Chereads / Calon Imamku (Tamat) / Chapter 15 - Episode Lima Belas

Chapter 15 - Episode Lima Belas

Calon Imamku Episode Lima Belas

Duduk termenung di atas tempat tidur sambil memeluk guling, Faeyza berbicara sendiri hingga terlelap dalam tidurnya. Dalam mimpi dia seperti duduk di sebuah teras entah di mana ia juga juga tidak tahu, di sampingnya seorang pria berjubah putih memegang tasbih putih, sebagai tanda kalau pria tersebut adalah orang yang ahli zikir kepada Allah.

"Kenapa bersedih?" Suara lembut pria tersebut mengalun indah di telinga Faeyza. Ketika gadis itu hendak mendongakkan kepalanya, sebuah jemari lentik menyentuh kepalanya dan memaksanya untuk menunduk seakan dirinya tidak diizinkan untuk melihat wajah sosok pria yang selalu hadir dalam mimpinya tersebut.

"Siapa kamu? Kenapa kamu selalu hadir dalam mimpiku? Kenapa kamu selalu datang saat aku bersedih?" tanya Faeyza bingung.

Sosok pria berjubah putih tersebut tersenyum lembut."Aku … Aku adalah seorang manusia yang diutus Allah untuk menyempurnakan ibadahmu. Aku akan hadir saat nanti sudah waktunya kamu memiliki seorang pendamping."

Sekali lagi Faeyza tersentak ketika bangun dari tidurnya, tidak menyangka kalau sudah hampir malam. Kebiasaanya ketiduran saat dalam kamar, ia kembali teringat sosok pria tersebut, lembut penuh kasih dan selalu membuatnya seperti orang yang sangat berharga.

"Lagi-lagi dia datang dalam mimpiku, tapi kenapa aku tidak diizinkan untuk melihat wajahnya?" Bingung dan tidak menentu, meski begitu ia bersukur karena hatinya merasa bahagia sekalipun hanya dalam mimpi.

Mansion Mizuruky …

Mobil sedan hitam berhenti di depan pintu rumah bagaikan istana tersebut, Maulana keluar dari mobil lalu membantu buah hatinya keluar, belum sempat mereka masuk sebuah mobil ferarry hitam berhenti di samping mobilnya, seorang pria bersurai hitam bowel cut keluar dari mobil tersebut.

"Ayah, kenapa Ayah seperti memapah Kakak berjalan seperti itu?" tanyanya sambil berjalan menghampiri kedua pria tersebut.

Zein langsung menjauh dari Ayahnya, dia tidak ingin kalau saudara kembarnya itu tahu bagaimana kondisi dirinya yang sesungguhnya. Maulana membalikkan tubuh memandang anak bungsunya, terlihat jelas sekali ada kekecewaan serta kecemburuan dalam mata safir tersebut.

"Apakah kamu ditolak lagi?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Ayah, kenapa Ayah tidak berusaha menjaga perasaanku? Faeyza itu susah sekali untuk di dekati, raga dekat tapi hati jauh. Dia selalu saja mencari seorang pria yang ada dalam mimpinya, menurut Ayah apakah dia sungguh tidak memiliki perasaan pada ku?" sewot Tanvir sambil menatap kakaknya jengkel, memang sang Kakak tidak melakukan kesalahan terhadap dirinya tapi secara tidak langsung bahwa pria itu yang telah mencuri perhatian pujaan hatinya.

Maulana tersenyum tipis."Tanvir, nanti Ayah jelaskan tentang mimpi. Tapi Ayah harus mengantarkan Kakakmu ke kamar agar bisa istirahat dengan baik dulu."

"Kenapa Ayah harus mengantarkan Kakak? Memangnya Kakak anak kecil harus diantarkan segala?" balas Tanvir ketus. Zein menyadari kalau Adiknya itu sedang cemburu dan menyalahkannya karena Faeyza lebih suka mendekatinya dari pada dia.

Maulana mengerutkan kening melihat perubahan sikap putra keduanya tersebut."Tanvir, apakah kamu sedang cemburu pada Kakakmu? Bukankah kalian beru bertemu? Tanvir, Ayah hanya ingin mengingatkan mu, jangan hanya karena seorang wanita, kamu menjadi tidak hormat pada Kakakmu. Dia belum menjadi Istrimu, jadi antara dia dan Zein, maka kamu harus mementingkan saudaramu," tegurnya tegas.

"A- Ayah, aku bukan begitu." Tanvir sungguh tidak mengerti kenapa dia bisa hilang kendali, apa yang dikatakan oleh Ayahnya itu benar. Mereka memang belum ada ikatakan apapun, dan tidak boleh menghancurkan hubungan persaudaraan hanya karena seorang wanita yang belum menjadi siapa-siapanya. Tanvir ingin menjelaskan tapi sang Ayah, tapi pria paruh baya itu terlebih dulu masuk dan meninggalkannya bersama Zein.

"Kenapa aku bisa membuat pria tua itu marah?" katanya menyesal, bagaimana pun juga dia sangat sayang pada kedua orang tuanya. Tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain kedua orang tuanya.

"Tanvir," panggil Zein.

Tanvir mengalihkan perhatiannya pada saudara kembarnya tersebut, entah kenapa merasa dia mereka kalau Kakaknya itu pucat dan nampak kurang sehat."Maaf, aku bukan bermaksud tidak perduli pada Kak Zein. Aku hanya kesal saja, kenapa Faeyza lebih suka dengan mu dari pada aku? Bukankah wajah kita sama? Kenapa selalu mengatakan kalau seorang pria yang ada dalam mimpinya itu Kakak, bukan aku," kesalnya.

Zein menepuk pelan bahu Adiknya tersebut."Kakak mengerti bagaimana perasaanmu, tapi Kakak sama sekali tidak mengingat kalau pernah bertemu dengannya dalam mimpi. Lagi pula … jodoh itu hanya Allah yang tahu, lebih baik kamu sholat agar kamu bisa tenang. Ayah sebenarnya hanya ingin yang terbaik untuk kita, bagaimana pun Ayah dan Ibu adalah orang tua kita, minta maaflah pada Ayah."

"Aku mengerti, tapi … kenapa wajah kak Zein terlihat pucat? Apakah Kakak sedang sakit?" balas Tanvir sekaligus bertanya.

Zein memalingkan wajahnya, ia berusaha menyembunyikan wajahnya yang pucat dari sang Adik."Tidak, Kakak baik-baik saja. Sudah, sekarang lebih baik kita masuk."

Tanvir mengangguk, setelah itu mereka pun masuk ke dalam rumah bersama Zein. Sementara itu, Maulana masuk ke dalam kamar lalu menutup pintunya.

"Paman." Fira menoleh pada sang Suami, ia bangkit dari posisi berbaringnya ketika Suaminya datang dan menghampirinya.

"Sayang." Balas Maulana, setelah itu seperti biasa ia akan memberikan kecupan lembut pada sang Istri sebelum semakin melangkah ke dalam.

"Paman, apa yang terjadi? Kenapa kamu terlihat sedih?" Fira menggandeng lengan sang Suami dan mengiringinya menuju tempat tidur.

"Aku tidak apa-apa, ssst …" Maulana mendudukkan diri di atas tempat tidur, tangan kanannnya menyentuh kepala yang mulai terasa pusing.

"Paman, Paman sakit kepala lagi? Bagaimana kalau kita ke dokter saja? Aku khawatir kalau sampai terjadi sesuatu pada Paman, apalagi usia Paman sudah tua." Fira duduk di samping sang Suami, tangannya mentuh lengan pria itu.

"Sayang, aku tidak perlu ke dokter. Aku hanya lelah saja, hari ini …" Maulana mengehentikan ucapannya saat rasa sakitnya semakin menjadi.

"Paman, lihatlah. Wajah Paman pucat, kita ke rumah sakit saja." Fira hendak bangkit tapi ditahan oleh pria paruh baya tersebut, kalau Zein tahu dirinya sakit kemungkinan buah hatinya itu akan terkejut, cemas dan panik hingga membuat sakit yang dirasakan semakin tak terkendali.

"Sayang, aku baik-baik saja. Aku hanya perlu istirahat sebentar, kamu keluarlah dulu tidak apa-apa. Zein sudah kembali, sekarang dia di bawah bersama Tanvir, kalau mereka ribut lagi, kamu bilang padaku," katanya lembut.

"Zein? Zein putra kita?" tanya Fira sangat senang bahkan hampir tidak percaya, kerinduan yang selama ini ditahan akhirnya akan bertemu dengan buah hatinya.

"Iya, sepertinya Tanvir merasa kesal pada Zein. Faeyza, seorang gadis yang disukai oleh Tanvir justru menyukai Zein. Aku tidak ingin kalau kedua putra ku bertengkar hanya karena seorang wanita yang bukan siapa-siapanya, tidak ada kewajiban apapun antara Tanvir pada Faeyza," jelas Maulana penuh kasih.