Chapter 7 - Beda Perspektif

Terkunci dalam ruangan tak diketahui. Lebih baik Azzahra menikmati saja apa yang didepan mata. Ia mengamati ruangan itu baik-baik. Tidak ada CCTV.

Ruangan ini seperti ruang tengah pada rumah. Ada sofa putih yang sangat bersih dan mengkilat, Azzahra yakin, orang biasa akan grogi duduk di sofa itu. Takut-takut baju mereka akan mengotorinya.

Di sisi kanan ruangan juga ada tirai putih yang menutupi dinding kaca besar. Ada dua pintu lain dalam ruangan ini, yakni dibarat laut dan di timur laut. Azzahra mulai megecek pintu yang ada di timur laut, namun terkunci dari luar. Sedangkan pintu di barat laut, meskipun terkunci dari luar, tapi kuncinya tergantung di lubang kunci.

Azzahra membukanya pelan-pelan. Ia tertegun menatap ruangan itu. Bagaimana tidak, tidak ada apapun didalamnya selain ranjang putih yang ditutupi tirai putih. Sepertinya pemilik tempat ini suka warna putih.

Azzahra mendekati ranjang itu dan terkejut melihat ada seseorang diatasnya. Dia adalah seorang wanita telanjang yang tidak ditutupi selimut. Azzahra bergidik melihatnya, wanita itu sangat cantik dengan bentuk tubuh yang menggoda. Lebih bergidik lagi, ketika ia melihat ganja disamping wanita itu.

Azzahra buru-buru keluar dari ruangan itu sebelum wanita itu bangun. Ia kemudian menemukan sebuah map diatas meja. Azzahra membukanya, ternyata itu hanyalah data karyawan perempuan disertai dengan foto-foto full body mereka yang seksi.

Mengerikan. Azzahra melempar buku itu, ia kemudian berusaha menjebol pintu timur laut yang terkunci. Hanya dengan bantuan kalung yang ia pakai, Azzahra sudah berhasil membuka pintu itu. Ternyata pintunya tidak aman. Azzahra menyadari, pemilik restoran ini punya sistem keamanan yang minim, namun mereka berhasil menipu mata orang jahat dengan memperkerjakan begitu banyak karyawan dan pertugas keamanan, yang sebenarnya tidak berkualitas.

Azzahra masuk kedalam ruangan itu. Ternyata itu adalah ruang kerja. Azzahra tidak ingin mengganggu apapun, ia hanya membaca berkas-berkas yang di simpan didalam ruangan itu.

Ada satu berkas yang menarik minat Azzahra, berkas itu berjudul "Old Shadow Street and Room" dan berisi 5 lembar denah jalan dengan bahasa yang tak dikenal. Karena penasaran Zahra menyalin kelima denah itu dikertas HVS bolak balik.

Asik-asik menyalin denah ke 4, Azzahra mendengar suara seseorang diluar sana. Sepertinya pemilik ruangan ini sudah datang. Buru-buru ia merapikan barang-barang yang berantakan agar kembali seperti semula, ia juga melipat kertas HVS itu rapi-rapi lalu dimasukkan kedalam celana dalam. Ya itu adalah tempat yang aman.

"Hallo wanitaku, apakah kamu sudah bangun?" suara samar-samar itu masuk kedalam ruang barat laut. Azzahra segera mengambil kesempatan itu dengan keluar dari ruang kerja.

Saking buru-burunya, Azzahra tidak sadar bahwa ada seseorang yang duduk di sofa putih, orang itu jelas adalah Bryen.

Bryen segera berdiri dan menahan tangan Azzahra. Azzahra terkejut menyadari itu adalah orang yang ia benci sepanjang masa.

Bryen segera menyeret Azzahra keluar ruangan, "Apa yang kamu lakukan di ruang kerja Om ku?" tanya Bryen dengan nada yang sangat menjengkelkan "Apa kamu adalah salah satu wanita yang dia tiduri?"

"Memangnya menurutmu, aku pernah ditiduri?" Azzahra melepaskan tangan Bryen dengan kasar. Bryen menatap Azzahra dari ujung kaki sampai ujung rambut. Bukankah Azzahra adalah orang miskin yang tinggal di asrama murahan? Ya wajar dia mau ditiduri, lagian Azzahra sesuai dengan kriteria Om nya, yang suka dengan gadis-gadis berkulit indah.

"Bisa jadi!" tuding Bryen "Buktinya kamu ada diruangan Om ku"

"Berati kamu juga akan ditiduri Om mu, buktinya kamu masuk ke ruangannya juga!"

"Bryen!" Panggil Omnya "Kamu dimana Bryen!"

"Aku sedang mengobrol dengan wanitamu!"

Azzahra terbelalak mendengarnya. Karena sedang tidak ingin menghadapi masalah baru, Azzahra memilih kabur lagi, ia tau resikonya ia akan dihantui masalah itu sampai ia menyelesaikannya.

"Jangan dikejar!" titah Om nya yang kini sudah berdiri disampingnya "Aku sudah tau ada seorang bocah yang masuk keruanganku, security dan penjaga CCTV yang memberitahunya. Biarkan saja dulu, nanti Om yang urus"

"Aku mengenalnya, aku tau dimana ia tinggal"

Om nya tersenyum picik "Itu kabar yang menarik!"

Azzahra berlari hingga tiba di asrama, namun dia lagi-lagi harus berhenti demi menyimak percakapan orang lain.

"Sisilia cuman dikasi 75 ribu sama bapaknya padahal dia lagi butuh 150 ribu buat tugasnya. Meskipun bapaknya sudah jauh-jauh mengantarkan uang itu dari kampung, tapi Sisilia malah memarahi bapaknya dan melempar uang itu dilantai" kata Kak Uci

"Yaampun kasian banget sih bapaknya Sisilia, harusnya dia bersyukur karena papanya udah datang dan tetap memberikannya uang meskipun sedang kekurangan juga"

"Tapi Sisilia gak mikir gitu, ia gak suka dikasi uang sedikit. Selama ini dia dapat kiriman setidaknya 200 ribu untuk satu minggu"

"Wah masih mending dia dapat 200 ribu, daripada si Azzahra yang belagu itu, dia cuman dapat 25 ribu satu minggu" Raisa menimpali

"Ah gak mungkin, tau darimana kamu?"

"Dari kakaknya lah, kakaknya sering cerita kok. Silvia itu kan orangnya jujur dan rendah hati"

"Ih jangan-jangan Zahra itu miskin banget ya, tapi kok sombong?"

"Kamu kayak baru tau aja, makanannya aja tiap hari cuman nasi goreng. Makan sayur palingan kalau dikirim sama orangtuanya dari kampung. Hutangnya sama ibu asrama juga udah 100 lebih"

Kak Uci tersenyum kecut "Baru kali ini aku ketemu orang miskin yang sombong. Aku yang dapat kiriman 1 juta seminggu aja gak sombong"

"Jangankan kamu, Aurelia yang dapat kiriman 2 juta seminggu dan tiap hari makan daging aja gak pernah belagu tuh" Raisha menimpali

Azzahra menjadi kesal, kenapa ujung-ujungnya lalu membahas dirinya, di belakang lagi.

"Memangnya kenapa kalau aku dapat kiriman 25 ribu seminggu?" Azzahra muncul tiba-tiba. Ia duduk di hadapan Raisha dan Kak Uci, seolah-olah mereka bersahabat dengannya "Aku tidak miskin. Buktinya aku gak minta makan sama kalian!"

Raisha tertawa meledek "Kamu itu miskin Zahra, ngaku aja deh"

"Emangnya menurut kamu miskin itu seperti apa?"

Raisha mengerutkan keningnya, "Kayak kamu lah. Uangnya cuman 25 ribu seminggu, banyak utang..."

"Gak pernah makan daging.." Kak Uci menimpali "Rumah kamu pasti reot dan keropos, ih kasian banget sih"

Anehnya, Zahra tampak tidak marah dengan hinaan mereka. Ia hanya mengerutkan keningnya dengan heran "Pendapat kita berbeda. Kedengarannya, perspektif kalian terlalu sempit" tegas Zahra, membuat Raisha dan Kak Uci jadi bingung "Menurut aku miskin adalah tidak punya tanah dan tidak sekolah. Jadi, aku heran dengan kalian yang mengukur kemiskinan dari makanan, yang makan daging disebut kaya dan yang gak makan daging di sebut miskin. Temen aku yang makan bunga durian aja gak miskin. Lagian kalau ada orang kaya vegetarian, berati itu orang miskin yang nyamar jadi orang kaya dong?" Zahra menatap Raisha dan Kak Uci dengan tajam "Dan ternyata orang yang menilai kaya miskin dari makanan adalah orang miskin yang setengah kaya. Yang hanya merasakan kaya di awal bulan saja. Kehidupan memang rumit ketika kalian dewasa, karena harus bersaing gaya hidup dengan orang lain. Siapa yang tahu kalau Kak Uci yang mengancam tidak akan sekolah jika tidak dikirm 1 juta seminggu, atau siapa yang tau kesedihan Aurelia yang orangtua nya kaya namun tidak pernah punya waktu untuk menemuinya sebentarpun?"

Raisha dan Kak Uci terdiam. Tersinggung dengan perkataan Zahra yang sesungguhnya benar. Kak Uci terlihat marah karena Zahra membongkar kartunya didepan umum. Darimana anak ini tahu rahasianya. Ya, semua orang selalu marah jika rahasianya Zahra bongkar didepan umum.

"Siapa yang mengajarkanmu memfitnah orang yang lebih tua?" tuding Kak Uci

Zahra melambaikan tangannya "Sudahlah Kak Uci, berhenti bersandiwara, kasihan orangtua Kak Uci. Bukankah kedatangan orangtua lebih penting daripada uang yang mereka bawa? Coba tanya pada diri Kak Uci sendiri, Kapan terakhir kali Kak Uci menyambut kedatangan orangtua Kak Uci sebagai 'anak yang rindu pada orangtua'. Bukannya sebagai 'rekening yang habis saldo?'"

Kak Uci benar-benar malu dibuatnya, rusak sudah citranya dihadapan semua orang. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan sebagai "Pemilik Kiriman Terbanyak Kedua Diasrama".

Raisha bahkan terkejut, ia menatap Kak Uci dengan beribu-ribu pertanyaan, "Kak Uci, apakah itu benar?"

"Kak Uci gak usah malu atau merasa diri paling berdosa" Zahra segera berbicara sebelum Kak Uci menyanggahnya. Zahra memandang semua orang yang mendengarnya, lalu menghentikan tatapan matanya pada Raisha yang mendadak gugup "Toh bukan hanya Kak Uci saja yang bersikap seperti itu. Melainkan hampir seluruh anak-anak sekolah yang ada ada"

Raisha terbatuk-batuk, rasanya perkataan Zahra tertuju padanya.

Saat itu, semua orang yang mendengar perkataan Zahra jadi tersinggung. Ibu kost yang tidak sengaja mendengarnya juga tersinggung.

"Kamu bicara seolah kamu paling benar! Dasar Tong Kosong Nyaring Bunyinya, kamu mungkin lebih parah dari kami!" Kak Uci segera menjawab Zahra.

Namun Zahra malah tersenyum puas "Terimakasih sudah mengakui bahwa tebakan ku tadi benar"

Kak Uci merasa terjebak, ia terbelalak tak percaya kalau bocah itu telah menghancurkan reputasinya.

Setelah mengatakan hal itu, Zahra langsung naik keatas dan bersantai di teras atas.

Beberapa orang yang sedang beraktivitas di teras satu persatu pergi dari sana. Kehadiran Zahra memang penuh aura intimidasi, terlebih matanya yang sangat tajam. Namun siapa yang tahu perasaan Zahra yang sebenarnya. Zahra masih merenungkan perihal perdebatannya tadi.

Zahra memang punya pandangan yang berbeda soal harta. Menurutnya harta adalah keluarga dan pendidikan, dan ia sudah mendapatkan semuanya. Itulah sebabnya ia tak pernah minder, rendah diri apalagi merasa miskin.

Namun ia tidak menolak pendapat oranglain yang mengukur harta dari uang, rumah dan sebagainya. Ia hanya perlu merenung sejenak untuk mengerti sudut pandang mereka.

Zahra memutar ingatannya ke masa lalu, kembali mengingat keadaaan dikampung nya yang pelosok. Terutama mengingat rumahnya. Memang benar bentuknya tidak terlalu bagus. Dinding kayu yang sudah keropos dimana-mana dan atap bocor yang membuat rumah selalu kebanjiran jika hujan lebat. Zahra juga ingat, bahwa keluarganya sering makan nasi raskin yang dicampur dengan singkong. Zahra berpikir, apakah itu artinya miskin? Tidak.

Zahra tertawa mengingatnya, bukankah makan raskin itu seru, karena raskin itu harus diambil tepat waktu sebelum orang kaya membeli jatah keluarga kita. Apalagi kalau beras lagi habis, itu adalah saat terseru bagi Zahra, karena Mama selalu membuat banyak cemilan yang sebelumnya jarang Mama buat. Mama hanya membuat cemilan-cemilan enak ketika beras habis saja, seperti bubur singkong, kolak, bubur nasi, gorengan, keripik serta kue-kue daerah yang dibuat dari buah-buahan. Bahkan saking menyenangkannya, Zahra dan saudara-saudaranya sampai menggelar hari itu dengan 'hari raya beras habis', dan mereka selalu bertanya kepada Mama 'Kapan beras kita habis?'.

Zahra tersenyum sendiri mengingat kejadian itu, moodnya kembali membaik setelah sepanjang hari berseteru dengan banyak orang.

Zahra kemudian mengambil hp blaksenter milik Silvia, untuk menelpon ayahnya. Ada satu hal yang ingin ia tanyakan.

"Hallo, Hallo! " suara Papa terdengar di ujung telepon.

"Pa... "

"Hallo... Kok gak ada suara?"

Zahra mendesah kesal, ia teringat bahwa sinyal dikampungnya sangat buruk.

"Hallo, Silvia... "

"Pa, ini Zahra"

"Ada apa Vi? Suara kamu gak jelas, sinyalnya putus-putus"

"Ini Zahra pa!, ada yang mau aku tanyakan"

"Coba kamu telpon ulang Vi, suara kamu gak kedengaran"

Silvia tiba-tiba datang membawa 2 piring nasi, dengan sayur pakis tumis. Ia duduk disamping Zahra dan memberikan salah satu piring pada Zahra.

"Nelpon siapa Rah?" tanya Silvia "Papa ya, kakak ngomong dong, kakak kangen sama papa"

Zahra menyerahkan hp itu pada Silvia.

"Vi, Vi, kamu dengar gak Vi?" suara Papa masih terdengar jelas dibalik hp.

"Ada pa, suara aku jelas gak pa?"

"Sekarang udah jelas Vi"

Zahra kesal sekali, kenapa Hp itu menjengkelkan, sama Zahra suaranya gak jelas, sama Silvia suaranya jelas. Papa juga ngeselin, udah dibilang ini Zahra, tetep aja kirain Silvia. Apa cuman Silvia yang dipikirkan Papa?

Zahra makan nasi dengan lahap seolah tidak ada apa-apa yang mengganggu pikirannya, lagian sayur yang dimasak kakaknya ini ternyata enak juga.

"Zahra, mama nanya kabar kamu?"

"Baik" sahut Zahra sekenanya, rupanya sekarang Silvia sudah pindah bicara dengan Mama

"Mama nanya kamu lagi apa?"

"Kan kamu liat aku lagi makan!" pekik Zahra, Silvia hanya tersenyum santai.

"Mama mau ngomong sama kamu" Silvia kemudian menyerahkan hp itu.

"Hallo ma, ada apa?" tanya Zahra

"Mama kangen sama kamu, gimana kabar sekolah kamu?"

"Aku juga kangen sama mama, bahkan aku tadi lagi ingat sama mama, kabar sekolah aku... " Zahra mulai tersenyum

"Apa, Ra, Suara kamu putus-putus" Mama memotong pembicaraan Zahra.

"Rah, minta sayur kamu dong, sayur kakak habis nih"

Zahra bermaksud mengambil sayurnya untuk Silvia dengan sendok milik Zahra, namun Silvia lebih dulu mengambil sayur itu dengan tangannya.

Zahra yang tidak suka makanannya disentuh menjadi marah.

"Jangan sentuh makananku dengan tanganmu!"

Silvia hanya tertawa lalu mengambil lagi dengan tangannya. Zahra sangat kesal, ia menghamburkan seluruh nasinya di lantai lalu mengurung diri didalam kamar. Ia sungguh kesal tingkat dewa. Bukan hanya karena perihal nasi, tapi karena ia tak pernah bisa mengobrol dengan orangtuanya gara-gara SINYAL.

Padahal Zahra benar-benar ingin menayakan suatu hal yang sangat penting.