Chereads / Please Don't Call Me Goddess / Chapter 9 - Pahlawan yang Menyelamatkan Keindahan

Chapter 9 - Pahlawan yang Menyelamatkan Keindahan

Dee melompat dari satu dahan ke dahan pohon yang lainnya yang tumbuh saling berdampingan. Gerakannya lincah dan mantap. Tidak ada rasa ragu atau takut seolah-olah yang dilompatinya bukan dahan pohon setinggi di atas 5 meter melainkan bongkahan batu apung di atas tanah.

Jika ada yang bilang ia mampu memanjat pohon setinggi 10 meter dan bahkan melompat-lompat diantara dahan pohon yang bersinggungan layaknya berjalan di atas tanah dua bulan lalu, ia pasti bakal bilang, "Eh situ masih tidur, ya? Come on wake up! Noh di sono matahari udah naik tinggi di atas langit." Karena, itu mustahil terjadi.

Boro-boro memanjat pohon setinggi 10 meter. Dia baru naik pagar 2 meter aja udah jejeritan seperti orang ibu yang melahirkan. Tapi, hari ini ia mematahkan semua kemustahilan itu. Bukan hanya memanjat. Hari ini, ia bahkan mampu melompat-lompat diantara dahan pohon yang tumbuh berjajar rapat layaknya seorang shinobi di salah satu adegan action di film animasi Naruto. Sungguh awesome.

Sambil melompat-lompat, otak Dee berfikir keras. Ia membuat strategi di benaknya untuk menyelesaikan misi sampingan yang baru saja diberikan oleh Systemnya yang murah. Ia harus sukses dalam misi kali ini. Bukan hanya demi reward besar yang dijanjikan oleh System, tetapi juga untuk mendukung kesuksesan misi utamanya. Misi sampingan kali ini memiliki hubungan erat dengan misi utamanya. Orang yang harus ia selamatkan adalah pengikut setia Raja eh salah Pangeran Airlangga. Jika ia berhasil menyelamatkan mereka, maka ia akan lebih mudah bergabung dengan pasukan Pangeran Airlangga. Tahap selanjutnya akan jauh lebih mudah. Karena itu, untuk misi kali ini, tidak ada kata kegagalan untuk endingnya.

Dada Dee memanas. Jantungnya berdesir penuh sukacita. Akhirnya. Akhirnya ia memiliki titik terang dalam usahanya untuk pulang kembali ke dunianya. Dunia milenial dimana era digital berkembang pesat dalam kehidupan sehari-hari.

Karena sibuk berfikir, Dee tidak menyadari adanya benda berbentuk lonjong pipih warna cokelat tanah menempel di salah satu dahan pohon di depannya. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat dapat ditolak, kecelakaan pun terjadi. Kaki Dee tak ayal menendang ujung sarang tawon hutan.

"Ngunggg..." Suara dengungan terdengar mengitari tubuh si perusak yakni Dee, siap untuk menyengatnya hingga menemui ajalnya.

"O..o..!" Gumam Dee dengan wajah memucat. "Mampus gue." imbuhnya dalam hati sambil menyalakan lilin untuknya. Tamat riwayatnya sekarang.

Suara dengungan terdengar kian keras. Tawon-tawon yang awalnya terbang berhamburan tak beraturan karena sarangnya dirusak sang pengganggu kini menyatu mengambil bentuk anak panah. Ujung anak panah menunjuk pada Dee yang berdiri mematung karena linglung.

"Lariii..!" Seru Dee pada dirinya sendiri begitu kawanan tawon itu mulai menyerbunya melepaskan jerat kelinglungannya. Tanpa banyak pikir, ia langsung lari pontang-panting. Saking sibuknya melarikan diri, ia lupa jika yang diinjaknya bukanlah tanah daratan yang rata melainkan dahan pohon. Untungnya selama berlari, ia selalu mendarat pada dahan pohon sehingga keselamatannya masih terjaga.

Di saat Dee melarikan dari sengatan ribuan tawon, Ranggageni dan saudara-saudara terlibat pertarungan sengit dengan pasukan Sriwijaya. Jika bertarung satu lawan satu tim Ranggageni mampu melayani pertarungan dari tangan ke tangan. Persebaran kekuatan tim Ranggageni secara kualitas lebih tinggi daripada kekuatan para pasukan Sriwijaya. Diantara pasukan Sriwijaya yang menyergapnya hanya pemimpin dan wakilnya yang memiliki ilmu kanuragan mumpuni. Akan tetapi, karena jumlah yang tidak seimbang, tim Ranggageni akhirnya kuwalahan dan terdesak mundur.

Kondisi Ranggageni selaku yang paling kuat diantara saudara-saudaranya tidak lebih baik dari mereka. Penampilannya sama lusuhnya. Tubuhnya babak belur dipenuhi oleh luka.

"Ugh.." rintih Onggorekso sebelum tersungkur di tanah. Kepalanya ditahan oleh belasan pedang pasukan Sriwijaya yang membentuk penjara pedang mengelilingi kepalanya. Sedikit saja ada gerakan yang salah, kepala akan langsung menggelinding di tanah.

Kondisi serupa juga dialami oleh Onggoyuda dan Bayugeni. Masing-masing dari keduanyaa berhasil diringkus.

Rasa khawatir yang menggelayuti hati Ranggageni membuatnya lengah yang lalu dimanfaatkan oleh lawannya. Lawannya berhasil menyarangkan satu pukulan tepat di dadanya. Sontak tubuhnya terpelanting di udara dan mendarat hingga selusin meter dari jarak semula. Tubuhnya membentur batang pohon oak. Salah satu ranting menusuk pahanya. Darah mengalir diantara belahan luka. "Uhuk!" Ranggageni memuntahkan darah segar dari mulutnya.

"KANG MAS!" Jerit Onggorekso panik. Ia ingin bergerak, tapi gelar pasukan terkuat yang disandang di kepala pasukan Sriwijaya bulanlah hanya secarik omong kosong di atas kertas. Walaupun secara kualitas kekuatan mereka kalah, tapi jumlah dan kedisiplinan dalam bertarung dan bertahan telah menutupi kekurangan mereka. Pasukan Sriwijaya dengan mudah mematahkan perlawanan lemah Onggorekso.

Onggorekso mendesis cemas. Ia tidak takut mati. Jika takut, ia tidak akan memilih memasuki padepokan Gunung Kendeng dibawah pimpinan Empu Supo dan lalu bergabung dengan gerakan bawah tanah Pangeran Airlangga atas anjuran gurunya. Yang ia takuti adalah mati tanpa menyelesaikan tugas dari gurunya yakni menemukan 'Orang Terpilih' utusan Sang Tuhan untuk menyelamatkan penduduk Jawa dari cengkeraman kebiadaban kerajaan Sriwijaya. Karena itu ia bertahan dan menunggu kesempatan untuk menyelamatkan diri.

Ki Goblek menyeringai sinis pada Ranggageni yang muntah darah. Dulunya sebelum bergabung dengan pasukan kerajaan Sriwijaya, ia seorang perampok yang gemar menjarah dan membunuh para pelancong dan saudagar yang melewati wilayah kekuasaannya. Desa-desa di sekitarnya juga tidak luput dari cakar jahatnya. Kekejamannya tidak berkurang setelah ia berganti profesi. Sebaliknya kian terasah. Kejam, brutal, dan juga bengis. Dia hitam hingga ke intinya. Setiap musuhnya yang berada dalam belas kasihnya akan berakhir mengenaskan sebelum mati. Karena itu, ia tidak memiliki rasa iba untuk Ranggageni yang terluka parah. Sebaliknya, ia justru ingin menambah lukanya. Kakinya terangkat di udara dan dengan kejam menginjak kaki Ranggageni hingga patah. Krak!

Desisan tertahan mengalir diantara celah gigi Ranggageni. Meski sakit di sekujur tubuh, ia menolak merintih yang mana akan memberi pelaku kekerasan itu kepuasan. Matanya yang bengkak menatap tajam Ki Goblek menolak untuk menyerah.

Ki Goblek mendesis marah. Dalam kemarahannya, ia menendang tubuh lemah Ranggageni bertubi-tubi hingga darah membabtisnya dan akhirnya tidak kuat menahan titik kesadarannya.

"Puih! Dasar pencundang! Sudah lemah banyak tingkah." ejeknya. Ia beralih pada Bayugeni. Dengan isyarat mata, ia menyuruh bawahannya untuk mengangkat kepala Onggorekso. "Katakan padaku, dimana markas Airlangga? Mungkin aku bisa memohon pada yang mulia senopati Raden Mas Bratasena untuk mengampunimu.

"Tidak usah banyak omong. Langsung bunuh saja kami." balas Onggorekso sengit. Diantara mereka semua, ia memang yang bertemperamen mudah marah. Namun, ia bukanlah tipe orang yang suka bicara kasar yang tidak masuk di akal. Ia masih bisa mengendalikan egonya. Akan tetapi, orang yang ditabraknya adalah tentara kerajaan Sriwijaya. Lebih khususnya lagi, Ki Goblek adalah orang yang telah membantai keluarga besarnya.

Tanpa ampun ia menendang tubuh Onggorekso. Ia baru berhenti menendang setelah Onggorekso tinggal sejengkal lagi ke alam baka. "Kau!" Ki Goblek menunjuk Bayugeni. "Merampok dan menjadi pengkhianat adalah kejahatan berat yang tak terampuni. Hukumannya mati hingg tujuh turunan. Coba pikir lagi, apa itu pantas? Kau masih muda. Masa depanmu masih panjang. Tidak ada gunanya setia pada Airlangga. Dia itu pecundang. Tidak ada apa-apanya di hadapan Maharaja Sri Cudamani Warmadewa, raja kami. Lebih baik menyerah dan membantu kami mengungkapkan markas pemberontak Airlangga. Maharaja pasti akan memberi hadiah dengan murah hati."

Onggorekso mendengus. "Kau pikir aku bocah usia 5 tahun? Kau menuduh kami pemberontak dan langsung menyerang kami tanpa alasan. Dengan alasan apa kami mempercayaimu?"

Onggorekso sudah lama belajar jika wajah yang rupawan tidak menjamin orang tersebut memiliki hati yang rupawan. Sebaliknya, semakin rupawan dia semakin gelap hatinya. Semakin pandai memainkan skema untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

Ki Goblek tersenyum yang tidak menyerupai senyuman. "Kau mau bilang kalau kau ini hanya pemburu liar dari desa penggiran?" ejeknya sinis.

"Kami bukan pemburu, melainkan murid padepokan yang sedang berlatih kanuragan. Tidakkah kau lihat seragam kami?"

"Bagaimana kami yakin itu asli dan bukannya curian?"

"Baju mungkin saja dicuri, tapi jurus tidak."

Ki Goblek masih memandang dingin Onggorekso. Ia tidak mempercayai kata-katanya. Sedikitpun. "Kalau kau memang sangat ingin mati? Oke aku kabulkan keinginanmu." Ia menoleh pada bawahannya. "Bunuh mereka semua dengan 1000 tusukan. Sisakan dia untuk tawanan." perintahnya dingin.

"Bede*ah! Kepar*t kau!" umpat Onggorekso marah. Ia ingin melawan untuk menolong saudara-saudaranya, akan tetapi keempat alat geraknya semuanya dipaku di tanah dengan sebilah pedang. Ia tidak bisa bergerak. Air mata duka mengalir di pipinya. Matanya memerah. "Oh Hyang Widhi tolonglah kami." doanya penuh hiba.

Dan ketika keputus asaan sudah menguasai dirinya, ia mendengar teriakan histeris seorang wanita dari kejauhan menuju mereka. "Eh," gumamnya tertegun antara kaget dan juga cemas. Dengan posisi tubuhnya yang terlentang, ia bisa melihat cabang-cabang dahan pohon yang tumbuh rapat menaunginya layaknya atap. Ia melihat dari kejauhan sebuah bayangan hitam melompat-lompat diantara dahan pohon. "Apa itu?" batinnya heran.

"Gyaa...!" Jerit Sosok tersebut sangat dekat di telinga.

Bayangan hitam itu melambat memperlihatkan bentuk fisiknya secara mendetail. Itu sosok seorang perempuan dengan model baju yang aneh. Super aneh. Semuanya merasa heran karena belum pernah lihat sosok dengan model baju tersebut. Ia mengenakan baju atasan yang mirip dengan model bhusanakalambi yang hanya digunakan oleh raja dan permaisuri kerajaan Sriwijaya yang sudah tidak bertakhta. Tapi, warnanya beda. Warnanya cokelat tanah, sedangkan atasan bhusanakalambi berwarna putih bersih. Bawahan berupa celana panjang yang dikenakan oleh penari di pura yang biasa disebut bhusananartaka. Jadi, apa identitas sosok pendatang tersebut?

Wanita muda tersebut melompat dari atas dahan sekitar 5 meter dari tempat Ranggageni diringkus. Kakinya menjejak tanah dengan kuat. Wajahnya tidak begitu jelas karena posisinya yang membelakangi. Mereka hanya tahu jika wanita itu sosok yang ramping dengan lekuk tubuh yang berkembang dengan baik. Sayang... agak pendek. Perawakannya mirip dengan fisik anak gadis yang baru lepas dari gendongan ibunya. Jika ia tumbuh lebih tinggi lagi dari ini, Ki Goblek yakin kalau gadis tersebut akan memiliki barisan yang mengular panjang dari para pelamarnya.

Wanita misterius tersebut mengeluarkan pecut dari balik pinggangnya. Pecutnya agak aneh. Ki Goblek belum pernah melihatnya. Satu kali pun. Pecutnya penuh warna seperti warna pelangi dari gagangnya hingga ujung pecut yang mana membuatnya terlihat norak dan kurang bisa dipercaya. Pecutnya terkulai lemah menjuntai di tanah tak berdaya. Serius. Itu pusaka atau mainan?

Ngungg.... Suara dengungan terdengar keras mengikuti wanita tersebut.

Ki Goblek terkejut melihat musuh wanita itu. Matanya membelalak lebar. Begitu pula dengan Onggorekso. Musuhnya ternyata tawon klanceng.

Tawon klanceng ini binatang mistis tingkat 3. Jangan lihat levelnya yang rendah dan ukurannya yang imut. Tawon klanceng memiliki sengatan yang bisa membunuh orang. Dengan jumlahnya yang banyak, ia adalah mimpi buruk bagi pengelana yang tersesat di hutan. Bahkan, untuk pendekar di tingkat ke 5, ia masih menjadi musuh yang berbahaya. Untuk kelestarian hidupnya, mungkin masih bisa dijamin. Tapi, dibayar dengan harga mahal.

"Akh sial!" rutuk Ki Goblek geram. Ia pikir tugasnya sudah selesai dengan ditangkapnya salah satu murid dari Padepokan Gunung Kendeng yang sedang berlatih di hutan dan ia bisa pulang untuk menerima hadiah. Siapa nyana jika ia bertemu dengan orang bego yang memprovokasi tawon klanceng? Tanpa menunggu hasil pertarungan wanita tersebut, ia memilih kabur meninggalkan tawanannya. Ia tidak akan bercanda dengan nyawanya. Melawan tawon klanceng? Siapa juga yang berani?

Tinggallah di hutan tim Onggorekso yang terlantar dengan tubuh terluka parah. Hanya Onggorekso yang masih dalam kondisi siuman. Sisanya tidak diketahui hidup dan matinya.

Onggorekso pasrah. Tidak ada harapan. Ia tidak mungkin bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup dengan datangnya tawon klanceng. "Akh, sial." gumamnya sedih. Tidak hanya ia gagal melindungi nyawanya dan saudara-saudara seperguruannya, gagal menjalankan tugas dari gurunya, tetapi juga gagal membalas dendam keluarganya. Ia sebagai manusia gagal total. Lalu apa artinya hidupnya selama ini?

Onggorekso tersentak. Dadanya berdebar kencang. Ada sebuah titik harapan menyala dalam hatinya. Firasatnya mengatakan jika nasibnya dan saudara-saudaranya bergantung pada wanita misterius tersebut. Agak aneh memang. Boleh dibilang tidak realitis. Walaupun kecil nyalanya, harapan tetaplah harapan. Daripada berputus asa, ia lebih memilih menjaga nyala api harapan tersebut.

Harapan Onggorekso terbayar lunas. Wanita tersebut tidak mengecewakannya. Ia ternyata seorang wanita linuwih dan digdaya. Mungkin ia seorang pendekar tingkat 5 yang jumlahnya dibekas Kerajaan Medang Kamulan sebanyak jumlah gigi manusia dewasa.

"FU*K!" Ini tidak realistis. Dia masih muda. Seorang gadis pula. Tapi, kesaktiannya.... wuih.... Bikin Onggorekso iri hingga ususnya hijau. Dia pikir Kang Mas Ranggageni sudah yang paling hebat. Ternyata.. Dibandingkan dengan wanita muda tersebut, ia tidak ada apa-apanya.

Tunggu. Wanita? Sakti? Di daerah hutan sekitar Gua Terawang? Jangan-jangan... Jangan-jangan..., dia orang yang disebutkan oleh Bopo Guru Empu Supo. Onggorekso menggigil. Hatinya bahagia. Ia tidak menderita dengan sia-sia. Habis gelap terbitlah terang. Setelah disiksa hingga hampir sekarat, ia bertemu dengan seseorang yang ia cari-cari selama ini.

Wanita misterius tersebut dengan gesit memutar dan menyabetkan cambuknya pada tawon klanceng yang datang menyerang. Karena sabetan tersebut, formasi rapi dan terstruktur tawon klanceng pun buyar. Wanita seolah tahu dimana saja titik lemahnya. Tiap sabetan selalu mengincar kunci formasi dan tiap sabetan puluhan hingga ratusan tawon klanceng mati. Tidak hanya mahir menyerang, ia juga lihai dalam membuat perisai tanpa celah hanya dengan mengayun-ayunkan cambuknya. Lama-kelamaan jumlah tawon menipis dan hanya menyisakan beberapa. Sadar jika lawan lebih kuat, tawon klanceng memilih undur diri.

Mulut Onggorekso menganga lebar. Dia sungguh sakti.

TBC

Catatan kaki

Model Bhusanakalambi terdiri dari atasan dan bawahan. Atasan berupa baju dengan model cheongsam pria warna putih yang kancingnya tidak terlihat dari luar. Bawahan berupa kain songket warna merah yang dililit seperti sarung.

Bhusananartika juga berupa atasan dan bawahan. Atasan kain songket warna merah cerah yang dililit di dada menjadi kemben dan dibiarkan menjuntai hingga tulang panggul. Bawahan berupa kain polos warna merah agak gelap yang dibentuk menyerupai kain celana para pria India.

Terima kasih bagi yang sudah vote. Mohon dukungannya terus ya.