dengan tulang tangannya yang sekukuh besi, rambut birunya yang terbelah dua dan wajahnya yang selalu terlihat marah dan jelek. John juga bukan tipikal orang yang mengenal musim dengan baik, dia selalu mengenakan jaket hoodie baik musim dingin, musim semi, musim panas atau pun gugur.
Seli si pirang ikal jerawatan yang selalu mengikuti John guna menghindarkan dirinya dari ancaman cowok itu. Gadis yang bertipikal kalau tahu tidak bisa melawan kenapa tidak bergabung saja. Busananya yang berkaos panjang dengan motif binatang imut dan celana jeans selutut, sangat sesuai untuk dirinya yang terkesan lemah dan selalu berada di balik orang lain.
Sementara dua lainnya yaitu Fei dan Hayato. Fei seperti versi perempuan john, dia orang yang meledak-ledak, setiap orang yang berbicara padanya pastilah akan selalu memperhatikan perkataan mereka.
"Hey, kau bisa lihat ini?" Mungkin karena Fei merasa jengkel Chen belum menjawab pertanyaan John.
Dia menghembuskan angin dari telapak tangannya. Angin yang kuat itu membuat Chen merasa dihantam palu yang tak terlihat. Belum lagi ia membentur dinding keras yang nyaris meremukan tulang-tulang punggung, karena terdengar bunyi KRAK.
"Y-ya. Aku minta maaf, karena ada hal lain yang mendarurat serta harus aku tanga--"
'Oh seharusnya aku tidak berkata demikian.' Chen menjerit dalam hati.
Chen mengamati dari balik rambutnya yang menutupi sebelah mata kanan tapi dari sebelah kirinya tampak mata yang hijau. Fei menarik sesuatu dari dalam tas yang ia sandangkan, beberapa lembar kertas yang tampak seperti laporan. Lalu Chen melihat sebuah huruf dengan tulisan kapital yang besar berwarna merah, yang entah kenapa seperti dimaksudkan agar tampil jelas di kertas itu. Sebuah huruf tebal bertulis 'D'. Alfabet menyeramkan yang pelajar mana pun tidak ingin memilikinya.
"Kau punya otak, bukan?" Fei membentak sembari menunjuk pada rambutnya yang diikat seperti ekor kuda, dan entah kebetulan atau tidak rambutnya yang merah semu coklat benar-benar mirip ekor kuda.
"Tunggu Fei, aku tidak bermaksud mengacau. Aku berjanji akan memperbaikinya." Chen tidak tahu harus berkata apalagi, tapi dia ingin bertanggung jawab. "Pasti ada perbaikan, biar aku bantu kalian. Beri aku kesempatan ke dua."
"Bulsh*t!" John yang memiliki otot lentur, cekatan dan cepat menghujamkan pukulan ke bagian pipi kirinya.
Terasa amat nyeri bagi Chen, terutama di bagian rahang dan tengkorak. Nyeri itu merambat ke seluruh bagian kepala. Pukulan dari seorang Breaker, yang hanya di tingkat C. Tapi itu cukup untuk membuatnya mimisan, sempoyongan dan dia semaput.
Melihat Chen yang tak sadarkan diri mereka mulai terguncang. "Sialan kau John. Ini berlebihan. Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Fei mengepalkan tangan di depan mulutnya yang nampak gemetaran tak karuan.
Sedangkan Seli hanya menyilangkan tangan dan berkata, "Jangan menyalahkan John. Kita sepakat untuk menghukum dia."
"Dasar penakut, yang lebih penting kita bisa puas menghajarnya. Itu juga akibat dia mementingkan dirinya sendiri daripada kita. Ya kan Hayato?"
John memandang Hayato meminta pembenaran. Orang itu cuma menaikan bahu seolah berkata 'siapa yang tahu?' Pun dia lebih berkepala dingin dibandingkan ke tiga temannya. Bukan hanya itu saja, parasnya terasa menjebak. Siapa saja tidak akan mengira dia berkomplot dengan Fei dan John. Hayato betul-betul necis, dari kepalanya yang berambut hijau pendek rapi dan matanya yang tak memancarkan emosi serta pakaiannya yang terawat baik.
Sementara itu tanpa sepengetahuan mereka di atap gedung, seseorang sedang mengawasi tindak tanduk ke empat orang itu. Lalu ia berkata,
"Masih ada orang yang tak kapok dengan peringatanku."
Betul jikalau mereka melakukan penganiayaan di tempat yang sempurna. Di balik gedung fakultas sosial yang di bagian belakang tidak ada jendela sama sekali. Dia tanpa ragu melompat dari ketinggian belasan meter. Bisa dibayangkan sekuat apa orang itu, dia mungkin sanggup menghentikan laju kendaraan semacam truk kalau dia mau. Tatkala ia mendarat di permukaan, ke empat orang tadi mengalihkan pandangan. Sontak saja mereka terkaget, Fei, John dan Seli melongo sambil menelan liur.
"Apa yang kau lakukan di sini, John?"
Kemudian Seli menjawabnya dengan gelagapan, "B-Bam, kau tahu lah. Si bocah tengil ini."
Mata Bam yang sekemilau emas menusuk Seli, "Siapa yang menyuruhmu berbicara."
Mereka saling bertukar pandang, saling titah untuk mencari jawaban yang bisa memuaskan Bam. Laki-laki itu kentara sekali ditakuti, dia selalu melihat orang lain dengan tatapan yang siap menerkam kapan pun. Rambut yang ikal kecoklatan, dengan warna kulitnya yang coklat terang mirip sawo yang matang dan tubuhnya tegap memberi kesan kokoh, itu membuat dia gampang dikenali. Bam juga selalu memakai kemeja dan rompi serta celana katun padat abu. Orang-orang akan langsung tahu bahwa laki-laki kuat ini bukanlah orang asli Provinsi Barat yang mana penduduk aslinya adalah orang kulit putih kemerahan.
"Bam. Apa-apaan ini? Kami lebih kuat darinya. Itu hal yang wajar kalau dia ingin mengikuti kami dan menuruti perintah kami," John menjelaskan dengan penuh percaya diri.
Tapi Bam, dia cengengesan mendengar jawaban John. Fei dan Seli salah tingkah dan tidak tahu harus berbuat apa. Lalu Bam berujar,
"Aku yang jauh lebih kuat dari kalian ini, berhak memerintah kalian sesuka hati. Bukan begitu?" Bam menyambangi mereka. Menatap dalam-dalam satu persatu.
John, Fei, dan Seli tidak berani menengadahkan kepala sediki pun. Mereka berjengit-jengit, bertingkah sesempurna mungkin agar terlihat. Lalu Bam berkata dengan agak menekan,
"Kalian yang tidak menampakan ketakutan padaku sungguh menjijikan. Aku lah yang memutuskan segala hal di tempat ini, termasuk kalau ingin mengahajar seseorang faham?"
John, Fei dan Seli berseru serentak, "Kami faham, Bam."
Bam tidak yakin dengan ucapan mereka. Ketiga bedebah itu mungkin menunduk tapi hati serta mulut mereka terus berkomat kamit. Mereka cuma menjilat, dan bertingkah mirip anjing penurut bila di depannya. Setelah itu Bam berpaling, pada salah satu dari mereka yang kebetulan tidak banyak membuka mulut. Laki-laki itu masih tidak berbuat apa-apa, Hayato seperti mengisyaratkan dia tidak ingin melibat diri. Dan itu membuat Bam agak geram melihatnya meski dia pribadi merasa Hayato tidaklah berbohong,
"Cih, " Bam menggerutu.
Saat itu dia memilih untuk tidak mengacuhkan Hayato. Dia pikir lebih baik tidak menambah masalah lagi, kalau-kalau masalah yang dihadapi bisa jadi malah membengkak.
Chen tergeletak, wajahnya berlebam, terutama di bagian kiri. Bajunya yang berjenis polo sedikit kotor, celana Jeans hitamnya terdapat bercak darah. Entah kenapa kakinya bisa terluka, tapi Bam memilih untuk segera membawanya ke unit kesehatan.
"Dasar mengganggu," Fei menggerutu. "Apa-apaan kau ini Hayato? Berdiam diri saja tanpa melakukan sesuatu."
Hayato berdeham, "Aku cuma sedang gk mood. Kalian terlihat menyedihkan sekali barusan."
Kemudian John menyeringai mendengar perkataan Hayato. "Kau tidak takut padanya?"
"Si Bam?" Hayato memandang angkuh ke arah John. "Apa yang perlu aku takuti dari dia?"