Chereads / Please Don't Call Me Goddess / Chapter 2 - Berangkat Camping

Chapter 2 - Berangkat Camping

Sabtu siang ini di halaman depan gedung kantor Perhutani Blora diramaikan oleh para remaja belasan tahun. Sebagian besar dari mereka duduk di bangku SMU kelas 10 dan sebagian kecil kelas 11. Hiruk pikuk suara  areal kantor yang biasanya sepi lengang jika hari Sabtu tiba, karena Sabtu kantor tutup sesuai dengan peraturan resmi dari pemerintah pusat.

Ada yang bergosip di spot-spot strategis di tempat tertentu yang didominasi kaum wanita. "Eh elo udah dengar belum soal Kak Dee?" kata salah satu cewek berambut keriting yang duduk dekat pot bunga Puring. Dia cukup manis dengan kulitnya yang adil kuning langsat, kalau saja tubuhnya tidak terlalu sehat baca gemuk. Kegemukannya dan bentuk bodynya yang abstrak telah banyak menggerus nilai baiknya. Namanya Laksita. Biasa dipanggil Sita. Sekolah di SMU Negeri 1 Tunjungan kelas X.

"Tentang apa?" Tanya Edwianita yang biasa dipanggil Nita, tertarik. Ia satu kompatriotnya Sita. Sama-sama bertubuh subur. Sama-sama hobi bergosip.

"Katanya Kak Dee dan Kak Ruri bertengkar hebat usai UAS. Di belakang sekolah."

"Terus..? Terus..?" 

"Terus apalagi? Ya putus."

"Putus? Wach, nggak nyangka ya. Padahal mereka terlihat selalu harmonis."

"Ah, itu sih berita jadul. Udah basi. Ada yang lebih hot dari gosip soal putusnya Kak Dee dan Kak Ruri."  Kata Umi, teman sekelas Sita memberikan kerlingan nakal pada para senior yang tengah briefing.

"Apa?" Tanya Sita dan Nita serempak. Mata mereka berkobar penuh semangat karena mendapat suntikan gosip hot terbaru.

"Kak Ruri udah punya gebetan baru. Pengganti Kak Dee."

"Secepat itu? Mereka baru putus kan?" Tanya Nita nggak percaya.

"Gosipnya sih Kak Dee mutusin Kak Ruri karena Kak Ruri kepergok selingkuh."

"Oh, ya? Berarti, ceweknya yang sekarang orang ketiganya Kak Ruri-Dee, dong." Simpul Sita. Wajah memucat karena syok. Astaga! Kayak drama TV saja.

"Gosipnya sih gitu." Umi mencuri pandangan pada Kak Dee yang memasang wajah suntuk, sebelum berkata, "Gue salut loch ama Kak Dee. Dia sangat tegar."

"Gue juga. Salut." Sita ikut-ikutan mengerling pada Kak Dee yang ekspresinya tidak banyak berubah meskipun berhadapan langsung dengan Kak Ruri yang duduk berdekatan dengan gebetan barunya. "Kalau gue jadi dia, gue pasti udah cabut dari Saka. Eneg gue liat tampang dua makhluk sok alim itu." Jika tatapan bisa membunuh, Kak Ruri dan pacar barunya mungkin sudah mati selusin kali dengan tatapan ganas Nita.

"Mungkin Kak Dee udah terlanjur cinta mati dengan Saka. Makanya Kak Dee enggan cabut." Komentar Sita.

"Atau ia ingin membuktikan pada publik kalau ia baik-baik saja. Putus dengan Kak Ruri tidak berarti dunianya kiamat." Ini komentar Umi.

"Mungkin," gumam Sita. Setelah itu mereka berganti topik. Tidak lagi membahas soal hubungan asmara Kak Dee dan Kak Ruri. Mereka mengalihkan target pada Kak Tatar yang sampai sekarang masih berstatus single.

Ada juga yang berkelakar dengan kawan-kawannya. Umumnya dilakukan para cowok, sebab cowok-cowok yang merasa macho ini memiliki prinsip, 'No gosip. Gosip just for Cewek'.

"Eh, elo tahu kan Kak Angga, Ketos gue yang galak?" Muhaimin yang dari SMUDA mulai bercerita lebih dulu.

"Oh, kalau itu gue udah denger. Emang beneran galak?" Irwan yang duduk di sampingnya berkomentar.

"Banget. Saking galaknya, semua orang takut padanya. Lebih ditakuti dari guru BP gue."

"Terus?"

"Ia punya kebiasaan, tiap hari Senin pagi melakukan sidak seragam. Semuanya ia sidak, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Bagi yang nggak lengkap, siap-siap aja dapat hukuman. Tidak ada satu pun yang terlewatkan. Nah suatu hari, saat ia sedang sidak dia nemu kasus unik."

"Seunik apa? Nemu ranjau darat atau ada yang ketahuan bawa yang 'panas-panas'?" Tanya Irfan nafsu menggebu-gebu.

"Itu mah dah biasa. Yang ini luar biasa." Muhaimin tengok kanan-kiri bersikap sok rahasia. Ia mengecilkan volume suaranya. "Kak Angga nemu murid SMP di barisan murid SMU."

"Lah, kok bisa?" Komentar Andik yang awalnya acuh jadi ikut tertarik. "Emangnya satpamnya ngapain aja sampai ada yang nyelinap gitu? Kalo maling gimana?"

"Dengar dulu. Gue belum selesai cerita. Pas ditelisik murid SMP itu ternyata...." Bibir Muhaimin bergetar, menahan tawa. ".. Kak Dee."

"What!" Pekik Andik/Irwan/Irfan serempak.

"Ternyata, Kak Dee salah pakai seragam adiknya yang hari itu mau disetrika karena bangun kesiangan.'

Puff... Ledakan tawa terdengar memenuhi seluruh halaman.

"Kapan terjadinya?" Tanya Irwan.

"Senin kemarin."

"Habis Kak Dee putus dengan Kak Ruri, dong."

"Begitulah. Kayaknya, Kak Dee terguncang banget pasca putus. Habis Kak Ruri sih kejam. Tega-teganya ia selingkuh dengan teman baik Kak Dee sendiri. Untungnya Kak Dee nggak satu sekolah dengan Kak Ruri. Jadi, agak ringan gitu dech bebannya.

Katanya nggak bergosip.. nggak tahunya sami mawon.  Hobi bergosip juga.

Ada yang jajan dari penjual asongan di depan kantor. "Pak! Cimol 2 ribu. Yang pedas ya?" Mereka pakai aji mumpung. Mumpung belum berangkat. Mumpung truknya belum datang. Mumpung para senior belum ngelarang. Maka jajanlah sebanyak-banyaknya.

Ada pula yang rajin memeriksa barang-barangnya, memastikan jika yang harus dibawa sudah di bawa. Yang kayak gini nih jumlahnya dikit banget. Saking dikitnya bisa dihitung dengan sebelah tangan saja. Rata-rata berwajah serius. Jika tidak melihat seragam Pramuka yang dikenakannya, mungkin mereka sudah dikira Bapak-bapak pekerja kantoran. Seriusnya itu lho kayak seorang dokter bedah yang sedang melakukan operasi penting. Super serius dan super teliti.

Berbeda dengan area lain yang auranya lebih cerah dan riang. Di aula tempat para penitia penyelenggara melakukan breafing singkat sebelum mereka berangkat auranya terasa suram. Awan hitam tampak menggantung di atas kepala mereka. Percakapan mereka tergolong alot dan hampir menemui jalan buntu.

"Oke, saya kira semuanya sudah paham tugasnya masing-masing. Jika ada perubahan yang diperlukan pada kondisi tertentu, nanti akan diinformasikan pada semua panitia. Untuk membangun koordinasi yang baik, saya harap semua panitia, minimal satu dalam team memiliki HP dengan kondisi baterai full dan signal yang terjaga dengan baik." Kata Tatar selaku ketua panitia dalam acara Persami kali ini mengambil nafas lega. Akhirnya mereka berhasil mencapai kata mufakat.

Salah satu panitia, seorang gadis yang berjilbab dengan wajah lembut dan teduh mengangkat sebelah tangan. "Ya, rekan Yeti?" Kata Tatar mempersilakan rekannya yang perempuan yang berasal dari sekolah yang berbeda dengannya. Dia di SMUDA sedangkan jilbaber bernama Yeti sekolah di MAN.

"Afwan sebelumnya. Biasanya pemakai kartu * tidak memiliki signal di daerah terpencil. Bisa jadi di Gua Terawang nanti tidak ada signal bagi pemilik kartu ini. Alangkah baiknya jika dalam tim, pemilik kartu * tidak disatu kelompokkan." Usul Yeti.

Tatar merenung. "Nice idea! Terima kasih untuk usulnya. Saya malah tidak terpikir ke sana. Kalau terjadi apa-apa di sana, bisa gawat tuch."

"Hush! Jangan ngomong sembarangan! Pamali. Ingat omongan itu bisa jadi doa." Tegur gadis manis yang duduk di sebelah Yeti. Tidak seperti rekannya, ia tidak berjilbab. Namanya Dee, orang yang dijadikan bahan gosip para yuniornya.

"Bicara sembarangan apanya? Saya hanya menerapkan prinsip sedia payung sebelum hujan. Membuat persiapan kalau-kalau terjadi sesuatu yang tak diinginkan lebih baik daripada tidak siap saat bencana datang mengetuk." Tatar membela diri.

"Tidak usah banyak dalih." Tukas Dee ketus. Ia menengok waspada ke kanan kiri dan tubuhnya menggigil hebat seolah takut pada sesuatu. "Kalau diamini wali lewat bagaimana? Makanya, bicaralah yang baik-baik khususnya saat mau melakukan perjalanan."

Tatar cemberut. Ia tak ingin mengakui, namun yang dikatakan rivalnya ada benarnya.

Tidak ada rekannya yang lain yang berani berkomentar agar tidak mengipasi kemarahan keduanya. Keduanya berasal dari sekolah yang sama. Mereka bahkan pernah satu kelas sewaktu duduk di bangku kelas X. Akan tetapi hubungan keduanya serukun Tom and Jerry alias nggak pernah akur. Selalu cekcok, saling bertentangan, dan tidak pernah akur. Satu-satunya yang mereka sepakati adalah untuk tidak pernah sepakat dalam hal apapun.

Mereka mengocok ulang anggota tim, memastikan pemilik kartu * tidak berkumpul dalam satu tempat. Setelah, semuanya clear, Tatar membubarkan rapat.

"Candra, tunggu!" Panggil Tatar mencegah Candra, rekannya, pergi. "Ntar pas apel pembukaan, tolong gantiin gue." Ujar Tatar usai membubarkan rapat.

Candra adalah rekan Tatar yang sekolah di SMK N1 Blora. Dulunya disebut STM. Sebetulnya, kelasnya satu tingkat di atas Tatar. Tapi, dalam struktur organisasi Pramuka Saka Wanabakti posisinya setara, yakni seangkatan. Karena, itulah panggilan kakak-adik tidak berlaku. Candra yang berniat membereskan barang-barangnya mengerutkan dahinya, "Lah, kok gue? Terus elo ngapain?"

"Mau ngasih laporan pada Pak Slamet, pembina kita."

"Sip, beres!" Ujar Candra mengiyakan.

Lima belas menit kemudian.

Candra memiliki postur cukup tinggi sekira 177-180 cm. Dengan tungkai yang panjang dan tubuh yang tegap dalam balutan seragam Pramuka, ia tampak gagah berwibawa. Aura heroik memancar dari tubuhnya tatkala ia berdiri dengan tubuh tegap sempurna di tengah halaman dengan punggung membelakangi bendera. Auranya yang menguar padat dari tubuhnya memaksa tiap orang untuk tunduk patuh padanya. Calon pemimpin masa depan, nih.

Begitu Candra meniup peluit, "Priiit...!" hiruk pikuk di halaman itu pun terhenti. Langsung sunyi senyap. Apapun kesibukan mereka sebelumnya, ditinggalkan begitu saja. Mereka dengan tertib berbaris di lapangan menghadap remaja pria yang di pundaknya ada peluit tergantung. Barisnya lurus dengan space satu lengan, berdiri dengan sikap sempurna untuk mendengarkan arahan sang pemimpin di depannya, layaknya seorang prajurit militer. Meski faktanya bukan. Mereka hanyalah remaja ingusan yang masih duduk di bangku SMU. Namun, berkat pelatihan ketat yang mereka pelajari dalam urusan baris-berbaris, mereka bisa meniru style seorang tentara.

Candra mulai berpidato. "Hari ini, kita akan camping di wana Gua Terawang. Saya harap di sana kalian menjaga sikap. Tunjukkan jika kita adalah generasi beradab dan berakhlak mulia. Terakhir, dengarkan selalu instruksi para senior. Tidak ada bantahan. Ingat peraturan kita?"

"Pasal satu, senior tidak pernah salah. Pasal dua, jika salah lihat pasal satu." Jawab mereka serempak.

"Bagus. Sekarang kalian bisa bubar. Persiapkan yang harus dibawa. Sebentar lagi, truk yang membawa kita sampai." Ujarnya membubarkan barisan.

Mereka bubar dengan tertib. Sambil bercakap-cakap ringan, mereka membereskan bawaannya masing-masing. Mereka bergerombol sesuai dengan kelompoknya. Laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan, karena prinsip dasar Pramuka, pria dan wanita adalah satuan terpisah. Karena itu, di setiap kegiatan mereka terpisah. Yang nyampur  hanya para senior karena mereka bertugas mengawal para yunior untuk memastikan kegiatan berjalan lancar.

Bruuum! Ciit...! Suara truk memasuki pelataran menarik perhatian semua orang. Wajah-wajah lelah berubah jadi sumringah. Mereka berbondong-bondong menghampiri truk. Sebelum naik kendaraan, Tatar melakukan inspeksi dadakan, memeriksa bawaan para peserta camping. Para peserta cowok diberi anggukan, tapi giliran peserta cewek, Tatar geleng-geleng kepala.

"Tasmu menggembung gede. Apa saja isinya?" Tanya Tatar pada salah satu peserta berjilbab bertubuh tambun. Namanya Sofi.

"Isinya makanan ringan, Kak. Mie instan berbagai rasa juga ada. Terus ada fan*a, spr**e, susu kotak, air mineral dan teh botol. Kakak mau?"

"Kamu mau camping apa mau buka warung di sana?" Komentar Tatar pedas menyengat. Saat sedang bertugas, mereka dilarang menggunakan bahasa tidak resmi sebagai penghormatan pada bahasa Indonesia. Matanya yang hitam kelam menyipit tajam. Ada setitik ketidak sukaan tersirat dari sorot matanya. "Selanjutnya, kamu!" Kepalanya memberi isyarat pada peserta cewek yang masih satu tim dengan Sofi. Namanya Desi.

"Kami kan cewek, Kak Tatar." Balas Desi, mengedip genit pada Tatar. Suaranya sengaja dibuat merdu manja untuk menarik perhatian senior super galak di Saka Wanabakti, tapi tampan ini. Siapa tahu Kak Tatar kecantol padanya. "Kami butuh banyak barang untuk menjaga penampilan kami. Kan itu salah satu bunyi Dasadarma Pramuka, Kak." Imbuhnya.

"Dasadarma? Poin berapa?"

"Poin kedua. Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia. Kalau ingin disukai dan disayangi kita harus memiliki penampilan yang menarik dan sedap dipandang mata. Makanya itu, perawatan tubuh tidak boleh berhenti meskipun ikut camping. Harus kontinyu biar kita bisa tampil cantik menarik." Dalih Desi.

(¬_¬) Tatar facepalm. Alasan macam apa itu? Nggak nyambung.

(Author mau mengatakan sesuatu. Menjadi cantik dan merawat kecantikan adalah hak asasi bagi setiap manusia. Mohon jangan dicela. Bagi, pria, itu mungkin hal sepele. Bagi wanita, itu nyawa dan hidup mereka. Karena itu, alat make up seperti bedak, sisir, pelembab wajah, pembersih wajah, hand body, roll on, tisu/sapu tangan, dan parfum adalah barang wajib yang mesti ada di dalam tas cewek.)

"Kita ini mau camping. Ke hutan. Bukannya mau melakukan pemotretan gadis sampul. Jadi, nggak perlu kamu bawa semua alat-alat salon. Lagaknya kayak selebritis top saja. Yang natural ajalah. Karena yang alami lebih cantik daripada yang oplas." Katanya menyindir tajam.

Tatar beralih pada peserta selanjutnya. "Astaghfirullah al adzim!" Pekiknya terlonjak karena terkejut. Matanya melotot. "I-ini apa? Sebanyak ini? Isinya apaan?" Gila! Tasnya lebih gedhe dari punyanya Sofi. Peserta bernama Kasih menyeret tasnya yang penuh sesak hingga kancingnya mau lepas. Itulah yang membuat Tatar terkejut. Pergi cuman tiga hari dua malam, tapi barang bawaannya kayak mau pergi seminggu. "Mau minggat Jeung?"

"Yee... Kakak ini nggak pengertian amat. Kita kan cewek. Wajar jika barang bawaan kita banyak, Kak. Ini isinya baju ganti. Ada seragam Pramuka cadangan. Sepatu cadangan. Baju olahraga. Baju tidur. Baju santai. Selimut dan bantal. Aku nggak bisa tidur kalau nggak bawa bantalku sendiri."

(¬_¬) Tatar sweatdrop. Ia kehilangan kata-kata. Aduch, Nak! Kenapa kamu mikirnya gitu? Itu kejauhan Nak. "Nggak bawa kasur sekalian?" Sindirnya.

"Bawa kok. Nih!" Kasih mengeluarkan kasur yang bisa ditiup dan dikempesin.

The gubrak. Ya salam. Bibir Tatar berkedut. Diam-diam mengelus dada. "Ya Allah! Juniorku emang sesuatu." Katanya dalam hati. "Aku kan sudah bilang berkali-kali. Bawa barang seperlunya, yang ringkas. Masak Pramuka kok boros tempat." Imbuhnya.

"Senior Dee lebih boros dari kita. Beliau bahkan bawa tas gunung segedhe kapal." Balas Desi menghiperbolakan memberi dalih pembenaran.

Tatar merengut jengkel. "Dia lagi. Dia lagi. Selalu saja membuat masalah." Keluhnya lirih. Ia membalikkan badan untuk melihat orang yang disebut. Ia kembali terlonjak. "Masyaallah, Dee!" Teriaknya naik dua oktaf suara. "Wow, sedikit sekali yang kau bawa. Kalau buat pindah rumah ini sih masih kurang." Komentarnya sarkastik dengan senyum ramah di bibirnya.

Dee yang biasa dicela dan disindir Tatar memasang wajah kayu. Ia pura-pura tumpul. "Ah, enggak. Aku ndak ada niat pindah. Aku udah nyaman dengan rumahku yang sekarang, kok." Balas Dee dengan senyum riang. Ia tak terpengaruh komentar Tatar yang pedas. Ia lalu menepuk tas punggungnya yang menggembung besar seperti orang hamil sembilan bulan. "Isinya tuch barang-barang lama yang rencananya mau aku obral setibanya di sana. Lumayan. Siapa tahu laku. Itung-itung nambah uang jajan." Sindirnya.

Mata Tatar memicing. "Aku serius."

"Lah, kapan aku bercanda? Dari tadi aku juga serius."

"Kita itu mau camping, Dee. Di hutan. Harus berapa kali ku bilang?"

"Tahu. Siapa yang  bilang mau nginap di hotel?"

"Lalu, kenapa barang bawaanmu sebanyak ini. Ini bahkan lebih banyak dari barang-barangnya Sofi dan Kasih. Kau itu senior. Tolong kasih contoh yang baik."

"Semua ini barang berguna yang sangat ku perlukan di sana. Tidak bisa dipilah."

"Huh! Terserah." Komentar Tatar dengan wajah cemberut. Dua kali ia kalah argumen dari Dee. Rivalnya itu memang terkenal berlidah licin dan juga saleh. Semarah apapun dia, sejengkel-jengkelnya, tutur bahasa akan tetap halus. Senyumnya tidak pernah tanggal dari bibirnya. Itulah bagian tersulitnya.

Dee memegang betul ilmu 'Blangkon Jawa' yang maknanya, di muka harus tetap santun. Menyimpan kemarahan, kebencian, iri dan dengki di belakang pikiran. Tapi, di belakang tusukannya lebih menyakitkan daripada bandit berandalan. Sentuhannya selalu tepat mengena di bagian yang paling sakit. Karena itulah, lawan seperti ini sulit dikalahkan.

Tatar menghentakkan kakinya kasar. Ia dengan gesit dan anggun menyerupai gerakan harimau melompat ke atas truk. Ia membalikkan tubuhnya dan menghadap Dee. Senyum sinis menghiasi bibirnya yang mengerut kaku. "Jangan bikin repot orang lain! Tanggung jawab pada dirimu sendiri." Katanya dengan ekspresi yang dingin tak tersentuh.

Senyum di wajah Dee kian lebar. "Tenang saja. Aku janji tak akan merepotkan Pak Ketua." Jawabnya sambil memberi hormat main-main.   

Dee melangkah tanpa beban menghampiri truk. "Tangkap!" Serunya pada peserta cowok terdekatnya yang sudah naik truk. Tas punggungnya yang besar kini melayang ke dalam truk dan jatuh ke tangan salah satu orang yang ia percayai. "Good job!" Pujinya tidak pelit. Setelahnya, ia melompat naik ke dalam truk. Ia mengambil tempat di dekat dinding bak agar bisa mendapatkan pegangan stabil dan juga ingin merasakan tamparan deru angin di wajahnya. Ia juga berharap bisa mendapatkan satu atau dua buah yang bisa ia raih dari atas truk. Kali aja beruntung.

Di dalam truk, sambil menunggu sisanya naik, Yeti menyenggol ringan bahu Dee, setengah berbisik. "Elu tuch kenapa sih selalu saja cari perkara dengan Tatar?"

Dee cembaerut. "Hanya perasaan elu aja kaleus. Gue mah biasa aja."

"Biasa gimana? Orang jelas-jelas elu nantangin dia."

"Gue? Nantangin dia?" Ia membuat gerakan jijik dengan sengaja. "Idih..! Kurang kerjaan amat gue."

"Jujur ajalah. Gue nggak bakalan ember."

"Bener. Suer. Berani kesamber gledek, kalo gue boong."

"Trus kenapa elu bawa tas segedhe gigan gini, kalau bukan untuk membuat Tatar marah?"

"Ya enggak ada maksud apa-apa. Niat gue tuch tulus, membawa semua barang penting yang sekiranya gue butuhin di sana. Tatarnya aja yang belagu. Sok punya kuasa."

"Kan di rapat kemarin udah diputuskan 'Jangan bawa barang yang nggak penting' biar nggak membebani. Para junior saja pada nurut. Masak elu yang senior malah melanggar sih. Gimana itu? Nggak konsekuen!"

"Gue nggak melanggar aturan apapun. Semua itu memang yang gue butuhin." Dalih Dee.

"Oh, ya?" Yeti mengangkat alisnya. Ia terlihat sangat cantik dengan gerakan sesederhana itu. "Coba gue periksa!"

"Sok, silakan!"

Yeti tertawa evil. Ia membuka kantong tas Dee. Sikat gigi, pasta gigi, sampo, dan sabun ada di kantong bagian samping. Cukup normal. Kecuali sampo. Serius Dee mau keramas di sana nanti? Emang airnya cukup? Bagi para campinger, bisa mandi aja udah dianggap 'mewah'. Ia beralih ke saku depan. Ia mengernyitkan dahi. Alat tulis mungkin masih oke. Tapi, kalkulator? Serius. Buat apa bawa kalkulator di tempat camping? Emang mau ngitung apaan?

Resleting tas ditarik terbukalah isi tas. Ada mukena. Kain sajadah tipis. Baju olahraga. Seragam pramuka pengganti. Sandal jepit. Jagung beberapa tongkol. Kacang tanah masih mentah. Singkong dan ubi juga masih mentah. Cokelat kemasan. Mie instan. Tepung. Kopi kemasan. Serbuk teh. Water heater. Underweare. Jarit tiga biji. Sisir rambut. Karet satu bungkus. Jarum dan benang jahit beberapa biji. Kotak P3K mandiri. Botol air. Senter. Pisau belati satu set. HP. Buku tentang herbal dan pertanian hidroponik.

Yeti tertegun. Ini yang Dee bilang penting dan berguna? Berguna buat apaan? Sebagian memang include, masuk akal. Tapi, beberapa yang lain nggak pantas untuk dibawa. "Gue nggak ngerti dengan pola pikir lu, Dee." Desah Yeti lelah. "Buat apa elu bawa bahan makanan mentah?"

"Buat dimasaklah."

"Tapi, Dee. Makanan untuk panitia udah disiapin. Nggak perlu repot masak. Dan lagi, kan lebih praktis kalau bawa makanan yang udah matang?"

"Gimana kalau makanan siap dimakan itu nggak bisa diantar? Kelaparan dong." Candanya.

"Kenapa enggak?"

"Yach kali aja terjadi..." Dee terdiam. Wajahnya tampak.gelisah.

"Apa?"

"Bukan apa-apa."

"Dee..!"

"Pegangan gih! Ntar jatuh. Truk udah mau berangkat." kata Dee mengingatkan.

Yeti yang meskipun tidak puas, tapi ia tidak mendesak Dee lebih jauh. Karena, ia menghargai jika Dee butuh privasi.

Tepat pukul setengah empat, kami berangkat menuju wanawisata Gua Terawang yang terletak di Desa Kedungwungu, Kecamatan Todanan, Kab. Blora, Prov. Jateng. Jaraknya dari Blora kota sekitar 34 km. Jika lancar, perjalanannya memakan waktu kurang lebih tiga perempat jam. Ada juga yang bilang hanya butuh sekira setengah jam. Mungkin ia sedikit ngebut ke sananya.

Dee di dalam truk tersenyum. Itu senyum pertamanya pasca putus dari pacarnya yang brengsek. Ia sudah lama ingin ke Gua Terawang yang terkenal dengan julukan 'Siraman Cahaya Surga' sejak ia masih kecil. Nggak tahu kenapa? Ia merasa terpanggil untuk ke sana. Tapi, ia tak pernah bisa mewujudkannya karena tak ada yang mau mengajaknya ke sana, hingga hari ini. Hari ini, akhirnya, kesempatan itu tiba. Impiannya untuk mengunjungi Gua Terawang terwujud. Tak mungkin ia melepaskan kesempatan itu apapun yang terjadi. Apalagi demi mantan pacar brengseknya. NGGAK BAKALAN ia mundur.

Dee sudah menyusun agenda sendiri, terpisah dari agenda Pramuka selama ia di Gua Terawang. Rencana utamanya ialah menjelajahi dan mengeksplor keindahan gua yang panjangnya kurang lebih 180 meter dan tentu saja menikmati siraman cahaya surga alias cahaya matahari dari balik lubang di langit-langit gua. Terus, menjelajahi kelima anak gua Terawang dari ujung ke ujung yang saling bersimpangan.

Selama proses itu, ia bisa sekalian mencari stalaktit 'Gigi Buto'. Ciri-ciri stalaktit ini berukuran besar dan juga runcing seperti gigi taring. Makanya itu disebut Gigi Buto. Kata salah satu pengunjung, ia ada di salah satu sudut gua. Rugi kalau nggak lihat karena stalaktit 'Gugi Buto' hanya ada di Gua Terawang. Ia juga berharap menemukan obyek sendang yang katanya ada di tengah-tengah gua.

Selain mengunjungi Gua Terawang, Dee juga berencana melihat gua-gua lainnya seperti Gua Gombak, Gua Macan, Gua Kidang, dll. Gua-gua itu tersebar, tapi masih dalam satu lokasi wanawisata Gua Terawang. Mungkin gua-gua ini tak seindah Gua Terawang. Bahkan diantaranya ada yang tertutup rapat oleh semak-semak liar, tak terurus, mungkin juga jadi sarang ular atau hewan liar lainnya, tapi bagi para petualang sejati, ini masih cukup layak dikunjungi.

Sayangnya, rencananya ini baru bisa terwujud kalau ia bebas dan ada waktu luang. Soalnya, ketua panitianya Tatar gitu loch. Siapa sih Tatar? Dia itu orang paling julit dan termenyebalkan yang pernah Dee kenal. Ia paling nggak suka liat orang nganggur dikit dan dia sangat ahli menemukan kesibukan. So, mana mungkin ia membiarkan Dee bahagia menikmati waktu bebasnya dengan berjalan-jalan santai tanpa tumpukan tugas di tangannya? Tapi, berharap boleh kan?

Sraakkk! Suara gesekan antara dedaunan dan dinding bak membuyarkan lamunan Dee. Jantungnya berdesir melihat dahan yang nyaris memukul kepalanya. Sibuk dengan agenda di dalam kepalanya membuat Dee mengabaikan potensi bahaya di jalan raya. Para penumpang bak yang berdiri harus selalu waspada dengan dahan pohon yang tumbuh rendah karena bisa melukai anggota tubuh para penumpang, khususnya area kepala. Belajar dari kesalahannya, Dee tumbuh lebih waspada. Ia percaya orang yang waspada punya peluang yang lebih baik beberapa persen daripada yang lalai.

Truk melaju dengan kecepatan sedang. Tidak banyak kemacetan karena tak ada proyek perbaikan jalan dan pasar sedang sepi. Sampai di Pasar Ngawen tepat pukul empat sore. Mataku entah mengapa terpaku pada bangunan tua yang dibangun pada jaman Belanda. Arsitekturnya cukup megah dan juga kokoh. Ada kesan dingin, menyendiri, dan juga sombong dari bangunan itu. Cat warna hijau daun dan beberapa tanaman yang tumbuh terawat di halaman sedikit memberi sentuhan manusiawi.

Mataku lalu melihat dan membaca dalam hati plang nama di depan. Pegadaian. Bangunan tua itu awalnya milik Belanda. Setelah Indonesia merdeka, bangunan itu beralih fungsi menjadi gedung pegadaian. Sampai sekarang gedung itu masih mempertahankan arsitektur lamanya. Tidak ada perubahan berarti kecuali warna cat karena bangunan itu masuk dalam inventaris bangunan bersejarah yang tidak boleh sembarangan diubah.

Gedung Pegadaian terlewati.Truk lalu belok kanan ke arah Desa Japah. Dari Pasar Ngawen ke Gua Terawang jaraknya kurang lebih 10 km. Perjalanannya tidak sehening sebelumnya. Banyak pohon berdahan rendah tumbuh di sepanjang jalan membuat banyak dari kami menjerit tidak karuan dan cepat-cepat merundukkan kepala demi keselamatan diri masing-masing. Tamparan ranting dan daun lumayan menyakitkan jikalau kena.

Di sela-sela bencana itu, ada juga tangan-tangan usil yang mengambil buah tanpa ijin alias nyolong yang ada dalam jangkauan tangan. Hasil rampasan dibagikan secara merata bagi yang mau. Karena main sambar, buah yang didapat pun kualitasnya patut dipertanyakan. Umumnya masih muda. Tapi, kami asyik-asyik saja makannya. Makluk, perut gentong bocor alias rakus.

Dalam kurun waktu setengah jam kemudian, kami pun tiba di areal perkemahan. Truk masuk melewati pintu gapura ke tempat parkir kendaraan. Sopir tidak perlu membayar tiket masuk. Sudah ada ijin khusus untuk organisasi Saka Wanabakti mengadakan acara camping 'Persami' hari ini oleh pihak Perhutani selaku pengelola resmi wanawisata Gua Terawang.

"Akhirnya sampai!" Seru salah satu peserta pria dari sekolah SMK N 1 Blora bernama Eros. "Gua Terawang! I am coming!" Teriak Eros dengan wajah puas dan juga bahagia. Ia meregangkan kedua tangan seolah ingin meniru salah satu adegan romantis Jack dan Rose di atas kapal pesiar dalam film 'Titanic'. Sayang tidak ada Rose-nya dan yang utama di sini hutan. Bukan laut.

"Dasar kampungan." Komentar temannya, Andik, agak sinis. Ia beda sekolah dengan Eros. Ia sekolah di MAN yang masih berdekatan lokasinya dengan SMK N 1 Blora.

"Biarin. Bilang saja, iri!" Balas Eros sengit.

Mulut Andik membuka, tapi menutupnya lagi karena Dee selaku seniornya sudah keburu menghardiknya.

"Hei!" Geram Dee dengan kedua alis saling bertaut. Raut wajahnya memperlihatkan jika ia sangat terganggu.

"Ya, Kak!" Balas Eros dan Andik dengan sikap sempurna. Wajah tertunduk, memberi sang senior rasa hormat yang pantas didapatkannya.

"Tadi, kau bilang apa?" Dee meminta Eros mengulangi ucapannya barusan. Eros bergerak gelisah, takut mengucapkan sesuatu yang membuatnya mendapat hukuman berat. Ia melirik Andik meminta bantuan, tapi Andik pura-pura tidak lihat. Ia takut terkena imbasnya. "Kenapa diam saja? Lekas jawab!"

Jika saja Dee berteriak, mungkin Eros tidak akan setakut ini. Ia percaya, semakin lemah lembut seseorang, semakin berbahaya. "Biarin! Bilang aja iri." Suara Eros terdengar lirih. Akan tetapi, karena ini di hutan di waktu sudah senja dan teman-temannya sudah meninggalkannya bersama Dee dan Andik, suaranya terdengar jelas.

"Bukan yang itu. Yang sebelumnya."

"Gua Terawang. I am coming!" Eros mendapat keberanian setelah melihat tidak ada tanda-tanda yang memperlihatkan kemarahan seniornya.

"Bukan. Yang sebelumnya."

"Akhirnya sampai."

"Bukan itu juga. Haish!" Wajah Dee cemberut. Gerak tubuhnya menyiratkan kekesalan dan ketidak sabarannya. Dengan lambaian tangan acak, ia berseru, "Sebelumnya lagi." Dee menekankan pada kata lagi.

Eros mengerutkan dahi, mulai dilanda kebingungan "Maksud Kakak?"

"Sebelum ngomong, 'Akhirnya sampai!"

"Tapi, sebelum itu, aku nggak ngomong apa-apa."

"Serius?" Tanyanya meragukan.

"Serius."

"Yakin?"

"Absolut yakin. 100%."

Kernyitan di dahi Dee bertambah dalam. Aneh. Jelas-jelas ia mendengarnya berkata, "Selamat datang bla..bla..bla.." dengan suara lirih tepat di telinganya. Jika bukan Eros, terus siapa? Karena hanya Eros, satu-satunya pria yang posisinya paling dekat dengannya. Sebuah hembusan angin sore menyapu lembut area tengkuk Dee, membuat tubuhnya menggigil. Jangan-jangan... Jangan-jangan... h-hantuu... Ia bergidik.

Dee menengok kanan dan kirinya, takut jika hantu itu tiba-tiba muncul tepat di depannya. "Ah, mungkin gue salah dengar. Masak sih ada hantu di siang bolong?" katanya pada dirinya sendiri untuk menumbuhkan keberaniannya. "Sudahlah jangan dibahas lagi. Lekas ambil barang-barang kalian! Kita harus mendirikan tenda sebelum Maghrib." Kata Dee memerintahkan dua yuniornya untuk segera berkemas.

"Iya, Kak!" Jawab keduanya serempak dan berlalu dengan sopan. Keduanya bergegas menuju area yang ditunjuk panitia untuk mendirikan tenda.

Lokasi tenda untuk senior pria dan wanita berbeda. Tenda senior cowok berada di sebelah kanan kira-kira tiga meter dari aula. Lokasi tenda berdiri tepat di tengah sebagai pemisah tenda peserta pria dan peserta wanita yang berada diantara pepohonan jati. Sedangkan, tenda senior wanita di sebelah kiri aula.

Meskipun sudah ada tenda, aslinya para senior tidak ada yang tidur di dalam tenda. Alasannya, terlalu dingin. Tempat tidur mereka menyebar. Tidak dalam satu tempat. Ada yang tidur di kamar khusus yang dibangun oleh pihak pengelola wanawisata. Ada yang tidur di aula. Sisanya tidur di jalan setapak yang sudah diaspal. Katanya lebih hangat.

"Dee..!" Sebuah suara sayup-sayup terdengar memanggilnya. Dee menoleh. Tasnya terlupakan begitu saja, teronggok di tanah. Ia melangkah menuju sumber suara orang yang yang tengah memanggilnya. Arahnya dari Gua Terawang. Dalam kondisi normal, Dee pasti akan lari ketakutan, mengingat Gua Terawang saat ini sunyi sepi dan juga gelap setelah matahari bergerak ke arah Barat. Tak mungkin ada orang di sana. Lebih-lebih memanggilnya ke sana.

Seperti orang yang terhipnotis, Dee berjalan dengan langkah pasti, menyusuri jalan setapak yang sedikit becek bekas hujan sebelumnya dan lalu menuruni belasan anak tangga hingga sampai mulut gua Terawang yang terletak tidak jauh dari lokasi camping mereka.

Suara yang memanggilnya berhenti secara mendadak. Kilasan kejutan menghiasi bola matanya. Ia bingung. Ngapain ia ke sini? Memang ia berencana menjelajahi gua, tapi tidak di jam segini juga kali. Saat senja seperti ini, gua tidak terlihat indah, melainkan seram, membuat bulu tengkuknya meremang. Ia merasa ada sepasang mata nan tajam tengah mengintainya di balik kegelapan gua.

Ia sudah membalikkan tubuhnya, tapi suara tanpa wujud itu kembali terdengar menyapa gendang telinganya membuatnya kembali linglung, tidak menyadari apapun. Di otaknya hanya ada satu hal, segera masuk ke dalam gua. Suaranya yang mistis, menyihirnya, menuntunnya untuk masuk lebih dalam ke dalam gua. Ia sudah melangkah melawati mulut gua, hendak masuk ke dalam gua. Namun, sebuah tangan mengait lengan Dee, mencegahnya.

"Elu mau ngapain di sini? Sendirian pula." Tanya Puah, membuyarkan jerat-jerat sihir yang membelenggu Dee. Puah ini sahabat Dee yang satu sekolah dengannya, tetapi berbeda kelas. "Bukannya elu takut gelap?" Imbuhnya heran.

"Oh gue. Ini. Gue sedang... sedang...." Dee menelengkan kepalanya bingung. Kok gue bisa di sini, lagi? Udah masuk ke dalam gua yang redup, pula? Gimana ceritanya? Bukannya tadi gue mau bantuin diriin tenda? "Gue juga nggak tahu mau ngapain?"

"Lah, kok bisa?"

"Iya nggak tahu. Gue sendiri juga heran." Jawab Dee yang dilanda kebingungan.

"Makanya minum aq*a. Biar nggak gagal fokus."

Dee mendengus. Dengan setengah bercanda bilang, "Kemakan iklan, lu!"

"Biarin daripada situ, linglung. Nggak pernah jelas." Balas Puah memeletkan lidahnya. Angin sore menyapu tubuhnya, membuat bulu-bulu halus di tengkuknya meremang. Refleks, ia mengusap tengkuknya. "Cabut yuk! Di sini seram." Lanjutnya merinding tanpa sebab.

Berada di lingkup yang gelap gulita di dalam gua seperti ini, mampu membuat seorang cewek se-pemberani Puah jiper juga. Instingnya menangkap bahaya yang mengintip dari dalam gua. Mungkin, itu sepasang mata milik ular berbisa atau bisa jadi jin penunggu Gua Terawang. Namanya gua. Wajar kan jika punya penghuni tetap.

Dee mengangguk, mengiyakan. Ia juga takut berlama-lama di dalam gua. Takut gelap. Semenjak pernah terjebak dalam peti tertutup selama tiga jam, Dee mengalami phobia tempat tertutup dan gelap. Tidak sampai parah sih. Namun, nafasnya akan langsung sesak jika ia menemui dua kondisi tersebut. Biasanya, terjadi saat ia terjebak di dalam ruangan dan lampu mati mendadak. Dia langsung heboh tabrak sana tabrak sini demi bisa keluar dari ruangan yang menghimpit.

"Oh ya, tadi Tatar bilang, setelah tenda berdiri, acara selanjutnya bebas." Kata Puah mengalihkan topik percakapan .

Wajah Dee agak pucat di bawah sorot lembayung senja. Ia memang pengidap penyakit anemia sehingga wajahnya selalu terlihat pucat, sayu, dan kuyu. Makanya, Puah nggak nanya-nanya kenapa wajahnya pucat pasi. "En" ujarnya kemudian.

Sebelum pergi jauh dari gua, Dee menatap gua terawang yang terlihat gelap gulita dengan menghilangnya Sang Surya ke kaki langit untuk terakhir kalinya. Saat-saat begini, aura magis terasa memancar dari dalam gua. Perasaan ia sedang dibayangi dan diincar terasa kuat mencengkram hati Dee mengirimkan rasa takut di tiap tulangnya. Hanya dengan tekad kuat semata, Dee berhasil menakhlukkan rasa takutnya.

Puah menarik tubuh Dee. "Nanti, kalau udah terang benderang, gue temenin elu keliling. Sampai elu puas. Sekarang waktunya tidak tepat." Hibur Puah sabar.

"Roger Bos. Eh, gue ambil tas gue dulu." Pamit Dee sopan.

Dee menyeret tasnya yang malang teronggok tak berdaya di salah satu sudut pintu gerbang, menuju tendanya. Ia langsung menuju tendanya yang sudah berdiri. Sudah dibilang, kan, tanpanya tenda akan bisa berdiri dengan baik. Ia masuk ke tenda dan melemparkan tasnya begitu saja untuk istirahat sejenak. Tiga puluh menit kemudian, usai sholat dan makan malam, mereka ada briefing.

SKIP TIME

"Ada peserta yang sakit atau kendala lain?" Tanya Tatar mengecek keadaan pada rekan-rekannya.

"Tidak." Balas Rita dari SMANSA memberi laporan. Ia di tim acara. Tugasnya memantau keberlangsungan acara, memastikan acara berjalan lancar sesuai dengan jadwal yang disusunnya. "Semua terkendali."

Tatar mengangguk. "Seperti yang diharapkan." Komentarnya bernafas lega. Ia juga berharapnya tidak ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi hingga acara selesai dan mereka pulang sampai rumah masing-masing dengan selamat. "Kita break untuk ISOMA (Istirahat, sholat, makan) sampai jam 19.30. Selama jam itu peserta bebas. Aku ingatkan kembali. Untuk pengisi materi malam ini, adalah Dee. Yang mengawasi praktek lapang Candra. Ada yang keberatan?"

"Tidak." Jawab Dee dan Candra serempak.

"Oke, sekarang bubar. Silahkan nikmati waktu bebas kalian." Ujar Tatar berwibawa.

Waktu beranjak malam. Acara yang sudah disusun berhasil dilaksanakan tanpa kendala yang berarti. Tepat saat bulan di atas kepala, para peserta camping dan panitia terbang ke pulau mimpi secara bersama-sama. Hanya segelintir orang yang masih terjaga. Mereka kelompok gosipper yang terdiri dari Lasminto, Sari Tresno, dan Syaikhu.

Sambil mencari kehangatan dari api unggun, Syaikhu mulai bergosip. "Eh, tahu enggak? Tadi, gue lihat Dee dan Puah mangkir dari tugas. Mereka berdua mencuri start dengan memasuki Gua Terawang terlebih dahulu."

"Yee.. nggak valid tuch infonya. Sebetulnya, Puah nyari Dee setelah ia membantu mendirikan tenda. Jadi tidak tepat jika dibilang Dee dan Puah mangkir. Yang betul, Dee mangkir." Jelas Lasminto.

"Wach, nggak benar tuch anak. Nggak profesional. Nggak bisa membedakan masalah pribadi dengan bisnis." Komentar Tatar sinis.

Dahi Dolis mengerut. "Gue rasa nggak sesederhana itu."

"Maksudmu, itu bukan efek berantai patah hati?" Tanya Lasminto berpaling pada saudara tidak sedarahnya. Doski kan udah lihat betapa linglungnya Dee, membuat banyak kesalahan konyol pasca putus cinta.

"Seperti itulah. Ada yang aneh dari dia."

"Apanya?" Tanya Syaikhu dengan kilau jahil di matanya. Dolis kan jarang memperhatikan seorang cewek sedetail itu. Biasanya Dolis bersikap acuh dan cenderung mengabaikan jenis gender ini.

"Entahlah. Pokoknya aneh aja. Dia kayak....." Dolis terdiam. Matanya mengarah pada gua yang tersembunyi dalam kegelapan malam. Instingnya merasakan sesuatu, tapi apa yang mengganggunya, ia juga nggak tahu. Secara tidak sadar, ia mengusap tengkuknya.

"Kayak apa?" Desak Lasminto. Tak ada jawaban. Mulut Dolis terkunci rapat. Ia malah tampak larut dalam lamunan.

"Bukan apa-apa," jawab Dolis akhirnya. Tak ada yang mendesaknya. Dolis itu tipe orang yang pendiam, irit bicara. Jika ia tidak mau buka mulut, maka tak ada satu pun orang yang bisa memaksanya bicara.

"Hoahmm.... ngantuk. Aku cabut dulu." Pamit Tatar diikuti teman-temannya dan hanya menyisakan Dolis seorang yang masih setia duduk manis di depan api unggun.