Mata Dee tiba-tiba terbuka. Pancaran sang surya menyelusup masuk diantara dedaunan yang tidak begitu rimbun menimpa kornea matanya. Ia menyipitkan matanya untuk menyesuaikan dosis cahaya yang bisa diterima oleh matanya. Ia menggerakkan tubuhnya, bangkit dari posisi tidurnya. Tapi, ambruk menimpa tanah yang keras tanpa daya.
"Auch!" Rintih Dee merasakan sengatan tajam menusuk sekujur tubuhnya. Alisnya yang berbentuk bulan sabit sempurna berkerut jelek, menahan beban sakit dan nyeri. Sakitnya tak tertahankan, meski hanya untuk gerakan lemah.
Dee memindai tubuhnya mencari sumber rasa sakitnya. Matanya menangkap memar mengerikan dengan warna biru dan ungu gelap pada kedua lengannya. Kuku-kuku cantik yang ia rawat selama ini sebagian patah, sebagiannya lagi tercerabut hingga daging merah muda di bawah kukunya terlihat jelas. Tapi, secara keseluruhannya tangannya sehat. Tidak ada tulang yang patah ataupun urat syaraf yang putus.
Matanya turun ke bawah menatap sedih celana panjang dengan model semi militer yang kini berubah jadi tidak berbentuk. Celananya sobek memanjang dari pergelangan kaki hingga lutut. Dari celah sobekan celananya, nampak jelas garis membujur yang membelah daging kakinya menjadi dua. Lukanya sangat dalam hingga menembus tulang keringnya. Darah mengucur deras dari belahan luka. Bau amis nan kuat menguar, mencemari udara.
Mata Dee membelalak bingung. Mungkin karena faktor terkejut, Dee kehilangan ingatan sebelum ia tidak sadarkan diri.
Apa yang telah terjadi? Mengapa tubuhku dipenuhi luka?
Itu pertanyaan pertama yang terlintas dalam benaknya. Terakhir kali yang ia ingat, ia berada di pinggiran hutan, sedang duduk seorang diri di bawah pohon rindang untuk istirahat sambil makan bekal. Lalu...
"Augh!" Rasa sakit yang luar biasa membanjiri kepalanya saat ingatannya perlahan kembali. Ia sampai harus menggigit bibirnya hingga berdarah untuk menahan nyeri yang menyengat. Saat sakitnya mulai berangsur-angsur hilang, Dee ambruk lagi. Tubuhnya lemas.
Dee ingat sekarang. Saat itu ia sedang istirahat. Tiba-tiba, ia diserang oleh siluman Barongan. Siluman itu menatapnya penuh kebencian dan ingin melihatnya mati. Ia dengan kejam mendorong tubuh lemahnya yang tidak bisa menjerat ayam ke dasar jurang.
Ya Allah! Ya Karim! Dee takjub. Kagum. Campur aduk jadi satu. Perasaannya rumit. Tidak terlukiskan.
Dee merebahkan diri di atas permukaan tanah. Kepalanya menengadah menatap langit yang mulai bersinar redup, menunjukkan jika ini sudah sore. Informasi yang diterimanya menunjukkan jika ia telah mengalami situasi yang sulit dan juga berbahaya. Ia telah diserang makhluk halus yang kelihatannya sangat kuat untuk alasan yang tidak ia ketahui. Namun, anehnya ia tidak merasakan rasa takut ataupun gelisah yang harusnya dirasakan oleh orang normal jika ia dihadapkan pada peristiwa seperti ini. Sebaliknya, ia justru merasa tenang dan juga damai. Tidak ada kekhawatiran sedikit pun terbetik dalam hatinya.
Dibandingkan rasa takut, Dee justru lebih dikuasai oleh rasa penasaran. Kenapa ia diserang oleh siluman? Ia telah menjalani hidupnya dengan hati-hati. Selalu jadi anak baik yang patuh pada orang tua dan juga guru. Ia tidak pernah menyengajakan diri mendatangi tempat-tempat wingit dan angker. Ia selalu memperhatikan pamali -percaya nggak percaya- kemana pun ia pergi. Lalu, kenapa ada siluman yang ingin membunuhnya?
Satu-satunya momen dimana ia bertemu dengan hal-hal yang ghaib adalah saat ia masuk ke dalam Gua Terawang dan mengambil (Baca nggak sengaja membawa) buku yang tergeletak dengan santainya di sana. Mungkinkah siluman itu marah padanya karena ia mengambil buku 'Sang Hyang Sabdo'?
Kulit wajah Dee berubah menjadi jelek. Ia merasa apes. Bukan keinginannya ia mengambil buku 'Sang Hyang Sabdo'. Ia dipaksa oleh sesuatu yang menghuni Gua Terawang. Tapi, gara-gara hal itu nyawanya terancam. Sial sekali kan?
Untungnya siluman Barongan yang menyerangnya itu sudah mati terbakar. Jadi, ia tidak lagi risau memikirkan bagaimana kalau ia diserang kembali di saat tubuhnya tidak dalam kondisi fit.
Dee melihat sekelilingnya bingung. Ia kan jatuh ke jurang. Sejauh-jauhnya tubuhnya terlempar nggak mungkin sampai tebingnya nggak kelihatan. "By the way. Ini dimana?" Katanya dengan mata yang berputar-putar.
Dahinya berkerut dalam. Bingung asli bingung. Ia tahu ia berada di hutan, tapi hanya pinggirannya. Tidak mungkin ia dikepung oleh pepohonan nan rapat seperti ini. Lagipula pohon-pohon yang tumbuh itu sejenis. Hanya ada pohon jati.
Sedangkan di sini... Matanya berputar-putar memindai dengan detail. Ini jelas-jelas bukan pohon jati. Di depannya ada pohon asam jawa, beringin, kedawung, kemlandingan, bahkan bungur dan dadap srep yang hanya pernah ia lihat di buku ensiklopedia karena jarangnya terlihat di sekitarnya.
So? Ini dimana? Di belahan dunia mana?
Hati Dee was-was. Rasa takut mencengkram hatinya dengan kuat. Ia takut jika ini bukan tempat yang dikenalnya selama ini."Hallo!" Teriaknya sekencang-kencangnya.
"Halloo..! Halloo..!" Suara gaung membalas teriakannya.
"Adakah orang di sini?"
"Sini..! Sini..! Sini..!"
Matanya memerah, namun dengan keras kepala Dee menahan air matanya. "Teman-teman! Kalian dimana?" Suaranya bergetar saat ia memanggil teman-temannya.
Tapi, hanya kesunyian yang menjawab pertanyaannya.
Jantung Dee berdegup kencang. Syaraf-syarafnya tegang. Setiap suara yang terdengar, tubuhnya akan terperanjat, menatap takut-takut sekitarnya. Pikirannya berantakan.
'Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ia ada di sini?'
Wajah Dee pucat pasi seperti selembar kertas karena ketakutan. Teman-temannya tidak mungkin meninggalkannya seorang diri terlantar di tengah-tengah hutan. Mereka pasti akan mencarinya. Terlebih setelah melihatnya terjatuh ke dasar jurang tepat di depan mereka. Namun, mereka dimana? Kenapa batang hidungnya tidak terlihat?
Dee bergerak perlahan sesudah kesemutan dan nyeri yang menusuk-nusuk dagingnya berkurang. Tangannya tanpa sengaja menampar tasnya yang resletingnya terbuka lebar.
Pluk! Suara buku terjatuh.
Tangan Dee yang kondisinya lumayan sehat meraih buku yang terjatuh dan mengangkatnya. Bukunya tebal setebal kamus Inggris-Indonesia versi original. Tapi, ringan. Sampulnya coklat gelap yang kusam hingga hampir hitam. Judulnya ditulis dengan tinta emas yang menyala.
'Buku Sang Hyang Sabdo,' ejanya dalam hati.
Dee cemberut. "Huh!" Gerutunya terganggu. "Gara-gara buku ini, aku jadi sial." Katanya dengan perasaan marah. Saking marahnya, ia sampai melemparkan buku itu jauh-jauh darinya ke udara.
Setelah terlempar, buku 'Sang Hyang Sabdo' tiba-tiba bersinar. Cahayanya terang menyilaukan mata. Ia mengambang di udara secara alami.
Jantung Dee berdegup kencang seakan-akan mau meledak setiap saat. Ia menghitung dalam hati jumlah detakannya. Tiap menit meningkat tajam dan kini menyentuh angka di atas normalnya. Dee menelan air ludahnya kasar untuk membasahi kerongkongannya yang kering. "Apalagi sekarang?" Cicitnya dengan nyali sebesar biji jagung.
Dee menatap was-was sekelilingnya, waspada pada setiap serangan menyelinap. Seumur hidupnya, ia belum pernah berada dalam situasi seberbahaya ini. Urat syaraf tegang. Setiap saat bisa meledak kapan saja.
Seperti mendapatkan sebuah pengampunan, sebuah suara yang berat milik seorang pria dewasa yang matang terdengar memenuhi hutan, menjawab pertanyaan dalam otaknya. " Selamat datang Sang Penjelajah Waktu di dunia buku 'Sabdo Sang Hyang'. "
Hah? Wajah Dee melongo. Mulutnya menganga lebar seperti seorang anak berkebutuhan khusus yang memiliki tingkat kecerdasan minus. Apa-apaan ini? Ini masih bumi yang dikenalnya selama ini, kan?
'Jangan-jangan ini suara siluman lain yang ingin memakannya?' Pikir Dee dengan tubuh tegang. Perasaan was-was berkecamuk dalam hati dan pikirannya. Tanpa ia sadari,genggaman jari-jemarinya pada gagang cambuk yang telah berjasa besar menyelamatkan nyawanya menguat. Ia adalah orang yang menghargai dirinya sendiri dan ia paling takut mati. Karena itu, meski ia lemah tanpa kekuatan apapun, ia tidak akan pasrah begitu saja tubuhnya disembelih.
"Aku bukan siluman dan aku tidak akan memakan makhluk jelek tanpa nilai spiritual sepertimu. Excuse me! Kamu tidak layak untuk tuan ini." Sebuah suara berdengung, terdengar jelas di kepalanya. Begitu dekat hingga ia memiliki delusi suara itu keluar dari dalam kepalanya.
Dahi Dee berkedut. Sombongnya. Kulit wajahnya berubah jelek. Oy bisa tidak kamu tidak sejujur itu? Setidaknya berilah aku sedikit wajah. Bagaimana pun ia tidak pernah menyinggungmu.
"Siapa bilang kau tidak pernah menyinggung? Kamu telah melempar Yang hebat' ini seakan-akan aku ini sampah." Tukasnya dengan nada yang sangat sombong, berasa seorang raja di raja.
Bulir-bulir keringat dingin menghiasi dahi Dee. Aih, buku aneh ini ngambek. Sulit dipercaya. Baru kali ini ia lihat ada buku ngambekan. Setelah dipikir-pikir, ini juga kali pertama ia lihat buku bisa bicara. Itu unbeliavable! Keajaiban.
Uhuk! Dee batuk untuk menutupi emosinya. "Apa kau bisa membaca pikiranku?"
"Pertanyaan tolol!" Suara sinis menjawabnya.
'Dia beneran marah.' Komentar Dee dalam hati. Ia tersenyum canggung. Agak bingung bagaimana harus berhubungan dengan buku Tsundere dan angkuh ini? "Ehem!" Ia berdehem sejenak dan lalu menatap buku yang masih mengambang, melayang-layang di udara. "Ini dimana?" Ini informasi penting yang sangat ingin ia ketahui.
"Dunia buku Sang Hyang Sabdo,"
"Boong, lho." Komentarnya refleks tanpa berfikir panjang.
"Kau buta? Di tanah Gua Terawang ini, apa kau pernah melihat lingkungan ini?" Sembur sang buku marah.
Jantung Dee seperti mau lompat, karena terkejut. Ia akui buku itu benar. Lingkungan ini sangat asing di matanya. Ia sepertinya tidak berada di dunia yang familiar.
"Tadi kau bilang dunia buku Sang Hyang Sabdo. Apa maksudnya? Ini bukan bumi yang ku tinggali?"
"Ini masih bumi, tapi di dimensi yang berbeda. Saat ini kau ada dalam dunia buku. Selama kau menyelesaikan misi utama, kau bebas. Jika gagal kau akan terjebak di sini selamanya. Kematian di dunia ini berarti kematian di dunia riil."
Dee lagi-lagi dibuat tercengang. Otaknya melayang pada percakapan dua orang juniornya. Mungkin buku ini yang dimaksud mereka. Akh, keberuntungannya benar-benar buruk. Diantara semua orang kenapa harus dia yang terpilih. Fisicly, ia tidak kuat. Tidak punya kekuatan spiritual. Tidak punya otak genius. Ia hanya orang umum yang biasa bertebaran di muka bumi. Tidak ada yang istimewa. Entah Dewa Wabah* mana yang ia singgung hingga ia menabrak biang masalah ini.
"Keberuntungan juga sebuah kekuatan. Kau di sini adalah bukti jika kau istimewa."
'Aku tidak menganggapnya demikian.' Bantah Dee dalam hati. Ia lebih suka jadi orang biasa, menjadi satu noktah biru diantara lautan warna biru yang membentang di langit. Meski biasa dan sulit diingat, setidaknya ia hidup dengan damai tanpa riuh rendah masalah dunia. "Apa tujuanmu? Kenapa kamu menarikku ke dimensimu?"
"Karena kamu orang yang terpilih untuk mengikuti sistem pembelajaran Sang Hyang Sabdo. Tolong, selesaikan misi dan bekerja keraslah!"
'Sistem pembelajaran atau sistem pembunuhan?' Cemoohnya. Belajar kok dipaksa. Masih mending kalau sistem belajarnya dengan mode normal seperti di sekolah-sekolah. Lah ini. Belajar bertahan hidup. Sangsinya itu lho, ngeri. Kegagalan berarti kematian. Siapa yang tidak jeri?
'Kenapa harus aku sih? Kenapa bukan Dolis saja? Ia pasti lebih sukses daripada aku,' Dee tanpa malu-malu menjual temannya.
"Dia gagal online. Tidak layak disebut."
Dee langsung kicep. Tidak bisa membantah. Ini dunia buku, hanya dia yang berhak membuat peraturan besi. Jika ia bilang ia layak, berarti ia layak. Tidak perduli dalam kehidupan nyata nilainya kurang mendekati minus. "Kau bilang ada misi. Apa misiku?" Tanya Dee dengan pasrah menerima kenyataan ini. Mau gimana lagi? Sudah terlanjur.
"Misi utama bantu Raja Airlangga mengalahkan Raja Wurawari."
Dee mengernyitkan dahinya. Raja Airlangga? Ini bukan nama raja pendiri kerajaan Kahuripan sebelum pecah menjadi kerajaan Panjalu dan Jenggala seperti yang ia pikirkan, kan? Raja Airlangga hidup sekitar tahun akhir 900-an hingga tahun 1000-an masehi. Sedangkan, ia hidup di abad milenium. Tahun 2018. Itu kan jauh sekali jaraknya.
Dee menggeledah kantong tasnya, mencari HP androidnya. Dengan cekatan membuka aplikasi waktu secara otomatis. Penanda waktu mundur hingga tahun 1980-an lalu eror. Aplikasi tidak sanggup membaca waktu yang lebih tua di bawa tahun 1980-an. "Ugh, sial!" Umpatnya.
Tangannya beralih menekan aplikasi maps untuk menunjukkan lokasi tempat ia berada saat ini. Serius. Ia masih di lokasi yang sama sebelumnya. Tanah yang dipijaknya masih tanah Blora. Di daerah Todanan. Gua Terawang.
Berarti..., ia memang terlempar ke dunia kuno, dunia dimana Dewa-Dewi hidup dalam hati dan kepala para manusia. Dunia dimana hanya yang tinjunya paling keras, tenaga dalamnya paling kuat, serta ilmu kanuragannya paling lihai yang diakui. Tiga hal yang tidak Dee punyai.
"Tidak-tidak. Ini tidak benar. Pasti ada yang salah dengan ini. Nggak mungkin aku terlempar di masa lalu sebab waktu hanya bisa maju. Tidak bisa mundur. Mustahil aku hidup di jaman dunia sihir dan persilatan." Dee dalam mode penyangkalan.
Dee menatap sengit buku Sang Hyang Sabdo! Penuh kebencian. Jika ia punya kesempatan, ia akan membakarnya.
"Host ditemukan punya niat buruk pada sistem. Mode hukuman diaktifkan."
Hahh! Dee belum sempat mencerna, namun langit berubah mendung. Angin ribut menerpa tubuhnya.
Jegler!
Dee menjerit. Tubuhnya sudah penuh memar dan luka, ditambah disambar petir. Sakitnya meningkat secara eksponensial. Sakitnya mencengkram kepala hingga rasanya otaknya meleleh. Lalu, karena tidak tahan, ia terjatuh dalam kegelapan.
"Hukuman selesai. Nilai tubuh F. Memori nol. Host silakan tunaikan misi!"
Dee belum benar-benar pingsan ketika ia mendengar buku sialan itu bicara. Tapi, dengan memori nol, ia kesulitan mencerna maksudnya. Selanjutnya ia menyerah dan jatuh sangat dalam, dalam kegelapan.
Ketika ia membuka matanya lagi, hari sudah beranjak siang. Dee bangun dengan wajah kosong. Memori percakapannya dengan buku hilang begitu saja usai disambar geledek. Ia hanya ingat ia jatuh ke dalam jurang dan adegan ia bertanya-tanya dimana dia berada dan dimana teman-temannya terulang kembali.
Walaupun, ia sangat dirugikan dengan dikurangi nilai fisik dan tingkat memori yang membuatnya tidak tahu apa-apa, sisi baiknya memar dan luka-luka di tubuhnya secara perlahan sembuh. Darahnya tidak lagi mengalir. Goresan lukanya menunjukkan tanda-tanda menyatu, membentuk lapisan kulit baru yang berwarna merah segar. Hanya nyeri yang belum berkurang.
Catatan Kaki :
Dewa wabah di sini berarti ia tersandung kesialan.