Chapter 9 - Dia saudarimu?

Sudah satu jam Faizal menunggu jemputan ibunya, tapi jemputan itu tak kunjung datang juga

Faizal membuang nafasnya, akhir-akhir ini, ia selalu menjadi murid yang dijemput paling lambat.

Faizal memandang Azzahra yang baru keluar dari sekolahnya. Dalam hati, Faizal berharap Azzahra melihatnya, hanya melihatnya saja, seperti kemarin. Hanya sekali, itulah pertama kalinya.

Hati Faizal sangat bergetar melihat pancaran mata hidup nan bergairah yang Azzahra miliki, ia ingin sekali pancaran itu dibagikan kepadanya sedikit saja.

Asik-asik melamun, Faizal terkejut karena kini Azzahra berjalan mendekatinya. Wajahnya berseri, matanya hidup dan bercahaya, senyumnya manis dan suaranya mendamaikan, elok sekali dia.

"Hallo" sapa Azzahra seraya mengulurkan tangan "Aku Azzahra"

"Aku... aku sudah tau" Faizal tergagap, keceplosan. Lalu ia buru2 menyambut tangan Azzahra "Aku Faizal"

Azzahra malah tersenyum senang, membuat Faizal berpikir bahwa Azzahra tidak tahu kalau kakinya cacat.

"Kamu pasti lagi nungguin jemputan mama kamu kan? " tebak Azzahra.

Faizal mengangguk

"Mau bareng aku? Jalan kaki sih, kalau mau aku akan menemanimu hingga tiba dirumah"

"Rumahku jauh" lirih Faizal, tergurat raut khawatir diwajahnya, khawatir akan kenyataan bahwa Azzahra tak sadar bahwa Faizal memakai kursi roda.

"Gak apa kok, sekalian ngobrol, biasanya aku pulang sendirian. Lagian itu akan meringankan pekerjaan ibumu, ibumu pasti sibuk setiap hari kan?"

Faizal mengangguk "Tapi Zahra... "

"Aku tau karena kemarin aku ada dengar ibumu mengatakan itu padamu" jelas Azzahra, membuat Faizal tertegun, jadi kemarin Azzahra bukan saja melihatnya, tapi juga memperhatikannya

"Jadi, kita pulang bareng ya?"

Mana bisa Faizal menolak, ia pun mengangguk ragu.

Azzahra sangat senang, ternyata Faizal mau berteman dengannya. Dalam hati, Azzahra berharap Faizal akan menjadi teman yang setia padanya, sehingga bisa menjadi sahabat baiknya.

Setelah itu, tanpa memberitahu, Azzahra mendorong kursi roda Faizal, membuat Faizal terpana, ia tak menyangka ternyata Azzahra juga tahu kalau kakinya cacat.

Sepanjang jalan, Azzahra bahkan tumben-tumbenan menjadi sangat energik, menceritakan banyak hal yang tidak berguna, seperti kisah Kuliner Insecta bersama teman masa kecilnya, Aria. Bahkan Faizal juga menceritakan kisah masa kecilnya, yang sangat suka makan belacan bakar.

Azzahra juga menari ditepi jalan ketika mempraktekkan tariannya ketika bernyanyi menggunakan bunga petai bersama Aria dulu, membuat Faizal terkekeh sepanjang hari.

Faizal tak menyangka bisa berteman dengan Azzahra, dan lebih tak menyangka karena ia benar2 merasa menjadi manusia normal ketika bersama Azzahra.

Begitu pula dengan Azzahra, ia merasa meskipun Faizal cacat, tapi Faizal menerima dia apa adanya.

Azzahra tidak berubah, wajahnya tetap berseri, matanya tetap hidup dan dia tetap setia mengantarkan Faizal kerumahnya dengan jalan kaki sejauh 3 km.

Sikapnya membuat Faizal merasa Azzahra sudah seperti saudarinya saja.

Bukankah itu aneh? Atau apa sebenarnya Azzahra menyukai Faizal? Tidak mungkin. Mengingat latar belakang Azzahra yang suka menindas, mungkin ia punya maksud dan tujuan jahat untuk mendekati Fazial yang layak tindas dan lemah itu. Faizal harus hati2, ia tak boleh terbawa perasaan.

Faizal harus mengujinya.

"Zahra, kita singgah ditaman kota dulu yuk"

"Boleh aja" Azzahra segera mendorong kursi roda Faizal ke arah taman kota yang sudah pasti ramai dan riuh. Beberapa orang memperhatikan Faizal dan Azzahra bergantian, seperti tidak terima akan keberadaan mereka, mereka bahkan ada yang tersenyum sendiri seraya berbisik-bisik.

"Zahra, kamu gak malu ya dilihatin begitu sama orang?" Suara Faizal terdengar mulai tidak PD.

"Ngapain malu, santai aja kali" sahut Azzahra sekenanya

"Kenapa Zahra?" suara Faizal masih tidak PD.

"Mereka ngeliat kan karena kita terlihat, kalo kota gak keliatan, hantu dong!"

Faizal tertawa mendengarnya, mulai mendapatkan kepercayaan dirinya lagi.

"Ingat pesan aku Faizal, kamu harus menghormati dirimu sendiri" lanjut Azzahra

"Tapi, Zahra, aku kan cacat"

Azzahra mengibaskan tangannya, "Kamu Tidak Percaya Diri!" tuding Azzahra "Kamu tidak menghormati dirimu sendiri"

Faizal mengerutkan keningnya bingung.

"Faizal, jangan terlalu melihat dari sisi kekurangan saja, coba katakan padaku, apa kelebihanmu yang kamu tau?"

Faizal menggeleng dengan ragu, "Gak ada!"

"Hey" Azzahra memegang bahu Faizal, menatap matanya yang mulai sayu "Kamu itu punya banyak kelebihan, kamu punya wajah yang tampan, kamu punya ibu yang sayang padamu, kamu punya hati yang tulus, bahkan kamu punya aku" kata Azzahra "Setidaknya itu yang aku tahu setelah beberapa jam mengenalmu. Jadi cobalah untuk mensyukuri apa yang kamu miliki. Jika kamu saja tidak mensyukuri apapun tentang dirimu, bagaimana mungkin orang lain bisa"

Faizal diam, memainkan kuku tangannya yang panjang, memikirkan perkataan Azahra.

"Kalau begitu, ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu" kata Faizal serius.

Azzahra memegang tangan Faizal, membuat Faizal terkejut.

"Tanya saja. Aku hanya ingin memotong kukumu yang kepanjangan ini. Jelek tau"

Faizal menelan ludahnya dengan susah payah, Azzahra membuat jantungnya berdebar begitu kencang. Tapi ia sadar, gadis didepannya ini adalah seseorang yang patut dicurigai, ia bisa baik dan bisa juga jahat, bahkan bisa berubah dari baik ke jahat atau jahat ke baik tanpa alasan yang mampu dipahami orang lain. Faizal harus waspada, agar tidak sama seperti Yuna.

"Azzahra" panggil Faizal, namun Azzahra tampak asyik memotong kukunya "Azzahra" panggil Faizal lagi

"Hmm" dia hanya berdehem

"Lihat aku" pinta Faizal. Azzahra tampak bingung, lalu ia pelan2 menatap Faizal, dengan wajah cantiknya yang kian memerah. Faizal bahkan terpaksa terpesona dan hampir tidak percaya bahwa dirinya benar-benar berbicara pada Azzahra.

"Kenapa kamu melihatku seperti itu?" tanya Azzahra dengan gemetar "Kamu membuatku grogi"

Azzahra bahkan merasa aneh akan dirinya sendiri, kenapa dia jadi gugup, ia merasa ada sesuatu yang tidak baik akan terjadi.

"Aku cacat, apa kamu tau itu? " tanya Faizal tanpa ekpresi, mengabaikan pertanyaan Azzahra.

"Ada banyak orang normal diluar sana" lanjut Faizal.

Azzahra tampak semakin heran, belum mengerti maksud Faizal.

"Lalu kenapa kamu hanya berteman denganku saja" Faizal menatap Azzahra dengan tajam.

Azzahra terkejut dengan pertanyaan itu, baru kali ini ada orang yang bertanya hal itu padanya.

"Ada banyak hal yang bisa kamu tanyakan. Kenapa harus menanyakan hal itu?" sahut Azzahra, namun Faizal tetap menatapnya, menunggu jawaban.

"Sebenarnya aku tidak suka menjawab pertanyaan yang itu, tapi karena kamu sudah bertanya, aku akan menjawabnya"

Azzahra tersenyum dan wajahnya mulai memerah lagi "Menurutku, kamu itu tulus dan menerimaku apa adanya. Aku merasa nyaman berteman denganmu"

"Kenapa kamu berpikir begitu, darimanakah kamu tau bahwa aku menerimamu apa adanya, aku bahkan belum tau apa kelebihanmu yang bisa kumanfaatkan, atau kekuranganmu untuk aku jatuhkan, jika aku tau, bagaimana jika aku akan menjebakmu?" pekik Faizal dengan nada tinggi, untung saja mereka berada di bagian taman yang sepi, sehingga tidak ada yang mendengar pekikan itu.

Faizal tampak menahan emosinya, biasanya Azzahra mengabaikan orang yang emosi kepadanya, namun, kali ini ia merasa ia harus menghadapi Faizal sampai emosinya reda.

"Kamu tidak akan melakukan itu!" sahut Azzahra dengan percaya diri.

"Jika itu menguntungkanku, kenapa aku tidak melakukannya? Apa kamu pikir karena aku tidak sempurna sehingga aku tidak mungkin memanfaatkanmu, bahwa aku akan merasa rendah dan takut kehilanganmu?"

Azzahra menggeleng "Jangan merendahkan dirimu sendiri. Setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing2. Adanya perbedaan itu jangan dijadikan sebagai tolok ukur karena hal itu merupakan anugerah dari Tuhan. Hargailah dirimu sendiri, agar kamu akan terbiasa menghargai orang lain dan menghargai suatu perbedaan."

Faizal memalingkan wajah, "Aku sudah muak mendengar kata2 basi itu, jadi jangan menjadikannya sebagai jalan untuk mengalihkan pembicaraan"

Azzahra hanya diam, tangan dinginnya tetap memegang tangan Faizal tanpa sadar.

Azzahra memikirkan kata-kata Faizal. Tadi, Faizal baik-baik saja, tadi ia bercanda dan tertawa bersamanya, tadi ia tampak lemah dan sedih. Tapi kenapa ia bisa berubah jadi kasar dan menyudutkan Azzahra, apa yang salah sebenarnya.

"Katakan sesuatu Azzahra! " bentak Faizal. Azzahra terkejut dan buru-buru melapaskan tangan Faizal.

Ini semua hanya ujian. Faizal tidak boleh peduli dengan perasaan Azzahra. Ia hanya tidak ingin menyakiti dirinya sendiri dikemudian hari jika ternyata Azzahra memanfaatkan kelemahan Faizal untuk tujuan yang belum Faizal ketahui.

"Apakah yang harus aku katakan? Bukankah aku disini bersamamu" kata Azzahra seraya tersenyum kecil. Kini ia hanya berpikir kalau Faizal sedang tempramen karena jarang bergaul.

Faizal membuang muka "Kamu itu sama saja dengan ayahku!"

Azzahra mengerutkan keningnya heran. Kok sama dengan ayahnya?

Azzahra hendak bertanya, namun hp blacksenter Silvia yang ada di dalam tas Azzahra berdering disaat yang tidak tepat, sehingga Azzahra harus permisi menjauhi Faizal sejenak untuk mengangkat telfon Mama.

Faizal yang masih kesal karena belum selesai bicara segera mengundurkan diri. Ia memutar balik kursi rodanya dari taman dan pergi meninggalkan Azzahra tanpa memberitahunya.

Sungguh malang, belum juga Faizal jauh dari Azzahra, ia sudah dihadang anak2 punk yang tidak punya empati itu. Rupanya mereka berusaha merampok seorang pria tak berdaya yang cacat kakinya.

Lebih malang lagi, setelah menggeledah Faizal dan tidak menemukan apa2, mereka malah menunggang balikkan Faizal hingga terjatuh dari kursi roda.

Faizal jadi dongkol, tidak ada yang menolongnya, manakah ksatria wanita yang seharusnya menolong Faizal?

"Faizal... Faizal... " terdengar suara panik Azzahra dari kejauhan.

Namun seorang pemuda asing datang lebih dulu daripada Azzahra, pemuda itu mengusir orang2 keji itu dengan memberikan jam tangan emasnya. Ia kemudian mengangkat Faizal dan mengembalikannya dikursi roda dengan aman dan nyaman. Faizal menatap pemuda itu, wajahnya sangat tampan, dan dia pasti orang kaya, yang dengan santainya memberikan jam tangan emas kepada orang lain.

"Kamu baik2 saja? " tanyanya

Faizal mengangguk "Terimakasih sudah menolongku"

"Faizal, Kenapa kamu pergi gak bilang2!" omel Azzahra seraya membersihkan baju Faizal yang kotor dengan tissunya.

Faizal membuang muka, sengaja tidak mau menjawab.

Pemuda asing tampan yang diabaikan itu tiba2 menyerahkan sapu tangannya kepada Azzahra.

"Pake ini aja, tissu kamu juga udah habis kan?" kata nya dengan suara yang menjengkelkan ditelinga Faizal.

Azzahra melirik pemuda itu, dan pemuda itu langsung tersenyum manis. Namun Azzahra tampak sangat terkejut dan kikuk, Azzahra bahkan membalas senyuman itu dengan sangat canggung dan luar biasa gugup.

"Ohya, perkenalkan aku Verdinant" pemuda itu memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan kepada Azzahra yang menyambutnya dengan enggan, membuat Faizal semakin kesal, ia berpikir sudah pasti mereka berdua itu saling jatuh cinta.

Azzahra kemudian menjauhkan diri dari Verdinant dengan berdiri di samping Faizal. Verdinat kemudian menyalami Faizal, dan ia sengaja menyambutnya dengan girang "Aku Faizal. Maaf karena gara2 aku, kamu harus kehilangan jam tanganmu yang mahal"

"Ah tidak apa2 tidak usah dipikirkan, yang penting itu keselamatan kamu" jawab Verdinant, yang menurut Faizal hanya sok baik didepan Azzahra saja. Namun Azzahra sudah gerah ingin pergi dari tempat itu.

"Kalau begitu, izinkan aku mengganti jam tanganmu"

"Tidak usah" sergah Verdinat seperti takut jatuh harga diri didepan Azzahra.

"Kalau begitu sebagai ucapan terimakasih bagaimana kalau kita makan malam bersama ayah, ibu dan saudari ku ini" tawar Faizal seraya menunjuk Azzahra sebagai saudarinya, bukankah itu menyenangkan hati Azzahra dan Verdinat, agar mulus lah jalan mereka.

Tepat sekali, Verdinat menatap Azzahra dengan bahagia, ia tersenyum begitu lebar dan penuh arti, tatapannya tajam memandang Azzahra dari ujung kaki sampai ujung rambut. Hal itu membuat Azzahra risau dan tidak mau menatap Verdinant. Sepertinya pria itu masih dendam padanya, lagian Azzahra sih, seharusnya waktu itu ia langsung menyelesaikan masalahnya, bukan malah kabur.

"Azzahra saudarimu?" tanya Verdinant sok tidak tahu

Faizal mengangguk pasti.

"Hubungi saja aku dimana alamatnya?" Verdinant tersenyum seraya memberikan nomor teleponnya.

"Baiklah, sekali lagi terimakasih banyak" kata Faizal

"Kalau begitu aku pergi dulu ya, sampai jumpa lagi Azzahra, Faizal" Verdinant melambaikan tangan seraya pergi.

Azzahra langsung mengoceh seraya mendorong kursi roda Faizal.

"Bisa2nya kamu mengatakan makan malam bersama ayah, ibu, dan saudaraku ini. Memangnya aku ini saudaramu"

"Sudahlah, jangan munafik, aku tahu kamu jatuh cinta pada Verdinant sama seperti Verdinant juga jatuh cinta padamu. Kalian serasi dan sama2 elok parasnya, bukankah bagus jika aku melancarkan hubungan kalian berdua dengan mengatakan kamu saudariku?"

Azzahra berhenti lalu berdiri didepan Faizal dengan kesal "Aku tidak jatuh cinta padanya, Faizal Alvero. Jangan memfitnah ku, dan lagi, aku tidak pernah berpikir untuk menjadi saudarimu"

"Tapi kita benar2 akan menjadi saudara, dan aku akan terus2an melihat sandiwaramu yang pura2 senang didekatku"

Azzahra menatap Faizal dengan penuh kekecewaan membuat Faizal salah tingkah.

"Sudahlah, daripada kamu menangis disitu lebih baik kita pulang saja" lerai Faizal yang takut Azzahra menangis.