Dave melebarkan senyum di bibirnya begitu melihat tampilannya dari pantulan jendela mobilnya. Perfecto, batinnya. Dia bisa membayangkan ekspresi bahagianya Finnlay begitu dia melamarnya di tengah keramaian kayak sekarang. Ah ,, pasti wajah cewek itu bakal merah merona saking bahagianya.
Setelah memastikan semuanya dengan terkendali sesuai harapannya, Dave melangkahkan kaki menuju sebuah resto yang udah dipesannya dua hari yang lalu. Ekspresi wajah Finnlay dengan senyum yang merekah udah tergambar jelas dibayangannya.
Hari ini adalah hari yang paling ditunggunya. Dia akan melamar Finnlay tanpa penghalang apapun. Dave sendiri masih gak menyangka, bahwa akhirnya saat inipun tiba dan demi itu dia mau gak mau harus berterima kasih dengan Caramel yang bersedia mengalah.
Tapi langkahnya kemudian terhenti. Dave mengerjapkan matanya seakan gak percaya. Cewek yang belakangan inimati-matian dibelanya sampai dia rela membagi cintanya ternyata gak sesetia yang diharapkannya. Beberapa meter dihadapannya, Finnlay duduk berseberangan dengan seseorang yang sangat Dave kenal. Mereka saling menggenggam tangan satu sama lain.
Dave melangkahkan kakinya ke semak-semak tepat dekat kursi yang diduduki Finnlay. Posisi yang sangat bagus untuk mendengarkan obrolan mereka. Dave merasa, obrolan mereka bukan sekedar business converstation tetapi lebih dari itu. Why? Karna bahasa tubuh mereka mengisyaratkan hal demikian dan Dave berani bertaruh kalo firasatnya benar.
"Jadi, ini yang kamu maksud dari kemaren? Kamu sengaja nyuruh aku deketin David karna kamu mau rebut perusahaan dia? Kamu mau ancurin hidup dia?" Finnlay masih gak ngerti maksud ucapan Lionil. "Nil! Kamu tau kan kalo aku kayak gimana. Gak mungkin lah gue ngelakuin kayak gitu."
"Aku tau, kita emang mau nikah dalam beberapa bulan ke depan dan kita emang lagi butuh banyak uang. Tapi bukan begini caranya, Nil."
"Trus menurut kamu, harus gimana caranya? Hah?!" Lionil merasa ubun-ubunnya panas. Emosinya mulai merambat naik. Kok tunangannya sekarang malah ngebela David si tengik itu? "Kamu tau kan kalo perusahaan aku lagi diujung tanduk? Dan kalo sampe perusahaan aku bener-bener ancur dan aku bangkrut, gimana aku bisa nikahin kamu?"
Finnlay menggenggam tangan Lionil erat-erat. Dia tau, tunangannya itu memang ada banyak masalah yang harus dihadapi sekarang ini tapi bukan begini cara penyelesaiannya. Biar gimanapun, Dave pernah menjadi seorang dalam mimpi indahnya bertahun-tahun lalu. Ditambah lagi, Lionil dan Dave dulunya sahabatan. Entah kenapa Finnlay merasa gak tega harus berbuat sejahat itu ke Dave.
Hah, what? Dave mengerjapkan matanya. Pandangannya sekarang lebih jelas dan dia bisa melihat dengan jelas kedua orang itu. Ya. Lionil, Dave kenal dengannya. Mereka bersahabat. Dulu.
Lionil Perkasa. Siapa coba yang gak kenal dia? Bintang sekolah yang punya otak seencer Albert Einstein. Please, jangan tanya wajahnya. Seganteng aktor Hollywood terkenal. Dia dan Dave selalu sekelas dari pertama mereka masuk sekolah bertahun-tahun lalu dan nama mereka selalu berdampingan di papan tulis di setiap akhir masa ujian kenaikan kelas. Bahkan ekskul olahraga keduanya juga sama. Basket dan mereka tergabung dalam tim basket yang sama. Itulah sebabnya mereka menjadi sepasang sahabat. Kemudian persahabatan mereka merenggang karena seorang cewek!
"Lagian, kenapa sih kamu sebegitu dendamnya sama David?"
"Ada hal yang sama sekali kamu gak tau dan gak perlu kamu tau, Fin."
Finnlay menghela nafas. "Ya gak bisa gitu dong! Asal kamu tau, demi ambisi dan dendam kamu, mereka putus. Dan aku denger-denger, mantannya kemaren terpaksa harus nikah sama cowok yang dijodohin sama ortunya." Finnlay mengibaskan rambutnya ke belakang.
Dave tercengang. Jadi kemaren Caramel nikah? Dia yang dulu diduakan dan disia-siakan malah menerima pinangan dari cowok lain? Entah kenapa sekarang egonya sebagai cowok masih menginginkan Caramel. Dave sangat yakin kalo Caramel pasti mau memberikannya kesempatan kedua.
Dave merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya. Secepat kilat dia menekan sederet angka. "Halo, Yuanita?"
"Halo, ya," sahut Yuanita dari seberang telepon. "Kenapa Dave?"
"Bener Caramel udah nikah?"
Yuanita mengangguk seolah lawan bicaranya bisa melihat gestur tubuhnya. "Iya. Emang Lo gak dikasih undangan? Atau Lo sengaja gak dateng? Gila ya resepsinya mewah banget, Dave. Tadinya gue kira kalian yang nikahan. Ternyata bukan kalian yang nikah. Abis gue dapet undangannya juga dadakan banget."
Kaki Dave langsung lemas seketika. Jadi bener cewek itu menikah kemaren? Tuhan, gak adakah kesempatan kedua buat gue?, teriak Dave dalam hati.
"Lo punya nomornya si suaminya Caramel?"
"Buat apaan gue nyimpen nomornya? Kenal juga kagak," sahut Yuanita. "Lagian lo kenapa gak telepon ke Caramelnya aja?"
"Nomornya udah gue apus," jawab Dave lirih.
"Yaudah, nanti gue kirim di Wa."
"Makasih ya." Dave memutuskan sambungan teleponnya. Kenangannya bersama Caramel terputar pelan di benaknya. Dia harus mendapatkan Caramel kembali. Dia rela melakukan apapun asalkan bisa mendapatkan Caramel kembali ke pelukannya, dan hal pertama yang harus dilakukannya adalah mencari kontak cowok sialan yang udah berani-beraninya ngerebut Caramel dari sisinya.
*
Arjuna memasukkan kartu apartemen ke sebuah kotak dan seketika lampu di seluruh ruangan menyala. Setelah berhari-hari lalu berkutat dengan sebuah urusan, sekarang saatnya dia merelaksasikan pikirannya. Seenggaknya untuk satu-dua hari ke depan sebelum kembali ke kantor.
Ingatannya melayang ke kejadian kemarin pagi. Untuk pertama kalinya dia melihat kedua orang tuanya duduk berdampinginya tanpa si bidadari buluk itu setelah belasan tahun lalu. Arjuna sama sekali gak menyangka, bahwa hari pernikahannya adalah hari pertama bagi kedua orang tuanya untuk saling temu dan sapa setelah bertahun-tahun lalu berpisah dan bertengkar. Arjuna masih ingat gimana bahagianya sang mama melihatnya menikah.
In your eyes I'm alive
Inside you're beautiful
Something so unusual
In your eyes I know I'm home
Every tear, every fear
Gone with the thought of you
Changing what I thought I knew
I'll be yours for a thousand lives
I'm free as a bird when I'm flying in your cage
I'm diving in deep and I'm riding with no brakes
And I'm bleeding your love, and you're swimming in my veins
You've got me now
Been waiting for a lifetime for you
Been breaking for a lifetime for you
Wasn't lookin' for love 'til I found you (ooh na, na, ay)
For love, 'til I found you
Lamunan Arjuna pecah ketika sebuah panggilan masuk meraung dari ponselnya. Arjuna melirik selintas layar smartphonenya. Ada sebuah panggilan masuk dengan nomor yang gak dikenalinya
"Halo?" tanya Arjuna enggan. "Siapa nih?"
"Lo berani-beraninya nikahin Caramel tanpa persetujuan gue! Emang lo pikir lo siapa?!" sahut seseorang di seberang sana.
Arjuna menghela nafas. "Eh elo yang lo pikir itu lo siapa! Dasar gak punya etika. Nelpon-nelpon gue bukannya kasih salam atau apa, ini langsung maki-maki gue!" Mau gak mau Arjuna emosi. "Lo siapa? Apa mau lo?!"
Terdengar suara tawa garing dari seberang telepon. "Lo nanya gue siapa? Dengerin baik-baik ya! Nama gue David. Gue pacarnya Caramel!"
Pacar? Dahi Arjuna mengerut sebelum akhirnya dia mengangkat sudut bibirnya. Ah ya! Dia inget nama itu. Masih berani ya si bajingan itu mengganggu hidup Caramel? Minta dicincang rupanya.
"I know who you are," sinis Arjuna. "Apa mau lo? Dapet dari mana nomor gue?"
"Mau gue?! Mau gue adalah lo cerai sama Caramel. Dia itu milik gue!"
Arjuna memijit pelipisnya. Kepalanya mendadak sakit. Andaikata si penelepon ini ada di hadapannya mungkin udah dihajarnya habis-habisan. Bajingan model Dave emang harus dikasih pelajaran. Kalo perlu jangan dikasih kendor, biar tau rasa dia!
"Setelah apa yang lo lakuin ke Caramel, sekarang lo dengan seenak jidat nyuruh gue nyerein dia? Dasar lo sakit jiwa!"
-KLIK-
Arjuna memutus sambungan teleponnya sepihak. Semakin lama dia meladeninya, semakin dia ikutan sakit jiwa. Satu penyesalannya sekarang ; kenapa gak dari dulu dia menghajar Dave?
*

Arjuna menggeser layar smartphonenya. Dia berusaha mendinginkan emosinya gegara panggilan telepon sialan dari Dave dengan memainkan ponsel dan memandangi setiap potret saat pernikahannya. Dia harus mengakui satu hal. Caramel cantik.
Arjuna seolah menjilat kembali ucapannya soal teori waktu bisa membolak-balikan sesuatu. Dulu, di matanya, semua wanita itu sama. Bisa dipastikan kalo mereka mendekatinya karna faktor materi dan jabatan. Siapa coba yang gak berbinar matanya kalo berhasil memikat CEO muda kayak dirinya? Tajir, pinter, mapan, ganteng pula.
Tapi semuanya beda waktu papanya menyodorkan foto Caramel dan menyuruhnya menemuinya. Ya walaupun kenyataannya, saat itu Caramel terlihat gak jauh beda dari porcelain yang baru aja tersenggol dan jatuh hancur berkeping-keping karna seseorang bajingan bernama David.
Wajar dong kalo Arjuna menyebutnya bajingan? Secara David bisa dengan mudahnya mendua sedangkan hati Caramel murni untuk lelaki itu sampai saat ini.
Tanpa sepengetahuan Caramel dan papanya, Arjuna menyuruh salah satu asistennya untuk mencari tau segala sesuatu tentang wanita itu. Termasuk soal Dave, yang ternyata adalah ...
Ah udahlah! Gak penting buat Arjuna harus memutar balik memorinya soal Dave. Yang penting sekarang adalah soal Caramel dan pernikahannya dengan wanita itu. Ah ,,, lagi apa ya istrinya itu sekarang?
Arjuna memasukkan ponsel ke saku celana jeansnya. Buru-buru dia meninggalkan ruang kerjanya dan langsung menghambur diri ke lift khusus yang siap mengantarkannya ke unit lain di lantai 10 tempat istrinya berada sekarang.
Sebelum akhirnya tatapannya berhenti pada sebuah pantulan di cermin.
*
Caramel bergeming. Dipandanginya pantulan bayangan dirinya di sebuah cermin. Seorang diri di sebuah kamar yang terasa sangat asing baginya, cuma ditemani sepi yang terasa begitu menusuk sukmanya. Gak lama kemudian, pintu kamarnya terbuka, mengalihkan perhatian Caramel untuk melihat siapa yang membuka pintu itu dari cermin di hadapannya.
Lelaki itu ...
*
"Belum tidur? Ada masalah?" tanya Arjuna basa-basi sambil memasuki kamar.
Caramel masih mengunci mulutnya rapat-rapat. Dia terlalu malas untuk menjawab pertanyaan Arjuna dan berbicara dengannya.
Arjuna menghela nafas. Ia pengen mencoba untuk memulai, memulai kehidupannya dengan Caramel. Rumah tangganya gak akan berjalan dengan baik kalo saling diem-dieman kayak gini.
"Mel, aku pengen bicara sebentar sama kamu." Arjuna mendekat dan duduk di pinggir kasur dekat dengan tempat Caramel duduk. "Khumairahku, dengarkan baik-baik."
Caramel masih bergeming. Walaupun demikian, wanita itu membuka kupingnya lebar-lebar untuk mendengarkan setiap kata yang bakal diucapkan suaminya itu. Tanpa menanggapi.
"Mel, aku tau pernikahan ini diawali dengan sesuatu yang bukan kita harapkan. Tanpa cinta. Bahkan kita juga gak saling kenal. Aku sangat tau kalo pernikahan ini bukan pernikahan yang kita inginkan. Tapi tolong, bekerjasamalah supaya pernikahan ini bisa berjalan dengan sebagaimana mestinya. Andaikata sepanjang jalan nanti ternyata kita gagal, kamu boleh menggugat cerai atas diriku. Dan aku bakal pastikan, gugatan ceraimu bakal lancar jaya."
Caramel berbalik. Sepasang matanya memandangi sosok Arjuna lekat-lekat. Dia yang tampan. Dia yang ... Arjuna sama sepertinya, gak menginginkan pernikahan ini. Tapi perceraian? Damn! Sekalipun dia gak pernah memikirkan soal itu, bahkan dari jauh-jauh hari!!
"Kamu boleh benci sama aku, Caramel. Sangat boleh. Itu hak kamu sebagai seorang pribadi. Tapi tolong jangan membenci pernikahan ini, dan aku harap, mulai sekarang ayo kita mulai kehidupan baru bersama-sama. Dan aku yakin, seiring berjalannya waktu, i'll make you fall in love with me dan aku pun bakal demikian ke kamu."
God
Caramel menghela nafas. Arjuna benar. Rumah tangganya gak bakal berjalan dengan baik kalo terus-terusan kayak gini. Saling diem-dieman dan tanpa komunikasi. Dengan catatan, bukan komunikasi soal gugat-menggugat cerai kayak yang dibilang Arjuna tadi ya. Tapi komunikasi dua arah antara dirinya dan Arjuna sebagai suami-istri dalam hal apapun.
"Okay," sahut Caramel akhirnya.
Arjuna langsung melengkungkan senyum terbaiknya begitu mendengar sahutan Caramel barusan. Dalam hatinya lelaki itu berharap pernikahannya bakal berjalan sesuai dengan sebagaimana mestinya. Dia yakin, memulai sebuah pernikahan dari sebuah perjodohan bukanlah hal yang buruk.
"Gimana kalo kita honeymoon, Mel? Kamu bebas nentuin mau kemana. Anggap aja sebagai permulaan supaya kita bisa saling kenal lebih dalam lagi."
Caramel memasang wajah seriusnya. Tatapannya menyiratkan ketidaksetujuan dengan ucapan Arjuna barusan. Bukannya dirinya pernah bilang gak ada honeymoon ya? And guess what? Yang dipandangi malah senyam-senyum gak jelas dengan wajah gak berdosa. Ngeselin kan?
"Harus banget honeymoon?" tanya Caramel jengah. "Bukannya gue udah pernah bilang gak bakal ada honeymoon?"
"Ayolah, Mel. This can't be a real honeymoon. I promise. Ini cuma sebagai ... Ya menurutku ini waktu yang tepat buat kita belajar untuk saling kenal. Toh kalopun emang kamu merasa keberatan, anggep aja ini hadiah dari aku karna kamu udah bersedia nikah sama aku. Atau simpelnya, anggap aja ini liburan. Refreshing ato semacamnya."
Mendengar perkataan Arjuna barusan mau gak mau bikin Caramel lagi-lagi harus menghela nafas.
"Gimana? Kamu mau bulan madu kemana? Bali, Amerika, atau kemana?" tanya Arjuna lembut. "Mau berapa hari? Sebulan?"
*
Caramel bergeming dan tubuhnya masih mematung. Ucapan Arjuna soal honeymoon dan pernikahan tadi masih terngiang di telinganya and she has no idea about it at all. Dia tau, gak ada satu pernikahan di belahan dunia manapun yang diawali tanpa kerikil. Setiap rumah tangga, siapapun itu, pasti bakal merasakan tajamnya kerikil-kerikil cobaan. Termasuk rumah tangganya dengan Arjuna.
Caramel memukul bantal yang daritadi dipeluknya. Dia jadi galau sendiri. Dia belum sepenuhnya move on dari cinta masa lalu, padahal purnama udah berganti bulan. Rasa sakit dan kecewanya ternyata gak selapang rasa cintanya pada Dave. Caramel tau, terus menahan rasa lamanya adalah sebuah kesalahan. Dan mencintai lelaki masa lalunya adalah kesalahan terindah yang pernah dilakukannya seumur hidupnya.
Tapi mau gak mau, suka gak suka, atau bahkan siap gak siap, Caramel harus memilih salah satunya. Melepaskan cinta dan luka lamanya atau menggenggam masa depannya yang baru aja dimulainya bersama Arjuna. Toh terkadang kita tak tahu kapan datangnya perpisahan, namun setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Dan ketika saat itu datang terkadang kita belum siap untuk menghadapinya.
Entahlah ..
"Mel?" tanya Arjuna pelan. Dia merasa bingung dengan perubahan sikap Caramel yang tetiba memukul bantal yang dipeluknya dengan gemas padahal dirinya masih ada di ruangan yang sama. "Kamu kenapa?"
Dengan kesadaran penuh Caramel menggeleng. Pipinya merona merah. Dia jadi malu sendiri. Jadi daritadi Arjuna masih memperhatikannya?
"Kamu mau kita bulan madu kemana?" tanya Arjuna sekali lagi. "Bali, Amerika, Australia, atau kemana? Biar bisa segera aku siapin akomodasinya, Mel."
"Jogja," sahut Caramel. "Jogja. Gue pengen ke Jogja."
"Oke."
*
Liam Payne Feat. Rita Ora - For You