Chereads / Please Don't Call Me Goddess / Chapter 7 - Bertahan Hidup

Chapter 7 - Bertahan Hidup

Dee berjalan tertatih-tatih dengan bantuan tongkat kayu melintasi tanah hutan yang dipenuhi semak belukar setinggi pinggang orang dewasa yang mengisi sela-sela pepohonan yang tumbuh subur. Kelelahan membayangi wajah ayunya, tetapi ia tidak berniat berhenti. Well, bukannya tidak ingin berhenti untuk istirahat sejenak, melainkan tidak bisa. Kondisinya menuntutnya untuk memaksakan kakinya yang kelelahan untuk terus melangkah.

Dee harus terus berjalan agar bisa keluar dari dalam hutan. Secepatnya. Karena,  matahari mulai bergerak ke arah Barat ditilik semburat warna lembayung yang cantik yang mengintip diantara dedaunan yang tidak terlalu rimbun. Ia tak ingin bermalam di tengah-tengah hutan. Sampai mati pun ogah. Seram Bro. Baru memikirkannya ia sudah parno, bagaimana jika ia mengalaminya langsung? Hiyy..!

Dee menatap suram pepohonan yang mengepungnya dari segala penjuru. Ia sudah berjalan sejam lebih dengan lintasan yang ia yakini lurus.Seharusnya, dengan metode tersebut, ia akan sudah berhasil keluar dari dalam hutan beberapa menit yang lalu. Bahkan, jika pun nyatanya, ia berjalan dengan lintasan yang tidak lurus seperti melengkung, ia juga akan tetap bisa keluar dari dalam hutan. Untuk skenario terburuk, kembali ke titik semula. Namun, ini tidak. Semakin jauh ia melangkah, semakin ia merasa merasuk ke dalam hutan dan semakin pula ia merasa tersesat parah. Gila!

Demi Tuhan,  hutan yang jadi medan latihan organisasi Pramukanya bukanlah hutan perawan. Ia hanyalah hutan produksi. Sudah tipis hingga nyaris polos pula. Berapa sih luasnya? Paling-paling tidak melebihi 10 hektar. 1-2 hektar juga sudah bagus. Hitungan kasarnya, walaupun ia mengelilingi pinggiran hutan dengan kecepatan siput pun, nggak sampai sejam juga sudah selesai. Tapi, kenapa setelah ia berjalan sebegitu jauhnya, jangankan ujung jalan, jalan setapak yang biasanya muncul di hutan juga tidak terlihat penampakannya?

Dee jadi ragu. Benarkah hutan tempatnya tersesat ini hutan yang sama yang digunakan organisasinya latihan?

Dee menyandarkan punggungnya pada batang pohon. Ia membuka tasnya untuk melihat peta topografik Wana Wisata Gua Terawang yang untungnya ia bawa sebagai bekal perjalanan. Matanya dengan jeli membaca tiap garis pada peta. Ia mengingat-ingat jalur perjalanan yang direncanakan timnya dengan hati-hati berminggu-munggu yang lalu, dengan memperhitungkan waktu, tingkat kesulitan, dan tingkat bahaya yang mungkin muncul.

Menurut peta, setelah keluar dari Gua Terawang, ia akan berputar melalui jalan pedesaan dan mencapai hutan produksi yang ditanami pohon sengon. Luasnya sekitar 2 ha. Di dekat hutan sengon ada Gua Macan yang masih satu lokasi wana wisata Gua Terawang. Dilihat dari peta, hutan sengon realnya berada tepat di belakang  Gua Terawang. Secara teori, jika ia berjalan lurus menjelajahi hutan sengon, maka ia akan sampai ke hutan jati yang berada di sisi bukit yang berbeda, tempat Gua Terawang berada.

Dee menatap pohon di sekelilingnya. Dahinya tertekuk dalam. Seharusnya ini hutan sengon. Tapi, mana pohon sengonnya? Tidak terlihat, tuch. Pohon sengon yang seharusnya paling banyak tumbuh, sudah ia hitung dengan sangat teliti, hanya muncul 1-2 batang selama perjalanan. Yang banyak tumbuh itu justru pohon asem dan beringin. Sesekali tumbuh pohon kawista dan duwet. Aneh kan? Sebetulnya ia nyasar di hutan mana sich? Masih wilayah Gua Terawang, kan?

Dada Dee berdesir. Syaraf-syaraf di kepalanya seperti senar pada biola tertarik kencang karena tegang. Serius. Ia curiga jika ia entah dengan cara ajaib apa tersesat ke hutan antah berantah yang tidak tergambar dalam peta yang dibawanya. Hutan ini terlalu asing. Hampir mustahil masih ada di wilayah Blora.

Sebagai anggota Saka Wanabakti Blora yakni Pramuka di bawah asuhan Perhutani, ia telah mempelajari KPH-KPH dan hutan-hutan yang ada di wilayah Kabupaten Blora. Hampir sebagian besar sudah pernah ia kunjungi. Minimal numpang lewat. Ia tidak pernah menemui hutan seliar ini dengan aneka pepohonan yang cukup beragam.

Hutan-hutan di Blora mayoritas dalam bentuk hutan produksi. Pohon yang ditanam homogen, hanya sejenis yakni pohon jati saja atau pohon sengon. Tapi, sengon ini ditanam dalam jumlah sangat terbatas sekedar penyangga hutan jati. Sedangkan tempatnya nyasar ini, jelas-jelas bukan hutan produksi.

Hutan ini, ia yakin 75%, hutan alami. Pepohonannya tumbuh tidak beraturan. Jenis pohonnya pun acak, dan bergerombol sesuai dengan jenisnya diselingi pohon jenis lain. Misal gerombolan pohon asem jawa, pohon kawista, duwet, dan lain-lain. Pada abad modern ini, pohon-pohon tersebut tidak mungkin tumbuh secara alami membentuk habitat hutan terkecuali dibudidayakan manusia. Sedangkan, hutan ini jelas tidak mendapatkan sedikit pun sentuhan tangan manusia.

Di Gua Terawang katanya ada lorong waktu yang bisa membawa kita ke masa lalu atau masa depan.uah percakapan dari para juniornya mengusik benaknya. Mungkinkah, ia tanpa sengaja terseret ke dalam mesin waktu dan kembali ke masa saat Blora setengahnya masih berupa hutan belantara?

Dee menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan keras kepala, menolak ide aneh tersebut.

Meskipun kemungkinan ini lebih mungkin terjadi, Dee tidak ingin menerimanya. Jika ia menerimanya, maka hancurlah dia. Ia akan dihantui pertanyaan, bagaimana caranya kembali ke dunianya?

"Jangan pikirkan yang aneh-aneh, Dee! Fokuslah pada tujuan. Cari bukit pohon jati dan kau akan bisa kembali ke Gua Terawang dan bertemu kembali dengan teman-temanmu," katanya menghibur dirinya sendiri.

Dee baru berjalan lima langkah, saat telinganya menangkap suara gerakan berdesir. Ia menajamkan indera pendengarannya untuk mengidentifikasi sumber suara. Diantara kelima inderanya, ia paling tajam dalam indera pendengaran. Ia cukup berani mengklaim mampu mendengar suara jarum pentul yang jatuh dari jarak 1 meter di atas lantai keramik.

Sssrrrr...!

Suaranya mirip dedaunan yang ditindih. Terdengar lirih. Hampir seperti suara bisikan angin. Ditilik dari suaranya, ini bukan suara langkah kaki. Ini mirip suara Ssss... Desisan ular. Menimbang dari segi suara patahan ranting kering dan dedaunan yang tersibak kasar, ukuran ular ini jelas tidak bisa dianggap remeh. Ukurannya mungkin sebesar kakinya atau bahkan lebih

Wajah Dee pucat hati. Ia dilanda panik dan rasa takut yang amat sangat. Masih ingat, kan, jika Dee ini memiliki rasa takut yang berlebihan pada jenis hewan ini. Sangat takut hingga saking takutnya ia tidak bisa bergerak seinchi pun.

Tanpa disadari, itu adalah keputusan yang sangat bijak. Diam di tempat akan memberikan informasi pada sang ular jika Dee bukanlah pengganggu. Mungkin saja si ular akan melepaskannya begitu saja saat ia dalam kondisi kenyang. Sebaliknya, jika Dee lari secara mendadak, maka ia akan diserang tanpa ampun karena dianggap musuh. Kasus ini juga berlaku untuk hewan anjing.

Sayangnya, ular yang menghampiri Dee ini ular yang sudah berumur sangat tua sehingga tubuhnya berukuran sangat besar. Ia baru saja keluar dari tapa bratanya untuk berevolusi menjadi hewan naga yang legendaris. Ia sedang dalam kondisi lapar. Sangat lapar. Melihat mangsa empuk tepat di depan mata, tidak mungkin kan ia sia-siakan.

Dee menatap waspada sang ular yang merayap menghampirinya dengan beralaskan perutnya. Ia tanpa suara, diam-diam menggenggam erat belatinya pada salah satu tangannya. Tetapi, secara keseluruhan, Dee bersikap patuh. Tidak banyak membuat gerakan mengancam.

Sang ular membuka mulutnya lebar-lebar. Lidahnya yang bercabang dua ia julurkan ke depan, mengecap bau nikmat mangsanya. Mangsa yang jinak dan dipenuhi rasa takut adalah yang dibutuhkannya untuk saat ini. Ia sangat lapar dan ia ingin segera makan sehingga ia tidak dalam mood ingin bertarung.

Ular itu gerakannya terlihat tidak cepat, melainkan sangat cepat. Ia tahu-tahu sudah berada di depan Dee. Ekornya membelit mangsanya dari dada ke bawah, tanpa memberi Dee kesempatan untuk berjuang. Kepalanya mendekat hingga bau nafasnya yang amis menerpa wajah Dee. Mulutnya lalu membuka lebar memperlihatkan lorong gelap yang tidak diketahui dasarnya.

Wajah Dee dipenuhi teror. Tremor menguasai tubuhnya. Satu pertanyaan melintas dalam benaknya, Apakah aku akan mati seperti ini? Menjadi makanan ular? Aku yang manusia, pemuncak rantai makanan?

Tahukah kamu kapan seseorang mengeluarkan potensinya secara maksimal?

Saat dalam bahaya nyata. Bahaya yang mengancam jiwa. Pada saat itu terjadi, manusia mampu melakukan apa yang dalam kondisi normal tidak mampu dilakukannya. Seperti, melompati dinding setinggi 2 meter atau lari dengan kecepatan sangat cepat 40 km/jam selama lebih dari sejam nonstop.

Sama seperti itu. Dee yang dalam kondisi normal memiliki ingatan pendek, seperti menulis dalam air. Sangat mudah terhapus. Namun, dalam kondisi terancam, ia berhasil mengingat materi pelajaran Biologi dalam bab struktur organ hewan sub bab hewan reptil yang dijejalkan paksa oleh Bu Kusniati ke dalam otaknya berminggu-minggu yang lalu.

"Reptil adalah segala hewan melata. Contohnya ular. Ular memiliki tulang punggung yang terdiri dari ratusan tulang kecil yang saling bersambungan, mirip rantai. Oleh karena itu, ular dapat bergerak dengan luwes." Jelas Bu Kusniati dengan suara jernih dan cukup keras untuk didengar oleh seisi kelas.

Dee mengerutkan dahinya, mengingat materi lainnya yang dirasa bisa menolongnya, lepas dari mulut ular.

"Ular makan mangsanya dengan cara menelan tanpa mengunyahnya terlebih dahulu. Rahang dan perut ular sangat lentur sehingga dapat mengambang saat mencaploknya walaupun berukuran besar,"

Bibir Dee berkedut. Dengan ukuran tubuhnya yang sangat besar, bagi sang ular, Dee jelas hanyalah cemilan ringan yang bahkan tidak cukup untuk mengisi celah giginya. Hanya sekedar pengganjal perut sebelum membuka hidangan utama.

"Memicu misi sampingan. Mengambil mustika merah delima dari ratu ular."

Eh! Yang ngomong itu siapa ya? Wajah Dee masih flat fokus pada si ular yang tengah membelit tubuhnya, tapi dalam pikirannya sudah berantakan. Bertanya-tanya, suara apa itu. Orang kah? Siluman kah? Tapi, kenapa ia merasa familiar dengan suara itu? Ia merasakan kebencian pada suara mekanis, datar, dan tanpa emosi ini. Mungkinkah dia mengenalnya? Tapi, itu hanya berlangsung dalam hitungan detik. Pikirannya kembali fokus pada bahaya utama, yakni ular.

Dee tersentak. Tubuhnya secara tiba-tiba terangkat ke udara, kian dekat dengan mulut ular. Ssss... suara desisan ular mengirimkan getaran kengerian di tubuhnya. Tapi, yang membuat Dee tidak berani berpaling karena takut adalah saat matanya bertemu dengan mata ular yang melotot menyeramkan padanya. Jantung Dee meregang kuat layaknya busur panah yang ditarik kencang.

Otaknya dengan keras mengingat kembali informasi tentang ular yang berguna. Memotong kepala ular bukanlah cara yang tepat untuk membunuh ular. Ia berbeda dengan hewan vertebrata lainnya. Ular berdarah dingin. Tidak butuh banyak energi untuk mempertahankan suhu tubuhnya. Karena itu, ular masih bisa hidup, meski tubuhnya sudah terpotong menjadi dua. Setidaknya beberapa menit atau jam. Pada rentang waktu itu, ia masih bisa membahayakan nyawa targetnya.

'Cara paling efektif untuk membunuh makhluk hidup adalah dengan menikam tepat pada jantungnya.' Pikir Dee. Jantung ular terletak di rongga dada. Jadi... Mata Dee memicing, fokus pada target.

Ular itu kian mendekati Dee. Kepalanya sudah sangat dekat dengan hanya menyisakan jarak sekitar 50 centimeter. Posisi tubuhnya memungkinkan tangan Dee berada tepat pada rongga dadanya, tempat jantung ular.

Karena menganggap Dee hanyalah mangsa jinak yang tidak berbahaya, buah kesemek lembek yang mudah diremukkan, ular besar itu pun melonggarkan kewaspadaannya. Ia tidak menyadari sedikit pun bahaya yang tengah mengintainya. Sampai kematian menjemputnya pun, ia masih tidak menyadari alasan, kenapa ia mati.

Ia hanya melihat kelibatan benda hitam mengarah pada dadanya. Ia tidak merasakan tusukan nyeri di tubuhnya. Hanya merasa aliran darah sedikit terganggu. Ia baru menyadari rasa sakit pada ujung-ujung syarafnya saat sebuah ranting yang kuat dengan kejam menusuk rahangnya dan sekaligus menyatukannya dengan rahang atasnya, membuatnya tidak bisa membuka mulutnya.

Sang ular menggeliat kesakitan. Ia menggerakkan ekornya untuk menghantam tubuh si pelaku penusukan, hanya untuk menyadari jika kepalanya sudah terpisah dari badannya. Darahnya tumpah, mengalir membasahi tanah hutan. Bau amis dan besi bercampur mengotori udara.

Sang ular besar menatap bayangan kabur Dee penuh kebencian. Ia benci dengan penglihatannya yang buruk yang tidak bisa dengan jelas melihat sekitarnya. Tapi, ia sudah mengingat dengan baik aromanya. Tidak mungkin ia lupa. Nanti, setelah ia pulih ia akan membalaskan dendamnya pada gadis bau ini. Ia akan memastikan kematiannya tidak akan semudah hanya dengan sekali telan. Ingat! Siluman ular adalah salah satu jenis siluman yang sangat pendendam.

Sang ratu ular pantas bersikap arogan. Tidak takut jika tubuhnya dipotong-potong. Ia baru saja mendapat anugerah dari Sang Hyang Widhi, hasil tapa bratanya yang berat, berupa ilmu kesaktian dimana penggunanya mampu menumbuhkan anggota tubuhnya yang terpotong. Dengan ilmu ini, sang ular percaya bisa kembali pulih seperti sedia kala. Yang harus ia lakukan adalah mengedarkan tenaga dalamnya untuk mengobati luka-luka luarnya yang mengerikan.

Sang Hyang Widhi adalah nama Tuhan yang disembah oleh orang-orang Jawa Kuno.

Tapa brata adalah bersemedi. Tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur dalam jangka waktu tertentu di tempat tertentu pula yang memiliki kekuatan spiritual terbesar.

Sayang. Lawannya Dee. Ia memang tidak terlihat kuat. Minus kekuatan spiritual sehingga keberadaannya mirip hewan semut yang mudah terinjak hewan kuat lainnya. Namun, semut juga memiliki kekuatan yang bisa membuat seekor gajah menggigil ketakutan. Dee pun demikian.

Kekuatan Dee yang utama bukan pada kekuatan fisiknya, kekuatan IQ, ataupun kekuatan internal. Dee tidak memiliki ketiganya. Namun, Dee memiliki kekuatan iman mutlak, dimana segala sesuatunya ia pasrahkan pada Tuhan.

"Aku tidak memiliki dendam denganmu, karena itu aku tidak punya alasan untuk membunuhmu. Tapi, jika kau ku biarkan hidup, maka akulah yang akan mati. Jadi. Maaf.." ujar Dee sebelum menusuk tengkorak ular dan menghancurkan otaknya sambil membaca, "Bismillahirrah manirrahim," dengan suara lirih. Bacaan basmalah yang diucapkan sepenuh hati dan iman yang kuat akan menyebarkan ilmu kesaktian sang ular. Berikut kekuatan spiritualnya. Akibatnya, sang ular besar bisa dibunuh oleh Dee.

Dee melompat menjauhi bangkai ular yang hancur dan berdarah. Tubuhnya menggigil hebat, usai ketegangan yang dirasakannya hilang. Ia kembali diingatkan pada sumber parnonya, yakni ular. Bukan sembarang ular, melainkan ular piton berukuran sangat besar. Ditilik dari ukurannya dan bentuk kepalanya yang unik, ular ini sangat mudah disalah pahami sebagai naga Jawa.

"U-ular..." katanya tergagap. "M-membelitku... d-dan aku membunuhnya. Oh God!" racaunya tidak karuan.

Dee tidak ingin percaya, jika tangannya lah yang menghabisi nyawa sang ular. Akan tetapi, darah yang mengotori belatinya yang masih digenggamnya, adalah bukti nyata jika benar dia lah yang melakukannya.

Pikiran Dee berantakan. Ia masih sulit percaya dengan fakta yang ada. Ini terlalu impossible. Butuh waktu hampir setengah jam untuk memulihkan kerusakan mentalnya akibat pertarungan dengan sang ular, hewan yang paling ia takuti.

Setelah pulih, otaknya tiba-tiba teringat pada batu berwarna merah delima kusam yang tertancap kuat pada dahi ular. Bentuknya menarik mirip batu permata yang amat disukai manusia. Ia pikir sayang jika dibiarkan tergolek di dalam hutan begitu saja. Ia kan yang membunuhnya, jadi wajar jika ia mengambil beberapa bagian tubuh ular sebagai suvenir.

Dee melangkah perlahan menghampiri tubuh ular yang kini diam tak bergerak. Ia cepat-cepat mengambil batu merah delima yang tergolek di tanah dengan hancurnya tengkorak sang ular. Sesudah itu buru-buru menjauhi bangkai ular, karena ia masih takut pada ular.

"Bagus. Benar-benar mirip permata." Ujarnya kagum. Batu merah delima itu tampak bercahaya. Berwarna cerah usai dibersihkan Dee. Ia puas dengan hasil panennya. Dengan riang, memasukkannya ke dalam tas ransel.

Suara mekanis menyebalkan yang dibenci Dee itu muncul kembali. "Misi sampingan mendapatkan mustika merah delima dari ratu ular berhasil. Poin 10+. Bonus reward peningkatan memori 5%. Silahkan host bekerja lebih keras!"

'Duh, suara ini lagi. Siapa sih yang ngomong?' Pikir Dee berantakan dipenuhi rasa was-was. Siapa tahu itu musuhnya?

Suara itu terdengar sangat dekat, seolah-olah berasal dari dalam kepalanya. Tapi, ia tidak melihat siapa pun atau apa pun di sekitarnya. Mungkinkah ini suara siluman lain, kompatriotnya siluman Barongan yang dahulu Dee habisi, yang juga menginginkan nyawanya?

Jawaban itu muncul dari pulihnya memorinya yang hilang akibat sambaran petir, sebagai reword keberhasilan misi sampingannya. Itu suara sistem pembelajarannya yang murah yang dicangkokkan dalam kepalanya.

Dikatakan murah karena ia tidak memberi apapun kepada hostnya seperti buku, pil, alat ataupun keahlian tertentu yang mengguncang surga, selain misi saja. Bahkan alur cerita dunia ini pun tidak. Sama sekali tidak layak disebut jari emas. Alat kecurangannya. Sialnya, sistem ini hanya bisa dilepas jika Dee berhasil menuaikan misi utama.

Pantas saja Dee membenci suara sistemnya. Sistem pembelajaran ini memang kejam, penuh kebencian dan juga pelit. Masa usaha kerasnya dalam membunuh ular sakti yang selangkah lagi menjadi naga hanya dihadiahi poin 10+. Dikit amat? Nggak bisa nambah apa? Rewardnya lebih mengenaskan lagi, hanya penambahan memori. Itu pun hanya 5%. F*uck! Medit kok nggak kira-kira.

Medit artinya pelit.

"Host, jangan jadi tidak tahu diri! Mustika merah delima itu sendiri sudah barang berkualitas langka."

"Memang apa kelebihannya?" Tanya Dee acuh.

"Buka saja di panel sumber daya!"

"Caranya?"

"Bayangkan panel layar komputer dalam otakmu! Lalu tekan menu sumber daya!"

Dee cepat-cepat melakukannya intruksi sistemnya. Ia tanpa ragu menekan menu sumber daya. Di menu sumber daya, ia memiliki satu tombol file bertuliskan mustika merah delima.

[Prop : Mustika merah delima]

[Pemilik : Ayu Dewi]

[Kualitas : langka]

[Serangan : kuat]

[Fungsi : Bisa digunakan sebagai pagar gaib untuk melindungi diri dari teluh, santet, dll. Dua, untuk menambah kepekaan batin. Tiga, menambah tenaga dalam. Empat, meningkatkan kanuragan. Lima, menghindarkan diri dari serangan binatang berbisa khususnya ular]

[Pembatasan : tidak ada]

Hmm... Dee merenung. Ia tidak tertarik dengan empat fungsi mustika merah delima si ular, tapi fungsi yang keempat yang menghindarkan diri dari serangan binatang berbisa. Dengan mustika merah delima ini, ia tidak perlu khawatir diserang binatang berbisa khususnya ular di masa depan. Hmm, tidak buruk. Keberuntungannya tidak begitu busuk. Nyatanya, dibalik musibah, ia kejatuhan durian runtuh.

Kejatuhan durian runtuh artinya mendapat keberuntungan yang tidak disangka-sangka.

Setelah menutup panel, Dee berjalan menjauhi bangkai ular untuk menghindari serangan binatang buas lainnya yang tertarik oleh bau amis darah yang segar.

Di tengah rimbunnya hutan tampak dua orang pria muda bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana selutut warna hitam yang sudah sangat pudar berjalan mengendap-endap tanpa suara, bersembunyi dibalik rimbunnya semak-semak. Matanya menatap tajam hewan rusa liar yang sedang makan dedaunan tak jauh dari tempatnya bersembunyi.

Setelah memastikan hewan buruannya lengah, salah seorang dari mereka, menarik anak panahnya dan membidikkannya pada hewan rusa yang masih asyik makan.

Wut!

Anak panah terlontar cepat dari busurnya, mengarah pada tubuh rusa. Sayang, gagal. Hewan rusa yang lahir dan tumbuh di hutan berhasil menangkap bisikan peringatan dari alam. Ia dengan gesit berkelit menghindari anak panah dan berhasil kabur ke dalam hutan yang lebih dalam. Anak panah pun menancap dengan gagah di atas tanah hutan.

"Ah, sial! Gagal lagi." Pekik salah satu pria muda berambut sebahu agak bergelombang yang dibiarkan tererai secara bebas frustasi. Sebuah tali dari pilinan akar-akar liar melingkari kepalanya, mencegah rambutnya awut-awutan karena terpaan angin.

"Kamu kurang telaten, Di" komentar pria di sebelahnya yang berrambut gondrong sepunggung. Sama seperti temannya, ia pun bertelanjang dada dan mengenakan pilinan tali sebagai hiasan kepala. Bedanya, pilinannya lebih rapi daripada kawannya. "Berburu itu butuh kesabaran sama seperti memancing." Dari caranya memanggil, ia pasti yang lebih senior dari pria pertama.

Kakang-adi adalah panggilan kakak-adik untuk yang berjenis kelamin sesama laki-laki.

Pria berambut pendek yang pertama cemberut. "Aku bukannya kurang sabar, Kang. Hanya kurang mujur," ujarnya. "Hari ini keberuntunganku memang busuk," imbuhnya menggerutu.

"Hus, jangan bicara sembarangan! Itu namanya nresulo, tidak bersyukur pada pemberian Sang Hyang Widhi."

"Gimana nggak nresulo? Di hutan seluas ini, berhari-hari, tak satu pun hewan buruan yang ku dapatkan. Padahal aku butuh banget hewan buruan untuk ku tukar dengan uang. Jika begini terus, gimana caranya keluargaku yang miskin makan dan bayar pajak? Kau tahu sendiri, panen bapakku kali ini puso karena musim kemarau," Ia melirik temannya. "Kamu sih enak udah dapat," imbuhnya iri.

"Tenang. Masih ada waktu. Nanti aku bantuin," hibur temannya.

"Hm, coba aja kita punya panah betulan yang dari besi. Pasti berburu akan jauh lebih mudah."

"Jika punya, kita tidak akan hanya menjadi petani merangkap pemburu paruh waktu yang miskin. Kita tentunya sudah jadi prajurit yang terhormat,"

"Prajurit? Ih, ogah." Serunya dengan hidung mengernyit.

"Loh kenapa? Kau tak ingin urip mulyo?"

"Tentu saja ingin, Kang. Hanya orang gila atau orang suci waskita yang sudah terbebas dari belenggu dunia yang tak ingin."

"Lalu?"

"Masalahnya, resikonya terlalu berat, Kang. Kematian. Apa gunanya punya uang kalau kita tidak bisa menikmatinya?"

"Ya itu resiko. Tidak ada ceritanya hidup mulia tanpa pengorbanan. Semakin besar pengorbanannya, biasanya hasilnya juga kian besar."

"Aku tahu. Tapi, aku tak mau berjudi dengan nyawaku hanya untuk harta."

"Sak karepmu lah, Di." Ujar pria berrambut gondrong. "Sebaiknya kita pindah ke tempat lain. Tempat ini sepertinya miskin sumber daya,"

"Kau benar," Ujar pria muda berrambut pendek mengiyakan. Ia baru hendak melangkah ketika ia mencium sesuatu di udara. "Stttt..! Kau mencium sesuatu, tak? Seperti bau amis darah,"

"Kau juga menciumnya? Sudah sejak tadi, aku mencium bau ini. Ada pertempuran di dekat sini, kah? Yuk, kita lihat!"

"Aku tidak mau?"

"Kenapa?"

"Gimana kalau kita terlibat dalam sesuatu yang berbahaya? Kita ini cuman wong cilik, Kang."

"Maksudmu?"

"Aku mendengar warta di pasar kemarin, jika pasukan kerajaan Wura Wari sedang menelisik hutan untuk mengejar pasukan pemberontak pimpinan Raden Airlangga, menantu Sang Prabu, Sri Baginda Teguh Darmawangsa yang sudah lama gugur. Bagaimana jika kita dicap sebagai bagian dari pasukan pemberontak itu? Habislah kita,"

Karena takut terlibat sesuatu yang berbahaya, keduanya memutuskan pergi menjauhi tempat yang dinodai bau darah yang kental. Seandainya mereka lebih berani, mungkin saja mereka menemukan bangkai ular yang beberapa menit yang lalu dibunuh Dee. Dengan banyaknya daging, mereka tidak perlu harus berburu selama berhari-hari di hutan.

Dalam waktu kira-kita satu batang dupa terbakar, datanglah kelompok lainnya. Penampilannya hampir serupa dengan kelompok pertama. Bedanya, celananya tidak sekumuh kelompok pertama. Warnanya tidak begitu pudar dan compang-camping.

"Tunggu, Kakang Onggoyudo! Berhenti dulu."

"Kenapa?"

"Aku mencium bau amis darah,"

"Aku juga menciumnya, Di Mas Onggorekso. Baunya sangat pekat di udara. Mungkin, di sekitar sini ada pertarungan. Mari kita selidiki!"

"Iya, Kang."

Kedua orang tersebut lalu berlari menghampiri tempat berbau darah yang kental, tempat Dee bertarung dengan siluman ular. Mata keduanya terbelalak lebar menyaksikan pemandangan di depannya. "Ya Dewa!" Pekik salah satu dari mereka. "Orang gila mana yang membiarkan daging mangsanya tergolek di tanah begitu saja? Ini terlalu banyak. Pemborosan sumber daya." ujar Onggorekso terkejut dan jengkel jadi satu.

Onggorekso marah pada si pemboros yang tidak tahu caranya menghargai makanan di tengah-tengah masa larang sandang pangan. "Orang ini pasti kaum bangsawan yang hanya tahu caranya bersenang-senang dan menghambur-hamburkan sumber daya." Gerutunya berkeluh kesah menyayangkan, meski dalam hati ada rasa syukur dengan tindakan pemboros itu. Berkat si pemboros itu, ia tidak perlu capek-capek berburu hanya untuk makan. Daging ular besar ini cukup dimakan mereka berempat selama seminggu berturut-turut.

"Orang gila yang mungkin sangat benci ular tampaknya," sahut Onggoyudo dengan bibir berkedut. Ekspresinya agak aneh.

"Maksudmu?"

"Ku rasa ia tak sengaja membunuh sang ular. Tapi, berhubung ia benci ular, ia membiarkannya tergolek di tanah tanpa mengambil dagingnya atau bahan yang lain."

"Begitu?"

"Itu hanya tebakanku. Lebih baik kita segera membersihkannya sebelum hewan buas lain berdatangan karena tertarik oleh aroma darah."

"Kau benar, Kang."

Keduanya dengan cekatan memotong-motong tubuh ular dalam potongan kecil dan menyimpannya dalam buntelan tas kain. Tidak menyisakan sedikit pun, kecuali ceceran darah.Sesudah itu mereka pindah ke tempat lain, tempat mereka camping bersama saudaranya yang lain yang tempatnya tidak jauh dari rawa, sumber air.

"Kalian berhasil berburu?" Tegur pria bertubuh kekar berwarna sawo yang sangat matang karena sering berjemur di bawah sinar matahari. Namanya Ranggageni. Saat ini, ia tengah merebus sayuran liar di dalam batok-batok kelapa yang berjajar membentuk garis.

"Begitulah." Sahut Onggorekso dengan hidung begar karena bangga sambil meletakkan buntalan kain di atas tanah. "Kakang Bayugeni mana, Kang?"

"Oh, Kang Mas Bayugeni. Ia sedang...."

"Aku di sini." Potong Bayugeni. Ia datang sembari menenteng anyaman daun kelapa di satu tangan dan ranting di tangan yang lain. "Oh, kalian akhirnya berhasil menangkap hewan buruan," serunya dengan mata yang berbinar. "Hewan apa?"

"Ular, Kang." Jawab Ranggageni sambil memanggul daging buruan dua saudara perguruannya ke dekat rawa.

"Kakang Bayugeni! Mau sampai kapan kita di sini? Aku sudah bosan hidup di hutan. Aku rindu rumah dan hiruk pikuk kota," keluh Onggorekso.

"Sampai kita bertemu dengan 'Yang Terpilih'." Ujarnya pada dua saudara kembar tidak identik ini.

"Itu sampai kapan? Sudah hampir setahun kita menunggu," rajuk Onggorekso. Lagi. Untuk yang ke seratus kalinya dalam seminggu ini.Wataknya agak sembrono, selain cerewet. Mungkin karena ia yang termuda dari keempatnya.

"Sabar, Di Mas. Aku tahu ini berat. Tapi, ingatlah. Dia -Yang Terpilih- ini akan jadi penolong terbesar kita."

"Kita ini kuat, Kang. Jumlah kita mencapai ribuan orang."

"Itu tidak ada artinya di depan pasukan Wura Wari. Apalagi Sriwijaya. Kita ini tidak lebih dari lelucon."

"Tapi..."

"Kau tak ingin menuntut balas atas kematian orang tuamu? Pamanmu? Kakak sulungmu? Dan, seluruh kerabatmu?"

"Tentu saja aku ingin. Tapi, aku masih tidak yakin akan adanya Yang Terpilih."

"Itu adalah wangsit yang diterima Maha Guru dari Sang Hyang Widhi. Tidak mungkin salah,"

"Kakang Bayugeni benar, Di Mas. Yang Terpilih itu benar-benar ada dan kita sudah sangat dekat dengannya," timpal Ranggageni memamerkan senyum lebarnya.

Onggorekso menoleh. Wajahnya sumringah. Ada senyum di wajah tampannya sebelum pudar kembali. Alisnya dirajut, "Kang Mas tidak sedang menghiburku kan?"

"Aku serius. Lihat ini!"

Rajutan alis Onggorekso kian dalam. Kata bingung tercetak jelas di jidatnya. "Apa hubungannya bangkai ular yang ku temukan dengan Yang Terpilih?"

Alih-alih menjawab, Ranggageni justru bertanya pada dua bersaudara yang membawa pulang bangkai ular. "Coba sebutkan jenis ular apa yang memiliki tubuh sebesar ini!"

Ting!

Tiba-tiba, Onggoyudo mendapat ilham. "Maksud kakang, Yang Terpilih yang membunuh ular ini?"

"Tepat,"

Onggorekso yang masih dalam kegelapan menatap Ranggageni dan Onggoyudo bergantian, seolah dengan melihat keduanya, ia akan mendapat ilham. "Aku masih tidak mengerti," akunya jujur.

"Maksudnya, ular ini bukan ular sembarangan. Ini ratu ular yang selangkah lagi jadi naga. Dengan kemampuan kalian sekarang, mustahil kalian bisa melakukannya. Aku sendiri meski membelah menjadi sepuluh juga, tidak yakin bisa. Bahkan Mahaguru yang sakti pun belum tentu bisa melakukannya sebaik ini. Lihat! Ular ini mati dalam satu serangan. Tanpa perlawanan. Dan, batu mustikanya diambil. Kesimpulannya, orang yang membunuh ular ini kemungkinan besar Yang Terpilih yang kita cari selama ini,"

Onggorekso akhirnya tercerahkan. "Ah, kenapa tak terpikirkan olehku sebelumnya?"

"Itu karena kamu kebanyakan mengeluh sehingga lalai memperhatikan sekitar." Ujar Bayugeni geleng-geleng kepala.

"He he he..." Onggorekso tertawa garing karena malu. "Lalu, apa yang harus kita lakukan selanjutnya? Haruskah kita mengejarnya sekarang?"

"Tidak perlu."

"Kang Mas yakin?"

"Yup."

"Mengapa?" Tanya Onggoyudo kurang setuju.

"Sehebat apapun dia, dia masih butuh air. Karena itu, cepat atau lambat ia akan ke sini."

"Kang Mas Bayugeni benar. Lebih baik kita menunggunya di sini."

"Lalu bagaimana dengan bangkai ular ini? Kita kan tidak bisa memakannya," Komentar Onggoyudo lesu. Melayang sudah harapannya memakan daging ular yang nikmat.

Daging ratu ular tingkat delapan sangat padat energi spiritualnya. Saking padatnya, tubuh mereka yang hanya di tahap kedua akhir bisa meledak dibuatnya jika dengan bodohnya memakannya.

"Kita bisa memberikannya pada paman guru dan menukarnya dengan ramuan untuk mempercepat kultivasi."

Ramuan untuk kultivasi sangatlah berharga, sebab ia mampu meningkatkan budidaya para pendekar ilmu beladiri. Harganya astronomi. Tidak terjangkau oleh rakyat jelata. Hanya bangsawan mulia atau murid kinasih sebuah padepokan besar yang mampu membelinya.

"Kakang cerdas." Kata Onggorekso penuh semangat. Wajahnya tampak bercahaya, berseri-seri.

Mereka lalu menyimpan daging ratu ular di kantong dimensi ruang yang dimiliki semua murid padepokan Gunung Wilis. Dengan cara ini, kesegaran dan konsentrasi kekuatan spiritual daging ular akan terpelihara dengan baik.

Meskipun mereka gagal makan daging untuk malam ini, mereka tidaklah kecewa. Pertama karena mereka menemukan titik terang dalam misi mereka. Kedua, harapan untuk memperoleh ramuan untuk memajukan kultivasi mereka.