Lizzy menganga. "Sa-Saga k-kau ... ke-kenapa kau mengikutiku?! Aku pikir kau seorang penguntit!" Awalnya Lizzy gugup namun seterusnya bernada amarah. "Aku khawatir jadi aku mengikutimu. Bagaimana kau tahu kalau aku mengikutimu?"
Lizzy mendengus kesal. "Saat di bus, aku mencium aroma parfum maskulin dan aku lalu menarik kesimpulan. Ada seorang laki-laki di belakangku." Saga mengangguk pelan dan memegang wajahnya yang masih kebas karena ulah Lizzy.
"Aww." ringis Saga ketika tangannya tak sengaja menyentuh bagian pipinya yang membiru. Lizzy membuang napas pendek dia menjulurkan tangannya di depan Saga. Saga lantas mendongak menatap penuh tanda tanya pada Lizzy.
"Ayo pegang tanganku, aku bantu kau berdiri." Saga mengerjapkan matanya dan menerima huluran tangan Lizzy kemudian berdiri. "Maafkan aku.." Saga melebarkan matanya kepada Lizzy yang tak menatapnya.
"Maafkan aku karena sudah menuduhmu menjadi penguntit dan sudah memukulmu." lanjut Lizzy kali ini dia memandang Saga. Rasa bersalah tampak di wajah cantiknya dan bukan itu saja yang membuat Saga terkejut bukan main. Tangan Lizzy menyentuh luka di wajah Saga.
"Apa sakit?" Wajah Saga memanas begitu mendengar pertanyaan Lizzy. Pasalnya, baru kali ini Saga mendapat perhatian dari Lizzy. Saga mengangguk dengan rona di wajah. Senyuman menawan juga tampilkan oleh Saga.
Lizzy mengerucutkan bibir dan cepat-cepat menarik tangannya dari wajah pria itu. "Aku masih tak percaya kau mau menunda pekerjaanmu di kantor hanya untuk mengawasiku dalam keadaan baik-baik saja?"
"Kenapa tidak?" sahut Saga cepat. "Aku suamimu, aku harus menjagamu." Lizzy memulas senyum miris. Selama ini saudaranya tidak pernah mendapat perhatian bahkan sering dijahati oleh Saga dan ini adalah pertama kalinya Saga mengaku bahwa dia adalah suami Lisa.
"Sudahlah Saga, berhentilah menunjukkan perhatianmu dariku. Sebentar lagi kita akan bercerai dan aku tak mau menjadi wanita bodoh untuk kesekian kalinya." Tubuh Saga seperti tersambar petir. Dia pikir Lizzy yang Saga pikir adalah Lisa sudah melupakan tentang perceraian dengan dirinya.
Bukankah perceraian ini adalah keinginan Saga? Lalu kenapa Saga kecewa? Dengan pikiran yang melayang, Saga tak tahu kalau Lizzy sudah menjauh darinya. "Tunggu aku!" seru Saga. Dia mengambil langkah cepat mengejar Lizzy.
"Kita mau kemana?" Lizzy menekuk dahinya dan memandang tak suka pada Saga. "Kenapa? Mau ikut denganku?" Saga sontak mengangguk. Lizzy membalas dengan decakan sebal.
"Awalnya sih, tapi karena kau ada aku malas sekarang." sahut Lizzy bernada malas. Saga merengut.
"Ayolah, hari ini aku libur jadi bisa pergi sama kamu." Lizzy menunjukkan senyuman sinis mendengar pintaan manja dari Saga.
"Jangan sok manja deh sama aku pria mesum. Akan lebih baik kalau kamu pergi tuh sama semua mainan kamu." ejek Lizzy dan tertawa kecil.
"Tidak lucu tahu!" kecam Saga tiba-tiba. Lizzy hanya menggelengkan kepalanya karena sikap Saga yang berubah-ubah. Tiba-tiba selintas ide yang dirasa oleh Lizzy cukup menguntungkan untuknya.
"Ah ya, aku lupa. Karena kau ada di sini, ayo kita ke bioskop aku ingin menonton sebuah film baru." ujar Lizzy tiba-tiba. Belum Saga menjawab, Lizzy menarik tangannya menuju mall.
Memesan tiket dan membeli popcorn, mereka masuk ke dalam sebuah ruangan di mana film akan diputar. Saga terus memperhatikan Lizzy yang saat itu tengah tersenyum lebar menatap layar putih yang menampilkan film.
Sesekali Lizzy mengunyah popcorn dan menyodorkannya pada Saga tanpa menolehnya. Setelah film selesai, Lizzy berbelanja dengan Saga. Membeli parfum, baju dan lain-lain yang disukai olehnya. Dia tak perlu khawatir soal berapa banyak uang yang dia habiskan karena Saga akan membayarnya.
Dia juga membelikan beberapa barang untuk Lisa. Lizzy senang sebab gadis berusia 22 tahun itu memanfaatkan Saga dengan mudah tanpa memaksa pria itu sekalipun toh dia tak protes sama sekali.
"Ah, senangnya bisa berbelanja." ungkap Lizzy sambil tersenyum puas. Matanya lalu jatuh kepada Saga yang berjarak jauh. Kedua tangannya menenteng banyak sekali tas belanjaan Lizzy.
"Cepat jalannya! kamu itu laki-laki atau bukan sih?!" omel Lizzy kepada Saga. Saga sangat kesal mendengar omelan Lizzy yang enteng sekali.
"Apa kau tidak berpikir ini ulahmu sendiri tahu?! Aku yang jadi korban di sini sial! Kau menghamburkan uang di kreditku dan sekarang kau menjadikanku seperti asistenmu dengan membawa barang-barang belanjaanmu!" teriak Saga penuh kemarahan.
"Siapa suruh kau mengikutiku?" sahut Lizzy tenang. Lizzy memalingkan kepalanya ke samping.
Menatap panorama matahari terbenam yang agak tertutup dengan bangunan-bangunan megah Ibu kota sehingga seperti menampilkan cahaya di sebuah celah. Cukup mempesonakan dan membuat Lizzy betah melihat pemandangan itu.
Saga akhirnya sampai dengan napas ngos-ngosan dan setelah menaruh barang belanjaan di tanah Saga ikut juga memandang panorama tersebut.
"Tak terasa sudah sore ya, kita jalan-jalan terlalu lama seperti berkencan." Lizzy sontak menoleh pada Saga dengan tatapan datar.
"Aku tak akan pernah mau berkencan denganmu." Perkataan tersebut menusuk hati Saga yang awalnya senang.
"Memangnya kamu sangat membenci aku sampai-sampai kau tak mau berkencan denganku?" Nada sedih terdengar dari pertanyaan Saga. Raut wajahnya pun menunjukkan kekecewaan.
"Ya, aku sangat membencimu, membencimu sampai aku ingin membunuhmu.." kata Lizzy dan kembali memandang matahari terbenam lagi. "Coba saja kalau orang tuamu tak datang untuk membawa lamaran atau kita tak jadi nikah, mungkin semua tak akan jadi seperti ini. Aku tak membencimu atau mungkin kita tak akan saling mengenal."
Tanpa sadar tangan Lizzy terkepal hingga memutih. Dia kembali mengingat apa yang terjadi pada Lisa. Begitu malang nasibnya. "Itu salahmu juga, kenapa kau membuatku tertarik pada saat pernikahan kita di ujung tanduk?" Gumam Saga pelan tapi bisa didengar Lizzy walau hanya bisikan kata yang tak berarti.
"Apa yang kau katakan?" Saga terkejut dan menoleh pada Lizzy. "Bukan apa-apa," ucap Saga tersengih.
"Benar kau tak bicara apa-apa?" Saga mengangguk sebagai jawaban. Keduanya diam sambil menatap satu sama lain. Lizzy dengan pandangan menyelidik ke arah Saga dan Saga yang menatap lekat pada Lizzy.
Saga perlahan tapi pasti mendekatkan wajahnya pada Lizzy sementara Lizzy bergeming dari tempatnya berdiri. Kedua mata Saga menjatuhkan pandangannya ke bibir Lizzy hendak mencium bibir tersebut.
Jarak mereka makin menipis dan bibir Saga semakin dekat, semakin dekat lagi dan...
Dering telepon Lizzy berbunyi mengejutkan keduanya. Lizzy segera mengambil ponsel dan menjauh dari Saga yang menampakkan raut wajah masam. "Halo,"
"Halo, Lizzy.." Dari suaranya Lizzy mengetahui Dimas sedang senang. "Ada kabar baik tentang Lisa dan aku mau kau beserta orang tuamu datang ke sini besok."
"Baiklah, aku akan datang besok. Terima kasih." Lizzy kembali memandang Saga yang masih mempertahankan raut wajahnya.
"Saga, ayo kita pulang. Besok dan selanjutnya aku tak mau ya kau mengikutiku lagi." Saga mendengus kesal.
"Ya aku tahu." jawab Saga sambil menenteng lagi tas belanja Lizzy dan mendekati Lizzy. "Ayo kubantu." kata Lizzy. Gadis itu mengambil beberapa tas belanjanya dari tangan Saga. Mereka lalu pulang ke apartement dengan taksi yang mereka pesan.