Chereads / Kisah di SMA / Chapter 3 - 3. Ada Untungnya

Chapter 3 - 3. Ada Untungnya

Aku turun di depan gang itu dan melangkah pergi, tidak peduli. Setidaknya, aku bisa menghemat energiku dengan ini. Dia juga diam saja menatap diriku yang berjalan kian menjauh. Bodo amat, sih!

Selama seminggu, lelaki bernama Leon itu terus mengangguku, entah saat di jam istirahat atau pun jam pulang. Kedua sahabatku selalu saja menggoda diriku setiap Leon pergi usai menemuiku, tepatnya usai menggangguku dengan paksaannya. Bahkan, Yesi yang awalnya bilang naksir sama Leon, tidak keberatan sama sekali dengan sikap Leon kepadaku yang bisa dibilang 'caper' atau cari perhatian.

"Jangan digalakin terus kali, Sav!" ucap Sisi sambil tertawa kecil saat menuju gerbang.

"Iya, Sav. Nanti, jadi suka lho!" timpal Yesi cekikikan.

"Kalian apaan sih? Gak mungkin kali aku suka sama cowok yang nyebelin kayak gitu. Setiap hari kerjaan maksa mulu." jawabku kesal.

"Biasanya, ya, Sav, cowok yang kelakuannya kayak gitu tandanya suka sama kamu. Aku berani taruhan, kalau dia akan terus ganggu kamu sampai kamu jadi suka sama dia." kata Sisi sok bijak.

"Atau dia bisa langsung nembak kamu di depan semua orang. So sweet banget gak, sih? Aku jadi iri." timpal Yesi menerka-nerka.

"Kalian itu nyebelin banget, yah! Aku pulang duluan, deh!" kataku semakin kesal. Aku melangkah cepat ke gerbang sekolah meninggalkan dua sahabatku.

Seperti biasa, Leon selalu ada di dekat sana dengan motornya. Hampir setiap hari aku harus berpapasan dengannya, atau lebih buruk lagi, berbicara dengannya.

"Hai, Sav! Mau kuantar?" katanya seperti biasa.

Aku tidak menjawabnya, menoleh pun tidak. Aku hanya terus melangkah pergi meninggalkan sekolah.

"Saviraa!" teriak Leon lebih kencang membuat semua orang di sekitar kami ikut menoleh.

Otomatis, orang-orang juga melihat diriku karena lelaki gak jelas ini berada di dekatku. Hal itu membuatku semakin jengkel dan memutuskan untuk menanggapi dirinya.

"Bisa gak, gak usah teriak-teriak kayak tadi?" tanyaku jengkel.

"Habisnya kamu gak jawab. Aku kira kamu gak denger panggilanku tadi." jawabnya tanpa perasaan bersalah.

Aku menatapnya sebal. Sementara, orang yang kutatap hanya cengar-cengir tidak jelas. Semakin menyebalkan! "Kenapa?" tanyaku ketus.

"Aku antar, ya?" tanya Leon tanpa masalah.

"Kamu kenapa, sih? Setiap hari nawarin itu terus. Kamu suka sama aku?" kataku sebal meminta penjelasan.

"Ih, pede banget bilang gitu! Yang suka sama kamu juga siapa? Aku cuma mau nganter kamu aja." katanya mengelak.

"Harus setiap hari, ya? Kayak orang pacaran aja. Inget ya, aku bukan pacarmu!" kataku dengan penekanan di kalimat terakhir.

"Jadi, aku ditolak, nih?" katanya sambil mengambil sesuatu di dashboard motornya, lalu mengulurkan barang itu.

Aku melihat benda yang dibungkus plastik putih itu lamat-lamat sambil menebak-nebak benda di dalamnya.

"Kamu gak mau es krim? Ini aku beli. Ini es krim 3 in 1, vanila, stroberi, dan coklat. Aku gak tau kamu suka rasa apa. Jadi, aku beli aja yang 3 in 1!" jelasnya.

Aku menatapnya bingung. 'Ngapain coba ngasi es krim segala? Dia kira aku bisa disuap gitu sama es krim? Biar tau rasa, aku ambil aja es krimnya terus pergi." batinku dalam hati. Tanpa kusadari, aku menyeringai tipis.

"Ngapain senyum-senyum? Nih, ambil! Keburu cair lagi nanti." katanya sambil mengulurkan kotak es krim itu padaku.

Aku langsung mengambilnya dan balik kanan, lanjut melangkah. Tidak peduli dengan ekspresi orang yang baru saja memberinya sekotak es krim. 'Ternyata ada untungnya juga aku kenal sama dia. Bisa dapat es krim, nanti bisa aja jadi ojek gratis.' pikirku dalam hati sambil berjalan dengan riang memikirkannya.

***

Esoknya, saat aku memasuki kelas, suasana sudah bising. Entah membicarakan apa, tidak terdengar jelas saking ributnya. Aku tidak peduli sebenarnya, ini sudah biasa terjadi di kelasku. Namun, perkataan Sisi dan Yesi membuatku terkejut. Ternyata, lusa adalah acara ulang tahun sekolah. Acara tersebut dikatakan akan diadakan di sebuah aula gedung. Semua murid akan memakai gaun dan jas. Menurut Sisi dan Yesi, di acara inilah mereka bisa mencari pasangan. Iya, pasangan atau mungkin tepatnya pacar.

"Kamu akan pakai gaun apa, Sav, Yes? Kalau aku pakai gaun merah maroon." kata Sisi senang.

"Moi aussi! Merah maroon itu benar-benar indah." kata Yesi ikut senang juga antusias.

"Mousi?" tanyaku tidak paham.

"Eh, itu artinya 'Aku juga'!" jelas Sisi.

"Astaga! Aku lupa memberi tahumu." kata Yesi sambil menepuk pelan dahinya. "Kau lihat rambut pirangku ini? Ayahku adalah orang Prancis dan Ibuku adalah orang Indonesia. Dan, bahasa yang tadi kuucapkan adalah..."

"...Bahasa Prancis." kataku memotong pembicaraan, paham dengan arah pembicaraan. Sisi dan Yesi mengangguk kompak sambil tersenyum.

"Jika kalian memakai warna merah maroon, aku juga harus memakai warna itu. Tapi seingatku, aku gak punya warnanya. Masa aku berbeda dari kalian?" kataku dengan sedih.

Sisi dan Yesi saling bertatapan melihat wajah sedihku. Tidak menyadari perkataan mereka bisa membuat sahabatnya bersedih.

"Apa kau punya gaun merah maroon lagi? Kau kan suka warna itu, pasti punya lebih." bisik Sisi pada Yesi, mencoba memikirkan solusinya.

"Punya, sih! Tapi, cuma satu aja yang gaun panjang, sisanya pendek." balas Yesi berbisik.

"Yah, aku juga gak punya!" kata Sisi ikut sedih.

"Kalian ngomongin apaan, sih? Gak lagi gibahin aku sama cowok gak jelas itu, kan?" tanya Savira penuh selidik. Kecurigaannya menjadi meningkat setiap dua sahabatnya itu berbisik-bisik.

Mereka berdua menoleh dan melihatku yang menatap dengan tatapan setengah sebal setengah curiga. Kedua tanganku sudah terlipat di depan dada. Sayangnya, diriku ini kurang beruntung, bel masuk lebih dulu berbunyi nyaring dibandingkan dengan sahabatnya.

Seolah lupa, Sisi dan Yesi langsung kembali ke meja mereka yang terletak jauh dari Savira sehingga tidak memungkinkan mereka mengobrol. Aku yang melihat mereka pergi begitu saja, tanpa menjawab menjadi semakin sebal. Aku memutuskan untuk melupakannya, lebih baik aku mencari solusi tentang gaun yang akan dipakainya lusa.

Pelajaran pertama pun segera dimulai. Hari ini berjalan dengan baik, terlepas dari masalah gaun itu. Tidak ada cowok menyebalkan yang mendatangiku saat jam istirahat. Hari ini terasa jauh berbeda tanpa dirinya. Hari ini lebih menyenangkan. Aku terus saja tersenyum saat berjalan santai ke gerbang sekolah ditemani dua sahabatku.

"Hei, Sav! Lagi mikirin Leon, ya? Makanya senyum-senyum sendiri terus." goda Yesi.

Selalu saja begitu. Jika bukan Yesi, pasti Sisi. Begitu juga sebaliknya. "Jangan merusak moodku, dong, Yes! Hari ini aku bebas juga dari dia. Aku sampai bosan liat muka dia dari kemarin-kemarin." gerutuku. Wajah gembiraku langsung padam mendengar pernyataan Yesi.

"Kok kamu malah seneng, sih? Harusnya kamu khawatir dia ngilang gitu aja! Cowok kayak gitu udah langka." protes Sisi.

"Ngapain khawatir? Palingan aja dia udah nyerah karena kemarin." jawabku santai sambil mengangkat bahu.

"Emang ada apa kemarin? Dia nembak kamu? Seriusan?" Sisi sudah melempar 3 pertanyaan sekaligus saking penasarannya.

"Dibilang nembak, gak juga. Tapi, aku udah tolak dia." jawabku. "Ee... jadi gini, kemarin aku nanya kalo dia suka sama aku atau gak. Terus, dia jawabnya gak suka. Aku bilang ke dia kalau aku bukan pacarnya dia, jadi gak usah diantar-jemput setiap hari. Terus, dia bilang kayak gini, 'Jadi, aku ditolak, nih?' sambil kasi aku sekotak es krim." jawabku lebih baik lagi karena melihat wajah bingung mereka berdua.

"Udah? Gitu aja?" tanya Sisi. Ditilik dari raut mukanya, ia terlihat kecewa.

"Iya. Emang harus gimana lagi?" tanyaku sambil mengangkat bahu. Emang dia kira kayak gimana?

"Tapi... Leon kan cowok yang gak gampang nyerah! Gak mungkin dia nyerah gitu aja!" seru Yesi tidak percaya.

Entah apa yang ada di pikiran dua sahabatku itu, mereka pasti sudah tergila-gila dengan Leon. Selalu saja menganggap Leon adalah seorang lelaki idaman. Padahal kenyataannya, gak sama sekali!

Kami sudah sampai di depan gerbang sekolah sedari tadi. Aku memang tidak langsung pulang, begitu juga dengan mereka. Biasanya, kami selalu diam terlebih dahulu untuk mengobrol santai. Rasanya sudah lama aku tidak seperti ini. Semua ini karena dia, cowok menyebalkan itu yang selalu saja menungguiku di gerbang membuatku selalu ingin pulang ke rumah lebih cepat.