Warning +18
Terdapat sedikit adegan dewasa
________________
Pada saat sarapan pagi, Tandri menanyakan kembali mengenai ajakan kemarin untuk kekantor tempat dia bekerja. Namun aku menolaknya karena hari ini aku akan bertemu dengan seseorang untuk membahas mengenai Comik online yang aku buat.
Comik Online tidak di gambar oleh diriku sendiri. Aku memiliki teman dekat saat berada di universitas dulu yang aku ajak karena kemahirannya membuat Background.
Selesai sarapan pagi dan membereskan beberapa piring yang ada, aku langsung bergegas menuju ke kamarku yang berada di lantai dua rumah. Akupun mulai berkonsentrasi dengan computerku dan mulai menggambar karakter-karakter dalam comik online buatanku dan teman Universitasku.
Beberapa saat kemudian, aku menghentikan fokusku di layar monitor dan melihat jam yang terpasang dipergelangan tanganku. Jam tersebut menunjukan 10.57 wita.
"Dia sudah ke kantor.' Pikirku.
Pukul 11.22 wita. Bel pintu rumahku berbunyi. Oh itu pasti Cindi teman Universitasku. Tidak butuh waktu lama akupun berjalan dan sedikit berlari untuk membuka pintu, namun apa yang aku dapat setelah beberapa meter di depan pintu?! Ternyata ada yang lebih dulu membukakan pintu untuk Cindi.
Tandri, "Siapa?"
"Temannya Elen."
"Ayo masuk." Teriaku dari belakang punggung Tandri.
Setelah aku mengatakan itu, Tandripun bergeser ke samping untuk memberi jalan pada Cindi.
"Maaf aku terlambat. Soalnya ada sedikit urusan mendadak."
"Tidak apa-apa."
Aku dan Cindipun berjalan menuju ke kamarku di lantai dua. Saat menaiki tangga, Cindi bertanya padaku mengenai Tandri.
"Pria tadi siapa? Sepertinya dia terlihat sangat membenciku."
"Tetangga sebelah, tapi sering datang kemari."
"Ooh." Kami berduapun masuk ke dalam kamar. Jangan bertanya, rumahku tidak terlalu besar seperti rumah mewah milik tetangga rumahku. Jadi tidak ada ruangan yang bisa aku gunakan untuk pekerjaanku sebagai penulis, jadi aku menyulap kamar pribadiku sebagai tempat kerja. Selain Cindi, Govinda sahabat baiku juga masuk dalam pembuatan comik online yang aku buat, posisinya sebagai pembuat skrip cerita, dan aku adalah si penggambar yang akan mengikuti alur cerita yang dibuat Govinda, namun tidak semua skrip yang di tulis Govinda aku ikuti, ada beberapa kata, dan alur cerita yang aku ubah. Govinda juga tidak merasa keberatan mengenai hal itu. Kami adalah tiga orang penulis comik yang sangat akur dan bersahabat.
Pada saat aku dan Cindi sedang berdiskusi, Tandri pun masuk kedalam kamar dan langsung duduk tepat di sampingku. Tapi yang sangat menjengkelkan adalah tangan nakalnya itu melingkari erat pinggang miliku, dan membawaku kedalam pelukannya.
Elen, "...!!"
Cindi, "..." ( ? ° _ ° )
Akupun langsung melepaskan tangan Tandri dari pinggangku, "Apa yang kamu lakukan?!"
"Memelukmu,"
Cindi, "..."
"Aku tahu itu,"
"Kalau tahu kenapa bertanya."
Sudah cukup ini sangat menjengkelkan, rasanya aku ingin memukulnya sampai babak belur. Tapi aku sama sekali tidak akan menang melawanya. Aku jadi berpikir mengenai 13 tahu yang lalu, di mana pada saat itu aku selalu saja mengusik dan membulinya, dan sekarang giliranku yang mendapatkan karma balik dari yang kuasa.
Tapi aku harus bersyukur pada Tandri, karena pria gila ini tidak balik membuliku dengan kekejaman yang aku lakukan padanya saat kecil dulu. Tapi pria gila ini membalasnya dengan melakukan hal yang tidak senonoh padaku.
Keringat seperti butiran jagung bercucuran di dahi dan pelipisku, saat ini aku sama sekali tidak berkonsentrasi dengan apa yang di ucapkan dan di jelaskan Cindi padaku. Fokus utamaku saat ini berada di bawah meja, di mana tangan nakal Tandri tengah menyerang area sensitifku dengan sangat gila. Aku menyilang kakiku dan menutupi area depanku menggunakan tangan kecilku. Sial pria ini sudah gila, rasanya aku ingin meneriaki dan mengusirnya dari sini. Tapi mulut bodohku ini tidak mampu mengeluarkan kata-kata.
Cindi, "Jadi bagaimana menurutmu Elen?"
"Ha?" Linglung itu yang bisa aku katakan saat ini. Pada saat aku mengalami kebingungan, pria gila itu langsung mengambil kesempatan dengan sangat cepat untuk memasukan tangannya ke dalam celana miliku. Refleks aku dengan cepat membekap mulutku dengan kedua tanganku.
Cindi, "Ada apa Elen, apa kamu baik-baik saja?"
Tandri, "Apa kamu sakit? Kamu terlihat tegang."
Aku melirik Tandri yang bertanya seperti tidak terjadi apa-apa.
Aku menurunkan satu tanganku untuk menahan tangan Tandri yang sudah bergerak nakal di bawah meja, dan satu tanganku aku lambaikan di depan wajahku dan berkata pada Cindi kalau aku baik-baik saja.
"Jadi bagaimana dengan ideku tadi?" Tanya Cindi kembali padaku.
"Itu terdengar bagus." Ucapku dengan suara yang sedikit di paksakan.
"Oh tunggu sebentar, aku hampir saja lupa. Pada saat perjalanan kemari aku bertemu dengan Govinda, dan dia menitip sesuatu padaku." Ucap Cindi sambil meng acak-acak isi tas ranselnya.
"Umm... Sepertinya aku melupakanya di motor. Aku akan turun mengambilnya." Setelah mengatakan itu, Cindi pun bergegas keluar dari kamar.
Aku menatap Tandri dengan wajah marah, "Kamu!! Aahh..." Keparat dia meremas miliku. Aku berusaha menarik tangan pria gila itu dari dalam celanku.
"Aku akan mematahkan penismu jika kamu masih melawanku."
"Aahhh... Jangan meremasnya terlalu kuat."
"Masih mau berusaha mengeluarkan tanganku?"
"Ti–tidak." Ucapku sambil menggeleng-geleng kepalaku.
"Maka duduklah dengan tenang."
Tangan nakal itu mengocok miliku dengan sangac cepat, sampai membuatku seperti cacing kepanasan di tempat duduku. Aku menjatuhkan kepalaku dia atas meja karena tidak sanggup lagi menahan rasa gerah di tubuhku. Napasku terasa sesak seperti seseorang yang baru saja selesai berlari maraton, beberapa keringat sudah menghiasi area wajah dan leherku, padahal suhu di dalam kamarku cukup dingin 16°c.
"Apa kamu jarang melakukan ini?"
Aku menganggukan kepalaku dengan bodoh atas pertanyaan Tandri padaku.
"Berapa kali kamu melakukannya dalam seminggu?" Tanyanya kebali dengan tangan yang tidak henti-hentinya mengocok miliku.
"Kurang lebih 3 kali." Tiga kali kocokan setelah aku mengatakan itu, akupun memuntahkan isi muatanku di tangan Tandri. Ini sangat memalukan, aku yakin, wajah dan telingaku pasti memerah begitu saja di depan Tandri. Walaupun wajahku menghadap ke meja, tapi telingaku dapat mendengar dengan sangat jelas bahwa Tandri baru saja terkekeh.
Dia mengeluarkan tangannya dari celanaku dan mengatakan hal yang tidak senonoh padaku, "Sangat kental."Akupun menoleh sedikit ke arahnya tepat pada saat dia juga menoleh ke arahku. Pria gila itu dengan kurang ajarnya menjilat cairan kental yang berada di tangannya tepat di depanku.
"Sangat enak." Aku sangat malu, sunguh, aku benar-benar sangat malu dengan ucapanya barusan itu.
Setelah mengatakan itu, diapun berdiri dan berjalan menuju ke kamar mandi. Tepat itu juga, Cindi masuk ke dalam kamarku. Akupun kembali duduk dengan benar dan memasang wajah seperti tidak terjadi apa-apa.
"Ini titipan yang diberika Govinda. "
"Oh, ok."
"Dimana tetanggamu tadi?"
"Ke kamar kecil."
"Ohh ... Kenapa wajah dan telingamu terlihat sangat merah?"
Aku sedikit terkejut, "Oh, tetangga rumahku membuatku sangat kesal."
"Aku sedikit curiga."
Aku menatap Cindi lekat, di pikiranku sudah melayang-layang, apakah Cindi mengetahui apa yang aku lakukan dengan Tandri?
"Kamu ..."
Tegang.
"...sepertinya,"
Tegang.
Cindi memicingkan mata ke arahku, "Tidak terlalu akur dengan tetanggamu itu."
Aku menghembuskan napas legah. Aku pikir Cindi mengetahuinya.
"Sedikit." Jawabku.
.
.
.
Bersambung . . .