Chereads / Sistem Transmigrasi: Cinta Pertama Tuan Penjahat / Chapter 25 - Istri Kecil Raja Setan (24)

Chapter 25 - Istri Kecil Raja Setan (24)

Geni tiba-tiba menghentikan kendaraannya di tepi kota. "Tunggu di sini," ucapnya. "Aku akan segera kembali."

Raina menatap Geni yang turun dari kereta kuda dalam diam.

Kresna melirik Raina. "Apa kamu tidak merasa penasaran?" tanyanya.

Raina menggeleng.

"Oh? Benarkah?" Kresna menatap Raina dengan senyuman miring di wajahnya. "Dia calon suamimu. Apa kamu tidak ingin tahu apa yang dia lakukan?"

Raina mengulas senyuman tipis. "Jika aku menikahi seseorang, aku tidak akan mengontrolnya. Dia bisa melakukan apa yang dia mau. Tindakannya akan mengatakan padaku berapa banyak dia menghormati hubungan kami."

Kresna mengangguk mengerti. "Itu prinsip yang bagus."

Sistem memperhatikan senyuman tuannya. "Tuan, aku pikir kamu buta dalam hubungan. Aku tidak menyangka kamu memiliki prinsip semacam itu."

"Prinsip apa? Aku hanya mengutip dari buku yang aku baca."

"..." Dia seharusnya tahu ini.

Geni membuka pintu kereta dengan terburu-buru. "Maaf, mungkin kamu harus menunggu sedikit lebih lama. Ada beberapa urusan yang harus aku urus," ucapnya sambil tersenyum meminta maaf.

"Tidak masalah. Aku sudah menunggumu selama enam belas tahun. Menunggumu beberapa jam lagi bukan masalah besar."

Wajah Geni memerah saat mendengar ini.

Kresna: "..." Sialan! Apakah aku akan menjadi obat nyamuk di sini?!

"Ini," ucap Geni sambil menyerahkan sekantong makanan ringan. "Aku ingat kamu belum sarapan."

"Oh, terima kasih. Kamu begitu perhatian," ucap Raina.

"Aku rasa kamu melupakanku?" sahut Kresna.

Geni menoleh ke kursi belakang dimana Kresna sedang berbaring dengan manja. "Aku tidak memiliki makanan kucing," ucapnya dengan senyuman.

Kresna: "..." Bajingan.

"Apa kamu mau?" tanya Raina sambil menawarkan sekotak cokelat.

Kresna menatap cokelat itu dengan tatapan datar. "Apa kamu tidak tahu kalau cokelat bisa membunuh kucing?"

Dia berbalik ke arah Geni. "Kamu pasti melakukan ini dengan sengaja," ucapnya.

Geni tersenyum. "Kamu berpikir terlalu banyak."

"Amelia. jangan keluar kereta, oke?" ucapnya mengingatkan sekali lagi sebelum berbalik pergi.

Raina meletakkan cokelat tadi setelah memastikan bahwa Geni sudah tidak bisa melihatnya.

Kresna melihat Raina yang menutup mata dan mengerutkan kening. "Kamu tidak akan memakannya?" tanyanya.

"Aku tidak terlalu suka makan," ucap Raina tanpa membuka matanya.

"Lalu kenapa kamu menerimanya?" tanya Kresna meskipun dia bisa menebak alasannya.

"Karena itu membuatnya senang," ucap Raina.

Kresna tidak bertanya lagi. Dia hanya menatap langit-langit kendaraan dengan tatapan kosong.

Raina juga sepertinya sudah tertidur karena Kresna bisa merasakan napasnya yang berubah menjadi stabil.

Jadi, saat Geni kembali, dia melihat dua orang yang ada di dalam mobil tertidur dengan pulas. Dia menggeleng pelan sambil menahan senyuman karenanya.

Dengan hati-hati, Geni mulai menjalankan kendaraan. Dia sebenarnya tidak menyukai barang-barang sihir seperti ini dan lebih suka menggunakan mantra teleportasi tapi Raina sepertinya begitu tertarik dengan barang-barang ini. Um, mungkin dia akan lebih sering menggunakannya mulai saat ini.

Untungnya, dia sudah bertanya pada Raina tentang alamat tempat tinggal orang tuanya kemarin sehingga dia tidak perlu membangunkan gadis itu sekarang.

Hanya membutuhkan waktu tiga jam bagi mereka untuk sampai di kompleks militer tempat tinggal orang tua Amelia. Itu hampir tiga kali lebih lambat dibandingkan jika mereka tidak menggunakan teleportasi tapi Geni tidak menyesal karena dia bisa memandang wajah Raina sepuasnya selama perjalanan.

Geni melirik Raina yang masih tertidur dan merasa tidak tega untuk membangunkannya saat melihat raut mukannya yang begitu tenang. Itu terlihat jauh lebih baik daripada senyuman palsu yang biasa gadis itu kenakan di depannya.

Geni menggelengkan kepala. Apa sih yang sebenarnya dia pikirkan?

"Amelia?" panggil Geni dengan lembut. "Hei, kita sudah sampai."

Mata Raina segera terbuka lebar saat merasakan seseorang menyentuh tubuhnya. Dia menatap tangan yang menepuk-nepuk bahunya dengan waspada.

"Amelia?"

Raina mengalihkan tatapannya dan matanya melembut saat melihat Geni. "Oh, hai, apakah kita sudah sampai?"

Geni berkedip. "Ya, kita sudah ada di depan kompleks militer. Yang mana rumah orang tuamu?"

Raina mencoba mengingat lokasi rumah dari ingatan tubuh asli sebelum mengarahkan Geni ke kompleks sisi barat.

"Berhenti," perintah Raina. "Itu rumahnya."

Geni menatap rumah yang ditunjuk Raina dan mengangguk saat melihat sebuah gerbang yang terlihat tidak jauh berbeda dari rumah-rumah lainnya. "Ayo, aku sudah tidak sabar bertemu dengan mereka," ucap Geni sambil membuka pintu kereta.

Raina mengangkat salah satu alisnya saat melihat tingkah Geni yang tidak mencerminkan ucapannya.

Kresna terbangun saat mendengar keributan yang dibuat Geni dan Raina. "Uh, apa kita sudah sampai?" tanyanya dengan linglung.

Raina mengangguk. "Ya, turunlah."

Kresna mengubah wujudnya ke bentuk manusia sebelum keluar dari kendaraan.

"Ayo," ajaknya dengan malas, terlihat masih mengantuk.

Geni melirik jam sakunya. "Ayo," ucapnya sambil menggandeng tangan Raina.

Pria tua yang menjaga pintu gerbang terlihat terkejut saat melihat Raina. "No-nona muda!" sapanya dengan hormat.

Raina mengangguk sebagai bentuk pengakuan.

Pria tua itu segera membukakan gerbang setelah meyakinkan dirinya bahwa gadis di depannya memang nona mudanya. Ini mengejutkan karena nona muda biasanya tidak akan pulang kecuali jika nyonya besar menjemputnya.

"Apakah ayah dan ibu ada di dalam?" tanya Raina.

Pria itu mengangguk. "Mereka ada di dalam," ucapnya. "Kebetulan Menteri Kanan dan putranya datang berkunjung."

Raina mengerutkan kening. "Menteri Kanan?"

"Apa kamu mengenalnya?" tanya Geni.

Raina mengangguk. Dia pernah melihat ke dalam ingatan tubuh asli dan mengingat dengan jelas bahwa putra Menteri Kanan merupakan seorang anak yang lebih tua dua tahun daripada dia. Dan yang paling penting, anak itu selalu menggertak Amelia sejak kecil, membuat Amelia yang asli memiliki trauma ringan dan selalu dibayang-bayangi oleh anak itu.

Geni melihat mata Raina dan tahu bahwa itu bukan sesuatu yang bagus. "Bagaimana kalau kita menunggu mereka selesai saja?" ucapnya menyarankan.

Raina berpikir sejenak sebelum mengangguk. "Mari kita tunggu mereka di paviliunku," ajaknya.

Kresna hanya mengikuti mereka, tidak merasa keberatan sedikit pun. Yah, dia tidak keberatan asalkan mereka tidak membuat masalah. Uh, kenapa dia merasa bahwa dia sedang mengasuh seorang anak?

Raina memicingkan mata saat melihat sosok hitam yang duduk di paviliunnya.

Geni juga melihat sosok itu dan merasa familiar dengannya. "Siapa itu?" tanyanya.

Sosok berjubah hitam itu mengangkat kepalanya saat melihat kedatangan mereka. "Bayiku!" serunya sambil berlari menghampiri Raina dengan tangan yang terbentang lebar.

Raina refleks bersembunyi di balik tubuh Geni saat menyadari siapa sosok itu.

Geni menyipitkan matanya saat melihat pria yang menatap Raina dengan cemberut. Dia akhirnya bisa mengingat dengan jelas saat melihat rambut hitam milik pria itu yang dikuncir tinggi.

Pria androgini ini adalah Dwi, putra kedua Menteri Kanan.

Geni pernah berpapasan dengannya secara tidak sengaja saat mengikuti ayahnya membuat perjanjian perdamaian dengan wilayah manusia beberapa tahun yang lalu.

"Bayiku, aku merindukanmu!" seru Dwi.

Raina semakin menjaga jarak dengannya. "Terima kasih. Sayangnya, aku tidak."

Mata Dwi menajam saat mendengar apa yang Raina katakan. "Sepertinya kamu sudah tumbuh dewasa, huh? Kamu bahkan berani berbicara padaku," ucapnya dengan nada suram.

Geni mencoba menghalangi saat pria itu mencoba meraih Raina. "Dia seorang gadis. Bersikaplah lebih lembut," ucap Geni dingin.

Dwi menatap Geni dari atas ke bawah. "Siapa kamu?" tanyanya. "Kamu terlihat tidak asing."

"Bukan urusanmu," jawab Geni singkat.

Alis mata Dwi terangkat saat melihat simbol ular di lengan jubah Geni. "Oh, seseorang dari wilayah setan?" tanyanya dengan nada meremehkan.

Wajah Geni menggelap saat mendengarnya.