Disinilah Satria sekarang. Ia memandang rumah besar nan megah yang ada didepannya dengan perasaan takjub. Seumur hidupnya baru kali ini Satria melihat ada rumah sebesar itu. Bahkan rumah Alika yang menurut Satria sudah megah saja masih tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rumah didepannya. Sekeliling rumah itu dibatasi dengan pagar tembok yang tingginya sekitar satu meter dan halamannya dihiasi dengan berbagai macam tanaman. Rumah itu tampak asri dan sejuk namun tak menghilangkan kesan mewah dari ornamen-ornamen yang ada.
Satria melihat ada dua penjaga didepan gerbang dan dua penjaga di depan pintu masuk. Mereka berpakaian sama seperti Ahmad dan Rudi.
Ini rumah udah kayak lapas, banyak penjaga dimana-mana.
"Lewat sini, Tuan." Sahut Ahmad sambil menunjuk jalan untuk masuk. Ke dalam rumah.
Satria pun mengikuti jejak Ahmad. Sesampainya di dalam rumah besar itu, Satria seperti dihipnotis oleh isi rumah yang tampak modern itu. Bagaimana bisa seseorang memiliki rumah dengan isi yang luar biasa?
Ahmad tiba-tiba menghilang. Satria menggunakan kesempatan kosong itu untuk melihat-lihat. Mulai dari pajangan yang ada di dalam lemari kaca,Gucci besar yang ada di tiap sudut rumah, dan juga foto-foto yang terpanjang rapi di dinding. Semua sangat mengagumkan bagi Satria.
Puas melihat-lihat, Satria berniat untuk berkeliling ke ruangan lain sekalian mencari Ahmad. Tapi begitu kepalanya mendongak, matanya menangkap sosok perempuan yang berdiri di balkon lantai dua. Perempuan itu juga kebetulan sedang menatapnya. Entah hanya perasaan atau memang kenyataan, Satria merasa perempuan itu seperti ingin tersenyum padanya.
Baru saja kakinya ingin melangkah untuk menghampiri perempuan itu, Ahmad tiba-tiba muncul dan memberinya perintah lain.
"Tuan Badra memintamu menunggu di taman belakang." Ucap Ahmad.
Satria mengangguk lalu segera mengikuti Ahmad lagi. Sebelum benar-benar pergi, Satria sempat melirikkan matanya ke atas hanya untuk memastikan gadis tadi. Tapi nyatanya gadis itu langsung hilang setelah Ahmad datang.
"Ahmad." Panggil Satria.
"Iya?"
"Sebenarnya siapa Tuan Badra itu?"
Langkah Ahmad terhenti. Ia pun menatap Satria.
"Nanti kau akan tahu dia siapa. Aku tidak bisa memberitahumu sekarang karena semua belum pasti."
"Kenapa? Apa yang belum pasti?" Tanya Satria penuh penasaran.
"Semua keputusan ada ditangan mu, Tuan muda."
**
BRUK BRUK BRUK
BRAK
"MARVEL! AKU TIDAK PERCAYA INI!"
Marvel terlonjak kaget ketika seseorang masuk ke ruangannya dengan tiba-tiba dan membuat kegaduhan. Ditatapnya gadis yang tengah berdiri di ambang pintu dengan mata bulat berbinar itu.
"Tak biasanya kau masuk tanpa mengetuk dulu, Nona." Desis Marvel.
"Uhm, maaf. Lagian kau kan pengawalku jadi harusnya aku tak usah segan padamu, hehe."
Marvel tersenyum miring. "Bukankah dari dulu kau selalu menolak untuk tak segan padaku?"
"Lupakan itu, Marvel. Kau harus tau berita besar ini!" Pekik Mariposa.
Mariposa pun menutup pintu dan langsung berlompat-lompat kegirangan.
"Kau tau tidak?! Lelaki itu ada disini sekarang! Lelaki itu Marvel! Lelaki yang aku inginkan!" Pekik Mariposa.
Bahkan Marvel sendiri tak percaya dengan reaksi berlebihan Mariposa. Tak pernah dibayangkan sebelumnya, seorang nona kecil yang ia rawat sejak dirinya masih remaja akan kegirangan seperti ini hanya karena kedatangan seorang tamu orang biasa. Berbeda dengan kedatangan Angga yang jelas-jelas lebih terlihat kekayaannya, malah ditolak mentah-mentah oleh Mariposa. Padahal selama ini Mariposa selalu menyukai hal-hal yang berbau mewah dan elegan. Tapi untuk urusan lelaki, tampaknya Mariposa juga punya karakteristik tersendiri yang tak harus sesuai dengan derajatnya.
"Marvel! Kau dengar aku tidak?! Kenapa malah bengong?"
Marvel terhenyak. "Tentu, suaramu itu sangat berisik. Bahkan siapa saja bisa mendengarnya." Ucap Marvel asal.
Mariposa langsung menutup mulut dengan kedua tangannya. "Benarkah? Apa lelaki itu juga mendengarnya ya? Aku jadi malu."
"Ck! Kau sudah seperti orang yang jatuh cinta sungguhan."
"Memang sungguhan."
"Lalu kenapa tidak menemuinya langsung sana?"
"Tidak, sepertinya ayah mengundangnya kesini. Jadi dia akan bertemu dengan ayah. Aku juga masih belum siap bertatapan langsung dengannya. Tapi tadi dia melihatku! dan kau tau apa? matanya begitu tajam dan dalam, sangat mempesona! Kyaa!"
Marvel hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan Mariposa.
"aku mengerti nona manis, kau sedang jatuh cinta tapi-"
"aku tidak percaya dia akan datang ke rumah ini, Marvel! aku sangat berterimakasih!"
Mariposa memeluk Marvel dengan erat. gadis itu benar-benar senang dan sangat berterimakasih kepada orang yang telah mengundang lelaki bernama Satria ke rumah besarnya.
Marvel merasa sesak karena pelukan yang begitu erat. sambil tersenyum kecil, Marvel melepaskan pelukannya dengan lembut. ditatapnya wajah Mariposa yang begitu merona merah karena tak henti-hentinya tersenyum dan juga binaran di mata indah itu. ditangkupnya wajah gadis yang sudah ia anggap seperti adik sendiri itu dengan kedua tangan besarnya. Mariposa sangatlah cantik dan imut.
"sudah lama aku tidak melihat senyummu yang seperti ini." kata Marvel tulus.
"benarkah? aku juga merasa begitu. dan Marvel, terimakasih karena telah membawa lelaki itu kesini."
Marvel melepas tangannya dari wajah Mariposa lalu menghela nafas. "kau harus berterimakasih kepada dua pengawal yang membawanya kesini, bukan aku. dan jika mau kau bisa lakukan itu nanti ya, adik manis.. karena aku banyak kerjaan."
pernyataan itu langsung mengubah raut wajah Mariposa. gadis itu langsung menekuk wajahnya.
"baiklah, sampai jumpa." lirih Mariposa sambil berjalan gontai keluar kamar Marvel.
setelah menutup kembali pintu kamar dengan rapat, Mariposa berniat ke dapur untuk mengambil minum. sebenarnya bisa saja ia menyuruh para pelayan rumahnya untuk mengambilkan minum. tapi ada tujuan lain yang terselip dibalik mengambil minum itu sendiri. kebetulan letak dapur dekat dengan taman halaman belakang. dari dapur, Mariposa juga bisa melihat langsung ke taman belakang rumahnya melalui jendela kaca besar yang membatasi.
Mariposa pun berjalan mengendap-endap ke dapur yang untungnya sedang sepi. tak melupakan tujuan pertamanya, Mariposa segera menuangkan air ke gelas. tak lupa juga ia melakukannya sambil mengintip ke arah luar dimana taman halaman belakangnya.
"kenapa tidak ada siapapun disana? bukankah ayah selalu mengajak tamunya duduk disana?" gumam Mariposa.
setelah gelas itu penuh, Mariposa berniat membawanya ke kamar. dengan perasaan kecewa Mariposa berjalan ke kamarnya. ia kesal karena tidak dapat bonus penglihatan. padahal Mariposa mendengar dengan jelas bahwa Ahmad menyuruh lelaki itu ke taman halangan belakang.
BRUK
Byurrr
Mariposa membuka mulut dan matanya cukup lebar saat air di gelas yang ia bawa tumpah dan mengenai...
Satria?
Ya, orang yang sedang dicari Mariposa kini berada tepat didepannya dengan jarak sangat dekat. Bahkan mereka baru saja bertubrukan.
"Kamu!" Tunjuk Mariposa tepat didepan wajah lelaki itu.
Tak mengindahkan sahutan Mariposa, Satria justru fokus ke bajunya yang basah. Sebenarnya bukan hanya baju Satria yang basah, dress yang dikenakan Mariposa juga basah. Namun tak sebanyak di baju Satria. Jadi bisa dibilang sebagian besar air minum itu lebih memilih tumpah ke baju Satria dibandingkan tumpah ke dress mahal yang dikenakan Mariposa.
Bahkan air pun tak berpihak pada Satria.
"Ah, maaf.." ucap Mariposa tulus sambil menahan malu.
Satria tak membalas. Lelaki itu malah menatap Mariposa tajam sambil mendengus. Mariposa dibuat menunduk takut karena tatapan itu.
"Bajumu-"
"Tidak apa, permisi." Balas Satria singkat.
Demi Tuhan, mendengar suaranya saja sudah mampu membuat hati Mariposa berdebar tak mengenal kadar. Jantungnya seakan mau meledak saat itu juga. Tapi Mariposa harus mampu menahan rasa senangnya apalagi dihadapan lelaki asing yang akan menjadi suaminya itu.
Satria pamit lalu langsung berbalik badan berjalan menjauh. Tapi tentu tidak mudah pergi dari hadapan gadis itu. Satria terpaksa memundurkan langkahnya lalu berbalik saat tangannya ditarik paksa.
"Apa?" Tanya Satria dengan dingin.
"Bajumu basah"
"Lalu? Apa urusannya denganmu?"
"Tentu itu urusanku karena kau kan calon sua-"
"Apa?"
Mariposa menutup mulutnya rapat. Hampir saja ia asal bicara. Satria kini menatapnya bingung.
Pasti dia sudah mengira aku itu gadis yang aneh.
"Maksudku, karena aku yang menyebabkan bajumu basah."
Mariposa tertawa garing. Dan hanya dibalas tatapan dingin oleh Satria. Sial memang. Ditatap seperti itu saja bagi Mariposa sudah lebih dari cukup.
"Tidak apa, sudah biasa."
"Kau tidak bisa pergi dengan baju seperti itu." Mariposa kembali menghentikan niat Satria untuk langsung melangkah pergi.
"Tidak apa, Nona. Lagian rumahku-"
"Ayo, ku antar kau ke kamarku."
Tanpa persetujuan dan tanpa bertanya, Mariposa langsung menggandeng lengan Satria dengan erat. Tanpa sungkan dan tanpa ada rasa malu. Yang ada hanyalah perasaan mendebarkan.
Mariposa tidak ingin debaran dijantungnya itu berhenti.
Jadi seperti ini rasanya jatuh cinta?
~~
Mariposa hanya bisa mondar-mandir didepan kamarnya sendiri sambil terus mengigit ibu jarinya sambil membayangkan bagaimana lelaki bernama Satria itu berganti baju di dalam kamarnya. Mariposa sesekali terkekeh geli. Bagaimana bisa dia jatuh cinta dengan mudahnya pada lelaki yang jauh dari kata hebat. Mungkin inilah yang dinamakan 'cinta itu buta".
"Sedang apa nona?" Tanya Marvel yang baru saja lewat.
"Marvel!"
"Bagaimana dengan lelaki itu? Kau sudah melihatnya hari ini?"
"Lebih menakjubkan dari itu! Aku bahkan berhasil memasukkannya ke dalam kamarku." Pekik Mariposa.
"Apa?! Jadi maksudmu dia sekarang ada di kamarmu?"
Mariposa mengangguk. Lantas Marvel langsung menepuk jidatnya sendiri.
"Astaga! Bagaimana bisa kau memasukkan seorang lelaki ke dalam kamar seorang gadis?"
"Uhm, lagipula dia kan calon suamiku" jawab Mariposa dengan yakin.
Marvel terkekeh. "Kau sudah yakin jika ayahmu akan menerimanya?"
"Jika tidak, aku akan masuk sekarang juga ke kamarku agar dia setuju" ucap Mariposa dengan mantap.
Marvel hanya melongo mendengarnya. Wajah Mariposa pun terlihat sangat yakin saat mengatakannya. Bagaimana bisa gadis kecil yang selalu manja padanya bisa jadi sedewasa ini?
"Haha, kau sangat lucu!" Puji Marvel.
"Baiklah, lanjutkan saja pekerjaanmu nona kecil"
Marvel mengusap lembut rambut Mariposa sebelum pergi. Seperti itulah Marvel, selalu mendukung Mariposa. Marvel tak pernah bosan memperlakukan gadis itu dengan sangat lembut hingga membuat Mariposa tak sanggup jauh darinya. Mungkin alangkah baiknya jika Marvel yang menjadi suami Mariposa kelak. Toh, tidak ada yang perlu di tes lagi dari Marvel. Lelaki itu sudah lolos uji tes tentang segala hal yang menyangkut Mariposa. Tapi sayangnya kedua manusia itu tidak saling memiliki perasaan khusus selain perasaan sebagai adik dan kakak walau mereka tak sedarah.
Ceklek
Pintu kamar akhirnya terbuka. Mariposa menatap takjub sosok yang perlahan muncul dari balik pintu. Bak adegan di drama-drama, sosok Satria sangat bercahaya dan mempesona ketika mengenakan sweater rajut milik Mariposa yang tampak pas di badan Satria. Padahal sweater itu sedikit kebesaran dibadannya sendiri.

"Yaampun.." gumam Mariposa tanpa sadar.
Satria berdiri dengan canggung. Ia menggaruk lehernya yang tak gatal saat ditatap dalam oleh seorang gadis dihadapannya.
"Kau bisa memilikinya jika mau." Ucap Mariposa.
Satria hanya diam karena bingung harus merespon bagaimana. Diperlakukan sebaik itu oleh Mariposa hanya membuatnya semakin tidak enak dan canggung.
"Maaf, tapi kurasa ini agak berlebihan. Mungkin aku akan ganti lagi dengan kaos ku." Ucap Satria sambil melenggang masuk ke kamar.
Tapi Mariposa keburu menahan pintunya agar tidak tertutup rapat.
"Tidak perlu. Kau sangat cocok dengan baju itu."
Satria berusaha bersikap acuh sambil menganggukkan kepala.
"Baiklah. Terimakasih." Kata Satria.
Lalu ia berniat langsung pergi dari rumah besar itu. Tapi lagi-lagi Mariposa berusaha menahannya agar lebih lama berada di tempat itu.
"Kau mau langsung pergi?" Tanya Mariposa sambil menghadang jalan Satria.
Satria memejamkan mata sambil mengangguk. Gadis itu tampak sangat menyebalkan.
"Permisi, Nona. Aku masih punya urusan penting." Tegas Satria sambil menatap Mariposa tajam.
Dan tampaknya ia berhasil membuat Mariposa sedikit ketakutan. Gadis itu mundur perlahan sambil menunduk. Lalu Mariposa terpaksa menganggukkan kepalanya dan membiarkan Satria pergi. Pada akhirnya ia belum bisa memaksakan kehendak lelaki itu. Ya, belum. Ini masih awal dan mereka masihlah berada dalan status orang asing.
"Baju itu tampak sangat menggemaskan dipakai olehnya." Gumam Mariposa sambil menatap punggung yang perlahan pergi menjauh.
Alangkah inginnya ia bisa memeluk dan bersandar pada bahu lebar itu. Namun belum waktunya Mariposa bisa dekat dengan Satria. Mariposa hanya bisa menunggu waktunya tiba. Waktu dimana Satria menjadi miliknya seutuhnya. Hanya miliknya.
~~
Waktu terus berjalan. Tak terasa sudah seminggu berlalu semenjak Satria menginjakkan kakinya di rumah besar milik Tuan Badra. Banyak perubahan dari dirinya semenjak pulang dari kediaman Tuan Badra. Apalagi setelah ia bertemu dengan putri bungsunya. Satria jadi lebih sering melamun dan memikirkan hal-hal yang akan mengubah hidupnya. Tak lupa ia pun selalu menjaga ibunya yang terbaring di rumah sakit bergantian dengan Herman.
Walau kadang ada sedikit kesalahan-kesalahan kecil yang tak sengaja ia lakukan saat sedang menjaga ibunya. Contohnya seperti saat ini, Satria tengah menyuapi ibunya dengan semangkuk bubur.
"Nak, buburnya bisa tumpah." Sahut Yuni.
Yuni merasa gemas melihat Satria hanya mendiamkan sendok berisi bubur di udara. Belum lagi tangan satunya yang memegang mangkuk bubur yang tampak miring dan mau tumpah. Yuni merasa cemas dengan kondisi Satria akhir-akhir ini.
"Satria, kamu kenapa?"
Yuni meletakkan kembali sendok itu beserta mangkuknya diatas nakas kecil samping ranjang. Barulah Satria tersadar dari lamunannya.
"Kenapa diambil buburnya? Ibu kan baru makan sedikit" protes Satria alih-alih mengambil mangkuknya kembali.
Namun Yuni menahan tangannya.
"Kamu kenapa Satria? Akhir-akhir ini kamu sering melamun. Ada masalah apa?" Tanya Yuni lembut.
Satria menatap mata sayu itu dengan sendu. Ia menghela nafasnya gusar. Tak kuasa melihat wajah pucat dan lesu ibunya. Bahkan semakin hari ibunya terlihat semakin lemah. Belum lagi ia harus mendengar erangan penuh kesakitan yang tiap malam terdengar. Membuatnya terpaksa memanggil dokter untuk menghentikan nyeri yang dirasakan Yuni. Satria sungguh tidak tega berada di situasi seperti ini.
"Bu, Satria pengen ibu sembuh." Lirih Satria.
Yuni tersenyum lemah seraya meraih tangan Satria lalu digenggam.
"Bapak juga bilang seperti itu."
"Satria bingung, Bu." Satria meremas kecil tangan Yuni.
Tampak sekali ia sangat gelisah dan kacau. Yuni sadar akan hal itu. Bahkan Satria selalu pura-pura tidur di malam hari padahal Yuni tahu putranya tidak benar-benar tertidur. Lihat saja bagaimana kantung mata hitam itu bisa terbentuk.
"Bingung kenapa?" Tanya Yuni lembut.
Satria mendongak menatap ibunya. Seketika ia baru sadar apa yang telah ia ucapkan. Kemudian Satria menggeleng sambil tersenyum kecil.
"Gapapa, Bu."
Ya Tuhan, aku ingin ibu sembuh tapi aku tidak mau mengkhianati Alika..
Satria merasakan tangan ibunya terlepas dari genggamannya. Kini terlihat Yuni yang tampak meringis berusaha menahan rasa sakit di pinggangnya.
"Ibu kenapa? Bu? Sakit lagi ya?"
Yuni tak menjawab. Wanita itu sibuk meringis bahkan ia tak kuasa lagi menahan jeritan penuh kesakitannya. Satria semakin cemas. Ia pun segera memencet tombol darurat untuk memanggil dokter.
Terlalu panik Satria sampai tidak menyadari jika dirinya menangis sambil terus berusaha menyemangati ibunya. Tak lama dokter pun datang bersama beberapa perawat lainnya.
Satria mundur membiarkan dokter itu menangani sang ibu. Kini ia hanya bisa menangis terisak menyaksikan kesakitan yang selalu menggerogoti tubuh ibu kandungnya. Ia tahu, kondisi sang ibu semakin parah seiring berjalannya waktu.
Setelah memberi obat pereda rasa sakit pada pasiennya, dokter menghampiri Satria yang baru saja berhenti menangis.
"Rasa sakitnya jadi sering muncul bahkan bisa di waktu yang tak terduga." Ucap Dokter mengawali percakapan mereka.
"Tapi ibu saya bisa sembuh kan, Dok?"
"Ini sudah memasuki gagal ginjal kronis. Beliau jadi harus lebih sering cuci darah untuk meringankan rasa sakitnya."
Satria meringis dalam hati. Biaya cuci darah tentunya tidak murah. Apalagi dengan kondisi keluarganya yang hanya hidup sebagai petani dan tukang kebun. Jika ibunya tidak cuci darah, maka Satria harus menahan pilu tiap waktu melihat ibunya perlahan pergi dengan rasa sakit itu.
"Kalau begitu saya permisi." Ucap sang Dokter.
Satria terduduk lemas di lantai. Matanya berkeliling melihat ruang rawat sang ibu. Ibunya dirawat di ruangan VIP dan bisa diraewat selama seminggu ini tentunya tidaklah murah. Belum lagi cuci darah yang sudah dilakukan. Bahkan untuk mengorbankan organ tubuhnya saja tidak cukup untuk membayar biaya pengobatan ibunya selama seminggu ini. Apalagi ibunya di rawat di rumah sakit yang terkenal dan mahal. Bukan cuma mahal dan terkenal, rumah sakit itu adalah rumah sakit terbaik untuk menangani penyakit sang ibu.
Seketika perkataan Tuan Badra pun terngiang-ngiang di kepalanya.
"Aku bisa terus membiayai perawatan ibumu asalkan kau mau menikahi putriku dan menjadi keluarga Parviz seutuhnya."
"Apa? Menikah? Aku sudah memiliki kekasih, Tuan. Dan aku tidak akan pernah mengkhianatinya" Balas Satria.
Tuan Badra tersenyum miring. "Aku memberimu waktu seminggu untuk memutuskan. Setelah itu, bagaimana kondisi ibumu tergantung pada keputusanmu."
"Ibuku sedang sakit dan aku tidak sedang ingin bercanda denganmu, Tuan. Apalagi sampai mempermainkan nyawa ibuku sendiri. Permisi." Satria melenggang pergi.
"Datanglah jika keputusanmu sudah bulat. Dan ingat, hanya seminggu."
.
Bersambung...