"Kembali ke kamar, jangan meninggalkan si kecil sendirian. Aku akan membawa makanan di atas."
______________________________________
Aku menatap lekat makanan yang dibawakan Tandri dalam kamar. Makanan yang ia katakan sebelumnya adalah makanan berat. Ia menaruhnya di atas tempat tidur beserta nampan-nampannya tepat di depanku, setelah itu Tandri menggendong Rembulan yang sudah tertidur lelap di tempat tidur bayi yang berada tidak jauh dari tempat tidurku.
"Tadi kamu mengatakan padaku mau membuat makanan berat, lalu di mana makanan beratnya?"
Aku melihat dia berjalan ke arahku dan duduk tepat di depanku. Ia mengambil senwice dan mulai mengigitnya sedikit demi sedikit.
"Aku khawatir saat kita olahraga kamu akan muntah."
Apa-apaan ini, olahraga(!) siapa yang ingin berolahraga denganmu, dari pada olahraga mendingan aku menghabiskan waktu malam ini dengan tidur.
"Kamu saja yang olahraga sendiri. Sekarang sudah jam 11 malam dan aku sudah melewatkan sejam waktu tidurku." Akupun mengangkat nampan yang ada di atas tempat tidur dan menaruhnya di atas meja yang biasa aku gunakan untuk kerja.
Aku berjalan ketempat tidur dan mulai mengambil posisi nyaman untuk tidur, sekilas aku melihat ekspresi wajah Tandri yang sedikit mengerutkan keningnya seperti tidak suka.
"Kenapa belum kembali ke kamarmu?"
"Aku sudah mengatakan ingin berolahraga."
Aku bangun dari tidurku dan menatap tandri, "Aku tahu kamu ingin berolahraga. Tapi..." Sialan kenapa aku harus memperdulikan orang ini, "Sudahla lupakan, terserah kamu saja." Akupun kembali berbaring nyaman.
15 menit berlalu, aku merasa tidak ada pergerakan atau tanda-tanda Tandri beranjak dari tempat tidur dan pergi ke kamarnya. Umm lebih tepatnya kamar tamu. Aku membuka mata dan menatap Tandri yang saat ini masih menatapku.
"Kenapa masih di sini?" Protesku.
Aku mendengar dia menghembuskan napas berat dan berdiri dari tempat tidur menuju nakas, dia mengambil kantong berisi kondom dan melemparnya tepat ke arahku, sontak aku langsung duduk di tempat tidur menatapnya bingung dan kemudian aku menurunkan pandanganku ke bawah di mana kotak kondom sudah berserakan di mana-mana.
Tandri, "Ngeseks denganku."
"Ap, apa maksudmu!"
Gilanya mulai kambuh lagi.
Belum sempat aku menghindar dan lari, Tandri sudah menaiki tempat tidurku dengan cepat, menahanku, akupun dengan sigap menendangnya sampai dia terhempas ke lantai. Tampa berpikir panjang akupun berlari menuju ke pintu kamar, dan pada saat aku menyentuh gagang pintuh Tandri memanggil namaku pelan namun masih dapat terdengar dengan jelas.
"Elen." Panggilnya, akupun menoleh ke belakang.
Sialan, pria bajingan.
Aku sangat ketakutan melihat Tandri memegang pisau kater di tangannya, dan entah pisau kater itu di ambil olehnya di mana. Wawlahu alam, aku sama sekali tidak tahu.
Dan yang membuatku ketakutan adalah pisau itu di arahkan dengan santai ke araha si kecil Rembulan. Wajah gilanya itu terlihat datar namun dingin dan menakutkan. Bisa aku katakan dia saat ini mirip dengan seorang psikopat.
"Tandri apa kamu sudah tidak waras."
Teriaku panik.
"Kemari." Dia memanggilku dengan memberi kode menggunakan tangannya. Aku menggeleng kepalaku dengan cepat.
"Jika kamu tidak kemari, maka aku akan mengiris leher adikmu sampai mati." Ucapnya.
Gemetaran. Itulah yang aku rasakan saat ini, jujur saja ini adalah pilihan yang sangat berat bagiku. Jika aku lari maka nyawa keponakanku melayang, dan jika aku datang padanya maka aku harus siap melakukan hubungan intim dengannya. Dan aku sangat-sangat tahu, bagaimana seseorang yang memiliki gender yang sama melakukan hubungan seks. Sumpah aku yakin itu sakitnya pasti minta ampun.
Jika kalian bertanya mengapa aku bisa mengetahuinya, simpel saja, itu berawal dari Cindi si Badground. Dia pernah memaksaku untuk menonton Film boy x boy yang berada di laptopnya. Sialan itu sangat mengerikan, mereka melakukan sesuatu yang aku sendiri tidak pernah membayangkannya.
"Elen."
Panggilan dari tandri membuatku tersadar kembali dari lamunanku tentang boy x boy.
"Apa yang kamu pikirkan, hmm?" Eh– tunggu dulu. Sejak kapan dia berada di depanku(?)
"Kemari." Tandri menariku cukup keras ke tempat tidur dan memaksaku untuk duduk.
"Duduk dengan tenang."
Jantungku memompa cukup kencang seperti orang yang berlari maraton. Bukan jatuh cinta atau merasa gugup... Tapi aku merasa sangat ketakutan sekarang, kedua telapak tanganku sampai berkeringat. Pikiranku melayang kemana-mana. Oh Tuhan tolong selamatkan aku dari orang gila ini.
Sial, apa yang mau dia lakukan sekarang(?) Apa itu hal yang normal, jika seorang pria kini sedang membuka kancing celana dan menunjukan keperkasaan mereka di depan orang lain seperti ini(?) Oh tidak, aku dan sahabatku sering seperti ini juga. Tapi kenapa tatapannya padaku seperti terlihat sangat bernapsu(!)
"Apa yang kamu lakukan?"
"Bagaimana menurutmu?"
"Apa kamu sudah tidak waras? Aku tidak akan melakukannya." Marahku pada Tandri.
Tandri, "Tidak waras. Ia emangnya kenapa kalau aku ini sudah tidak waras."
Tanpa menunggu responku lagi, pria gila itu dengan kasarnya menarik rambutku dan mendorong kepalaku ke arah juniornya.
"Isap sekarang!"
"Tidak mau." Ucapku gemetaran.
Dengan kasar Tandri memegang rahangku dengan keras dan memaksaku untuk membuka mulutku. Tanpa pikir panjang Tandri dengan paksa memasukan miliknya yang setengah ereksi di dalam mulutku.
"Aku akan memukulmu jika kamu sampai mengigitnya."
Saat ini aku sudah ketakutan sampai mati. Ini pertama kalinya dalam hidupku menyentuh junior milik orang lain. Dan parahnya lagi, itu dimasukan langsung kedalam mulutku.
Aku hanya bisa terdiam mematung tanpa niat melakukan sedikit pergerakan.
"Elen, jangan terlalu kaku."
Aku menatap Tandri dengan mata sayu, tidak lupa dengan juniornya yang sudah mulai menegang sempurna di dalam mulutku. Beberapa menit kemudian, penglihatanku mulai buram dan kepalaku terasa pusing dan berat.
Akupun jatuh pingsan dalam keadaan yang terlihat sangat ambigu, dan kata terakhir yang sempat aku dengar sebelum kesadaranku hilang total adalah 'sial' kata yang keluar dari mulut Tandri.
.....
Ke esokan paginya aku terbangun karena mendengar suara Rembulan di sampingku dengan bunyi mainan kring, kring miliknya. Aku membuka mataku perlahan dan menatap Rembulan yang kini sedang berbaring terlentang sambil bermain dengan mainan kesayangannya.
Hal utama yang aku pikirkan adalah kenapa Rembulan ada di atas tempat tidur? Aku melihat sekitar kamarku, tidak ada tanda-tanda keberadaan Tandri, dan kamarku juga terlihat sangat rapi. Kondom-kondom semalam yang berhamburan juga sudah tidak terlihat lagi keberadaannya.
Rembulan, "Bwaa, bwwaaww..."
Beberapa saat kemudian pintu kamarku terbuka dan munculah sosok yang sangat menakutkan semalam. Tandri berjalan membawa nampan makanan dan dua gelas yang berisi air putih dan susu. Melihatnya berjalan sambil menatap ke arahku, membuatku ingin menggali lubang dan loncat kedalamnya karena malu setelah mengingat kejadian semalam.
Astaga, sunguh ini benar-benar sangat memalukan.
Tandri menaru nampan di atas meja dan menarik kereta bayi di samping tempat tidur, kemudian Tandri menggendong rembulan dan menaruhnya dalam kereta bayi. Setelah itu dia mengambil nampan dan duduk di sampingku.
"Jangan menatapku terus, makan saja sarapanmu." Ucapnya sambil memberikan piring berisi beberapa roti yang sudah di olesi selai coklat padaku. Aku mengambilnya tampa protes dan memakannya dalam diam.
Tandri menyuapi Rembulan dengan makanan tambahan seperti sun bayi. Astaga pria ini sangat pandai merawat bayi, dia sudah pantas menjadi seorang Ayah.
"Jam berapa sekarang?" Ucapku sambil mengunyah roti.
"Delapan." Katanya sambil menyuapi Rembulan.
"Kamu tidak ke kantor?"
"Libur."
Elen, "....."
"Bukanya ini hari senin?"
"Emangnya ada apa dengan hari senin?"
"Kamu tidak ke kantor?"
"Libur."
"... Tapi hari ini bukan tanggal merah."
"Buat libur sendiri."
"....."
Ada apa ini(?) Kenapa aku merasa dia sepertinya sedang marah padaku. Emangnya salahku apa(?) Bukannya di sini seharusnya aku yang harus marah karena sudah melecehkanku semalam.
"Tandri... Apa kamu marah padaku?" Astaga dasar bodoh, bodoh, bodoh. Kenapa aku harus perduli dia marah atau tidak(!)
Tidak ada jawaban.
"Tandri."
Tidak ada jawaban.
"Tandri."
Masih tidak ada jawaban.
"Tandri."
Tandri menaruh mangkuk berisi makanan Rembulan di atas meja, dan balik menatapku, setelah itu dia mengambil piring beserta roti yang berada di tanganku, dan menaruhnya di atas meja.
"Tandri aku belum selesai makan." Ucapku dengan suarah pelan.
Tandri menatapku dan berkata, "Aku akan memberimu makan." Setelah mengatakan itu, Tandri naik ke tempat tidur dan masuk bersamaku ke dalam selimut. Tandri mendorongku ke tempat tidur dan mengangkang di atasku.
"Ap–apa yang kamu, kamu lakukan?"
"Memberimu makan." Jawabnya santai. Kemudian Tandri membuka dan menurunkan celananya di depanku.
Sialan dia sudah menegang. Sungguh keterlaluan, dia menegang tampa ada pemicu rangsangan.
"Ba–bagaimana bi–bisa kamu menegang?"
Tandri menurunkan kepalanya tepat beberapa senti meter dari wajahku.
"Aku selalu menegang setiap kali melihatmu." Ucapnya serak.
"Buka celanamu."
"Aku belum siapa." Tandri menaikan sebelah alisnya, "Aku tidak akan memasukan miliku ke dalam lubangmu. Aku hanya akan menggunakan pahamu."
"Bagaimana dengan Rembulan?"
"Anak kita sedang bermain boneka kesayangannya. Asalkan kamu tidak mengeluarkan suarah, anak kita pasti tidak akan menatap ke sini." Jelasnya dengan suara menggoda.
Bersambung ...