Panah Perak__1st Part
"Makanlah," Eleanor menyodorkan sepotong daging kelinci bakar pada Luce yang sibuk termenung di antara deretan batuan gunung yang tersebar di sepanjang aliran Sungai Perseus, yang bermuara di Laut Norlansia. "Kami tak bisa membiarkanmu mati kelaparan setelah pengorbanan yang dilakukan oleh Tuan Besar."
"Tidak mau," ketus Luce. Netranya terus memandang bayangan wajahnya yang terpantul oleh beningnya air sungai. Air matanya menetes tanpa henti sejak beberapa jam yang lalu. Bahkan dia sampai tak bisa memikirkan apapun lagi selain penyesalan karena tak bisa menolong kakaknya. Tanpa mengalihkan pandangan, Luce menegaskan kembali, "Aku tidak lapar. Kalian makanlah sendiri. Tidak usah memikirkan aku."
Eleanor mendadak geram, mengetahui usahanya untuk menjaga Luce sepertinya akan sia-sia. "Hanya dari wajahnya saja dia mirip sekali dengan Tuan Besar, tapi rupanya dia jauh lebih keras kepala," gadis itu membatin sebelum melempar potongan daging di tangannya pada Terence dan memaki Luce sambil menarik kerah kemejanya. "Kau mencoba mempermainkan kami, ya?" bentak Eleanor. "Tuan Besar berusaha mati-matian untuk melindungimu dan menjadikanmu raja di masa depan, tapi kau justru ngambek seperti ini bahkan sampai tak mau makan hanya karena sedih. Pikirkan kami juga dong. Kau pikir kami tidak khawatir dengan keadaan Tuan Besar saat ini? Kita kan tidak hanya bisa mengenang kejadian yang sudah berlalu dan meratapinya saja. Jadi mulai sekarang, berhentilah hidup manja dan bergantung pada orang lain serta pikirkan apa yang akan kau lakukan untuk dirimu sendiri di masa depan."
Eleanor melepaskan kerah kemeja Luce dan menghela napas dalam-dalam setelah melampiaskan amarahnya. Dia kemudian mengambil kembali potongan daging di tangan Terence dan menyodorkannya lagi pada Luce. "Aku tidak mau tahu, suka atau tidak suka, pokoknya sekarang kau harus makan ini."
Luce tiba-tiba berhenti menangis setelah mendengar omelan Eleanor yang berapi-api. Terence sampai diam seribu bahasa karena tak mampu melerai keduanya.
"Aku tidak mau makan bukan karena aku tidak mau," tukas Luce. "Aku tidak bisa lagi... makan makanan yang dimakan oleh manusia. Kakakku tidak pernah berusaha menjadikanku raja di masa depan. Dia hanya bisa mengubahku menjadi seorang iblis yang bergantung pada darah dan tubuhnya. Karena itu, aku sangat khawatir. Kalau sampai orang-orang kerajaan itu mengeksekusinya, maka aku juga akan kehilangan kesadaranku sebagai seorang manusia."
Eleanor dan Terence terkejut mendengar pembelaan dari Luce, bahkan ini pertama kalinya mereka mengetahui maksud dari perjanjian darah yang dilakukan oleh Jean sebelumnya. "Tuan Besar memang benar-benar licik," Terence berkomentar. "Maksudku, ini licik yang bagus. Mereka jadi tidak bisa membunuh siapapun di antara kalian berdua. Karena kalau kalian mati, iblis itu hanya akan menjadi hewan liar yang harus ditundukkan kembali dan tidak sembarang orang bisa melakukannya. Dalam keadaan seperti ini, kalau mereka tahu bahwa Tuan Besar sudah tidak memiliki kekuatan Phoenix lagi, lambat laun pasti mereka akan menyadari tentang adanya Perjanjian Darah dan itu akan menghentikan mereka untuk menyakiti Tuan Besar. Sebaliknya mereka akan mencoba membawamu kembali dalam keadaan hidup-hidup. Entah kenapa aku jadi merasa lega sekarang."
"Aku juga jadi lega," ujar Eleanor sambil mengusap dadanya yang tadi sempat berdegub kencang. "Kalau begitu kenapa kau masih saja khawatir?" gadis itu bertanya pada Luce yang masih tampak dipenuhi oleh pikirannya sendiri.
"Perjanjian Darah ya?" Luce langsung menyadari bahwa yang dia minum tadi pagi bukanlah ramuan herbal biasa. Tapi ada tetesan darah Jean yang terkandung di dalamnya dan itulah yang membuat Luce sampai tak bisa mengendalikan Phoenix dalam dirinya. "Aku masih bisa mendengar obrolan kakak dan Pangeran Illarion tadi pagi walau tak bisa mengendalikan tubuhku sendiri. Apa kakak benar-benar berencana menjadikan aku sebagai tamengnya, seperti yang dikatakan oleh Pangeran Illarion?" batinnya. "Kalau benar begitu, berarti aku ini hanyalah alat untuk mewujudkan cita-cita ibunda, kan? Bukankah ibunda sangat menginginkan tahta Alcander menjadi milik kita berdua?"
Memperhatikan Luce yang kembali duduk termenung dan memandang aliran sungai yang jernih dengan tatapan kosong, Terence mencegah Eleanor untuk mengganggunya lagi. Mereka berdua menyingkir dan membiarkan Luce menyelesaikan masalah di hatinya sendiri sampai malam penuh bintang menenggelamkan pemuda itu dalam mimpi terindah.
"Ibunda, apakah memang takdir ini yang harus kami berdua lalui? Apakah aku tak bisa memilih takdir untuk diriku sendiri? Bukankah ada banyak bintang di langit, tapi hanya satu yang bisa jatuh setiap malamnya? Bukankah ibunda pernah berkata bahwa di masa depan kami berdua harus hidup bahagia bersama-sama. Apa hanya dengan cara ini kami bisa benar-benar mewujudkan impian itu. Apakah sudah tidak ada pilihan yang lain lagi?"
*bersambung ke part berikutnya