Chereads / Please Don't Call Me Goddess / Chapter 3 - Mimpi Buruk

Chapter 3 - Mimpi Buruk

Dee bangun pada dini hari karena mimpi buruk. Nafasnya memburu dan bajunya basah karena keringat. Tubuhnya mengalami tremor yang ditandai dengan kejang otot dan jantung yang berdentam-dentam seolah ingin lompat dari cangkangnya. Sekujur tubuhnya menggigil karena sisa-sisa kengerian yang ditinggalkan oleh mimpi buruknya.

Dee bangkit dari posisinya. Ia duduk dengan punggung menyender pada tas ransel yang tadi ia jadikan bantal. Ia tak ingin memejamkan matanya lagi dan melanjutkan tidurnya, meski hari masih gelap karena takut mimpi itu datang lagi. Padahal sungguh, ia tidak ingat sedikitpun isi mimpinya. Hanya sensasi kengeriannya yang berhasil ia ingat. Untungnya, ia tidak menjerit dalam tidurnya, sehingga mengganggu tidur nyenyak teman-teman yang satu tenda dengannya. Kasihan mereka. Kelelahan sehabis mengatur kegiatan camping dari sore hingga pertengahan malam tadi.

Dee menoleh ke samping kanan dan kirinya. Puah dan Rita masih terlelap dibuai mimpi. Dee tersenyum tipis, merasa geli sendiri, melihat lelehan air liur menghiasi salah satu sudut bibir Rita. Cantik-cantik kok ngiler. "Yach setidaknya ia tidak mendengkur seperti Dian HP." Pikirnya geli.

Dee menarik kain jarit yang jadi selimutnya ke atas hingga menutupi tubuhnya sampai batas dada. Meski sudah mengenakan jaket tebal dan juga selimut, ia masih merasakan tusukan hawa dingin yang dibawa oleh sang angin malam. Asap putih mengepul dari belahan bibirnya. Refleks, ia bersedekap di atas dada untuk mengurangi rasa dingin yang membungkus sekujur tubuhnya.

"Belum tidur?" Cetus sebuah suara dari luar tenda. Dari suaranya yang berat dan dalam, pasti ia seorang pria.

Untuk sesaat, Dee terkejut. Tubuhnya mengejang kaku, sebelum tenang kembali setelah tahu siapa yang menegurnya di tengah malam buta. "Sudah, tapi bangun lagi." Jawab Dee sambil dengan hati-hati merangkak keluar dari dalam tenda. Ia melihat Dolis, teman satu sekolahnya sedang duduk di depan api unggun tak jauh dari tendanya. Dia duduk dengan posisi memunggunginya. "Elu sendiri nggak tidur?" Tanya Dee sambil duduk di sebelah Dolis.

Remaja cowok berkulit coklat gelap nyaris hitam dengan ikal-ikal nakal berantakan seperti sarang burung, tapi berparas tampan ini hanya mengangkat kedua bahunya, acuh. "Nggak bisa tidur." Jawabnya singkat.

"Nggak bisa pun seharusnya elu tetap tidur. Bukannya begadang kayak gini. Ingat! Besok, acara kita itu padat banget. Gimana kalo elo kelelahan dan ngantuk di tengah-tengah acara? Tengsin, kan di depan anak-anak? Belum lagi kalo sampai Tatar tahu? Wuah, alamat perang Badar, tuch." Cerocos Dee. Meskipun ia tidak begitu akrab dengan Dolis karena beda kelas, tapi ia cukup perduli padanya. Namanya juga teman

Dolis mengangkat kepalanya yang tadi menunduk untuk menjaga nyala api unggun dan menoleh pada Dee. Matanya tampak berkilat tertimpa cahaya api unggun dan berpendar ganjil. Sorot matanya itu loh, entah kenapa membuat bulu kuduknya meremang. Ia merasakan sesuatu yang lain dari tatapan Dolis. Lebih-lebih setelah Dolis melemparkan senyum misterius padanya. Dee bergerak tidak nyaman. Secara perlahan, ia beringsut menggeser tempat duduknya, agak menjauhi Dolis.

"Elu perhatian sekali? Kenapa? Naksir?" Tanya Dolis sambil menyunggingkan senyum miring, setengah menggoda.

Dee tertegun. Ia cukup terkejut dengan komentar bernada menggoda Dolis. Bukannya tersanjung, ia justru merasa ngeri. Seorang Dolis menggoda cewek? Alamak! Apa besok mau kiamat? Ini Dolis lho Dolis, cowok cool dan punya aura menyendiri yang menghargai kata-katanya dengan emas. Dolis itu nggak suka ngomong kalo nggak kepepet banget. Eh, tiba-tiba ketahuan merayu cewek? Siapa yang percaya, coba?

Dee menganga dengan bloonnya karena sulit percaya. Ia merasa seperti bangun di dunia yang salah.

Dee belum juga berhasil keluar dari dunia autisnya setelah digoda, eh kini Dolis menambahkannya dengan kedipan genit. Dee langsung syok. Sumpah. Ia hampir lupa bernafas. Oh, God! Kedipan mata Dolis berefek maut. Nggak bagus buat kesehatan jantungnya.

"Ah nggak juga. Biasa saja." Elak Dee setelah berhasil menenangkan diri. Walau ia merasa situasinya ini sangatlah aneh, tapi ia berpositif thinking, jika Dolis hanya ingin menghiburnya. Namanya juga teman.

"Gue memang selalu care dengan teman-teman gue, kok. Elu jangan salah tafsir! Jangan ke-GR-an!" Dalih Dee, takut dicap macam-macam. Ia tak ingin memberi angin surga pada Dolis jika ia betul-betul serius padanya, karena jujur hatinya masih sakit berdarah-darah akibat pengkhianatan mantan pacarnya terdahulu. Ia mengalami periode tak mau pacaran untuk waktu yang tak bisa ditentukan.

Raut wajah Dolis berubah jadi masam. Bias-bias jahil yang tadi menghiasi wajahnya menghilang berganti dengan rahang yang mengeras. Dee bisa melihat kemarahan terpantul dari iris sehitam arangnya. Entah karena apa? "Elu 0  masih belum bisa move on dari dia?" Tanyanya dengan nada lembut. Ia sama sekali tidak menunjukkan jika ia kecewa akan penolakan halus Dee dan itu membuat hati Dee bergetar karena haru. "Lupakan dia, Dee. Dia nggak pantas elo tangisi. Masih banyak laki-laki lain di luar sana yang lebih baik dari dia." Kata Dolis lagi menasehati.

Lagi-lagi tubuh Dee mengejang. Apa ia setransparan itu hingga semua orang bisa membaca isi hatinya yang tengah remuk ini? Padahal, ia sengaja tetap aktif di Saka Wanabakti, meski tahu jika mantan pacarnya dan pacar barunya masih aktif di Saka, untuk menunjukkan pada dunia kalau ia baik-baik saja. Apa semua itu sia-sia? Apa wajahnya semenyedihkan itu sampai-sampai seorang Dolis yang terkenal dingin dan antipati pada cewek ikut-ikutan perduli dengan kehidupan asmaranya?

Dee menundukkan kepalanya. Ia tidak lagi berpura-pura tegar. Bahunya berguncang karena isakan tangis yang tertahan. Ia terkenang akan kenangan pahit itu. Hari dimana ia memergoki pacarnya yang berubah jadi mantan pacarnya hari itu juga sedang bermesraan dengan cewek lain. Sialnya, selingkuhan pacarnya itu ternyata sahabat dari kecilnya sendiri dan sekaligus tetangga depan rumah. Bagaimana luka di hatinya bisa sembuh, jikalau penyebab lukanya selalu pamer kemesraan di depannya saban hari, pagi dan sore tepat di pelupuk mata? Hatinya seperti dicabik-cabik penjahit amatiran dengan gunting yang sudah karatan. Sakit dan pedih. Hatinya kini compang-camping tak berbentuk.

"Dee..!" Panggil Dolis lembut, membuat Dee tersentak.

"Gue tahu, Lis. Gue tahu. Tapi, sulit. Gue pacaran dengan dia dari SMP. Empat tahun, Lis. Itu bukan waktu yang singkat. Hik hik hik! Ia dulu perhatian banget sama gue. Waktu  gue sakit saat karyawisata di SMP dulu, ia yang nemenin gue. Jagain gue. Waktu gue takut karena lupa nggak bawa topi saat upacara, ia yang gantiin hukuman gue. Dan, masih banyak lagi, Lis, kenangan indah gue dengannya. Hik.. hik... hiks...! Gue nggak nyangka, sampai detik ini kalo semua itu... hik hik hik hilang, hancur gitu aja. Gue.. gue.. gue.." Suara Dee bergetar. Ia tak sanggup bicara. Hanya isakan yang jadi penerus kalimat Dee.

Sangat banyak yang ingin dia katakan, akan tetapi.. ia telan kembali. Karena itu hanya akan membuatnya kian sulit menerima perpisahannya. Itu akan membuatnya hanyut dalam emosinya sendiri. Ia menunjuk bagian dada. "Di sini, rasanya sangat sakit, Lis." Isakan kecil lolos dari bibirnya. "Gue tahu, dia itu bajingan. Nggak setia. Tapi.., tapi sulit, Lis. Sangat sulit, seolah sebelah dadaku hancur menjadi puing-puing." Derai air mata yang berusaha ia tahan akhirnya pecah. Getaran di tubuhnya terlihat jelas.

Sebuah tarikan nafas berat menjawab pernyataan Dee. "Lalu, apa yang elo inginkan dengan tetap berada di dekatnya? Mau nyiksa diri sendiri? Elo bukan Masokis yang senang melakukan self destruction, kan?"

"Nggak tahu. Gue juga nggak tahu. Yang gue tahu, gue ingin bahagia, Lis." Dee mengangkat kepalanya yang tadi tertunduk muram dan kini beralih menatap pemandangan yang tidak bisa juga disebut pemandangan saking gelapnya di depannya. "Dan, jika untuk bahagia gue harus menghadapi penyebab nyeri di hati gue, maka gue siap."

Sebuah senyuman kekaguman tersemat di bibir Dolis yang merah agak kehitaman. "Suatu saat nanti, gue percaya, elo pasti menemukan cinta sejati loe hingga elo akan lupa rasa sakit loe hari ini."

So sweat. Itu kalimat paling simpatik yang pernah Dee dengar beberapa hari belakangan ini. Yang membuatnya terkejut, kalimat sesimpatik itu justru terlontar dari bibir Dolis, seseorang yang tidak akrab dengannya. Dee berusaha tersenyum sebaik mungkin, berusaha terlihat tulus, meski ia sudah mulai agak lupa bagaimana caranya tersenyum yang baik. "Terima kasih." Balasnya.

"Hn." Gumam Dolis tidak begitu jelas.

Tidak ada lagi pembicaraan sesudahnya. Baik Dee maupun Dolis, keduanya sama-sama larut dalam pikirannya masing-masing. Satu-satunya sumber suara hanyalah desauan angin malam yang berhembus menerpa tubuh keduanya dan juga api yang berderak membakar sisa-sisa kayu bakar, yang memberi Dee sedikit kehangatan. Setengah jam sudah berlalu, akan tetapi keduanya masih tetap diam. Namun, Dee menyukai keheningan ini. Ini membuatnya nyaman dan rasa kantuk itu kembali menyerang.

Kepala Dee tertunduk ke dalam hingga menyentuh kedua lututnya yang ia tekuk dengan posisi duduk. Ia tergoda untuk merebahkan kepala di atas kedua lututnya. "Rasanya pasti nikmat." Pikirnya diantara kantuknya. Namun, ia tahan. Rasanya agak kurang sopan jika kita tertidur di tengah-tengah percakapan.

Meskipun ia sudah mati-matian menahannya, namun kantuk itu kembali menyerangnya. Secara perlahan kelopak matanya agak menutup dan kepalanya mulai rebah di atas kedua lutut yang ia peluk dengan kedua tangannya. Dengan mata yang sudah mulai sayu, ia menoleh ke sampingnya, menatap Dolis. "Maaf Lis. Gue hoahmmm nyamm..nyamm.. ngantuk." Gumamnya tidak begitu jelas diantara kuapan.

Ia terkejut mendapati seekor ular berukuran besar, sebesar batang pohon kelapa dengan mahkota emas yang tersemat di atas kepala tengah melingkar dengan nyaman di sampingnya saat ia membuka matanya lebar-lebar untuk berpamitan. Tubuhnya bergidik dan ia untuk sesaat lupa caranya bernafas, karena Dee itu paling takut dengan binatang yang namanya ular. Jangankan melihat dengan mata kepalanya sendiri, lihat gambarnya pun ia sudah nangis histeris. Namun, karena ngantuk ia pun mengacuhkannya. Lagipula, pandangan matanya juga blur, tidak begitu jelas terlihat sehingga ia tidak begitu yakin. Mungkin itu ilusinya saja. Ia berhalusinasi melihat ular naga.

"Hoahmmm..." Dee menguap lebar yang ia tutupi dengan lengannya, lagi. "Gue tidur dulu." Pamitnya. Ia berdiri dengan tubuh agak sempoyongan. Ia berjalan kembali ke dalam tenda atau itulah yang ia pikirkan saat itu. Tuk! Kakinya seperti terantuk sesuatu yang keras dan dingin. Mungkin pasak atau kotak peralatan atau apalah. Yang jelas gara-gara terantuk, tubuhnya terhuyung-huyung hampir jatuh ke belakang sebelum sesuatu yang hangat dan agak lembek menahan tubuhnya.

"Terima kasih." Gumam Dee mengira sesuatu yang ia tubruk tadi Dolis yang mengikutinya dari arah belakang. Ia dengan mata yang terpejam sebagian dan dibantu Dolis mencari-cari jalan masuk ke tenda. Setelah ketemu, ia mencari tempat untuk tidur di tengah-tengah belasan teman satu tendanya.

"Terima kasih banyak." Gumamnya lagi begitu ia sudah menemukan posisi yang enak untuk tidur. Ia tidak begitu jelas mendengar jawaban Dolis. Ia hanya mendengar gumaman samar, "Gue titip harta berharga gue, Dee. Gunakan sebaik-baiknya!" Namun, Dee tidak membalasnya karena kesadarannya sudah meninggalkannya.

Dee baru bangun dari tidurnya karena sebuah guncangan kasar di tubuhnya. Tertatih-tatih, ia berjuang mendaki tanjakan demi tanjakan alam mimpi ke alam nyata. Namun, rasa kantuk masih memeluknya erat hingga ia sulit tersadar dari alam mimpi yang membuainya. Lalu, terdengar suara gesekan sol sepatu karet dengan bebatuan memasuki gendang telinganya, disusul oleh suara serak dan sumbang setelahnya.

"Bangun! Woy, bangun!" Hardik seseorang yang masih dengan setia mengguncang-guncang tubuhnya kasar. "Udah jam segini masih saja tidur. Kamu shubuh nggak?" Imbuhnya terdengar kesal. Oke coret. Itu lebih dari kesal. Itu marah ditambah dengan kekesalan jadi satu. Akan tetapi Dee tidak kunjung bangun. Ia masih nyaman dengan mimpi indah yang membuainya. "Dasar ratu tidur! Di tempat seperti ini pun masih bisa tidur." Gerutunya.

Gerutuan terakhir orang tersebut berhasil membuyarkan sihir mimpi yang membungkus tubuhnya. Ia mulai merasa tidak nyaman. Alas tidurnya terasa lebih dingin hingga mampu menembus setiap lapisan pakaiannya dan juga jauh lebih kasar dari yang terakhir ia ingat. Ia merasa punggungnya seperti ditusuk-tusuk oleh ratusan kerikil yang terhampar di bawah tubuhnya.

"Aduh!" Pekiknya meringis merasakan nyeri saat ia mencoba meluruskan kakinya yang kaku. Kakinya berdenyut-denyut kesemutan. Nyeri di kakinya itulah yang membuatnya membuka mata.

Dee mengerjab-ngerjabkan kelopak matanya, berusaha memfokuskan penglihatannya. Coklat kehitaman yang pertama kali dilihatnya. "Apa tuch yang coklat-coklat hitam?" Pikirnya bingung. Ia mengalami disorientasi sesaat setelah bangun tidur. Otaknya mulai nyala bekerja mengingat-ingat dimana ia berada sekarang. Kata 'camping,' dan 'Gua Terawang' yang pertama muncul di kepalanya. CPUnya mulai panas. Loading 10%

45 %

55%

65%

85%

90%

Mata Dee terbelalak lebar. Loading sudah komplit 100% sekarang.

Ternyata, coklat-coklat hitam yang dilihatnya itu wajahnya Tatar. Refleks, ia bangun dan "Waduch...!" ringisnya saat pucuk kepalanya terantuk bebatuan yang keras di atas kepalanya.

Dee cepat-cepat merundukkan kepalanya menghindari benturan lainnya. Dengan posisi setengah berbaring, ia memegang benjol di kepalanya karena rasa nyeri yang kini menyebar di sekitar kepala. Ia mengusap-usap bagian memar yang berdenyut-denyut. Ia merangkak berusaha keluar dari tempatnya tidur, tapi ada lengan yang menahannya.

"Jangan banyak bergerak!" Kata sebuah suara nan kasar memberi Dee perintah. "Jangan tanya-tanya!" Tambahnya ketika Dee membuka mulut.

Dee menelan apapun umpatan yang ingin ia lontarkan karena orang itu membantunya keluar dari sebuah ceruk bebatuan. "Mungkin, gua." Pikirnya. Berkat bantuan orang itu, Dee berhasil keluar dari tempat itu. Kini ia sudah berdiri di atas tanah yang dingin dengan bertelanjang kaki. Ia berdiri di tengah-tengah hujan jati yang dihiasi semak-semak liar, tepat di depan mulut gua persis seperti dugaannya semula.

Matanya menyapu sekelilingnya, bingung. "Kok gue bisa tidur di situ?" Cetusnya setengah tak percaya menunjuk cerukan kecil sebesar koper yang ia tiduri semalam. Bukannya semalam ia tidur di dalam tenda? Kenapa bangun-bangun ia ada di tempat itu? Gimana ceritanya?

Masih teringat jelas di matanya ia menyibak kain penutup ten...da Ah, sekarang ia tak begitu yakin. Tekstur benda yang ia sibak semalam memang mirip dengan kain, tapi secuil daun yang tersangkut diantara rantai cincin yang terhubung dengan gelangnya berkata lain. Bisa saja kan yang ia kira kain sebetulnya sulur dedaunan yang menjulur menutupi cerukan gua membentuk tirai. "Sepertinya begitu." Batinnya manggut-manggut. Itu mungkin saja terjadi karena semalam ia tidak begitu jelas melihat sekitarnya.

"Justru gue yang mau nanya, kenapa elo bisa tidur di tempat berbahaya seperti ini? Dasar tukang melamun. Miss Ceroboh number one. Kalau jatuh gimana? Bisa patah semua tulang elo. Atau, minimal elo  mengalami gegar otak." Tatar langsung nyerocos, memarahinya kayak 'Emak-emak'.

Dengan tinggi seratus tujuh puluh sembilan setengah centimeter dan masih bisa tumbuh lagi karena ia masih dalam usia pertumbuhan, Tatar tampak menjulang tinggi di depan Dee. Ia tampak seperti tiang listrik dan memaksa Dee mendongak ke atas hingga lehernya mengalami kram saat berbicara dengannya. Yang mana itu pula yang sering Dee keluhkan. Ketimpangan tinggi badan mereka menambah amunisi konflik mereka berdua.

Sayang sekali ya? Padahal Tatar itu ganteng banget dengan garis wajah yang jelas. Rahangnya tegas dan kokoh bak batu giok yang dipahat sempurna. Kumis tipis yang mulai tumbuh memberi aroma pria jantan. Dengan fitur-fitur fisiknya yang bernilai plus, dijamin akan membuat gadis-gadis remaja kurang kasih sayang bertekuk lutut padanya. Termasuk Dee. Jika saja mulutnya tidak terlalu berbisa, Dee pasti jatuh dalam pesonanya, alih-alih menjalin kasih dengan Ruri mantan pacarnya yang playboy cap kampak.

Dee cemberut. Bibirnya manyun tidak berpura-pura jaim. Menurut Dee, mulut Tatar itu sangat berracun. Nada bicaranya yang sarkastik bin nyelekit, selalu berhasil memancing sifat-sifat tersembunyi Dee yang sebagian besar sifat buruknya. Ia jadi ahli mengumpat, meski hanya dalam hati, dan pandai membuat julukan-julukan yang bernada menyindir sejak ia mengenal Tatar.

"Kalau gue tahu, ngapain gue nanya." Balasnya ketus. "Seingat gue, semalam gue tidur di tenda di sebelahnya Puah. Eh bangun-bangun gue udah ada di situ." Ujarnya. Dee bercerita sambil berjalan kembali ke tendanya. Tatar menemaninya. Mereka berjalan berdampingan. Keduanya tampak akur, sesuatu yang jarang sekali terjadi ditilik dari besarnya frekuensi mereka bertengkar.

"Benarkah?" Tanya Tatar sangsi sebab jarak tenda dengan cerukan gua itu lumayan jauh, sekitar 40 meter. Mana tempat itu berbahaya pula. Salah pijakan, maka orang itu bisa berakhir di rumah sakit atau bahkan liang kubur.

"Kalau nggak percaya, tanya aja Dolis."

"Dolis? Apa hubungannya?"

"Ya karena semalam yang nganterin gue ke tenda itu Dolis." Jawab Dee tanpa pikir panjang.

"Ho..ho...., gitu ya? Jadi udah sedalam itu ya hubungan kalian?"

"Apaan sih? Nggak mutu banget."

"Hayo ngaku! Kalian ngapain aja di tengah malam berduaan saja? Pacaran ya?"

"Enak aja. Itu fitnah. Kami nggak ngapa-ngapain. Hanya duduk sambil menikmati  api unggun. Terus tidur. Udah itu aja." Balas Dee menyembunyikan curcolnya semalam.

"Ah, masa?" Dari nada bicaranya, terasa sekali ketidak percayaan Tatar pada Dee.

"Kalau dua orang cewek saling kenal duduk ngobrol bersama, itu ngerumpi namanya. Kalau cowok disebut diskusi. Kalau cewek-cowok disebut pacaran. Tapi, kalau cewek-cowok nggak akrab duduk bersama ya diem-dieman. Emang apa yang mau diobrolin? Secara dia IPS gue IPA. Dia penggemar bola gue kutu buku. Ia penggemar serial action, gue fanatik berat film kartun. Ya nggak nyambung lah omongannya."

"Kok elo tahu?"  Tatar tersenyum mencurigakan.

"Kami memang nggak akrab dan jarang ngobrol, tapi gue nggak tuli. Dari percakapannya dengan temannya juga udah ketahuan kegemarannya."

"Apa kata loe lah." Ujar Tatar asal. Meski mulutnya nyinyir, ia dengan gentlemen mengantar Dee hingga ke tendanya. Biar aman maksudnya.

"Ini buktinya." Tunjuk Dee pada gumpalan kain batik, sebut saja jarit, yang teronggok di dekat api unggun. Di sekitar kain ada jejak kaki dan cekungan seukuran pantat manusia dewasa agak dalam, menunjukkan jika ia diam di tempat itu daIam rentang waktu lumayan lama. Dee berjongkok mengambil jaritnya. "Ini pasti terjatuh saat gue duduk di sini sema... Ah!" Tiba-tiba tubuh Dee menggigil hebat, gemetaran. Mulutnya membuka menutup dan matanya terlihat tidak fokus. "...lllam." ujarnya dengan suara gemetar nyaris seperti cicitan tikus.

Tatar bergerak cepat, menarik Dee dan membalikkan tubuhnya sehingga Dee tidak lagi melihat sesuatu yang membuatnya ketakutan. Tatar dari atas kepala Dee melihat apa yang membuat Dee ketakutan. Ada sisik-sisik dan serpihan kulit ular tak jauh dari jarit Dee. Ia juga melihat jejak-jejak seperti jalur ban mobil, tapi tanpa gerigi di dekat jejak kaki yang mengarah ke ceruk gua tempat ia menemukan Dee tertidur.

Sekarang, ia memahami situasinya. Kemungkinan yang dialami Dee semalam sesuatu yang mistis. Bisa jadi yang semalam Dee temui mbaurekso, penunggu Gua Terawang yang konon berupa ular naga. Malam ini, ia menyamar menjadi Dolis untuk menemui Dee dan sekaligus membuat Dee tertidur di salah satu cerukan gua. Tapi, Dee sepertinya tidak menyadarinya dan ia berencana tidak akan menceritakannya karena tak ingin membuat Dee kian histeris dan camping mereka berakhir horor.

Dengan tanpa suara dan diam-diam, ia menendang abu sisa api unggun untuk mengaburkan jejak-jejak menyeramkan tadi. Rencana selanjutnya menyuruh Dee segera sholat agar jiwanya tidak lagi terguncang. Mumpung masih ada waktu. "Sebaiknya elo segera shubuh. Waktunya sudah hampir..."

"Cieee! Ciee..! Suit..! Suit..!" Sebuah suara siulan disertai teriakan menggoda, dengan sukses memotong ucapan Tatar.

"Ciee, senior. Pagi-pagi gini udah mesra-mesraan." Goda mereka.

Baru saat itulah Tatar menyadari betapa ambigunya posisi mereka saat ini. Orang luar yang lihat, pasti mengira mereka berdua tengah berpelukan. Padahal mah aslinya tidak. Ia bahkan tidak menyentuh Dee. Hanya saja jarak mereka amat berdekatan. Saling berhadapan pula. Wajarlah jika mereka salah paham.

Punggung Dee menegang kaku dan ia membalikan tubuhnya dalam gerakan cepat karena tersinggung. Masak ia dituduh mesra-mesraan dengan Tatar, rivalnya. Itu fitnah. Tapi, Tatar dengan sigap menahan tubuhnya hingga ia tetap dengan posisi semula. Dengan lembut, setengah memaksa, Tatar menyuruh Dee pergi ke mushola.

Tatar kini menatap nyalang para juniornya yang bersikap kurang ajar, segera setelah kepergian Dee. Senior kok diciee-cieein. Malu dong. Aura Tatar yang tergolong angker bin suram berhasil membuat sebagian dari para yuniornya terdiam. "Andre! Singkirkan sisik-sisik dan selongsong ular itu!" Perintah Tatar tegas. "Dee, senior kalian trauma dengan yang namanya ular." Dalihnya memberi pembelaan dengan posisinya yang mencurigakan tadi.

Sambil mengawasi Andre dkk menyingkirkan sisik-sisik ular, Tatar mengaburkan seluruh jejak si ular. Ia tak menginginkan sebuah kehebohan khususnya yang berbau horor. Masih ada dua hari. Karena itu, ia harus menjaga semuanya kondusif. Ia berharap tidak ada lagi kejadian aneh-aneh lainnya.

Setelah Andre dkk selesai dengan tugasnya, ia menemui Dolis secara pribadi untuk mengkonfirmasi kecurigaannya. "Semalam, elo tidur di mana?" Tanya Tatar dengan nada santai, berusaha agar tidak terdengar ia tertarik. "Pagi tadi, gue nggak lihat loe di tenda ataupun pendopo." Ujarnya buru-buru menambahkan agar Dolis tidak curiga.

"Di...." Dolis hendak menjawab, tapi keburu dipotong Lasminto.

"Lis, nanti di jalan kita ngopi dulu ya? Gue masih ngantuk berat. Mata gue kayak dilem alt**o." Kata Lasminto yang seenaknya ikut nimbrung. "Eh elo, Tar. Gue kira siapa? Ada apa? Apa ada perubahan posisi untuk acara penjelajahan nanti?" Tanyanya setelah menyadari kehadiran Tatar.

Tatar baru mau buka mulut, tapi lagi-lagi ada gangguan. Sari Tresno yang ngakunya seluruh anggota keluarganya bernama Sari, tiba-tiba nongol. Dari gestur tubuhnya, Tatar mulai merasakan hawa-hawa tidak enak. Cos, semua orang tahu jika. Sari Tresno itu Bigos alias Biang Gosip. 11-12 sama Syaikhu dan Lasminto. Dari senyumnya yang miring dan lirikan matanya, Tatar tahu jika ia akan jadi korban gosip Sari Tresno hari ini. "Gawat, nich." Pikirnya. Ia sudah mau kabur, tapi cengkraman di kanan dan kirinya membuat posisi Tatar offside sekarang. "Sial!" Rutuknya dalam hati.

"BTW, pagi ini kami dengar gosip HOT tentang elo..." Sari Tresno menekankan pada kata Hot. Nada bicaranya dibuat-buat, sok seksi ala-ala host acara gosip di stasiun TV. Tubuh Tatar mengejang seperti habis kesetrum listrik. Ia menatap waspada kedua teman baiknya yang berubah jadi musuh baiknya. Dolis nggak ikutan. Ia hanya jadi penonton. Hati Tatar harap-harap cemas menunggu lanjutan pernyataan Sari Tresno. "...dan Dee." Lanjut Sari Tresno.

Tatar dengan tenang menjawab, "Ini tidak seperti yang elo pikirkan. Kami..."

Lasminto merangkul bahu Tatar sok akrab. Ia tersenyum manis menurutnya, seringai setan menurut Tatar. "Jadi gosip itu benar. Elo kepergok sedang mesra-mesraan dengan Dee?" Tanyanya dengan nada jahil.

Argg...! Tatar mengerang dalam hati. Ia menyumpah serapah dalam kepalanya. Kalau sudah berurusan dengan duet maut Lasminto-Sari Tresno, urusan bakalan panjang. Tahu gini, ia nggak nemuin Dolis. Sial amat nasibnya. Maksud hati ingin melindungi temannya, eh malah digosipin. "Sudah gue bilang ini tidak seperti yang kalian pikirkan." Raung Tatar geram.

"Memangnya elo tahu apa yang kami pikirkan?" Goda Sari Tresno jahil.

Tatar sudah membuka mulut, berniat memberi penjelasan yang dirasa memadai agar ia tidak jadi bulan-bulanan duo Biggos itu. Tapi, tiba-tiba terdengar suara Dee dari luar tenda memanggil. Itu salah satu yang disukainya dari Dee. Ia tipe gadis yang beretika yang tidak suka main selonong boy ke tenda orang lain, meski mereka satu jenis kelamin dengannya. Tatar keluar terlebih dahulu dari tenda diikuti ketiga temannya.

"Tatar! Itu... A-ano..." Dee ragu-ragu mengatakannya. "Err... gue cuma mau bilang terima kasih untuk.. untuk..." Dee menggigit kedua bibirnya, cemas. Ia jeri menyebut kata ular. Sekarang saja bulu kuduknya sudah meremang, gimana kalau ia sudah menyebutnya.

"Tidak usah dipikirkan. Itu bukan perkara besar." Kata Tatar.

Untuk sekali ini saja, Dee merasa Tatar sangat keren. Dee tersenyum simpul. "Oh ya gue ada sesuatu buat loe. Ini." Dee memberikan sebuah botol berisi kopi. "Sebagai ucapan terima kasih."

"Ah enggak usss..."

"Sama-sama. Sering-sering gini ya, Dee." Komentar Sari Tresno dengan PDnya mengambil botol dari tangan Dee. Dee mengangguk sopan dan lalu pergi.

Tatar mendelik. "Elo itu apa-apaan, sih? Norak tahu. Seperti nggak pernah ngopi aja."

"Halah nggak usah muna, deh. Elo juga mau kan? Pakai acara nolak segala. Dasar loe kucing garong!" Rutuk Sari Tresno.

"Meow.." Lasminto menimpali dan duo setan (Lasminto-Sari Tresno) itu ketawa ngakak bersama. Dolis hanya mengulum senyum, sedangkan Tatar hanya bisa manyun. "Jadi, apa yang terjadi diantara kalian berdua pagi ini." Meski sudah dapat sogokan, Sari Tresno nggak lupa dengan topik utama percakapan mereka.

"Oh, itu. Dee menjerit. Terus gue datang nolongin dia."

"Ah, masak? Terus kenapa ada acara peluk-pelukan segala?"

"Siapa yang peluk-pelukan? Gue bahkan nggak nyentuh dia."

"Boong loe! Boong. Ingat!  Boong itu dosa."

"Sumpah. Gue nggak boong. Gue cuman nolongin dia. Nggak lebih dan gue enggak meluk dia."

"Nolong? Apa nolong?" Goda Sari Tresno jahil.

"Nolong sekalian nyelam. Cari kepretan. Namanya juga..." Lasminto menaik turunkan alisnya nakal.

"Beneran. Gue tulus nolong dia."

"Oh yeah. Siapa juga yang bakal percaya? Lagak loe sok alim. Sok nggak suka. Sok memusuhi padahal aowww... buaya juga." Tuduh Sari Tresno.

Yang dilanjutkan dengan nyanyian sumbang Lasminto sebagai backsound. "Dasar kau buaya buntung... tung.. Pacaran kok dihitung hitung.. tung.. Dasar kau buaya buntung mencari untung."

Tatar tepok jidat. Gini nih akibatnya kalau berurusan dengan duo rempong itu. Jadi panjang urusannya. "Gue. Beneran. Cuman. Nolong. Dia. Titik. Terserah elo percaya apa enggak." Kata Tatar membela diri.

"Nolongin apa?" Tanya Sari Tresno.

"Nolongin nyembuhin hatinya yang luka ya?" Sambung Lasminto

Tatar menggiling giginya kesal. Benci setengah mati sama duo rempong ini.

"Dee, kenapa menjerit?" Cetus Dolis yang dari diam.

Lasminto menoleh. "Elo percaya dia?"

"Gue nggak buta." Balas Dolis dengan suara tenang dan datar tanpa riak emosi.

"Bisa nggak, sekali aja elo pakai bahasa bumi?"

Kedua alis Dolis menekuk. "Bahasa bumi? Sejak kapan gue pake bahasa aliens?"

"Maksud gue, bisa nggak sekali aja, elo pake bahasa yang kita mengerti." Keluh Sari Tresno.

Dolis menghela nafas. Dengan sabar, ia memberi penjelasan. "Elo nggak liat bahasa  tubuh Dee, tadi? Dia kayak orang yang baru saja mengalami sesuatu yang traumatis, mengguncang jiwa. Pasti itu berhubungan insiden Tatar terlihat meluk Dee. Gue bener, kan?"

"Tepat. Tadi pagi, saat Dee ngambil jaritnya yang tertinggal di depan api unggun, ia lihat sisik-sisik dan kulit ular. Elo semua tahu, kan bagaimana parnonya Dee pada binatang itu? Ia menjerit ketakutan. Terus gue datang nolongin dia. Gue balikin badannya kayak gini biar ia nggak liat sumber parnonya. Tepat saat itu si Andre dan gengnya datang. Jadilah gosip itu." Tatar lalu menuturkan urutan kronologisnya.

Rahang Lasminto terjatuh. Mulutnya menganga lebar. "Lah kok bisa?" Serunya terkejut. Semalam kan ia duduk-duduk manis di depan api unggun dan nggak ada apa-apa tuch. Kenapa pagi ini ia nerima kabar ada jejak ular di sana? "Terus gimana? Ia nggak kena gigit kan? Dan, ularnya sendiri?"

Tatar angkat bahu. "Ya gue nggak tahu. Gue cuman lihat Dee menjerit. Ularnya sendiri udah nggak ada. Mungkin, pergi ke dalam gua. Gue lihat jejaknya ke arah sana. Udahlah jangan dibahas lagi. Sebaiknya kita segera bersiap. Udah waktunya olahraga pagi?"

Lasminto hendak membantah, namun gelengan di kepala Dolis membuat ia mengurungkan niatnya. Ia akhirnya mengikuti langkah Tatar. Sebagai catatan, Dolis ini satu-satunya yang lolos dari target digosipin Lasminto-Sari Tresno.

Tatar mengumpulkan para peserta camping di depan pendopo. Ia mengenakan kaos olahraga sama dengan para peserta. Di belakangnya berdiri berjajar rekan-rekannya. Ia memeragakan beberapa gerakan pemanasan yang diikuti semuanya. "Setelah ini, kita akan melakukan jalan sehat dari Gua Terawang hingga desa di sebelah sana."

"Yach jauh dong, Kak!" Keluh para peserta.

"Nggak usah ngeluh! Kalian ini masih muda. Banyak-banyakin olahraga. Jalan kaki. Biar sehat. Ayo cepat baris! Dua berbanjar. Yang rapi. Jangan berebutan!" Tatar lalu memimpin para peserta camping meninggalkan lokasi Gua Terawang. Mereka baris dua banjar agar tidak menghalangi lalu lintas jalan, meskipun pagi itu lalu lintas masih sepi.

Dee berniat ikut jalan sehat, tapi Puah menarik lengannya. "Nggak usah ikutan jalan sehat. Mending, kita menjelajahi Gua Terawang saja. Gimana?"

"Sekarang?"

"Ya iya sekarang. Kapan lagi? Mumpung ada waktu." Kata Puah. Ia merangkul Dee yang lebih pendek lima centi darinya. "Habis penjelajahan nanti, kita pasti udah kecapekan. Nggak mungkin kita punya energi untuk menjelajahi gua."

"Iya, sih. Tapi..." Dee ragu. Matanya melirik takut-takut ke arah Gua Terawang.

"Tenang. Ada Dolis."

Dee menarik Puah kian dekat. Ia berbisik, "Gimana caranya elo bujuk dia? Elo nyuap pake apaan?"

"Gue nggak nyuap. Dia sendiri yang nawarin."

"What? Gimana ceritanya? Dia nggak lagi kesambet apaan gitu?"

"Woles ajalah. Ambil aja sisi positifnya."

"Apa?"

"Kapan lagi kita bisa nyewa bodyguard tangguh kayak dia, kalau nggak sekarang? Gratisan pula."

Dee tersenyum simpul. Ia  ikut barisan yang menjelajahi Gua Terawang. Ada sekitar 10 orang. Termasuk Dee dan Puah. Kebanyakan cewek. Para cowok pada ikutan jalan sehat. Cowoknya hanya Dolis dan Lasminto yang bertugas menjaga para cewek.

Dee memuaskan diri menikmati acara menjelajahi gua. Matanya dengan rakus memindai relief dinding gua yang konon berusia 10 juta tahun yang lalu. Tangannya sibuk menyentuh sana-sini. Sesekali, mengabadikannya dalam bentuk foto. Ia berhasil menemukan stalaktit 'Gigi Buto'. Begitu pula dengan sendangnya. Hanya saja fenomena  siraman cahaya surga tidak ada karena sinar matahari tidak begitu banyak menerangi gua.

Suara asing itu muncul lagi, memanggilnya memasuki ceruk gua yang terpisah dari teman-temannya. Seperti ada yang menuntunnya, ia mengabaikan lorong gua yang cahayanya gelap. Ia bahkan tidak lari ketakutan mendengar suara desir dan desisan ular di lorong yang dilewatinya. Ia melangkah dengan langkah pasti menghampiri meja batu yang di atasnya tergeletak sebuah buku. Dee menyentuhnya. Tangannya terulur, menggenggam buku itu. Saat itulah ia baru sadar dari pengaruh hipnotis.

Matanya membelalak ketakutan. Instingnya untuk bertahan hidup menyuruhnya lari. Segera. Lalu, secara membabi buta ia berlari sipat kuping ke lorong yang ia yakini jalan keluar. Ia menumpulkan lembek-lembek yang nggak sengaja ia injak. Nggak mau mikir apalagi berhenti. Ia hanya lari dan lari hingga ia menabrak Tatar tanpa sengaja. "Ah!" Jeritnya histeris.

"Dee! Ada apa? Kenapa elo lari ketakutan?" Tanya Tatar menenangkan, sepenuhnya mengabaikan tatapan penuh arti dari para yunior.

"Gue. Gue tersesat. Di lorong. Gelap. Dan. Dan ada banyak u..."

"Ular?"

Dee mengangguk. "Ya. Gue takut, takut sekali."

"Ya udah sekarang elo istirahat. Elo minum dan tenangin diri loe."

"Sendiri? Enggak. Gue nggak mau."

"Yang bilang sendiri juga siapa? Tuch!" Tatar membalikkan tubuh Dee menunjuk dua orang yang berjalan tergesa-gesa ke arahnya.

"Dee! Elo kemana aja. Kita cariin dari tadi." tegur Puah dengan raut wajah cemas yang tidak ia sembunyikan. Kondisi Dee saat ini sedang tidak baik. Psikologisnya terguncang pasca putuh cinta. Ia sering linglung. Itu yang bikin Puah cemas. Gimana kalau ia mencelakai diri sendiri?

"Dia tadi..."

"Puah! Huwaa.. Tadi gue lihat... lihat..."

"Elo lihat sisik ular." Potong Tatar. "Udah nggak usah dibahas lagi. Mendingan elo tenangin diri loe di tenda. Minum sesuatu biar elo tenang. Hati elo plong, nyaman." Saran Tatar dengan bijak mencegah Dee meracau yang nantinya akan membuat suasana camping yang masih dua hari lagi horor.

Dee dengan setengah linglung dan setengahnya lagi diseret Puah dan Yeti meninggalkan gua. Tatar melanjutkan memimpin rombongannya untuk menjelajahi gua, tapi tak berani terlalu merasuk ke dalam takut ada ular. Kan tadi Dee bilang ia nemu sarang ular. Pasti itu gara-gara Deenya yang kerajinan menyibak setiap sudut gua. Dee kan emang gitu. Selalu detail dengan semua yang ingin ia ketahui. Di tengah jalan, ia ketemu rombongan Dolis yang sudah mau kembali ke tenda. Mereka melakukan sapa ringan dan sopan, meski ada rasa jengkel di hati Tatar karena tega-teganya mereka bersenang-senang tanpa dia.

"Elo bawa apaan tuch Dee?" tanya Puah.

"Yang ditangan elo?" sambung Yeti.

Dee dengan linglung melihat tangannya. Ada sebuah buku kecil dengan sampul coklat tua dan kondisinya sangat lusuh tersemat dalam jari-jarinya. "Buku." sahutnya dengan begonya.

"Gue juga itu buku. Maksud gue buku apaan? Seingat gue, elo nggak bawa apa-apa ke gua."

"Entah." Setelahnya Puah nggak membahasnya lagi. Dee yang linglung susah diajak komunikasi.

Sarapan bersama kali ini diwarnai suasana canggung. Ada yang saling melirik. Bisik-bisik kecil. Hingga, ada yang menahan tawa. Tapi, akhirnya sarapan yang canggung itu berakhir. Para peserta dan panitia bersiap-siap untuk acara selanjutnya, yakni penjelajahan.

Sebelum penjelajahan, panitia briefing lagi, memastikan semuanya sesuai rencana.

"Penjelajahan diawali dari Gua Terawang sebagai startnya dan finish di Gua Macan." kata Tatar. Selanjutnya, ia menjelaskan rute perjalanan yang akan kami tempuh. Pos-pos tempat kami istirahat dan sekaligus uji materi tentang kePramukaan dan Saka Wanabakti. Semua peserta rapat mendengarkannya dengan seksama. Takut tersesat. Kan nggak lucu, masak panitianya nyasar. Lalu, bagaimana nanti dengan nasib pesertanya?

"Tim SMADA di pos satu. Tim STM di pos dua. Tim SMEA di pos tiga. Tim SMANSA di pos empat. Dan terakhir, tim gabungan di pos lima." Kata Tatar mendelegasikan tugas pada masing-masing rekannya di Saka Wanabakti. Ia baru mengumumkannya karena memang baru menyusunnya semalam. Panitia yang disusun sebelum berangkat itu, kepanitiaan acara secara umum. Sedangkan, untuk panitia penjelajahan disusun belakangan.

Dwi yang dari SMK Negeri 2 Blora atau yang biasa disebut SMEA mengacungkan jari. "Bagaimana dengan seksi P3K?" Tanyanya setelah diijinkan Tatar berbicara.

"Tim P3K terdiri dari Dee...."

"Kok aku?" Protes Dee. "Yang lain ajalah."

Tatar mendelik pada Dee. Ada gurat-gurat kekesalan menodai wajah tampannya. Batal sudah gencatan perdamaian mereka tadi pagi. Keduanya kembali terlibat sebuah percekcokan. Dengan tenang, ia berkata, "Ini sudah keputusan bersama. Salah sendiri semalam nggak ikut rapat, malah tidur."

"Aku kan ngantuk." Dalihnya.

"Emang aku enggak." Tukas Tatar tajam menusuk. Dee membuka mulut, tapi keburu dipotong Tatar. "Jangan banyak alasan! Jujur ajalah! Kamu emang malas ikut rapat."

"Aku tidak..."

"Tidak apa?" Potong Tatar dengan nada yang nyaris dingin. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis. "Kau pikir aku tidak tahu kelakuanmu? Kau lupa? Kita ini satu sekolah. Satu kelas. Satu bangku pula." Imbuhnya dengan efektif membungkam mulut Dee.

Dee hanya bisa tersenyum masam. Dengan hati yang tidak legowo, ia akhirnya menerima tugasnya sebagai petugas P3K. Dalam hati, ia terus-menerus merutuki nasib sialnya. Begini ini nasibnya jika posisi ketua panitia dipegang Tatar. Ia suka semena-mena pada Dee. Ia sering mendapat jatah tugas paling berat dalam kepanitiaan jika Tatar yang jadi ketuanya. Kayaknya sih, ia ada sentimen pribadi gitu sama Dee.

"Kita lanjut." Kata Tatar setelah tidak ada intrupsi lagi. "Seksi P3K dipegang Dee, Ruri, dan Astri."

Dee membelalakkan matanya, tak percaya. Hatinya maghsyul. Tatar benar-benar kejam. Raja tega. Teganya dia menempatkan Dee di seksi yang berisi dua orang seterunya. Hei, semua orang di Saka Wanabakti juga tahu jika Dee itu sedang perang dingin dengan Ruri dan Astri. Dee bahkan sempat nonaktif di Saka gara-gara tak ingin bertemu dengan kedua orang itu. Dan sekarang, ia harus bermanis ria dengan dua pengkhianat itu? Hellow...! Ya itu....

"Nggak mungkin!" Kata Dee yang secara tidak sadar sudah menyuarakan isi hatinya. Suaranya tergolong pelan, tapi karena hanya dia yang bersuara otomatis semua orang dengar. Kini, semua pasang mata menoleh padanya, menatapnya dengan tatapan penuh arti, termasuk si Raja Tega yakni Tatar. "Aku nggak mau sekelompok dengannya." Katanya lagi. Sudah terlanjur basah ya sudah mandi sekalian. Sudah terlanjur bersuara ya ngomong aja sekalian. Mumpung bicara tidak dilarang.

"Apa alasannya?" Tanya Tatar dengan nada yang membuat Dee muak. Tangannya gatal untuk menampol mulutnya. "Dasar kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak tahu." Rutuknya, ngedumel dalam hati. "Sekali lagi aku tanya apa alasannya." Suara Tatar yang berat dan agak serak-serak basah mengalun sumbang di telinga, tapi cukup berhasil menyentakkan gadis manis berkerudung itu dari dunianya sendiri kembali ke dunia nyata.

Dee kembali menatap Tatar tak percaya. Haruskah ia melempari teman sebangkunya ini dengan sepatu bot miliknya Candra, agar kepalanya yang besar sedikit menyusut? Atau, haruskah ia menyumpal mulut Tatar dengan kaos kaki bau milik Joko rekannya di Saka yang dari MAN, karena tidak pernah dicuci selama sebulan, agar mulutnya tidak sering-sering menyemburkan racunnya? Demi Tuhan! Ia itu punya dendam apa sich dengan Dee sehingga ia dengan tega mempermalukan Dee dalam sebuah acara resmi seperti rapat panitia? Dua kali pula. Dee membuka mulut, "Alasan pribadi."

Tatar dengan keji membalas, "Alasan ditolak. Masalah pribadi tidak bisa jadi pembenaran untuk melalaikan tugas." Ia menambahkan dengan sindiran pedas, "Profesional dikitlah. Kau kan senior."

"Melalaikan apanya? Belum juga dikerjakan." Dee bergumam tidak terima.

"Tapi sudah ada niatan kan?" Tuduhnya. Ia mengimbuhkan kata-kata mutiara yang ia comot dari salah satu host acara berita di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia, "Seperti kata Bang Napi, 'Kejahatan berawal dari niat.' Karena itu, selalu waspada." Ia tak perduli itu nyambung atau tidak. Yang penting terkesan intelek. Benar-benar brengsek dia!

Dee tidak mendengarkan lagi pidato Tatar yang menurutnya tidak bermutu, karena sibuk ngedumel dalam hati. Dirinya terlalu gusar untuk berfikir dengan kepala dingin. Biar saja semua orang mengatainya childish. Kekanak-kanakan. Baperan. Terlalu lebay. Emang kenapa? Ia ini wanita dan yang namanya wanita emang gampang berubah pendirian dan bawaannya larut dalam emosi.

Peserta dikumpulkan oleh Tatar tepat pukul 8 pagi. Sedangkan panitia yang lain yang bertugas menjaga pos sudah berangkat setengah jam yang lalu. Di lokasi sekarang hanya ada Tatar dan seksi P3K yang akan mengawal para peserta melakukan penjelajahan. Siapa tahu ada peserta yang jatuh sakit?