Calon Imam Ku Episode Delapan Belas
Melangkah di tengah dinginnya udara malam hari, sesak dalam dada semakin tak terkendali hanya bisa pasrah pada Tuhan berharap semua akan baik-baik saja. Zein mengerti kenapa adiknya kesal dan langsung pergi hingga melupakan dirinya, tapi ia juga juga tidak ada maksud sedikit pun untuk membuat sang Adik kecewa.
Uhuk …
Uhuk …
"Tanvir, kamu sudah sampai rumah atau belum? Kakak sangat khawatir pada mu, bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu? Harusnya kamu tidak langsung pergi begitu saja," katanya sambil berjalan.
Shadiq tiba di rumah Faeyza setengah jam setelah pria rupawan tersebut meninggalkan tempat tersebut, di sepanjang jalan dia tidak bertemu dengan siapapun."Kenapa tempat ini sepi? Apakah mas Zein ada di dalam? Tapi kalau rumahnya tertutup seperti itu, sepertinya tidak mungkin. Semua orang juga tahu kalau mas Zein itu sangat menaati ajaran agama, mana mungkin berduaan dalam rumah dengan seorang wanita dengan pintu tertutup seperti itu," katanya sangsi.
Cklek …
Pintu terbuka menunjukkan sosok gadis cantik memegang sebuah tasbih putih di tangannya, gadis itu berjalan menuju salah satu kursi lalu mendudukkan diri di kursi tersebut."Sebenarnya kamu siapa? Aku sengaja membeli tasbih putih ini karena mirip dengan milikmu, aku sungguh sangat penasaran. Kenapa kamu sering datang dalam mimpi ku, aku yakin kalau kamu adalah mas Zein, karena aroma kamu sama persis dengannya. Tapi kenapa kamu tidak ingat?" sedih dan pilu, kecewa menjadi satu. Faeyza tidak bermaksud mengecewakan Tanvir, tapi untuk saat ini, dirinya memang tidak memiliki rasa sama sekali dengan pria tersebut.
"Faeyza." Seorang pria paruh baya berdiri di ambang pintu, ia memperhatikan putri pertamanya yang terlihat dalam dilema. Dia pun menghampiri buah hatinya tersebut lalu duduk di salah satu kursi.
"Ibu, apakah Ibu percaya kalau ada jodoh melalui mimpi?" tanya Faeyza berharap Ibunya akan percaya.
"Ibu rasa itu tidak ada, Nak. Apakah kamu pernah bermimpi bertamu dengan seorang pria dalam mimpi?" tanya Dhania, Ibu Faeyza dan Ulfi. Gadis itu mengangguk.
"Benar, aku bertemu dengan seorang pria yang sangat tampan dalam mimpi. Dia lembut dan seperti sangat menyukaiku, aku juga bertemu dengan orang itu dalam dunia nyata ini. Dia bernama Zein Ekky Maulana, owner ZEM. Perusahaan berlian terbesar di Asia, perusahaan itu bertaraf international," jelas Faeyza.
Dhania tidak tahu harus bersikap seperti apa, kalau dia boleh jujur. Tentu saja tidak akan percaya kalau ada seorang pria bertemu dengan wanita dalam mimpi, apa lagi pria itu adalah seorang bangsawan, miliader. Sedangkan putrinya bukan seorang bangsawan atau orang yang sangat istimewa bagi banyak orang, gadis itu banyak sekali kekuarang. Manja, lemot, keras dan kaku. Kalau berbicara juga sangat tidak toleran, mana mungkin akan disukai seorang pria semacam itu.
"Za, kalau dalam dunia nyata ini … seperti apa orang yang kamu sebut dengan Zein itu? Maksud Ibu, apakah dia sopan atau bagaimana?"
"Mas Zein itu sangat sopan, lembut dan alaihim. Maksud ku dia adalah orang yang seperti dari pesantren, tapi sepertinya juga bukan. Yang terpenting mas Zein itu sangat tampan, kalau Ibu bertemu dengannya, Ibu pasti akan suka," jelas Faeyza dengan wajah memerah karena malu setiap kali membicarakan Zein Ekky Maulana.
Dari wajah putrinya itu Dhaniya dapat melihat kalau pria itu sangat disukainya, tapi bagaimana mungkin seorang rakyat jelata bisa mengharapkan seorang Pangeran."Za, kalau Ibu boleh memberi saran, lebih baik kamu jangan terlalu berharap berlebihan. Ingatlah derajat kita, Ibu hanya tidak ingin kamu kecewa."
Faeyza mengangguk, Ibunya benar. Terlihat sekali kalau Zein tidak memiliki rasa terhadapnya, justru Tanvir yang menggebu ingin bersamanya. Tapi tetap saja dirinya menyukai Zein bukan Tanvir.
"Eh, itu mobil siapa, Za? Kenapa sepertinya sedang mencari seseorang?" tanya Dhania ketika melihat mercedes maybach terparkir indah di depan halaman rumahnya. Faeyza mengikuti arah pandang Ibunya, mobil itu jenis mobil sedan termahal di dunia. Tidak akan mungkin dimiliki oleh orang biasa-biasa saja.
"Itu mungkin mobil milik keluarga Mizuruky, biar aku temui dia." Gadis itu bangkit dari tempat duduknya lalu menghampiri Shadik yang ada dalam mobil.
"Permisi, Pak."
Shadiq menurunkan jendela kacanya."Nona, maaf saya ingin bertanya. Apakah tadi mas Zein kemari?"
"Iya, tadi mas Zein ke sini bersama Tanvir. Tapi mereka sudah kembali, lihat saja mobilnya sudah tidak ada di sini. Apakah mas Zein belum sampai rumah?" tanya Faeyza ikut cemas.
"Mas Zein menghubungi saya, sepertinya Tuan Muda Tanvir tidak mengajaknya kembali. Dan mas Zein ditinggal di sini," jelas Shadik. Faeyza terkejut mendengarnya, entah kenapa dia sangat merasa kesal pada Tanvir. Pria itu datang bersama kakaknya tapi kembali sendirian, sungguh sangat keterlaluan.
"Tanvir sangat keterlaluan, masak mas Zein ditinggal sendirian. Aku akan menghubunginya." Gadis itu mengambil ponsel miliknya lalu menghubungi teman sekelasnya tersebut.
##
"Kenapa si yang disukai malah Kak Zein, aku ini juga tidak kalah tampan. Aku juga kaya, baik dan juga sopan. Menurut Kakak, apa kurangnya diriku padanya, sehingga kau tega menyakiti aku. Apa salahnya dia hargai aku, sebelum dinilai kurangnya diriny." Tanvir masih tidak sadar kalau Zein tidak ada di sampingnya, ia mengerutkan keningnya karena tidak ada jawaban dari sang Kakak. Matanya membulat sempurna ketika saudaranya itu tidak ada di sampingnya.
"Kemana Kak Zein, jangan-jangan aku meninggalkannya."
Drrt …
Drrt …
Pria itu mengambil ponsel miliknya lalu menjawab panggilan telpon yang masuk."Tanvir, kamu gila atau bagaimana?! kamu datang bersama Kakakmu tapi pulang sendirian. Sekarang Pak Shadik mencarinya, kamu di mana sekarang?" omel Faeyza di sebrang telpon.
"Za, aku juga baru sadar kalau Kak Zein tidak bersama ku. Tapi kenapa juga kamu harus marah-marah? Dia itu sudah dewasa, hilang selama 2 tahun saja bisa kembali dengan selamat. Sudah, kalau kamu telpon hanya mau mengomel tidak penting, lebih baik kamu dengar aku nyanyi. Sering kali kau anggap ku lemah, merasa hebat dengan yang kau punya, kau sombongkan itu semua. Coba kau lihat dirimu dahulu, sebelum kau nilai kurangnya diriku. Apa salahnya kau hargai aku, sebelum kau nilai siapa aku."
Tut…
Tut…
Faeyza langsung mematikan sambungan telponnya mendengar pria itu menyanyi." Dasar tidak punya perasaan, orang lagi panik dan cemas dia malah nyanyi. Mana suaranya fals lagi," gerutunya jengkel.
"Nona, kalau begitu saya permisi dulu. Saya akan melanjutkan mencari mas Zein, saya mengkhawatirkan beliau," pamit Shadiq.
Tanvir melihat layar ponselnya."Bukan aku tidak perduli pada Kak Zein, tapi aku hanya jengkel setiap kali Faeyza berlebihan mengkhawatirkannya. Sudalah, sekarang lebih baik aku putar balik, aku yakin kalau kak Zein belum jauh dari rumah Faeyza. Jangan sampai nanti dikira aku adalah Adik yang tidak bertanggung jawab."