Chereads / Calon Imamku (Tamat) / Chapter 14 - Episode Empat Belas

Chapter 14 - Episode Empat Belas

Calon Imamku episode Empat Belas

Maulana tidak mengerti apa yang sebenarnya dipikirkan oleh orang tuanya, tapi melihat anaknya terlihat begitu menderita mana mungkin dirinya akan diam begitu saja. Sebagai seorang Ayah tentunya dia akan melakukan yang terbaik untuk putra tercintanya.

"Baiklah, Ayah akan antarkan kamu ke rumah Nenek. Sekalian Ayah juga akan bilang pada Nenek kalau kamu sakit dan butuh perawatan."

"Jangan, Ayah. Nenek itu sudah tua, dia lemah dan rentan. Aku tidak ingin terlalu membebani dirinya, aku akan baik-baik saja setelah minum obat nanti. Ayah tidak perlu khawatir," tolak Zein tidak tega harus membuat Cetrine kepikiran.

"Tapi Zein, orang sakit itu harus dirawat, bukan dibiarkan. Kamu memiliki keluarga yang tidak pernah mengeluh untuk merawat mu, kenapa kamu malah ingin menahan rasa sakit mu sendirian. Sudah, sekarang kalau kamu ingin kerumah Nenek mu, biar Ayah katakan padanya kalau kamu sakit," balas Maulana tidak ingin dibantah.

"Tapi, Ayah. Bukankah Ayah sendiri yang bilang, kalau rasa sakit itu karena Allah ingin mengampuni dosa kita." Zein masih mencoba untuk merubah pikiran sang Ayah agar tidak mengatakannya pada Nenek tercinta.

"Benar, tapi bukan berarti kamu harus pasrah tanpa berusaha untuk sembuh. Artinya kamu putus asa, dan orang yang putus asa itu tidak disukai Allah. Kamu tidak perlu berdebat dengan ku, kalau kamu memang bersikeras ingin pergi ke rumah Nenekmu, terserah kau saja. Tapi kita ke rumah sakit dulu," jawab Maulana jengkel dengan sikap keras kepala buah hatinya tersebut.

Zein menghela napas, tidak enak juga jika harus membuat sang Ayah marah karena hanya ingin berbuat terhadapnya."Ayah, bukan begitu. Ayah, maafkan aku jika aku sudah membuat mu kesal. Tapi kenapa kita harus ke rumah sakit?" tanyanya bingung.

"Bukankah tadi kamu bilang membutuhkan donor jantung? Biar Ayah yang memberikannya untuk mu, dengan begitu kamu bisa bebas pergi kemana pun dan Ayah tidak perlu khawatir lagi," balas Maulana dengan senyum manis tapi sedih melihat buah hatinya seperti tidak perduli bagaimana dirinya sangat khawatir kalau sampai terjadi sesuatu padanya.

Zein sungguh sangat menyesal telah membantah pria paruh baya tersebut, ia tahu kalau pria itu sangat sedih dan merasa tidak diperdulikan."Tidak, Ayah. Jangan seperti itu, baiklah aku akan pulang. Aku akan menggubungi Nenek nanti, aku akan menjelaskannya. Ayah jangan sedih lagi."

Maulana mengambil ponsel miliknya lalu menghubungi Cetrine."Hallo." Terdengar suara wanita tua di sebrang telpon.

"Assalamualaikum, Ibu."

Cetrine terkejut mendengar suara buah hatinya, rasa rindu yang terlalu dalam namun tidak mampu untuk mengatakannya membuat air matanya tanpa sadar menga.lir."Ivan, apakah ini kamu?" tanyanya memastikan.

"Benar, Ibu. Ibu di mana? Kenapa Ibu menghindar dari ku? Bukankah kalau ada masalah Ibu bisa menjelaskannya pada ku? Atau kalau aku punya salah, Ibu bisa mengatakannya," jawab Maulana sopan dan lembut.

Zein tersenyum tanpa sadar, dia tidak menyangka kalau ternyata Ayahnya begitu sangat menyayangi Neneknya. Tutur kata sang Ayah begitu sangat lembut dan perhatian, kalau begitu kenapa wanita tua itu tidak ingin bertemu dengan Ayahnya?

"Van, Ibu hanya merasa malu untuk bertemu denganmu. Selama ini Ibu telah melakukan banyak kesalahan pada mu, Ibu tidak berani untuk bertemu denganmu," jelas Cetrine sambil menangis tersedu mengingat semua kenangan masalalunya.

"Ibu, kenapa Ibu berbicara seperti itu? Aku sama sekali tidak menaruh dendam padamu. Aku bersama Zein sekarang, aku akan membawanya pulang. Apakah Ibu keberatan?" tanya Maulana pada akhirnya.

Cetrine tidak bisa menjawab, dia sangat tahu bagaimana sang buah hati. Sekali pun terlihat lembut tapi ketika telah memutuskan sesuatu maka tidak ada yang bisa menganggunya."Iya, Ibu tidak keberatan. Tapi … apakah kamu sekarang sudah tidak merasa sering pusing lagi?"

Maulana tercekat, ia melirik sang buah hati. Kalau sampai Zein tahu bahwa dirinya sering pusing bahkan sampai mimisan bisa-bisa dia akan snagat khawatir."Aku baik-baik saja, Ibu. Fira menjaga ku dengan sangat baik, baiklah kalau begitu aku tutup dulu panggilan telponnya.

"Ayah, apakah akhir-akhir ini Ayah sering merasa pusing?" tanya Zein khawatir.

"Ayah baik-baik saja, sudalah sekarang kita langsung pulang. Ibu mu pasti akan sangat senang saat melihat kamu telah kembali," balas Maulana.

##

Tanvir menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah sederhana berpintu warna kecoklatan."Ini rumah mu?" tanyanya memastikan.

"Iya, kenapa? Apakah menurut mu rumah ku seperti orang miskin?" balas Faeyza.

"Mana mungkin aku berpikir seperti itu. Sayang, aku adalah calon suamimu jadi nanti aku yang bertanggung jawab penuh atas dirimu," jawab Tanvir masih tidak berhenti untuk berusaha mendapatkan hati gadis cantik tersebut.

"Hais, sudalah. Kamu ini selalu saja seperti itu, Tanvir, aku ini menyukai Zein. Aku yakin kok kalau dia adalah seorang pria yang ada dalam mimpi ku, dia adalah calon imamku," kata Faeyza terang-terangan tidak menerima perasaan pria rupawan tersebut.

"Dia bukan pria yang dalam mimpi mu itu, Za. Lagi pula kak Zein itu tidak memiliki perasaan apapun terhadap mu, mana mungkin kalau dia adalah seorang pria yang ada dalam mimpi mu. Mungkin sekarang kamu masih belum menerima perasaan ku, tapi nanti aku yakin kamu akan mengerti kalau aku sungguh tulus menyukaimu," bantah Tanvir berusaha meyakinkan wanita tersebut.

"TIdak, sekali aku bilang tidak ya tidak. Sudalah, aku masuk dulu. Da.. Tanvir." Faeyza masuk ke dalam rumah setelah melambaikan tangan pada temannya tersebut. Tanvir menghembuskan napas besar, dia tidak mengerti kenapa kebanyakan wanita menyukai kakaknya, padanya mereka sama. Sekalipun bukan berarti tidak ada satu pun orang yang menyukainya, secara ia adalah seorang CEO ZEM dan Owner ZTM, mana mungkin tidak ada seorang pun yang tertarik padanya.

"Sudalah, lebih baik aku kembali saja. Aku merindukan Ibu, baru juga seminggu aku di kota ini, tapi aku sudah sangat merindukan Ibu. Tiap hari Ayah dan Ibu selalu ribut, sebenarnya bukan Ayah yang ribut, tapi selalu malu-malu kalau di dekat Ayah. Padahal mereka pasti sudah sering melakukannya, buktinya aku dan kak Zein lahir." Dia tersenyum sendiri ketika mengingat semua itu, setelah itu ia kembali masuk ke dalam mobil dan melajukan mobil tersebut meninggalkan rumah milik sang pujaan hati.

Faeyza masuk ke dalam rumahnya, begitu masuk dia disambut oleh Ibu dan Adiknya yang saling bercerita, rasanya ia sangat ingin untuk bergabung tapi yakin pasti mereka tidak setuju jadi lebih baik langsung masuk kamar dan berganti baju.

"Za, kamu sudah pulang," tegur Yasmin ibu dari gadis tersebut.

"Kak, hari ini aku bertemu dengan seorang pria yang sangat tampan. Tapi dia menggunakan baju mirip gaya China begitu, jubah tapi ada baju luarnya juga. Dia sangat tampan, aku menyukainya," kata Ulfi cerita. Faeyza mengingat kembali tentang pria yang diceritakan oleh Adiknya tersebut, ia membulatkan matanya ketika menyadari bahwa sosok tersebut adalah Zein Ekky Maulana seorang pria yang juga disukainya.