Tawa canda kini menghiasi kedua insan yang saling jatuh cinta tersebut. Saling melepas rindu adalah cara terbaik yang mereka lakukan setelah lamanya tidak jumpa. Mungkin Satria adalah lelaki yang sedang merasakan sangat bahagia sekarang karena dapat melihat senyuman manis itu lagi. Senyuman yang baginya senyuman terindah ketiga setelah senyuman orang tuanya di dunia. Mereka tengah duduk di bangku Taman yang hanya terbuat dari kayu pohon.
Satria menatap gadis disampingnya dengan sangat lekat.
"Kau semakin cantik, Al." Pujinya jujur.
Alika yang mendengarnya pun tersipu. Terlihat jelas bahwa pipi gadis itu bersemu.
"Kau juga Satria, kau terlihat semakin dewasa dan gagah."
Satria tertawa hambar mendengar pujian dari kekasihnya itu. Ia merasa tak pantas mendapat kata-kata semanis itu dari seorang Alika, gadis cantik yang mampu memikat hatinya. Satria masihlah pengangguran yang belum bisa memproduksi sepeserpun uang dari keringatnya. Satria kadang berpikir, kenapa juga Alika mau padanya yang miskin dan pengangguran sementara Alika sendiri cukup berada dibandingkan Satria. Bahkan seharusnya Alika pantas mendapatkan lelaki yang kaya,mapan, dan tampan. Tak seperti dirinya yang tak becus dalam segala hal.
"Bagaimana kabar orang tuamu, Sat?"
"Mereka baik. Tapi ibuku cukup sakit sekarang."
"Benarkah? Astaga, sejak kapan? Sakitnya parah?"
Satria menggeleng lemas. "kami belum bisa memastikan ibu sakit apa, tapi kondisinya lemah sejak dua hari lalu."
Alika melihat kekasihnya itu menunduk dengan sangat dalam. Tangan Alika pun terulur untuk mengelus bahu lebar itu dengan lembut, berusaha menyalurkan kehangatan dan memberi kekuatan sebisanya.
"Aku takut, Al. Aku takut mereka pergi ketika aku belum bisa membahagiakan mereka." Lirih Satria dengan sangat dalam.
Alika pun ikut merasakan kesedihan itu secara natural. Selama ini yang ia tahu Satria adalah lelaki yang kuat dan pantang menyerah meskipun belum punya pengalaman apa-apa. Alika hanya yakin jika suatu saat nanti Satria pasti akan menemukan kehidupannya yang sebenarnya.
"Ah, apa-apaan aku ini ya haha. Malah merusak pertemuan pertama kita." Gurau Satria sambil berusaha tersenyum walau itu menyakitkan.
Alika hanya menatapnya nanar. "Tidak apa-apa, aku mengerti."
Hening sesaat.
"Sat?"
"Hm?" Satria setengah menoleh pada Alika yang duduk disampingnya dengan anggun.
"Aku yakin kamu pasti bisa."
Satria tersenyum hangat melihat sang pujaan hatinya sedang menyemangati dirinya. "Makasih banyak, Al. Aku janji akan membahagiakan kamu dan keluargaku kelak. Tunggu aku ya, Al."
Alika merasa panas dimatanya. Untungnya Satria dengan cepat mengadahkan pandangannya ke langit jadi tidak melihat bagaimana mata indah itu meluncurkan setetes air mata yang sulit diartikan.
Aku selalu berdoa untukmu, Sat.
~~
Keesokan harinya..
Satria merasa ada sesuatu yang menggerayangi kedua lengannya. Hal itu cukup mengusik tidurnya. Awalnya Satria enggan untuk membuka matanya karena kantuk. Namun semakin lama semakin terasa geli seolah orang itu sengaja membuatnya bangun.
"Apa sih?!"
Satria langsung membuka matanya lebar-lebar dan melihat dua orang berbadan tinggi besar sedang duduk disamping kiri dan kanannya. Jangan tanya lagi siapa yang sudah menggelitik lengannya tadi.
"Hey! Siapa kalian?!" Bentaknya.
Jujur saja, selain merasa was-was pada dua orang asing berpakaian serba hitam itu, Satria juga kesal jika ada orang yang berani mengganggu tidurnya. Tak terkecuali jika ayah atau ibunya sendiri yang kadang turun tangan dalam membangunkan Satria. Yah, setidaknya Satria bisa memendam kekesalan itu pada kedua orang tuanya.
"Jawab aku! Jangan diam saja!"
"Maaf mengganggu Tuan, tapi ini perintah."
Tanpa aba-aba bahkan tanpa menunggu persetujuan apapun, kedua orang itu segera menarik tangan Satria dan menyeretnya keluar. Tentunya lelaki itu tak tinggal diam. Berulang kali ia mencoba berontak tapi tetap saja badan kedua orang tadi lebih besar dari lebih kuat darinya yang kurus.
"Hey! Kubilang lepaskan! Dengar tidak?!"
Kedua orang itu baru melepaskan lengan Satria saat Herman, ayah Satria baru keluar dari kamarnya. Herman menatap anak semata wayangnya itu dengan tatapan sulit diartikan. Kerap beberapa kali Satria mendengar helaan nafas berat dari Herman.
"Kondisi ibu semakin parah,nak. Bapak tidak tahu harus berbuat apa lagi. Ibumu mengeluh sakit perut dan pinggang yang parah pagi ini."
Hati seorang anak pasti sangat sakit mendengar ibu kandungnya sendiri tengah menderita. Satria merasa kedua kakinya tidak mampu menopang tubuhnya lagi. Seolah semua tenaga itu pergi secepat kilat. Tanpa basa-basi lagi, Satria ingin memastikan sendiri kondisi ibunya. Tentu saja langkahnya itu diikuti dengan setia oleh dua orang berbadan besar dan berpakaian serba hitam tadi. Bahkan Satria sendiri tidak tahu muncul dari mana kedua preman itu.
Hati Satria mencelos ketika sampai di kamar orang tuanya. Wanita yang sudah melahirkan dan membesarkannya itu tengah meringis kesakitan diatas kasur yang sudah lapuk. Rintihan dari ibunya terdengar memilukan hati siapa saja yang mendengarnya. Demi Tuhan, Satria rasanya ingin terjun ke jurang saja daripada melihat orang yang begitu ia cintai menderita kesakitan seorang diri tanpa bisa dibagi. Perlahan Satria melangkah mendekati ibunya.
"Bu." Lirihnya.
Satria tersenyum kecut ketika Yuni langsung tersenyum mendapati kehadirannya. Hatinya semakin sakit ketika Yuni berusaha mendudukkan diri dengan senyuman. Padahal Satria tahu, semua itu sangat menyakitkan. Seketika rintihan memilukan itu tergantikan oleh senyuman palsu dari Yuni, ibu Satria.
"Nak, kamu sudah sarapan? Ayo sarapan bareng yuk!"
Yuni hendak bangun dari kasur namun dengan cepat Satria menahannya. Ia tak kuat lagi melihat sandiwara ibunya itu. Dan begitu terkejutnya Yuni melihat linangan Air mata diwajah putra tercintanya.
"Satria, kamu menangis nak?"
Satria tak menjawab. Yuni pun sigap mengusap air mata itu. Tangis Satria malah semakin kencang. Bahkan jika dilihat sekarang Satria sudah seperti anak lima tahun yang tidak dibelikan permen. Herman hanya bisa memperhatikan tingkah laku putranya dengan istrinya dari ambang pintu kamar beserta kedua orang tadi.
"Ibu harus ke rumah sakit." Kata Satria menyudahi tangisannya.
Yuni jadi menatapnya sendu. Tangan kurus yang tak lagi mulus itu mengelus puncak kepalanya.
"Gak usah pikirkan ibu, Satria. Kamu cukup terus belajar dan cari pengalaman saja. Ibu baik-baik saja kok."
Satria mengeraskan rahangnya. Mendengar kalimat itu sungguh membuatnya marah.
"Apanya yang baik-baik saja Bu?! Ibu tau tidak kalau Satria dan Bapak itu khawatir! Jangan pernah bicara seolah ibu baik-baik saja!" Ucap Satria yang sedikit membentak.
"Satria-"
"Aku benci melihat ibu yang berpura-pura baik-baik saja!"
"Satria!"
Satria tak mengindahkan teriakan ibunya yang memanggil namanya. Ia terus berjalan cepat keluar rumah. Yang ia butuhkan adalah menenangkan pikirannya. Ia sungguh tak sanggup melihat ibunya menderita. Entah bagaimana caranya agar sang ibu tidak menderita lagi ketika Satria sendiri belum bisa apa-apa. Menyedihkan.
Langkah Satria terhenti didepan pintu rumahnya ketika mendengar suara itu lagi. Suara yang sangat ia benci seumur hidupnya. Pertama kalinya Satria membenci suara ibunya sendiri jika bukan karena rintihan kesakitan.
"Satria! Ibu kamu-"
Dengan cepat Satria menoleh ketika mendengar teriakan bapaknya.
Saat itu juga, ingin rasanya Satria menghilang dari dunia. Jantungnya seakan berhenti berdetak dan dunianya seolah berputar drastis.
Satria hanya ingin berlari dan merengkuh tubuh tua itu lalu membawanya ke tempat manapun yang bisa mengembalikan semua keadaan hidupnya seperti semula.
"Bu, sadar Bu! Ini Satria! Satria gak jadi pergi,Bu!"
Satria terus mengguncangkan tubuh ibunya yang tak sadarkan diri. Herman pun khawatir bukan main tentunya. Apalagi melihat putra semata wayangnya menangis sambil memangku tubuh rengkuh istrinya yang tampak lemah tak berdaya. Membuat perasaan bersalah itu semakin menyeruak keluar. Dua orang berpakaian hitam itu pun saling menatap satu sama lain sebelum akhirnya salah satu dari mereka mengangguk. Mereka seolah bicara melalui ikatan batin.
Herman menepuk punggung Satria. "Ayo bawa ibumu ke kamar, ibu pasti ingin istirahat." Ucapnya lembut.
"Tidak bisa Pak Herman, kami harus segera membawanya ke rumah sakit." Tegas salah seorang pria berpakaian serba hitam tadi.
"Tapi-"
"Mobil sudah kami siapkan!"
Satria sudah berhenti menangis, ia menatap Bapak kandungnya dengan tatapan bingung. Akhirnya Herman hanya bisa menghela nafas lalu mengangguk setuju. Lalu mereka pun segera membawa Yuni ke rumah sakit, sesuai perintah dari dua orang asing itu.
Walau sebenarnya Satria sendiri tidak tahu dan sedikit curiga dengan dua orang itu, tapi keputusan untuk membawa ibunya ke rumah sakit adalah tepat. Hal itu juga mengurangi sedikit kecurigaannya. Semoga saja dua orang itu benar-benar memiliki niat baik membantu ibunya.
~~
Di ruangannya, Tuan Badra hanya duduk di kursi kesayangannya sambil menatap kosong ke arah layar laptopnya. Jemari tangannya tak tinggal diam, ia malah mengetuk-ngetuk kelima jarinya diatas meja. Raut wajahnya yang tegas sudah sedikit meluruh akibat lipatan demi lipatan diwajahnya. Juga rambutnya yang sudah tak hitam semua. Tuan Badra sadar jika dirinya semakin tua. Ia pun merasa semakin yakin untuk memaksa putri bungsunya segera menikah sebelum warna putih dirambutnya semakin meluas memakan warna hitam.
Tuan Badra menghela nafasnya. Ditangannya kini sudah ada selembar kertas berisi informasi tentang data pribadi seseorang. Marvel lah yang mengantar berkas penting itu tadi dan Tuan Badra baru membacanya sekarang. Entahlah, ia hanya butuh waktu untuk menerima informasi terkait tentang pernikahan putrinya.
Setelah puas membaca habis tulisan demi tulisan di kertas itu, Tuan Badra pun menelpon seseorang.
"Minta Marvel datang ke ruangan ku sekarang."
Setelah itu Tuan Badra menutup telponnya secara sepihak. Hanya butuh waktu sebentar untuk bisa melihat Marvel masuk ke ruangan pribadinya.
"Tuan memanggil saya?"
"Ya. Duduklah." Tuan Badra menunjuk kursi didepannya dengan dagu.
Marvel pun menuruti perintah. Walau sudah menjadi pelayan setia di rumah Tuan Badra selama belasan tahun dan Marvel pun sudah hafal dengan watak Tuannya, tetap saja duduk dihadapan Tuan Badra seperti ini adalah hal paling menegangkan untuk Marvel. Apalagi hanya ada mereka berdua di ruangan keramat majikannya itu. Tuan Badra tidak akan membiarkan orang lain masuk ke ruangannya hanya untuk mengobrol biasa. Biasanya Tuan Badra akan menggunakan halaman belakang rumah untuk sekedar mengobrol biasa sekalipun itu dengan putri-putrinya. Jika ia memutuskan mengobrol di ruangannya, maka itu adalah sesuatu yang sangat penting dan rahasia.
Hal itulah yang membuat Marvel tegang bukan main.
Tuan Badra menyodorkan selembar kertas putih yang sudah tercoret banyak tinta hitam diatasnya. "Dia bukan bangsaku." Ucapnya dingin.
Marvel sudah tahu itu. "Saya tahu,Tuan."
"Lalu?"
"Begini Tuan, Mariposa putri anda begitu tertarik saat melihat lelaki itu untuk pertama kalinya. Saya hanya menjalani perintah dari anda, Tuan." Jelas Marvel dengan penuh hati-hati.
"Dengan kau memberi berkas ini padaku, kau meminta ku untuk menyumbang kepada mereka?"
"Tentu tidak, Tuan. Data itu memang data yang sangat pribadi milik seseorang dan kita tidak berhak mengetahui bahkan membacanya tanpa seizin pemiliknya sendiri. Tetapi itu yang diinginkan putri anda, Tuan."
Terdengar helaan nafas dari lawan bicara Marvel. Lelaki muda itu tidak merasa ada yang salah atas ucapannya. Ia hanya menyampaikan apa yang seharusnya ia sampaikan.
Melihat wajah Tuannya yang begitu frustasi membuat Marvel sedikit merasa bersalah karena tidak mencoba mengingatkan Mariposa terlebih dahulu saat gadis itu menentukan pilihannya. Karena lelaki bernama Satria itu memang jauh dari kata elit. Bahkan jika dibandingkan dengan Marvel, masih bagus Marvel jika dilihat dari penampilannya walau Marvel hanya seorang pelayan sekaligus asisten keluarga Parviz.
"Tuan, maaf jika saya lancang tapi bukankah Anda setuju jika itu hal yang menyangkut putri anda? Ini juga bisa demi kebaikannya, Tuan."
"Tapi bagaimana bisa aku memberikan putri ku begitu saja kepada orang itu? Meskipun aku kaya akan harta tetapi anakku tidak mungkin memakan hasil dariku terus apalagi jika sudah menikah. Suaminya lah yang harus memberi makan."
Tuan Badra tampak memijat pelipisnya. Tentunya sangat berat melepas putri bungsunya itu pada orang yang salah. Apalagi melepasnya pada orang yang jelas sangat tidak bisa dipercaya. Pria tua itu pun tak habis pikir dengan pilihan putrinya.
"Baiklah, karena sangat berat dan beresiko pernikahan tetap dilaksanakan dengan syarat."
~~
Satria duduk termenung di kursi penunggu. Ia tak sendirian, ada Herman disampingnya. Kedua lelaki itu tampak berkutat dengan pikiran dan batinnya masing-masing. Menunggu bagaimana kabar keadaan Yuni didalam sana yang mungkin sedang berjuang melawan takdir.
"Satria." Panggil Herman guna membangunkan Satria dari lamunannya.
Satria pun menoleh. "Iya, Pak?"
"Banyak berdoa ya, nak. Semoga ibu kamu baik-baik saja."
"Pasti pak, dia juga istri Bapak." Satria tersenyum kecil. Berusaha menghibur diri dan bapaknya.
Tiba-tiba pintu itu terbuka. Dokter keluar sambil berusaha merapikan kacamatanya. Sontak Satria dan Herman pun langsung berdiri didepan dokter dengan penuh penasaran.
"Bagaimana istri saya, Dok?"
Dokter tersenyum kecil. "Saat ini kondisinya sudah stabil."
"Syukurlah!"
Satria langsung bisa bernafas lega.
"Tapi untuk lebih jelasnya Bapak bisa ikut ke ruangan saya." Tambah Dokter itu.
Herman memandang putranya sejenak. Setelah mendapat anggukan dari Satria, barulah Herman mengikuti jejak dokter itu. Satria kembali duduk sambil terus merapalkan rasa syukur karena Tuhan tak langsung mengambil ibunya hari ini juga.
Seorang pria berpakaian serba hitam yang mengikutinya sejak tadi pun tiba-tiba duduk disebelah Satria.
"Tuan muda Satria?"
Satria menoleh dan langsung memasang wajah terkejut. Karena terlalu larut dalam kecemasan, Satria sampai tidak sadar bahwa dua orang tadi masih setia mengikuti bahkan menunggunya. Satria bahkan lupa jika merekalah yang mengantarkan ibunya ke rumah sakit.
"Kami bukan orang jahat, Tuan muda Satria." Seolah peka dengan raut wajah Satria, Lelaki bernama Ahmad itu tersenyum kecil.
"Tuan?"
"Benar, Tuan muda Satria. Kami orang-orang yang diutus oleh Tuan Badra untuk menemui dan membawa anda ke rumah kami." Jelas Ahmad.
"Jika anda tidak percaya maka saya akan memperkenalkan diri. Nama saya Ahmad dan rekan saya Rudi. Kami berdua orang yang dipercaya oleh Tuan Badra untuk membawa anda ke rumah."
Satria melongo. Dalam hatinya ia merasa bahwa lelaki bernama Ahmad itu sedang bercanda. Padahal Satria sedang tidak ingin diajak bercanda oleh siapapun. Walau ibunya sudah dinyatakan baik-baik saja, Satria masih merasa ini semua sangat berat untuknya.
"Jika Tuan muda tidak keberatan, saya akan mengantar anda kapanpun anda siap." Ahmad kembali berucap.
Satria memandang Ahmda dengan jengah.
"Hey utusan Tuan Barda atau apalah itu, dengar ya! Aku sedang tidak ingin bermain pura-pura akting atau semacamnya dan terlebih aku tidak mengenalmu. Jadi enyah saja kau!" Tegas Satria.
Ahmad memandang rekannya, Rudi.
"Begini Tuan muda, kami siap-"
"Berhenti memanggilku 'Tuan muda', Brengsek! Lebih baik kalian pulang dan mengadu pada Tuan kalian itu. Kalian tidak membantu sama sekali!" Ketus Satria.
Lalu Satria memutuskan untuk masuk melihat kondisi Yuni. Tapi baru selangkah maju, Herman datang dengan tergopoh-gopoh. Raut wajah pria tua itu tampak ketakutan. Bahkan Satria baru sadar jika keriput diwajah itu sudah sangat banyak dan sangat terlihat jelas.
"Satria!" Panggil Herman.
"Kenapa Bapak lari-lari seperti itu? Nanti Bapak bisa lelah." Ucap Satria.
Satria pun mengajak Herman duduk untuk mengatur nafasnya.
"Ada apa, Pak?"
Herman tiba-tiba saja merubah raut wajahnya menjadi sedih. Ia pun langsung memegang tangan Satria dan menggenggamnya kuat. Berusaha menyalurkan kekuatan yang ia punya. Herman bahkan tidak tahu bagaimana cara menyampaikan berita besar bagi keluarganya itu. Sementara Satria terheran-heran sendiri sambil menunggu Bapaknya siap berbicara.
Namun Herman malah melamun sambil memandang lurus ke depan.
"Pak?"
"Satria, ibumu.."
"Kenapa, Pak? Ada apa dengan ibu?" Tanya Satria dengan tak sabaran.
Herman memandang Satria dengan tatapan bersalah. Herman pun menarik nafas berat.
"Ibu mengalami gagal ginjal."
.
.
Bersambung..