Esoknya sekitar pukul 11 siang teman-temanku Aldo dan Govinda datang kerumahku untuk nongkrong serta membicarakan tentang gadis-gadis cantik yang mereka temui.
Govinda, "Oh ia Elen, bagaimana dengan cinta pada pandangan pertamamu itu? Apa kamu sudah bertemu dengannya? Aku sudah mengirim nomor kontak dan IG nya padamu, apa kamu sudah melihatnya?"
Elen, "..." ( ° _ ° )
Aku menghembuskan napas gusar, aku merasa sejak kejadian kemarin, otakku selalu di penuhi dengan adegan-adegan panas yang di lakukan aku dan Tandri kemarin, aku sudah berusaha untuk melupakannya, tapi ternyata semua itu sangat sulit. Oh Tuhan, aku harus bagaimana sekarang. Ini sangat memalukan, bahkan aku merasa sangat malu setiap kali bertatap muka dengan Tandri. Yang membuatku rasanya ingin menangis sampai mati adalah Tandri si gila itu sudah sangat menempel padaku seperti lem. Semua aktifitas yang biasa dia lakukan di ruang tamu atau kamar tamu kini semua sudah dia lakukan di dalam kamarku, bahkan mandi dan tidur di malam hari semua dia lakukan di kamarku.
"Elen, woee kampret, kamu dengar tidak apa yang aku katakan!"
"Kamu mengatakan apa tadi?"
Aldo, "Apa yang kamu pikirkan? Kenapa aku merasa kamu sedang memikirkan sesuatu yang berbau seks."
Sialan, kenapa Aldo bisah menebak dengan mudah apa yang aku pikirkan saat ini(?) Oh dasar goblok, tentu saja jangan meremehkan kemampuan dari anak-anak Sosiologi dan psikologi.
"Sialan, aku tidak memikirkan apa-apa."
Govinda, "Lalu kenapa kamu tidak merespon apa yang aku katakan?"
"Emangnya apa yang kamu katakan?"
"Aku mengatakan tentang Salina..."
"Siapa Salina?"
Mendengar suara tambahan yang masuk dalam obrolan pembicaraan kami bertiga, sontak membuat aku dan kedua sahabatku berpaling ke asal suara yang kini tengah berdiri di ruang tamu sambil menggendong seorang bayi berpakaian beruang imut dan lucu.
Aku melihat jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kiriku, "Belum waktunya makan siang, kenapa kamu sudah pulang dari kantor?"
Tandri berjalan ke arahku dan duduk di sampingku, tidak lupa dia menyerahkan dede Rembulan padaku sebelum dia duduk.
Tandri, "Aku merindukanmu."
Elen, All, "....."
Jika kalian bertanya, mengapa Rembulan bisa bersama Tandri ke kantor(?) Jawabanya, Karena aku tidak terlalu pandai merawat anak kecil. Sebenarnya Tandri mengajaku juga ke kantor tempat dia bekerja, tapi aku menolaknya karena sejak bangun pagi kedua belahan pahaku sedkit lecet, memerah dan perih akibat perbuatan mesumnya.
Tapi yang jadi pertannyaanku, apa dia sama sekali tidak di marahi atasannya karena membawa anak-anak ke kantor(?) Hah, sudah lupakan saja.
Tandri menatapku lekat dan bertanya kembali pertanyaan yang sama, "Siapa Salina?"
"Eee... Salina, dia..."
"Kekasih Elen..." Potong Aldo cepat.
Aku melongo menatap Aldo. Kekasih pantatku, bertemu denganya saja belum.
"Apa ada masalah?" Sambung Aldo kembali.
Tandri menatapku dengan wajah membunuh, kemudian kembali menatap Aldo dengan wajah datar khasnya.
"Tidak ada masalah, hanya ingin bertanya. Apa itu salah?"
Govinda dan aku saling menatap bodoh.
Aldo mengatur posisi kacamata miliknya dan kembali menjawab pertanyaan Tandri, "Sama sekali tidak salah, hanya saja...."
Aldo menatapku sambil menyeringai. Oh tidak, dia pasti merencanakan sesuatu.
"Aku ingin mengatakan selamat pada Elen karena berhasil mendapatkan seorang gadis cantik dan imut yang merupakan cinta pertamanya. Bagaimana denganmu Govinda, apa kamu tidak ingin menyampaikan selamat pada sahabat kita?!"
Govinda, "Ahaha... Te–tentu saja."
Govinda berjalan ke arahku yang duduk di seberangnya, dan memeluku dengan canggung, "Selamat Elen, selamat."
"Haha... Makasi-makasi, haha."
"Jaga dirimu baik-baik kawan." Bisik Govinda pelan di telingaku.
"Sialan apa yang kalian rencanakan?" Bisikku kembali.
"Hehe... Aku juga tidak tahu kambing."
Govinda melepaskan pelukannya dan kembali duduk di samping Aldo.
.....
Sehabis mengatakan hal-hal yang penuh dengan ke bohongan pada Tandri, kini kedua sahabatku itu pergi meninggalkanku sendirian bersama Tandri, yang sedari tadi hanya duduk diam tampa mengatakan apa-apa.
"Emm, Tandri aku akan ke kamarku untuk menidurkan Rembulan, dan... Emm, setelah itu aku akan membuat makan siang untukmu." Akupun berdiri dan berlari ketakutan menuju kamarku.
Sampai ke dalam kamar, akupun menghembuskan napas legah karena sudah berhasil menjauh dari Tandri yang saat ini tengah memancarkan aurah penindasan.
Aku duduk bersilah di atas tempat tidur bersama Rembulan yang kini tengah berbaring terlentang sambil bermain boneka beruang kecil kesayangannya. Sebenarnya aku sama sekali tidak memiliki niat untuk menidurkan Rembulan, tapi karena melihat aurah mematikan yang di pancarkan oleh Tandri di ruang tamu tadi, membuat aku merasa takut, dan memilih menghindar.
"Kenapa dia marah? Apa dia masih menyimpan dendam pada Aldo dan Govinda? Ya ampun kenapa aku tidak kepikiran dari tadi, tentu saja dia membenci siapapun yang mengusiknya."
Cleakk... (suara pintu)
Aku menatap pintu kamarku yang baru saja di buka oleh Tandri, aku terkejut, sontak dengan cepat aku berbalik ke arah Rembulan untuk menepuk-nepuk pantatnya agar dia cepat tertidur (berpura-pura seakan akan sedang menidurkan Rembulan). Namun sialnya Rembulan malah tertawa bahagia seakan-akan aku sedang mengajaknya bermain.
Huuu😭... Ayolah beruang kecil aku tidak sedang mengajakmu bermain sekarang, aku menepuk pantatmu agar kamu tidur.
Aku mengarahkan pandanganku ke arah Tandri, dan menatapnya dengan wajah polos, "Ahaha... Rembulan tidak mau tidur."
"Berhenti menepuk pantatnya, dia tidak akan tidur jika kamu belum memberinya susu."
Tandri duduk tepat di sampingku, dia mengangkat bayi beruang kecil dan memintaku untuk menggendongnya.
"Kamu harus belajar cara menyusui bayi."
"Ah i–ia." Kenapa ucapannya terdengar sedikit ambigu yah(?)
Aku menggendong Rembulan dengan satu tangan, kepala rembulan aku taruh di baguan lipatan lengan dan berat tubuh rembulan aku topang menggunakan lenganku. Aku pandai menggendong bayi, tapi tidak terlalu pandai merawat bayi.
Tandri memberi dot bayi yang sudah di isi dengan susu hangat padaku, dan memintaku untuk memberi Rembulan minum. Akupun mengikuti intruksi yang di berikan Tandri padaku.
Dan rembulanpun meminum susu yang ada di dot bayi dengan lahap.( – _ – )
"Apa kakak Reni sering menitipkan Rembulan padamu?"
"um..." Jawabku sambil menatap Rembulan yang sedang meminum susunya.
"Dan kamu yang menjaganya?"
Aku mengalihkan pandanganku dari Rembulan ke arah Tandri, "Tentu saja tidak. Ibuku yang menjaganya."
Tandri mengangguk-anggukan kepalanya dan menatap Rembulan, "Dia sudah tidur."
"Siapa?" Tanyaku bingung.
"Anak kita." Coba lihat penyakit halunya sudah mulai kambuh lagi. Aku yakin seratus persen pria gila ini pasti pernah menikah di inggris dan di tinggal pergi istrinya.
"Berikan dede padaku." Tandri mengambil Rembulan dari tanganku dan membawanya di tempat tidur bayi yang berada satu meter dari tempat tidurku.
Elen, "Aku akan membuat makan siang untukmu."
"Tidak perlu membuat makan siang untuku, aku sudah makan siang di kantor."
"Ohh..."
"Tapi..." Tandri menatapku sambil menyeringai.
Anjay apa maksudnya dengan seringai jahat itu.
Tandri berjalan ke arahku dan tanpa basa-basi langsung menciumku tepat di bibir. Jujur saja ini ciuman yang sekian dan sekian kali Tandri berikan padaku, tapi tetap saja aku masih merasa kaku berciuman dengan seseorang yang memiliki jenis yang sama denganku. Di dalam lubuk hatiku yang terdalam aku selalu bertanya-tanya, apa di inggris sesama pria, teman, atau tetangga rumah biasa melakukan hal-hal seperti yang di lakukan Tandri padaku(?) Bahkan kakaku saja tidak merasa terkejut ketika melihatku dan Tandri melakukan (itu) di kamar.
Dan masalah terbesarku di sini adalah aku sama sekali tidak merasa jijik di cium olehnya. Apa aku masih bisa di katakan pria normal(?) Tidak, tidak, tidak, ini tidak mungkin terjadi, aku masih pria normal. Ok, aku masih lurus. Aaaaa ... Rasanya aku mau gila.
Ok tenang Elen.
"Elen"
Suara lembut Tandri yang terdengar di telingaku menyadarkanku dan menarikku kembali ke dunia nyata.
"Hmm?" Jawabku dengan tampang polos. Mungkin saja.
"Apa yang kamu pikirkan?"
"Aa .. ti–tidak ada yang aku pikirkan." Aku mendorong Tandri sedikit menjauh dariku, "Aku, aku akan membuat makan siang untukmu."
"Aku sudah makan siang di kantor sayang."
"O, oh. Benarkah." Sialan, kenapa aku merasa malu hanya karena di panggil sayang(!)
"Bukankah aku sudah mengatakannya tadi, kalau aku sudah makan siang di kantor?"
"Aku lupa."
Tandri si pria mesum ini, bagaimana aku harus mengatakannya yah(!) Tangannya sangat gatal tidak bisa diam di tempat, dia sangat suka memasukan tangannya ke dalam bajuku dan mengusap-usap tubuh bagian belakangku. Jujur saja aku sangat merinding jika dia melakukan hal itu.
Tapi yang lebih mengerikan lagi, dia mengusap putingku dan memasukan tangan besarnya ke dalam celanaku. Sialan ini sangat menakutkan.
Dan sekarang apa lagi yang si mesum ini lakukan. Membawaku ke atas pangkuannya, Mengisap, menjilat, dan mengigit leherku seperti seorang Vampir yang kehausan darah. Tandri seperti seorang pria yang kelaparan akan seks.
"Ah .. sakit." Dia sama sekali tidak berhenti menyerang leher dan telingaku walaupun aku sudah mengatakan sakit.
"Tandri, jangan mengigit leherku." Lihat, dia sama sekali tidak memperdulikan ucapanku, malah tambah menggigit leherku dengan sangat keras.
"AAAHh ..." Aku mendorong Tandri agar menjauhkan kepalanya dari leherku, "Apa kamu gila!"
"Apa itu sakit?" Tanyanya padu.
Aku menatapnya dengan wajah suram, dia bertanya seakan-akan khawatir padaku tapi matanya menggambarkan kebahagian. Apa maksudnya itu.
Merasa kesal akupun berdiri dari pangkuannya dan ingin berjalan menuju cermin untuk melihat beberapa gigitan Tandri di leherku.
"Tetap berada di pangkuanku. Jangan mencoba untuk berdiri dan pergi walaupun selangkah."
Aku hanya menatapnya dengan marah dan sama sekali tidak perduli dengan ucapannya. Yang ada di dalam pikiranku saat ini hanyalah gigitan yang ada pada leherku.
Dia tidak mengatakan apa-apa bahkan mencegahku pada saat aku berdiri dari pangkuannya dan melangkah menuju cermin. Aku menatap leherku yang sudah terdapat beberapa bekas gigitan.
"Aduh bagaimana ini, pasti akan meninggalkan bekas." Ucapku dengan cemas. Aku menatap Tandri yang saat ini sudah berdiri dari tempat tidur, dia juga terlihat sedang menelpon sambil menatapku. Mungkin saja itu bosnya di kantor yang menelpon, pikirku. Pandanganku kembali ke arah cermin.
Elen, "...." Ada apa ini, kenapa perasaanku tiba-tiba saja merasa tidak enak.
Bersambung ...