19 Agustus 2020
Hingga akhir waktu
Episode 7
Seorang pria tengah duduk bersandar di atas sofa mewah, matanya menatap lurus layar telivisi yang menampilkan sebuah derama action, tapi dia tersenyum sendiri bukan karena adegan dalam tv melainkan keranq membayangkan apa yang terjadi di rumah sakit tadi ketika dokter hendak memeriksa dirinya, dokter itu bahkan sangat terkejut saat melihat hasilnya menunjukkan bahwa dirinya sehat wal afiat, tentu saja beginya itu tidak ada yang mengejutkan karena sebenarnya yang sakit itu kakaknya bukan dirinya, dia hanya menggantikan sementara saja.
"Sepertinya kebanykan minum obat membuatmu semakin gila." Hampir saja pria itu terkena serangan jantung mendengar suara bariton tanpa nada tersebut, ia pun menolehkan kepalanya kebelakang, terlihat Sang kakak tengah menggendong istrinya dengan kedua tangannya, gadis itu seakan tidak ingin lepas dari gendongan Sang kakak mungkin inilah yang disebut dengan ikatan batin suami istri. Soici bangkit dari tenpat duduknya, dalam hati ia merasa sangat jengkel karena kakaknya telah mengejutkannya, tapi niatnya dihentikan dan diganti dengan niat yang lain, dengan langkah ringan dia menghampiri Sang kakak yang masih menggendong istrinya.
"Istriku yang cantic," sambutnya. Sonia tidak menjawab panggilan adik iparnya yang dikiranya sebagai Sang suami, entah kenapa hatinya merasa lebih nyaman dalam gendongan pria yang dikiranya sebagai adik ipar tersebut, ia bahkan semakin menyembunyikan wajahnya di dada pria yang dianggapnya sebagai suaminya.
"Anu, Soici. Bisa berikan padaku." Tangan Soici terulur meminta Sang kakak menyerahkan gadis yang masih digendongnya tersebut. Belum sempat Fransis menjawab permintaan adiknya, gadis dalam gendongannya itu sudah menyela terlebih dulu.
"Turunkan aku saja," pintanya. Tanpa banyak komentar pria itu segera menurunkan Sang istri dari gendongannya, dia tidak tahu kenapa gadis itu seakan tidak ingin Soici menyentuhnya, bukankah seharusnya yang dia tahu bahwa pria yang menjadi suaminya itu adalah Soici sugami.
"Hei, sayang. Kenapa kau malah turun? Aku bisa menggendongmu hingga kekamar," tanya Soici yang juga tidak mengerti kenapa seakan gadis itu menghindarinya, apakah dirinya sudah gagal menyamar menjadi seorang Fransis Lonenlis suami dari Sonia.
Sonia menggelang pelan, dia juga tidak tahu kenapa dirinya tidak ingin digendong oleh pria yang dikiranya sebagai suaminya tersebut, tapi justru merasa nyaman kalau berada dalam gendongan pria yang dikiranya sebagai adik iparnya,"Terimakasih, Frans. Tapi tidak usah, aku bisa berjalan sendiri," tolaknya sambil menundukkan kepalanya.
"Kau serius?" tanya Soici memastikan.
"I-iya," jawab Sonia semakin menunduk.
"Ok, baiklah. Tapi nanti kau harus cerita padaku, sayang. Apa saja yang kau lakukan bersama adikku," balas Soici lembut. Sonia hanya mengangguk, meski dalam pikirannya yang pertama disebut adalah nama Fransis.
"Sekarang kau boleh masuk dan berganti pakean," ucapnya lagi.
"Baiklah." Sonia melangkahkan kakinya meninggalkan suami dan adik iparnya, hari ini dia merasakan sesuatu yang sangat aneh dalam dirinya, entah apakah penyakit jantungnya kambuh atau bagaimana, tapi setiap kali berada di dekat pria yang dikiranya adik ipar tersebut jantungnya selalu berdegup lebih cepat.
Soici tersenyum sendiri melihat sikap kakak iparnya yang malu-malu, ia pun hendak berbalik kalau saja Sang kakak tidak menghentikannya dengan kalimat sindiran,"Tidak ku sangka kau sangat suka membawa obatku dikampus." Fransis melangkahkan kakinya menuju sofa empuk yang tadi diduduki adiknya, disandarkannya kepala dan punggungnya di sandaran sofa tersebut, tubuhnya terasa sangat lemas tanpa tenaga, perutnya juga masih terasa tidak nyaman, kadang dia merasa putus asa dengan semua keadaan yang menimpanya, ditambah lagi hari ini ia mengtahui kenyataan baru bahwa istri kecil terkena penyakit jantung bocor dan harus mendapatkan donor jantung, mungkinkah ini semua sudah garis takdir? Dirinya yang sudah tidak mungkin untuk sembuh bisa menolong seorang yang juga sulit untuk disembuhkan.
Soici diam membeku, rasanya ia ingin membenturkan kepalanya di dinding agar otak pelupa itu bisa sedikit bisa mengingat, sebenarnya dia tidak berniat membawa obat kakaknya melainkan vitamin saja, tapi karena obat Sang kakak itu dimasukkan dalam botol vitamin jadi tertukar dan pasti saat ketinggalan obat tersebut ditemukan oleh temannya dan dikembalikan pada kakaknya. Matanya melirik Sang kakak yang terlihat sangat kelelahan, kulit wajah yang memang putih bertambah semakin putih, matanya terpejam dan kapalanya bersandar di sandaran sofa, sebelah tangannya berada di atas perutnya, pasti kakaknya merasa tidak nyaman.
Soici mendudukkan dirinya disamping kakaknya, tanpa terasa air matanya menetes melihat Sang kakak yang terlihat rapuh tapi masih bekerja keras untuk membiayai kebutuhannya dan keluarga besarnya, terkadang dia ingin hidup sederhana saja agar kakaknya itu punya waktu untuk perduli pada sendirinya sendiri, dan menggunakan hartnya untuk berobat, ketika ingat bahwa kakaknya tidak ingin melihat dirinya sedih, ia pun segera menghapus air matanya, dialah yang harus memberi semangat untuk kakaknya agar terus berjuang melawan penyakitnya bukan malah menangis yang akan membuat Sang kakak akan semakin merasa terbebani. Semenjak ayahnya menikah lagi dan ibunya selalu sibuk dengan dunianyan sendiri, kakaknyalah yang terus menjaganya, mendirikan perusaan sendiri mulai dari kecil hingga taraf international, Sang kakak bisa menjadi sukses meski tanpa uluran tangan kedua orang tuanya hingga tidak ada kesempatan untuk menikmati masa remajanya karena terlalu sibuk mengurusi dirinya, meski bitu dia tetap menghormati orang tuanya dan menuruti apapun keingannya termasuk keingan Sang ibu untuk menikah sengan Sonia.
"Apa kau baru patah hati." Suara Sang kakak kembali menyentakkan dirinya dari lamunan, raut sedihnya berusaha ditutupinya dengan senyum agar kakaknya tidak menyadarinya.
"Tidak, Soici sugami tidak pernah patah hati. Putus satu tumbuh seribu," balasnya penuh percaya diri, ia baru sadar kalau mata kakaknya telah terbuka sempurna.
"Kakak, sudah makan belum?" tanyanya penuh perhatian.
"Hn." Fransis kembali memejamkan matanya. Meskipun dia adik kandungnya, tapi tetap saja selalu gagal memahami maksud'hn' kakaknya itu, bahkan dirinya sampai harus mencari dama kamus besar Bahasa Indonesia tetap saja tidak menemukan makna dua huruf itu.
"Kak, Fransis. Aku suruh Yusino membuatkan untukmu, ya?" tanyanya lagi.
"Aku tidak ingin makan," jawab Fransis tanpa membuka matanya.
"Apa yang kakak rasakan sekarang? Kakak tau,'kan? Kakak bisa cerita padaku semuanya, seperti aku yang selalu cerita pada kakak," balas Soici berharap Sang kakak bersedia untuk berkata jujur.
"Tidak ada," jawab Fransis singkat. Bukan bermaksud untuk berbohong, tapi dengan mental adiknya yang sering berubah-ubah membuat dirinya harus berpikir seribu kali untuk mengeluh padanya, berbagai macam reaksi tak terduga selalu di tampakkan oleh Sang adik ketika mentalnya kembali bermasalah.
"Kakak, jangan berbohong! Kakak mungkin bisa membohongi semua orang tapi tidak denganku. Aku tau semua apa yang kakak rasakan, kakak tidak mau makan sejak tadi pagi, pasti perut kakak terasa tidak nyaman,'kan?! Rasanya mual atau mungkin sakit!" balas Soici yang tiba-tiba marah, dia bahkan berdiri tegak di hadapan kakaknya seperti singa kebakaran jenggot.
"Tidak," jawab Fransis. Entah kenapa ia merasakan firasat buruk saat melihat adiknya kembali meledak-ledak hanya karena tidak puas dengan jawaban darinya, dalam hati berharap semoga ini hanya firasatnya saja.