"Turun," perintah Geni. "Kita sudah sampai."
Raina mengikuti perintah Geni tanpa mengatakan apapun dan tertegun saat melihat pemandangan di depannya.
Geni tersenyum. "Apa kamu menyukainya?"
Raina menoleh ke arah Geni. "Aku rasa kamu memiliki beberapa kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan tempat romantis."
Senyuman Geni memudar. "Apa kamu tidak menyukainya?"
Raina menatap jurang di bawahnya dan paus-paus yang terbang di atas langit dengan tatapan mati rasa. Ya, itu benar-benar paus dalam artian harfiah. Paus yang seharusnya hidup di laut, sekarang sedang terbang di atas kepalanya.
"Kalau aku seseorang yang berpikiran sempit, aku mungkin akan berpikir bahwa kamu mencoba membunuhku."
Geni memanyunkan bibir. "Intinya, kamu menyukainya atau tidak?"
Raina mengangguk. "Ini menarik," komentarnya. "Aku belum pernah melihat pemandangan menakjubkan seperti ini sebelumnya."
Geni tersenyum lebar. "Itu bagus."
Sistem: "..."
( ̄ε ̄)
Jangan tatap aku! Aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Amelia," ucap Geni yang tiba-tiba terdengar serius. "Apa kamu mau menjadi istriku?"
Raina: "..."
Sistem: "..."
Raina melirik bar cinta Geni yang meningkat hingga mencapai empat puluh persen. "Sistem, ini mencurigakan."
"Huh? Ada apa?"
"Dia melamarku di saat bar cintanya saja tidak mencapai setengahnya. Ini aneh. Aku yakin dia pasti memiliki motif lain."
"Lalu apa? Ini kesempatan yang bagus. Bahkan kalau sekarang dia tidak mencintaimu, kamu bisa mulai menumbuhkan perasaannya saat kalian bersama nanti."
"..."
"Tuan, terima saja." ucap sistem menyarankan. "Kita akan memiliki kesempatan yang lebih besar kalau kamu menghabiskan lebih banyak waktu dengannya."
Raina ragu-ragu untuk tiga detik sebelum meraih gulungan di tangan Geni yang disodorkan padanya. "Apa ini?"
"Ini segel Estri," ucap Geni. "Istriku harus memiliki segel ini."
Geni mundur dua langkah saat Raina menatapnya. "Apa? Kamu sudah mengambilnya dan kamu tidak bisa mengembalikannya. Ini takdirmu, oke?!"
Raina berkedip. "Siapa yang mau mengembalikannya?"
Geni menatap Raina dengan tatapan kosong. "Kamu tidak mau mengembalikannya?"
Raina menggeleng.
"Apa kamu akan membuangnya?"
Raina menggeleng.
"Atau.. atau mungkin kamu akan memberikannya pada orang lain?! Kamu tidak bisa melakukan semua itu, oke?! Kamu harus menjadi istriku. Titik!"
Raina tersenyum. "Ya, aku akan menjadi istrimu."
Geni menatap Raina dengan tatapan kosong.
***
Satu jam kemudian...
Geni mendorong pintu kamar di hadapannya dengan kasar, membuat pria tinggi kurus yang sedang merebahkan diri di kasur tersentak.
"Apa yang kamu lakukan?" protes Toya yang melihat Geni memasuki kamarnya dengan sembarangan. "Tidak bisakah kamu mengetuk pintu terlebih dahulu?!"
Geni duduk di hadapan Toya. "Dia menerimaku," ucapnya dengan datar.
"Siapa? Wanita itu?"
Geni mengangguk. "Dia bahkan tidak terlihat keberatan sedikit pun," ucapnya.
"Oh, selamat kalau begitu," ucap Toya.
Geni menggeleng. "Tidak. Ini mencurigakan," ucapnya dengan serius. "Kami belum mengenal untuk waktu yang lama tapi dia menerimanya begitu saja. Aku rasa dia memiliki motif tersembunyi."
Toya terdiam.
"Bagaimana pendapatmu?" tanya Geni.
"Kenapa kamu tidak mencoba melihat dari perspektif wanitamu?" Toya balik bertanya.
"Huh?"
"Bayangkan, seorang pria asing tiba-tiba melamarmu," ucap Toya. "Apa kamu tidak merasa curiga?"
"Lalu kenapa dia menerimaku?"
"Lalu kenapa kamu melamarnya?"
Geni tidak tahu harus berkata apa.
Toya mendengus. "Kalian berdua sama-sama aneh," komentarnya. "Serasi sekali."
Geni terdiam.
"Jadi, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Toya.
"Aku sudah melamarnya. Tentu saja aku harus menikahinya."
Toya menatap Geni. "Aku tidak percaya kalau kamu akan menikah terlebih dulu dibandingkan aku."
Sudut bibir Geni berkedut saat mendengar ini. "Apa aku seburuk itu di matamu?"
"Siapa wanita itu? Kamu membuatku penasaran." Toya sepertinya tidak menghiraukan pertanyaan Geni.
"Kamu mengenalnya," ucap Geni.
Toya menaikkan alisnya. "Sungguh?"
Geni tersenyum. "Ya. Meskipun aku pikir dia tidak akan mengingatmu."
Toya mengerutkan kening. Matanya membulat saat teringat sesuatu. "Jangan bilang kalau itu seperti apa yang aku pikirkan," ucapnya hati-hati.
Senyum Geni melebar. "Itu seperti apa yang kamu pikirkan."
***
Kresna duduk berhadapan dengan Raina. Dia mengerutkan kening saat matanya jatuh ke gulungan di tangan Raina. "Apa itu?"
Raina membuka gulungannya, menunjukkan segel rumit yang ada di dalamnya.
Kresna menatap segel itu dengan tatapan horor. "Itu... itu... Bukankah itu segel untuk itu?"
Raina mengangkat alisnya. "Guru, kamu tahu tentang ini?"
Kresna mengangguk. "Kamu... kamu akan menikahi pria bajingan itu?!"
"Hitam, siapa yang kamu panggil bajingan?"
Kresna meringis saat mendengar nada main-main yang tidak asing lagi baginya. "Uh, hai, Geni," sapanya saat melihat Geni yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. "Aku pikir kamu pergi bermain ke kastil."
"Ya. Dan lihat, aku hanya bermain sebentar tapi kamu sudah mulai mengatakan hal-hal buruk tentangku di depan calon istriku. Apa yang akan terjadi kalau aku pergi untuk waktu yang lama? Tidakkah kamu akan membawanya pergi?"
Kresna memutar mata. "Kamu terlalu berlebihan," komentarnya. "Dasar ratu drama."
Geni cemberut. "Amelia, lihatlah, dia menyebutku ratu drama!"
Raina menarik Geni supaya pria itu duduk di sampingnya. "Guru, dia calon suamiku. Aku akan membelanya kalau kamu mencoba mengganggunya," ucapnya pada Kresna.
Geni tersenyum lebar tapi Raina yang memegang tangannya bisa merasakan bahwa tubuh pria itu menegang.
Kresna menatap Raina dengan mata melotot. "Sebagai gurumu, aku tidak akan merestuimu," ucapnya tegas. "Lagipula, apakah kamu sudah membicarakan ini dengan orang tuamu?"
Geni dan Raina saling bertukar tatapan.
"Aku... perlu melakukannya?" tanya Raina.
Kresna tak tahu harus berkata apa.
Raina menatap Geni. "Kalau begitu, kita harus menemui orang tuaku."
Senyuman Geni membeku. "Kita? Aku juga ikut?"
Raina: "..."
Kresna: "..."
Pada akhirnya, Kresna memutuskan untuk mengikuti Raina dan Geni ke wilayah manusia. Dengan cara kerja otak Geni dan Raina, dia tidak bisa membayangkan kekacauan apa yang terjadi di rumah orang tua Amelia jika dia tidak ikut bertindak. Semalam dia bermimpi buruk dan tidak bisa tidak khawatir karenanya.
"Hitam," panggil Geni pelan.
Kresna mengangkat kepalanya dan melihat Geni yang menatapnya dengan cemas. "Apa?" tanyanya sebal.
Geni sepertinya tidak keberatan dengan nada bicara Kresna. Dia duduk di depan kucing hitam itu dan mendekatkan diri padanya. "Bagaimana kalau orang tua Amelia tidak menyetujuinya?" tanyanya setengah berbisik.
Kresna menjilati bulunya dengan tidak peduli. "Itu terdengar lebih baik."
"Hitam!" Geni mendesis.
"Apa kamu benar-benar ingin menikahinya?" tanya Kresna.
Geni mengangguk. "Kalau tidak, mengapa aku melamarnya?"
Kresna menatap Geni untuk waktu yang lama. "Ikuti aku," ucapnya lalu berbalik pergi tanpa menunggu Geni.
Raina yang baru saja selesai mandi tidak sengaja melihat ini dan merasa aneh tapi tidak mengatakan apapun.
Tak lama kemudian, Kresna dan Geni keluar dari kamar Kresna.
"Oh, Amelia, apa kamu sudah siap?" tanya Geni.
Raina mengangguk.
"Oke, ayo, berangkat!"
***