Chereads / Bocah Kampung Nakal VS Tuan Muda Triliuner Dunia / Chapter 5 - Begitulah Rasanya Disengat Listrik

Chapter 5 - Begitulah Rasanya Disengat Listrik

Sepulang sekolah, seperti biasa Zahra turun ke dapur untuk masak. Namun ia terkejut menemukan minyak goreng yang merembas dilantai lemari, padahal minyak itu tertutup rapat didalan botolnya, bagaimana mungkin bisa tumpah.

Zahra menyelidikinya, rupanya ada bekas gigitan tikus di ujung botol. Dasar tikus kurang kerjaan. Zahra juga menemukan ada banyak tahi tikus diatas tutup periuknya, bahkan disekujur lantai lemari.

Kecoa juga sepertinya datang lagi, semakin banyak malah.

Zahra yang kini tidak ingin berhubungan dengan kuliner insecta merasa kesal. Padahal kemarin ia sudah membeli kardus untuk menjadi alas lemari. Tapi kini kardusnya basah karena minyak goreng, dan kotor karena tahi tikus.

Zahra kembali mengulang membersihkan lemari, ia mengganti kardus itu. Namun ia lebih terkejut menemukan kelabang sekeluarga ada dibawah kardus itu. Mengerikan sekali. Mereka kabur berkeliaran kemana-mana. Zahra heran, ini lemari atau sarang binatang sih. Zahra meneliti sudut lemari nya dengan baik, dan ia menemukan lubang tikus dipojok lemari. Oh rupanya tikus-tikus itu datang melalui terowongan khusus. Pikir Zahra.

Ia kemudian menutup lubang tikus itu dengan kardus. Lagian ternyata setiap lemari dapur ada lubang tikusnya.

"Kak Zahra, ke bendungan yok"

Zahra menoleh, rupanya Devi dan Virgina, adik kelasnya.

Mendengar tawaran yang indah, Zahra dengan semangat 45' meninggalkan pekerjaannya demi pergi kebendungan. Zahra sangat suka ke bendungan, meskipun jalan kaki. Pasalnya bendungan itu airnya bersih, indah dan sepi, jadi ia bisa leluasa berenang disana.

Jarak antara asrama kebendungan cukup jauh jika berjalan kaki. Tapi tidak menyurutkan semangat Zahra, Devi dan Virgina. Mereka bahkan hampir tiap hari bermain di bendungan itu.

Disepanjang jalan, Devi menggunakan kesempatan itu untuk curhat-curhatan kepada Zahra. Ia bahkan berebutan dengan Virgina.

"Aku pernah cerita gak, soal Zero yang cium pipi aku?" tanya Devi dengan berbinar-binar. Zero itu cowok idaman Devi, dia satu kampung dengannya. Zero kini kelas 1 SMA, sedangkan Devi masih kelas 1 SMP.

"Belum pernah Dev, gimana ceritanya?" tanya Zahra penasaran.

Devi menutup wajahnya karena malu "Awalnya dia meletakkan tangannya didinding dibelakang aku, aku terkejut dan deg-degan banget. Setelah itu, dia tiba-tiba aja cium pipi aku. Aku sampai gak tau harus bersikap seperti apa, Zahra"

"What??? Trus ada yang liat gak, emangnya itu dimana?" Zahra mulai mengintrogasi Devi

"Di rumah aku Kak, gak ada yang liat sih, tapi kan tetap aja memalukan. Pokoknya aku gak akan bisa lupa kejadian itu"

"Kak, gebetan aku lebih romantis lagi" tuding Virgina "Kemarin dia kasih aku bunga"

"Apaan, cuman kasi bunga lewat SMS" ledek Devi

"Zero itu lebih romantis dan misterius, dia aja bilang akan datang ke asrama besok"

"Palingan dia mau ketemu orang lain, gak usah kePDan deh"

Zahra jadi heran sendiri dengan Devi dan Virgina yang sebenarnya seumuran dengan dia. Mereka kan punya gebetan yang berbeda, ngapain dibanding-bandingin. Lagian Zahra juga gak mengerti kenapa mereka bisa begitu terobsesi sama cowok, padahal cowok kan gak ada spesial-spesialnya bagi Zahra. Kalau disuruh milih cowok atau jengkol, Zahra lebih baik memilih jengkol.

Karena Devi dan Virgina yang bertengkar. Zahra memilih mengacuhkan mereka hingga tiba di bendungan.

Bendungan itu tidak terlalu besar namun memiliki pilar-pilar yang kokoh dan tinggi. Menurut isu, pilar itu membutuhkan tumbal minimal 1 kepala manusia per satu tahun agar tetap kokoh. Jika tidak ada tumbal, bendungannya akan roboh. Tentu saja banyak orang yang percaya dengan isu itu, sehingga bendungan ini jadi sepi pengunjung.

Cahaya matahari sore menyinari kulit putih Zahra, kulit itu terlalu bersinar seperti kristal. Disana Zahra, Devi dan Virgina ternyata tidak sendirian. Ada 4 anak laki-laki seusia mereka yang sedang memancing ikan.

Melihat pancingan ditangan mereka, Zahra jadi ingat dengan kampung halamannya, ia sering sekali memancing disungai bersama Farhan.

Zahra jadi kepengen memancing lagi. Namun ia tidak yakin mereka mau meminjamkan pancingan mereka padanya.

Zahra pun hanya menatap mereka dalam diam, sementara Devi dan Virgina kini tidak lagi bertengkar, mereka sibuk terpesona akan ketampanan anak-anak itu.

Dua orang pemuda kemudian naik dari air lalu duduk diseberang jembatan bendungan. Zahra mengambil kesempatan itu untuk mendekati mereka. Zahra menyadari kulit kedua pemuda itu sangat bersih, seperti kulit orang kaya. Zahra pernah mendengar, orang-orang kaya selalu memiliki kulit yang bersih terlepas kulitnya putih, sawo atau hitam.

"Kenapa berhenti mancingnya?" tanya Zahra.

Kedua pemuda itu saling pandang.

"Mau mancing juga?" tawar salah seorang dari pemuda itu. Zahra mengangguk girang.

"Sini ikut aku" orang itu mengajak Zahra turun dari pilar bendungan yang tinggi.

Ia memegang tangan Zahra agar Zahra tidak jatuh, namun Zahra menepisnya, ini membuat pemuda itu merasa heran dengan sikap Zahra. Meskipun penampilan Zahra sangat sederhana, celana pendek dan baju kaos warna biru. Pemuda itu tegap menganggap Zahra sebenarnya adalah anak orang kaya yang tidak suka memamerkan kekayaan. Namun ia heran ketika Zahra tidak mau dilayani, biasanya orang kaya senang dilayani, apalagi perempuan, mereka tidak akan menepis tangan seseorang yang melayani mereka.

"Coba lihat itu ikannya" pemuda itu menunjukkan ikan sebesar telapak tangannya pada Zahra.

"Gimana cara mancingnya, nih pancingan kok gak ada cacing dan kailnya" kritik Zahra.

Pemuda itu tersenyum, memamerkan ketampanan wajahnya kepada Zahra.

"Ini kan pancingan listrik, kamu cukup menyentuhkan ujung pancingan ini di badan ikannya, maka ikannya akan mati dan kamu bisa menangkapnya mayatnya"

Mendengar gaya baru dalam memancing, Zahra jadi semangat. Ia segera mengarahkan pancingan itu ke arah ikan. Tapi ikannya malah kabur dan gak keluar lagi.

"Yah gak dapat" sesal Zahra

"Iya emang susah, kami aja gak ada yang dapat" kata pemuda itu.

Zahra mendadak kesal, rupanya pemuda itu tidak jago ya. Munculah ide jahil di otaknya.

"Sekarang aku sudah tahu tekniknya. Jadi aku bisa dapat ikan itu"

Pemuda itu tertawa "Mana mungkin, gimana coba?"

"Kamu panggil dulu dong ikannya" titah Zahra. Pemuda itu hanya menurut saja, ia segera memanggil ikannya.

Asik-asik memanggil ikan, Zahra menyetrumnya dengan pancingan itu. Pemuda itu terkejut lalu jatuh kedalam air.

Zahra menertawakannya "Dapat deh.... "

Pemuda itu merasa kesal dikerjai oleh Zahra, badannya jadi lemah semua gara-gara disengat listrik, sudah begitu basah lagi, padahal dia kan tidak berencana mandi. Ia kemudian menarik tangan Zahra agar ikut masuk kedalam air. Devi dan Virgina segera ikut bercebur kedalam air, termasuk teman-teman pemuda itu. Jadilah mereka bermain kejar-kejaran didalam air.

Setelah hari mulai gelap, mereka keluar dari air, masing-masing dengan bibir yang membiru dan tubuh yang menggigil.

Sebelum pulang mereka baru ingat untuk berkenalan, pemuda tampan itu bernama Bryen, teman yang duduk disampingnya tadi bernama Berdi, sedangkan yang lainnya bernama Leon dan Puja.

Ketika mereka sedang asyik bberkenaln, Zahra menjadi gerah dan bosan, lagi-lagi terbersit ide jahilnya. Ia kemudian menyengat mereka semua dengan pancingan Bryen hingga semuanya jatuh tersungkur, melemah.

Zahra tertawa terpingkal-pingkal hingga tidak sadar pancingan itu sudah dirampas oleh Bryen.

"Apa kamu tidak tahu bagaimana rasanya disengat listrik? " tanyanya dengan nada mengancam.

Zarah mengabaikannya, ia mendorong Bryen kedalam air lagi.

Lalu menyengat Bryen dengan pancingan milik Berdi. Bryen pura-pura tersengat, padahal sebenarnya tidak, karena pancingan Berdi sedang rusak sehingga tidak bisa mengeluarkan listrik.

Bryen sengaja mengelabui Zahra agar ia bisa balik menyengat Zahra dengan pancingan yang ada ditangannya, tanpa perlawanan dari Zahra.

Zahra pun tersetrum ikut tersungkur jatuh kedalam air. Bryen menangkapnya. Lalu dengan cepat tanpa membuang-buang waktu, ia mengecup bibir Zahra, 2 kali.

Zahra benar-benar terkejut sampai membeku tak bisa bergerak. Ini adalah sengatan listrik paling dahsyat yang pernah ia rasakan.

"Begitulah rasanya disengat listrik" bisik Bryen lalu mengecup bibir Zahra lagi. Kenapa ia harus mengulangnya, membuat sistem imun Zahra menjadi rusak. Zahra tidak bisa mengendalikan detak jantungnya, iapun tak sadarkan diri.

Bryen jadi panik, ia mengira sengatan pancingannya tadi terlalu kuat bagi Azzahra sehingga ia sampai pingsan.

Devi dan Virgina pun terkejut ketika melihat Azzahra pingsan.

"Bagaimana ini? Kenapa kamu balas sengat dia dengan pancingan itu, dia ini alergi kulit" jelas Devi

"Ini salahku, aku benar-benar tidak tahu dia akan pingsan" sesal Bryen "Tenang saja, aku akan tanggung jawab"

"Tanggung jawab gimana?" pekik Virgina

Bryen kemudian mencoba membangunkan Azzahra, namun Azzahra tidak sadar juga.

"Kita harus bawa dia pulang" kata Devi

Berdi dan Bryen saling pandang, "Salah kamu!" kata Berdi.

"Biar kami saja yang gendong bergantian" Leon menawarkan diri, Puja mengangguk setuju.

Bryen menggeleng "Biar aku saja, ini salahku"

"Emangnya kamu mampu Bryen? Selama ini kan kamu gak pernah mengangkat yang berat-berat" Berdi tampak khawatir.

"Aku bisa, jangan khawatirkan aku"

"Jarak dari asrama kami ke bendungan sangat jauh" Virgina segera memberitahu fakta penting itu "Kalian, pakai apa kesini?"

"Kami..." Bryen dan Berdi saling pandang lagi "Kami... Jalan kaki juga" buru-buru Bryen menjawab, padahal Berdi juga hendak menjawab "Ya Kan Berdi"

Berdi terpaksa mengangguk. Ya mereka memang jalan kaki, hal itu dikarenakan kepergian mereka ke bendungan ini merupakan hasil kabur dari rumah.

Setelah menaikkan Azzahra di atas pilar, Bryen segera menggendong Azzahra dipunggungnya. Ia bahkan bisa merasakan dada Azzahra yang masih rata itu.

Sebenarnya Bryen adalah anak yang dimanja dan dijaga layaknya mutiara, wajar saja jika baru berjalan 1 km, Bryen sudah kelelahan hingga tak mampu berdiri lagi. Azzahra benar-benar menyiksanya. Karena tak mampu lagi, Bryen tak sengaja menjatuhkan Azzahra didalam parit sawah ditepi jalan. Jangankan Azzahra, dirinya saja hampir jatuh kedalam parit itu.

Pandangan Bryen menjadi kabur, ia benar-benar lemah, terlebih efek sengatan listrik Azzahra yang mengenainya beberapa kali tadi.

"Bryen... Bryen" Berdi memanggil Bryen dengan panik, sedangkan Leon segera menyelamatkan Azzahra dari parit. Sungguh kuat anak ini, sudah jatuh kedalam parit tapi tidak bangun-bangun juga.

Menyadari Bryen yang lemah, Berdi segera memerintahkan Leon dan Puja untuk lanjut mengantarkan Azzahra. Sedangkan dirinya segera menelpon orangtua Bryen. Demikianlah Azzahra diantar dengan tubuhnya yang bau parit.

Azzahra tak pernah menyangka bahwa ada seseorang didunia ini yang bisa membuatnya begitu lemah dan kalah. Membuat jantungnya berdebar begitu kuat hingga ia tak bisa mengendalikan nya.

Kejadian itu membuat Azzahra mulai memandang laki-laki dengan cara yang berbeda. Jadi, dia harus selalu waspada dan memikirkan cara pertahanan diri yang bagus apabila berhadapan dengan laki-laki.

Azzahra sangat malu jika mengingat kejadian itu, ia merasa harga dirinya jatuh. Bukan karena ciuman itu, tapi karena ia kalah telak. Azzahra tidak suka kalah.

"Awas ya, kalian tidak boleh membahas kepada siapapun tentang kejadian itu. Kalian harus melupakannya" bisik Azzahra kepada Devi dan Virgina yang sebenarnya tidak tahu kejadian apa yang Zahra maksudkan. Saat itu mereka tidak melihat apa yang Bryen lakukan pada Zahra.

"Kalau ketahuan kalian bilang. Aku akan bilang pada Zero kalau Devi adalah penggemar rahasianya"

Virgina menertawakan wajah kesal Devi. Devi benar-benar tidak mau ada orang lain yang tahu tentang perasaannya pada Zero, apalagi itu Zero sendiri.

"Zahra, kamu udah bangun?" tanya Silvia tanpa menyembunyikan wajah khawatirannya, "mandi dulu gih, kamu masih bau parit tuh"

Zahra hanya menatap Silvia, kemudian tersadar bahwa ia dikerumuni oleh semua orang, oh dia sudah ada didalam kamar di asramanya.

Zahra menjadi kesal mendengar percakapan tak berguna dari anak-anak asrama yang mengerumuninya, ia kemudian bangkit berdiri dan menatap mereka semua dengan mata pedangnya.

"Pergi kalian... Dasar kurang kerjaan" usir Zahra

"Zahra, jangan bicara gitu, mereka itu khawatir sama kamu" tegur Silvia.

Dalam sekejap, Zahra sudah menebarkan aura jahatnya kepada mereka semua. Ia memegang pinggangnya, risih karena kamarnya jadi penuh, ribut dan sesak.

"Aku bilang pergi!! " bentak Zahra seraya menghentakkan kakinya dan melambai-lambaikan tangannya seperti mengusir anjing pencuri.

Semua orang mendadak diam, menatap Zahra dengan penuh kebencian. Beberapa orang keluar dari kamar dengan kesal, dan beberapa lagi keluar dengan berbagai umpatan kotor, bahkan ada yang menyumpahi Zahra agar mati saja.

Silvia menjadi sangat malu dengan sikap adiknya, rasanya ia lebih baik menyembunyikan kepalanya didalam cangkang, jika dia kura-kura.

"Zahra..."

"Diam!!" potong Zahra, ia tidak ingin mendengar nasihat kakaknya. Sebelum Silvia berbicara lagi, Zahra segera keluar dari kamarnya. Ia menuju ke dapur, namun jalannya terhalang oleh anak-anak asrama yang duduk di tangga.

Zahra tidak peduli, ia injak saja kaki mereka tanpa rasa bersalah, padahal mereka rata-rata lebih tua dari Zahra.

"Zahra, kamu gak sopan banget sih, injak-injak orang yang lebih tua" Kak Uci menegur Zahra dengan nada tinggi.

"Iya, gak punya sopan santun, kayak orang gak sekolah aja" Siska melanjutkan.

"Siapa suruh duduk dijalan" ketus Zahra

"Kamu kan bisa bilang permisi!"

"Terserah aku dong. Mulutkan mulut aku, kenapa kalian yang mengaturnya!" Zahra balas menbentak "Makanya udah tau itu tangga, ya gak usah dikerumuni, punya otak gak sih? Udah pada SMA juga, tapi gak tahu situasi dan kondisi"

"Dasar belagu, baru kelas 2 SMP aja sombong, nasihat orangtua bukannya didengar malah di bantah" umpat Siska

Silvia mendengar pertengkaran Zahra, ia menjadi semakin frustasi. Ia segera menemui Zahra ditangga.

"Silvia, adik kamu itu kurang ajar banget sih, gak pernah diajar ya sama orang tua kamu?" Kak Uci mulai menuding Silvia

"Maafin Zahra ya, dia kan masih kecil, masih labil" jelas Silvia

"Aku ndak labil" sanggah Zahra seraya pergi ke halaman belakang asrama.

Sepanjang malam itu ia tidak bicara dengan Silvia, ia kehilangan moodnya, bahkan hingga keesokan harinya. Lagian ia juga sakit hati karena berpikir Bryen membuangnya dalam parit.