Aku bersikap manis sejak hari minggu. Belajar dengan baik, membantu Oma memasak setiap pagi, menemani Opa menyiram tanaman pagi dan sore hari, memberi makan ikan koi, membereskan kamar yang baru kusadari ternyata berantakan karena aku menaruh segala benda sembarangan, juga membersihkan kamar mandi yang memang berada di dalam kamar. Hingga aku berpikir sepertinya hampir tiga bulan ini aku memang terlihat sangat menyedihkan. Tak mengherankan Opa dan Oma begitu khawatir padaku.
Barang-barang yang ingin kuambil dari rumah peninggalan Ayah di Bogor, tiba di rumah Opa sabtu malam. Sebetulnya aku ingin ikut pulang, tapi Opa melarang. Opa berkata aku harus belajar untuk mengejar ketertinggalan materi pelajaran yang kuabaikan selama mengurung diri di kamar. Terlebih, perjalanan ke rumah pasti akan melelahkan hingga Opa meminta orang yang bisa dipercaya untuk mengambil sepeda, satu set peralatan komputer, laptop dan semua perlengkapan peralatan kerajinan tangan milik Bunda.
Aku tak bisa berharap lebih dari ini. Opa dan Oma sangat membantuku setelah Ayah dan kedua adikku meninggal. Kami pun sepertinya mulai merelakan Bunda walau tubuhnya belum juga berhasil ditemukan.
Mimpi buruk masih terus mendatangiku saat malam menjelang, keringat dingin selalu datang bersamaan dengannya. Namun aku selalu berusaha menghalau kesedihanku sebelum keluar kamar setiap pagi untuk bertemu dengan Opa dan Oma. Aku tak ingin membuat mereka mengkhawatirkanku lagi.
Sebetulnya aku memiliki kakek dan nenek lain dari Ayah. Kakek Rizal adalah pebisnis ekspor hasil tangkapan laut di Papua. Sedangkan Nenek Agnes tinggal di Jepang tak lama setelah bercerai dari Kakek jauh sebelum aku lahir. Sejauh yang aku tahu, nenek Agnes mengelola kebun buah di sana.
Ayahku adalah anak tunggal. Ayah jarang sekali bercerita tentang orang tuanya. Ayah lebih sering bercerita tentang pengalamannya menjelajahi berbagai gunung, lembah, air terjun, laut dan banyak tempat lainnya sebelum menikah dengan Bunda.
Seingatku, aku hanya pernah bertemu sekali dengan Kakek Rizal saat Kakek mengunjungi kami bertahun lalu saat Danar lahir. Aku belum pernah bertemu dengan Nenek Agnes, entah kenapa. Padahal kami bisa saja memilih waktu ke Jepang untuk mengunjunginya. Kurasa Ayah punya cukup uang untuk itu karena ayahku memiliki lebih dari selusin gerai kopi di berbagai kota.
Kurasa nanti aku harus bertanya pada Opa bagaimana kedai kopi Ayah dijalankan setelah meninggal. Apakah Opa yang sekarang mengurusinya?
***
Pagi-pagi sekali Astro sudah sampai di rumah Opa, tepat saat aku dan Oma selesai memasak. Kami sarapan sambil berbincang tentang banyak hal yang Astro lakukan selama seminggu di sekolah, lalu Astro meminta izin pada Opa untuk mengajakku berkeliling dengan sepeda.
Aku membawa ransel berisi satu kotak makan berisi camilan, sebuah buku sketsa dan sekotak alat tulis. Aku juga menaruh pakaian ganti dan handphone di sana. Aku sama sekali tak memiliki ide akan diajak ke mana. Hingga kurasa bersiap untuk kemungkinan pulang saat senja tiba akan lebih baik, bukan?
Astro mengajakku mengambil rute ke arah kebun karet yang pernah kami lewati, lalu masuk ke pemukiman warga yang cukup padat sebelum melewati sebuah pasar. Aku mengajaknya berhenti sebentar saat melihat ada sebuah kios yang menjual sari kedelai.
"Dua ya, Pak." ujarku sambil menyodorkan selembar uang.
Bapak penjual sari kedelai itu tersenyum saat melayaniku. Dia memberikan dua botol sari kedelai dan beberapa lembar uang kembalian tanpa berkata sepatah kata pun.
Aku mengajak Astro melanjutkan perjalanan setelah memasukkan sari kedelai ke dalam ransel. Kami membutuhkan waktu beberapa lama untuk benar-benar keluar dari area pasar yang padat dan besar karena pasar itu terbagi berbagai blok.
Tak jauh dari pasar, setelah melewati beberapa bangunan pemerintahan yang luas dan sebuah tugu, kami tiba di depan sebuah gedung sekolah. Astro mengajakku berhenti tepat di depan bangunannya. Ada plang besar di dekat gerbang yang tertutup, bertuliskan: SMA AMRETA TISNA, Akreditasi A.
"Aku mau sekolah di sini nanti." ujarnya sambil menatapi keseluruhan bangunan sekolah yang terlihat bagus sekali.
Tunggu sebentar.
Kami masih kelas lima dan untuk masuk ke SMA, kami akan membutuhkan waktu sekitar empat tahun lagi. Astro sepertinya visioner sekali karena sudah menentukan akan sekolah di mana sejak saat ini.
Astro mengajakku melanjutkan perjalanan saat mataku masih terpaku pada bentuk bangunan sekolah itu. Kurasa hanya orang yang mempunyai cukup uang yang bisa bersekolah di sana. Mungkin juga bisa untuk beberapa siswa beruntung yang mendapatkan beasiswa.
Keringat mulai membasahi tengkukku saat aku melirik jam di lengan, pukul 09.18. Matahari mulai tinggi dan memancarkan sinar terik yang hangat. Udara di sekitar kami sangat bersih karena area ini masih dikelilingi sawah dan perkebunan karet. Mungkin area yang dekat dengan gunung juga mempengaruhi suhu yang terasa menyegarkan.
Kami memutuskan berhenti sebentar di tepi jalan yang dikelilingi sawah. Kami melepas sepatu agar kaki kami bisa beristirahat sambil duduk di tanah tanpa alas apapun. Aku mengambil dua botol sari kedelai dari ransel, lalu membuka tutup botol sari kedelai milikku dan menyodorkan yang lainnya ke Astro.
"Eh, ga usah. Aku ... erm ..." ujarnya sambil memberi isyarat penolakan.
"Kenapa? Haus kan udah sepedaan jauh?" aku bertanya sambil terus menyodorkan botol ke arahnya.
"Ga pa-pa. Nanti kita berhenti di warung depan sana buat beli air."
"Minum aja. Udah dibeli nih. Kan sayang."
"Lagian kamu kenapa beli dua sih? Kalau ga sanggup minumnya harusnya beli satu aja."
"Kan ga sopan. Masa aku beli buatku sendiri?"
"Kan aku ga minta."
"Kamu emang ga minta, tapi aku beli yang satunya buat kamu. Kamu ga suka? Emangnya udah pernah coba?"
Astro menggeleng. Dia masih tak juga menerima botol yang hampir menyentuh tangannya.
"Kenapa sih?"
"Bau." ujarnya singkat.
Apa-apaan itu? Dia terlihat seperti Danar yang menolak diberi makan sayur. Kurasa aku tak bisa menyembunyikan senyum di bibirku.
"Ga usah senyum-senyum. Aku ga mau minum itu."
"Cobain dulu. Sedikit aja. Kalau ga pernah nyobain kan kamu ga tau." ujarku karena keisenganku muncul saat melihat ekspresinya yang terlihat jijik.
"Iih, iya-iya dikit aja." ujarnya sambil mengambil botol dariku.
Entah apakah hanya perasaanku, tapi dia mengambil botol dengan hati-hati. Dia menggenggam bagian yang tak terkena tanganku. Mungkinkah dia berusaha tak menyentuhku?
Astro membuka tutup botol dan menutup hidung dengan tangan kiri, lalu mendekatkan bibir botol ke bibirnya dengan tangan yang lain. Aku melihat beberapa tegukan melewati tenggorokannya dan seketika rona wajahnya berubah. Dia melepas hidungnya yang tertutup dan menghabiskan satu botol penuh tanpa sisa.
"Enak?" aku bertanya dengan senyum lebar.
Astro mengangguk dan terlihat malu. Dia lucu sekali.
Entah bagaimana, hal sepele seperti ini membuatku merasa mendapatkan keisenganku kembali. Karena harus kuakui, aku dan Fara memang sering bersikap iseng dan menggoda Danar saat dia masih hidup.
Sayangnya mungkin aku tak bisa melakukannya terlalu sering. Astro bukan adikku yang akan tetap bercanda denganku walau dia sedang merasa sangat kesal. Terlebih, jika aku tak salah mengingat, dia pernah berkata dia setahun lebih tua dariku. Bukankah itu artinya aku harus menunjukan sedikit sikap sungkan?
"Kita mau ke mana lagi?" aku bertanya.
"Ke Pasar Bambu, yuk."
Aku menatapnya heran, "Kamu mau beli bambu?"
"Itu pasar kuliner. Tempatnya di tengah hutan bambu makanya disebut Pasar Bambu. Lima belas menit kayaknya dari sini." ujarnya sambil memakai kembali sepatu dan beranjak menghampiri sepedanya.
Prediksi Astro benar, kami sampai di Pasar Bambu lima belas menit kemudian. Walau cukup menguras tenaga karena kami harus melewati jalan yang menanjak dan berkelok.
Aku baru pertama kali ke tempat seperti ini. Ke tempat di mana ada sebuah bazar makanan di tengah hutan bambu. Entah kenapa membuat perutku seketika terasa lapar.
Astro membuang botol yang sejak tadi dibawanya ke tempat sampah di depan gerbang masuk pasar. Lalu mengajakku memarkir sepeda kami dan menguncinya. Aku mengikutinya yang langsung menghampiri seorang wanita yang menjual aneka macam kudapan tradisional. Dia memilih dua buah ketan yang diberi taburan serundeng, beberapa buah wajik dan getuk, lalu mengajakku duduk di salah satu tempat lesehan dan menawarkan kudapan yang sesaat lalu dibeli padaku, "Ganti kedelai tadi."
Aku tersenyum karena mengingat ekspresinya saat menghabiskan sari kedelainya dan mulai mengunyah wajik yang terasa kenyal dan manis. Kurasa aku akan mengajak Oma dan Opa ke sini lain kali karena tempat ini terasa menyenangkan.
Hanya dengan makan beberapa kudapan sudah membuat perutku merasa kenyang hingga aku menolak saat Astro mengajakku membeli kudapan lain, maka aku hanya duduk diam saat dia meninggalkanku pergi entah ke mana. Dari tempatku duduk, aku bisa memperhatikan sekeliling dengan leluasa. Semua pedagang kompak memakai pakaian batik mega mendung berwarna ungu dan terlihat ramah sekali.
Aku baru mengingat tadi membawa sekotak bekal berisi kue. Aku membukanya dan mengambil satu untuk kumakan. Mubazir sekali rasanya jika aku tidak menghabiskannya.
Aku juga mengeluarkan buku sketsa dan alat tulis karena kurasa Astro akan berkeliling cukup lama. Aku memilih seorang pria yang sedang menjual hasil kerajinan tangan dari bambu untuk kujadikan objek sketsa. Dia terlihat keren bagiku, tapi bukan karena wajahnya yang tampan. Aku memilihnya karena aku tahu tak banyak yang akan memilih menjadi pengrajin. Atau mungkin dia hanya menjual hasil kerajinan tangan saja? Kurasa itu tak masalah bagiku, dia tetap terlihat keren.
"Minum dulu." tiba-tiba Astro menyodorkan segelas es dawet di atas lesehan ke arahku.
Aku melirik ke arahnya sesaat dan kembali fokus pada sketsa, "Sebentar."
Saat itu aku sedang berusaha membuat detail haail kerajinan yang terpampang di display. Astro menggeser tubuhnya lebih dekat padaku dan menatap sketsaku yang hampir selesai, lalu tiba-tiba bangkit dan berjalan menjauh. Aku tak terlalu memperhatikan ke mana dia pergi karena aku terlalu fokus dengan sketsaku.
"Faza." aku mendengar suaranya memanggil dari sisi belakang sebelah kiriku. Saat aku menoleh, dia sedang mengarahkan handphonenya padaku.
Astaga. Apakah dia sedang mengambil fotoku diam-diam?
"Heiii!!" teriakku untuk memprotes tindakannya.
Beberapa orang menatapku ingin tahu saat aku berteriak dan membuatku merasa canggung. Sesaat setelahnya, handphoneku yang berada di ransel yang terbuka menyala. Saat aku membuka sebuah pesan yang baru datang dari Astro, ada sebuah foto diriku sendiri sedang menatap kamera tanpa tersenyum, dengan buku sketsa di pangkuanku.
Aku memberinya pesan balasan : Iseng banget
Astro tertawa puas hingga menarik perhatian pengunjung lain yang menatap kami bergantian sambil berbisik entah apa. Anak laki-laki ini menyebalkan sekali.
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!
Regards,
-nou-