Chereads / Please Don't Call Me Goddess / Chapter 10 - Dia Temanku, tapi juga bukan temanku

Chapter 10 - Dia Temanku, tapi juga bukan temanku

Dee menghembuskan nafas lega melihat pasukan tawon nan ganas itu berhenti memburunya. Ia tidak berniat mengejar tawon-tawon yang melarikan diri ke kedalaman hutan, meskipun Systemnya berteriak-teriak dengan heboh di kepalanya, menyuruhnya mengejar kawanan tawon khususnya lagi untuk menangkap ratunya hidup atau mati. Sebesar apapun hadiahnya, ia tidak tertarik, oke. Ia bukan orang tamak yang gemar mengoleksi mustika.

"Ini bukan masalah tamak. Ini untuk kesuksesan misi sampinganmu." balas System. Jika ia memiliki seperdelapan kekuatannya di masa lalu, ia mungkin bisa langsung menghukum hostnya yang dari hari ke hari kian tak terkendali. Sifat semau guenya membuat System yang seharusnya tidak memiliki emosi jadi senewen. Itu berarti keterampilan Dee untuk meledakkan kompor telah naik tingkat ke tingkat yang lebih baru yang melebihi level sebelum-sebelumnya. Tidak ada pendahulunya dan System berharap tidak ada pengikutnya. Dilecehkan secara mental itu pedih, Kawan.

"Misi?" Alis tebal Dee mengerut bingung.

"Misi menyelamatkan pendukung Airlangga. Lupa?"

Kerutan di dahi Dee bertambah. "Apa hubungannya?"

"Tengok mereka!"

Dee membalikkan tubuhnya. Matanya menatap nanar sekeliling. Apa maksud Systemnya? Ia melihat ada bekas-bekas pertarungan. Ada bau hangus terbakar. Ada bau anyir darah. Dan, ada orang-orang setengah telanjang tergolek di atas tanah tak sadarkan diri. Oh ada satu orang yang dalam kondisi siuman. Kepalanya dimiringkan ke samping tepat menghadapnya sehingga ia tahu raut wajahnya.

"Oh God!" pekik Dee panik.

Wajah itu adalah wajah yang sangat dikenalnya dengan baik. Sering ia lihat dalam kehidupannya sehari-hari. Di hari-hari biasa, ia lebih suka menghindari sosok ini. Bukan karena dia jahat atau ia memiliki dendam pribadi dengannya, melainkan karena ia seorang Big Goss. Biangnya gosip.

Hobi orang ini menggosipi orang lain yang isinya 90% palsu sedangkan 10% nya asli. Orang ini mulutnya sangat pedas dan kejam dalam membuat rumor. Jumlah musuhnya memungkinkannya jadi pagar betis untuk mengelilingi stadiun Gelora Bung Karno. Beberapa putaran. Untungnya, isi gosipnya hanya buat bercanda aja. Sebagian besar gosip buatan orang ini tidak ada yang sampai memunculkan fitnah atau menimbulkan rasa sakit hati seseorang. Meski demikian, tetap saja ia risih. Dia nggak mau jadi korban gosipnya. Itu alasannya kenapa ia lebih suka memilih jalan memutar daripada menabrak orang ini.

Namun, hari ini beda. Alih-alih sebal, sebaliknya Dee merasa sangat beruntung bisa ketemu dengannya. Matanya berkaca-kaca karena suka cita. Di dunia asing ini dimana siluman jahat dan binatang buas satu demi satu datang untuk mengambil nyawanya, bertemu orang yang dikenalnya adalah berkah. Rasanya seperti seorang korban kapal tenggelam dan baru menemukan ban pelampung penyelamat nyawa.

"L-Las..., k-kau di sini juga?" Suara Dee bergetar karena emosi kuat yang menjejali dadanya dengan penuh hingga rasanya seakan mau meledak.

.........*****.......

Onggorekso mengalami trans. Musuhnya telah membuat organ-organ vitalnya terluka parah. Mereka juga melukai kekuatan internalnya. Hal ini membuatnya sulit mempertahankan kesadarannya. Ia bisa bertahan hingga detik ini hanya dengan mengandalkan tekad dan kekeras kepalaanya. Tapi, ia mulai runtuh setelah melihat musuhnya lari tunggang langgang. Tekadnya tidak cukup untuk menopang tubuhnya yang sekarat.

"Las...!"

Sebuah suara merdu seorang wanita menyapa gendang telinga Onggorekso. "Siapa?" pikirnya bingung. Ia bertanya-tanya dalam hati. Las siapa? Siapa orang yang dipanggil gadis itu?

Onggorekso memaksakan diri membuka matanya. Ia melihat seorang Dewi. Gadis itu sangatlah cantik seperti Peri yang turun dari kahyangan. Bukan hanya cantik, ia juga sangat baik hati. Ia mau menolong orang asing yang baru pertama kali ditemuinya. K-kau..?"

"Sst...! Jangan banyak bicara dulu! Nanti lukamu terbuka lagi." ujarnya mengingatkan dengan suara lembut.

Hati Onggorekso menggigil gemetar karena gembira untuk sesaat. Ia bahagia bertemu seseorang yang baik hati yang mau mengulurkan tangan padanya. Ia seperti melihat cahaya harapan. Tapi, itu hanya sesaat. Ia teringat akan saudara-saudara seperguruannya yang juga mengalami cidera berat.

Onggorekso berusaha membuka mulutnya. "Tolong. Tolon4$&#@dfggh..." Ia ingin meminta bantuan Peri ini untuk mengobati luka saudara-saudaranya, namun tangan-tangan kegelapan sudah lebih dulu menjeratnya dan menariknya ke dalam lubang yang sangat dalam tanpa dasar.

..........*****........

"LAS....!" jerit Dee histeris. Ia ingin mengguncang tubuh Lasminto, tapi ia takut ini akan membuat luka sahabatnya bertambah parah. Yang lebih membuatnya syok berat, Lasminto tidak sendiri. Ada lagi sahabatnya yang juga terluka parah. "L-Lis...! Sar...! Tatar! Apa yang terjadi dengan kalian? Kenapa kalian bisa terluka parah seperti ini?" Isaknya.

Dee dilempar dalam kekacauan. Ia tidak pernah merawat orang yang mengalami cidera berat. Sebagai seksi P3K abadi, cedera paling berat yang pernah ditanganinya adalah pasien demam karena flu. Luka berdarah-darah yang mengerikan seperti ini, mana pernah ia tangani? Ia bukan dokter. Ia hanya murid SMA biasa dengan tingkat IQ yang biasa pula. Bagaimana mungkin ia tahu caranya menyelamatkan sahabatnya?

Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Telepon dokter? Pakai apa? HPnya sudah 'Dead' dari kemarin-kemarin. Jika pun HPnya masih bernyawa, ia juga tidak bisa melakukan panggilan darurat ke nomer rumah se. Kalau ada, ngapain juga ia standby di hutan? Homestay di hutan bukanlah gayanya.

Lalu apa? Nyerah? Nggak mungkinlah. Sejengkel-jengkelnya ia dengan Lasminto, makhluk hidup itu masih sahabat baiknya. Ia nggak mungkin begitu saja berpangku tangan melihat sahabatnya merangkul tangan malaikat kematian yang menjemputnya.

Dee dengan panik mengetuk Systemnya. "System, bagaimana cara untuk menyelamatkannya?"

"Aku bilang juga apa? Tangkap ratu tawom klenteng! Madunya sangat efektif mengobati luka dalam dan cedera-cedera berat."

Dee menghirup udara dingin, merasa menyesal. "Apa waktunya cukup?" Sergah Dee dengan wajah kusut. Ia takut tidak ada waktu untuk mengambil madu dari tawon klenteng. Kondisi Lasminto sudah kritis. Butuh penanganan segera. "Apa di mallmu tidak ada obat yang mujarab untuk lukanya?"

System dengan suara mekanisnya memberi Dee angin segar, "Ada, tapi poinmu tidak cukup untuk membeli barang-barang di mall System."

"Apa tidak ada cara lain?" tanya Dee setengah putus asa. Hatinya sakit mendengar ucapan pahit Systemnya.

"Tidak ada. Hanya madu tawon klenteng yang bisa." Sistem dengan kejam mematahkan harapan Dee.

Dee tersentak. Untuk pertama kalinya ia merasakan rasa takut yang amat sangat. Ia takut kehilangan sahabatnya. Dadanya bergetar hebat. Ia ingin berlari secepatnya untuk mengambil obat yang dibutuhkan sahabatnya. Tapi... Dee mendesah. Jika ia pergi, siapa yang melindungi sahabatnya? Bagaimana jika setelah kepergiannya musuhnya kembali lagi atau ada binatang buas lain yang menghampiri sahabatnya dan menjadikannya hidangan santap siangnya?

Melihat kondisi hostnya yang pucat dan kacau secara mental, hati System untuk pertama kalinya terketuk. Ia tak tega menyaksikan kehancuran psikis sang host. "Kau lupa dengan senjata illahimu?"

"Senjata illahi?" beo Dee kacau.

"Mustika ular bisa jadi pagar pelindung untuk melindunginya dari bahaya binatang beracun dan siluman. Rantai babi bisa mengikat aura alam untuk mencegah kelongsoran tenaga internal sahabatmu?"

Dee tersentak. Ia lupa. Ia memiliki koleksi senjata illahi yang pastinya bisa membantunya menyelesaikan misinya. Jika tidak, untuk apa Systemnya terus-menerus mendorongnya berburu binatang-binatang spiritual.

Dee cepat-cepat mengatur kedua senjata illahinya untuk melindungi sahabatnya. Sesudahnya, ia bergegas kembali mencari sarang tawon klenteng. Dengan cekatan, ia menggertak ratu tawon klenteng untuk menyerahkan sebagian madunya. Tidak menerima bantahan. Penolakan berarti kematian. Di bawah ancaman Dee si tukang Palak, ratu tawon klenteng menyerahkan madunya yang berharga.

Begitu madu itu sudah di tangannya, Dee kembali ke tempat sahabatnya. Ia melakukan perawatan pada Lasminto terlebih dahulu sesuai instruksi Systemnya. Selanjutnya, ia merawat ketiga orang lainnya.

Dee baru merasa lega setelah luka-luka sahabatnya mulai membaik. Ia ambruk di tanah. Tubuhnya terlentang. Kepalanya menatap langit dengan tatapan rumit.

"Apa kau tahu apa yang terjadi pada sahabat-sahabat ku? Kenapa mereka bisa terluka seperti ini?" tanya Dee dengan suara tercekat.

"Mereka bukan sahabatmu yang selama ini kamu kenal, melainkan orang lain."

"BOHONG!" Tukas Dee tidak percaya. Ia tidak buta. Wajahnya sama persis dengan sahabatnya. Bagaimana mungkin ini bukan mereka?

System menepuk jidatnya secara virtual. Ia lupa jika hostnya sudah dihukum dengan hukuman langit yang menyebabkan ingatannya lemah. IQnya jarang online. Apalagi dengan mental 'Ini hanya game dalam mimpinya' sulit bagi hostnya untuk menerima kenyataan jika ia telah bertransmigrasi ke dunia paralel.

System memutuskan untuk diam. "Terserah. Selama kamu bahagia." pikirnya jengkel. Kalau kabur dari kenyataan itu membuatnya bahagia, biarlah. Toh itu juga tidak membuatnya rugi. Selama Dee masih menyelesaikan misinya dengan baik, seberapa berantakan apapun isi otaknya, System memilih diam.

"System..?"

"Mereka bukan sahabatmu. Mereka ini orang-orang dalam misimu yang harus kamu selamatkan."

Dee merasa langit di atas terbelah. Ada petir yang menyambar di atas kepalanya. "Tidak. B-bagaimana mungkin." Isaknya lirih. Sebelumnya, ia masih bisa membohongi dirinya sendiri, menganggap semua ini hanyalah mimpi panjang. Suatu saat ia akan terbangun dan lalu melupakan semua yang dialaminya dalam dunia mimpi. Karena itu, ia bisa dengan entengnya menyelesaikan semua misi yang dikeluarkan oleh System. Itu karena ia tidak menganggap mereka makhluk hidup yang bernyawa. Mereka hanyalah kumpulan data penghias mimpi. Tapi, pertemuannya dengan sahabatnya telah menyadarkannya dari ilusinya. Semua ini nyata. Real terjadi.