Di sebuah tempat yang misterius yang hanya ada kegelapan pekat tanpa cahaya setitik pun, beberapa orang berkumpul bersama. Tidak diketahui apa jenis kelaminnya. Apakah laki-laki atau perempuan? Berapa usianya? Tua ataukah muda? Bagaimana perawakannya? Tinggi apa pendek? Bagaimana wajahnya? Cantikkah? Tampankah? Atau jelekkah? Semuanya tidak diketahui. Yang terlihat hanyalah sepasang mata yang menatap tajam yang sesekali saling melirik orang di samping kanan dan kirinya untuk melihat sesama rekannya, saking gelapnya.
"Buku maha sakti yang legendaris 'Sabdo Sang Hyang' sudah muncul." Sebuah suara datar tanpa emosi dan statis seperti suara mekanik memecah keheningan. Menilai dari nada suaranya yang dalam dan berpengalaman yang sudah kenyang makan asam garam kehidupan, orang itu mungkin seorang pria dewasa berusia akhir 30-an.
Suara helaan nafas berat dan gumaman lirih beberapa orang terdengar sebagai tanggapan, mencemari ruangan yang juga tidak diketahui luas atau sempitnya karena batas-batas ruangan juga tidak terlihat. Tersembunyi dengan baik dalam selimut kegelapan.
"Di mana?" Tanya seseorang yang sekilas tampak bermata ramah, namun semua orang tahu jika itu bohong. Hanya kamuflase. Karena, yang berkumpul di tempat itu bukanlah seorang manusia suci yang tak memiliki jejak kekejaman dan kejahatan dalam sejarah hidupnya. Masing-masing dari mereka, memiliki tangan yang berlumuran darah. Bedanya, mereka lebih ahli dalam menyamarkannya. Pria yang bertanya ini memang tampak ramah dan mudah didekati, akan tetapi saat mangsanya lengah ia akan menelannya hidup-hidup tanpa meludahkan tulangnya. Sekejam itulah dia.
"Gua Terawang." Balas suara pertama.
"Gua Terawang? Hmm, aneh. Diantara semua tempat, kenapa buku 'Sabdo Sang Hyang' justru jatuh ke tempat itu?" Ujar suara seorang wanita terdengar lembut, selembut aliran sungai. Tapi, yang namanya aliran sungai itu tidak selalu tenang dan datar. Ia bisa tenang di satu waktu dan tiba-tiba bergolak di waktu yang lainnya, menyeret orang-orang celaka yang lalai dalam menyimpan kehidupannya yang kecil, sekecil kerlipan nyala api lilin.
"Memangnya kenapa? Sejak dulu, Gua Terawang diakui sebagai Gua Kiskenda seperti dalam wiracarita Ramayana yakni tempat Subali, anak Resi Gotama yang dikurung oleh Sugriwa karena mengiranya sudah mati di tangan raksasa. Tempat itu sejak jaman kuno sudah dikenal mistis dan juga suci. Penuh dengan energi spiritual. Banyak orang yang datang berziarah melakukan lelaku dan tirakat untuk memohon pada Sang Hyang Widhi di sana dengan harapan memperoleh wangsit, petunjuk atau ilmu olah kanuragan agar jadi orang sakti mandraguna yang tak tertandingi." Timpal orang dengan mata yang tampak pintar, penuh pengetahuan. Suaranya seperti seseorang yang sedang membaca buku ensiklopedia.
"Kanda benar setengah. Setengahnya lagi salah. Gua Terawang memang diakui bagian dari Gua Kiskenda. Dahulu memang masih wingit, akan tetapi sejak jaman sudah modern, orang telah mengenal gadget dan internet, Gua Terawang sudah kehilangan kewingitannya. Aura mistisnya sudah pudar hampir tak bersisa lagi. Jadi, aneh jika buku sakti legendaris semacam 'Sabdo Sang Hyang' muncul di tempat itu." Kata seseorang dengan mata paling dingin, sedingin es di Kutub Utara. Sorot matanya dipenuhi penghinaan dan rasa jijik.
"Kenapa-kenapanya hanya para Dewa yang tahu. Yang harus kita ketahui, buku 'Sabdo Sang Hyang' sudah muncul setelah menghilang selama seabad. Itu berarti manusia terpilih, Sang Penjelajah Waktu sudah muncul di dunia ini. Maka, bersiap-siaplah! Bunuh dia sebelum ia kuat dan lalu mengancam posisi kita," Kata orang yang bersuara pertama sarat akan janji teror dan kekejian. Matanya menyipit, tampak berbahaya dan juga buas. Kekejian menguar dari sorot matanya.
"Bagaimana caranya kita menemukannya sedangkan kita tidak tahu ciri-ciri orang tersebut apalagi tempat tinggalnya? Kita bahkan tidak dapat mengenali gendernya." Tanya rekan yang berada tepat di sebelah kiri orang pertama yang tampaknya memjabat sebagai ketua.
"Tidak perlu repot-repot. Buku 'Sabdo Sang Hyang' yang akan mencarinya untuk kita. Ketika ia muncul, ikuti dia dan bunuh dia dalam dunia lain tempat ia dikirim Buku Sabdo Sang Hyang sebab ia lebih mudah dibunuh di dunia pararel daripada di dunia nyata. Di dunia nyata ia terlindungi. Tapi, di dunia lain, ia tak lebih dari domba siap sembelih."
"Dimengerti."
Keputusan sudah selesai dibuat. Mereka hanya tinggal menunggu ikan menyambut umpan yang ditebar. Setelahnya, ia akan mempermainkan Sang Penjelajah Waktu di atas telapak kakinya, mendengarkan setiap isakan dan jeritan di mulutnya dan menikmati menit demi menit dari tempat VVIP penderitaan dan kesengsaran Sang Penjelajah Waktu yang baru.
Sesudah itu, mereka menghilang, meninggalkan ruangan itu satu persatu sehingga tempat gelap, misterius, dan tersembunyi itu kembali sunyi lengang seperti semula. Tanpa tanda-tanda kehidupan.
Sebagai catatan. Setiap beberapa tahun sekali sebuah kitab sakti berjudul buku Sabdo Sang Hyang muncul ke alam manusia untuk mencari host. Kriteria host yang terpilih tidak tentu. Tidak ada patokan pasti. Hanya keberuntungan yang mempertemukan antara buku Sabdo Sang Hyang dan hostnya. Ini adalah kemunculannya yang ke-10 yang mana dinanti-nanti para pendekar dari dua golongan, hitam dan putih karena ini adalah penentu kemenangan.
Diperkirakan Buku Sabdo Sang Hyang akan muncul di Gua Terawang di daerah Todanan Kabupaten Blora propinsi Jawa Tengah untuk memilih host baru. Dengan adanya kabar ini daerah sekitar Gua Terawang akan ramai dikunjungi oleh pendekar-pendekar sakti dari aliran hitam maupun putih. Pandekar dari kalangan manusia maupun dari bangsa jin akan turut memeriahkan acara pemilihan host terpilih. Setiap dari mereka akan mengawasi setiap anak manusia yang mengunjungi daerah sekitar Gua Terawang dengan motif pribadi sendiri-sendiri dengan harapan sang host akan jatuh ke tangan mereka.
Tanpa menyadari kegentingan yang mengarah pada bahaya di daerah Gua Terawang, para remaja belasan tahun dari organisasi Saka Wanabakti cabang Blora berencana camping di sana. Mereka dengan penuh anutusias merencanakan setiap kegiatan. Insiden kecil seperti konflik diantara beberapa pengurus tidak menyurutkan langkah mereka. Mereka sama sekali tidak menyadari bahaya yang mengintai keselamatan mereka.
"Semua sudah fix. Saya harap besok acara berjalan lancar sesuai rencana dan saya harap tidak ada satu pun dari rekan-rekan yang tidak ikut acara camping besok." Kata Tatar selaku ketua panitia acara camping Sabtu-Minggu besok. Walaupun ucapannya netral diberikan kepada semua rekannya, akan tetapi arti sebenarnya mengarah pada Dee. Dia yang diperkirakan tidak ikut acara camping besok karena adanya konflik antar sesama pengurus organisasi Pramuka Saka Wana Bakti, yakni antara Dee dengan Ruri dan Astri.
Dee yang merasa disindir langsung cemberut. Ia memang berencana tidak ikut camping besok, tapi tidak karena adanya konflik antara dia dengan salah satu rekannya. Ada hal lain yang mengganggu hati dan pikirannya beberapa hari belakangan ini. Instingnya mengatakan ada bahaya besar mengintai jika ia pergi ke Gua Terawang esok hari. Ia hanya tidak tahu bagaimana caranya menggambarkannya. Yang ia tahu, instingnya sering kali benar. Jika instingnya bilang itu berbahaya maka hal tidak baik itu kemungkinan besar (sekitar 95%) muncul. Dan, sekarang instingnya dengan kuat mengatakan, "Jangan pergi ke Gua Terawang!" Haruskah ia mengorbankan instingnya yang tidak logis ini demi kesetiakawanan sosial? Sanggupkah ia bertaruh pada proporsi keberuntungan 5% atas nama kesetiaan persahabatan? Dee menggigit bibirnya kuat-kuat hingga berdarah. Jujur. She did not dare to risk her life. Namun, ia dengan bijak memilih diam. Tidak berniat membalas atau membuat alasan.
"Ya." Sahut rekan-rekannya serempak.
"Bagus. Rapat selesai. Rekan-rekan bisa pulang sekarang."
Mereka langsung membubarkan diri dengan tertib. Tidak berniat menunggu soalnya waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Jika mereka tidak segera pulang, merek akan kemalaman di jalan.
Seperti rekannya yang lain, Dee pun memilih langsung pulang. Sepanjang perjalanan, ia terus diam dan larut dalam pikirannya. Hampir linglung. Jika bukan karena Puah, sahabatnya yang terus merawatnya, entah bagaimana nasibnya. Ia beberapa kali hampir nabrak pohon, tiang listrik, hingga pal pembatas jalan. Beberapa kali nyaris menerobos rambu-rambu lalu lintas, hingga terperosok got di pinggir jalan.
"Dee!" Tegur Puah membuyarkan lamunan muram Dee.
Mata Dee mengerjabkan bulu matanya setelah pulih dari linglungnya. "Eh, ya? Ada apa, Puah?"
"Elo baik-baik saja? Wajah loe agak pucat?" Tanya Puah lembut penuh perhatian dalam perjalanan pulang. Rumah mereka searah. Oleh karena itu, mereka sering berangkat dan pulang ke base camp Pramuka Saka Wana Bakti yakni kantor Perhutani Kabupaten Blora bersama.
"Gue baik. Hanya agak kelelahan."
"Oh,"Â gumam Puah. "Besok, elo ikut, kan?"
"Gue nggak tahu. Lihat saja entar!"
"Yach jangan gitu dong. Jangan sampai elo nggak ikut. Rugi. Kan selama ini elo yang paling ngebet ingin camping di Gua Terawang. Lupa?"
Wajah Dee bimbang. "Gue enggak lupa, tapi..."
"Lupakan mereka, Dee! Dua orang itu nggak pantas mengambil kebahagiaanmu."
"Ini bukan karena mereka,"
Alis Puah terangkat. "Lalu?"
"Gue ngerasa nggak tenang aja akhir-akhir. Takut nggak jelas gitu."
"Nggak jelas gimana?"
"Insting gue bilang kalo camping besok itu berbahaya bagi gue. Bahaya banget."
"Bahaya?"
"Iya. Feelnya kuat banget."
"Perasaan loe aja, kali. Nggak usah dipikirin,"
Dee facepalm. Kan tadi dia juga udah bilang, itu perasaannya. Kok dia ngulangin pernyataannya lagi sih? Dasar Puah ini. Suka nggak nyambung.
Dee mengerutkan keningnya. Dia tidak setuju dengan pendapat Puah. Ia yakin ini bukan perasaannya semata yang gelisah. Tapi, reaksi alam bawah sadarnya sedang memberinya peringatan bahaya. Meski demikian, ia juga tidak menampik akan adanya dorongan kuat untuk ke sana. Pergi ke Gua Terawang besok. Ia merasa ia harus ke sana apapun yang terjadi. Seberbahaya apapun, ia harus tetap ke sana. Ia seperti hewan ngengat yang mencintai api. Meski ia tahu api sangatlah berbahaya, bisa membakar tubuhnya, ia tetap nendekatinya. Seperti itulah kondisinya. Karena inilah, Dee galau. Setelah menimbang dari semua segi, ia putuskan untuk...
"Dee...?"
"Oke gue ikut." Kata Dee pasrah.
Puah tidak tahu jika percakapan mereka sore itu di kemudian hari akan menorehkan penyesalan yang amat besar di hatinya. Ia sangat menyesal. Seandainya dia tidak membujuk Dee, Dee pasti tidak akan ikut camping dan ia tidak akan jatuh ke dalam bahaya, dimana hidup dan matinya tidak diketahui.