Chereads / Sistem Transmigrasi: Cinta Pertama Tuan Penjahat / Chapter 28 - Istri Kecil Raja Setan (27)

Chapter 28 - Istri Kecil Raja Setan (27)

Raina langsung melemparkan dirinya ke kasur saat dia sampai di kamarnya.

Jonathan, maniak gila itu, terus-menerus memaksanya untuk menemaninya menyelesaikan ramuan yang dia buat. Dia bahkan mengabaikan wajahnya yang sudah memucat karena kelelahan. Benar-benar guru yang tidak berperasaan.

"Kamu terlihat seakan-akan bisa mati kapan pun."

Raina mengangkat kepalanya dan melihat Geni yang entah sejak kapan sudah berbaring di sampingnya.

"Aku sudah mati." Ya, dia sudah mati sekali sebelum terikat dengan sistem dan mungkin dia akan mati lagi nanti.

Geni tertawa pelan. Dia tidak tahu dan hanya menganggap ucapan Raina sebagai sebuah lelucon. "Apa kamu sudah makan?"

Raina menggeleng. Dia bahkan tidak bisa keluar dari laboratorium. Bagaimana dia bisa makan?

"Ayo, kebetulan ada restoran enak di dekat sini. Aku juga ingin mengajakmu ke penjahit setelahnya."

"Penjahit?" Raina menatap Geni dengan penuh tanda tanya.

Geni menyeringai. "Ya, aku ingin membuatkan gaun pernikahan untukmu."

Dan pada saat itu Raina baru teringat bahwa mereka akan menikah bulan depan.

Itu bisa dibilang cepat dan terkesan terburu-buru tapi dia sudah tahu apa alasannya.

Geni ingin naik tahta dan dia membutuhkan seorang istri untuk memenuhi syarat terakhirnya.

Kalau bukan karena bar cinta yang lebih dari enam puluh persen, dia mungkin akan berpikir kalau pria itu hanya ingin memanfaatkannya. Meskipun dia yakin kalau tujuan awal pria itu memang memanfaatkannya.

Sistem yang ada di benak Raina tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar saat mendengar pikiran gadis itu. "Itu seakan-akan kamu tidak memanfaatkannya, huh?"

Raina tersenyum miring tapi tidak membalas.

"Ayo! Apa kamu tidak sanggup berdiri?" seru Geni.

Raina mendesah.

Sebelum dia bisa menjawab, dia merasakan tubuhnya terangkat dan berada di atas udara. Dia langsung meraih sesuatu untuk menjaga dirinya supaya tidak terjatuh dan berakhir dengan meraih leher Geni.

"Kamu..."

Seringai Geni melebar saat melihat gadis yang dia gendong melingkarkan kedua lengannya di lehernya. "Lihatlah, betapa murah hatinya aku," ucapnya sambil membawa Raina keluar kamar. "Aku begitu memanjakanmu hingga di titik seperti ini."

Raina tidak bisa berkata-kata saat melihat Geni yang terus memuji dirinya sendiri. Bukankah di saat-saat seperti ini seharusnya dia mengatakan hal-hal yang romantis atau mungkin memujinya? Kenapa dia malah memuji dirinya sendiri?!

Ganesha yang kebetulan melewati tempat itu melihat adegan ini dan wajahnya memburuk. Matanya secara tidak sengaja bertemu dengan mata Geni tapi dia segera membuang muka dan berbalik pergi.

Raina melihat Geni yang tiba-tiba terdiam dan mengangkat kepalanya. Dia melihat pria itu terpaku dan matanya mengikuti arah tatapannya tapi dia tidak melihat apapun.

"Ada apa?" tanyanya kemudian. "Apa kamu melihat hantu?"

Geni mengedipkan matanya. "Lebih buruk dari hantu," gumamnya lalu menatap Raina yang terlihat kebingungan.

"Ternyata kamu lebih baik dari itu."

Raina: "..." Apa maksudmu? Apa kamu mencoba mengatakan kalau aku lebih buruk dari hantu?

Geni tertawa saat melihat Raina yang cemberut. "Ah, aku sekarang tahu kenapa orang-orang ingin memiliki istri," ucapnya. "Ini terasa menyenangkan untuk menggodamu."

Raina merasa ingin meninju wajah tampan Geni tapi dia tidak mau menyia-nyiakan tenaganya. Jadi, dia hanya bisa mengeluh dalam hati. Aku calon istrimu, bukan mainanmu!

Mereka berdua mendapatkan banyak tatapan dari siswa dan guru yang lewat tapi mereka tidak memperdulikannya. Geni terlalu sibuk menggoda gadis di gendongannya dan Raina terlalu sibuk menekan keinginan membunuhnya.

"Romantis sekali," komentar Sinta saat melihat Raina yang digendong dengan gaya ala tuan putri.

Jonathan yang ada di sampingnya mendengus. "Mengerikan."

Wajah Sinta menghitam. "Apa maksudmu mengerikan? Apa kamu tidak menyukai perempuan?"

Jonathan dan Sinta terdiam saat mendengar kalimat terakhir wanita itu.

Sinta diam-diam mengumpat dirinya sendiri dalam hati. Apa yang baru saja aku katakan ah! Aku pasti akan dicap sebagai orang aneh sekarang! Sinta, kamu idiot! Bodoh! Bodoh! Bodoh!

Jonathan mengangguk. "Aku memang tidak suka perempuan."

Sinta tercengang saat mendengar jawaban yang di luar perkiraannya. "Kamu... gay?" ucapnya setengah berbisik. "Itukah kenapa selama ini kamu tidak menganggap perasaanku?"

Sudut bibir Jonathan berkedut. "Aku tidak pernah mengatakan kalau aku menyukai pria dan... uh, tunggu. Apa yang baru saja kamu katakan?"

Jonathan terdiam, terlihat jelas sedang berpikir keras.

Sinta mencoba menyelinap untuk melarikan diri karena malu saat melihat kesempatan ini. Namun, sebelum dia sempat melangkah, tangannya sudah ditahan oleh pria itu.

Sinta melirik Jonathan yang menatapnya dengan tatapan tak percaya. "Kamu... memiliki perasaan untukku?"

Sinta meledak saat mendengar pertanyaan bodoh Jonathan. "Apa kamu buta?! Apa kamu tidak bisa melihatnya?! Aku selalu memiliki perasaan untukmu!"

Orang-orang yang ada di sekitar mereka menghentikan langkah mereka dan menatap Sinta yang berteriak dengan berbagai macam ekspresi.

Sudah menjadi rahasia umum kalau Sinta menyukai Jonathan. Kalau tidak, kenapa wanita itu pergi ke perpustakaan di saat dia adalah seorang ahli pedang yang hanya perlu berlatih di lapangan? Kalau tidak, kenapa dia mencoba menjadi dekat dengan Amelia yang jelas-jelas tidak cocok dengannya? Kalau tidak, kenapa dia tidak memiliki pacar hingga sekarang meskipun ada sederet pria yang menunggunya?

Jonathan yang menyadari bahwa mereka sudah menjadi pusat perhatian segera menarik Sinta menjauh. "Mari kita bicarakan masalah ini secara pribadi."

Sinta tersenyum miris. Jadi, perasaanku kamu anggap sebagai masalah?

***

Ganesha mempercepat langkahnya ke ruang kepala sekolah. Dia mencoba sebisa mungkin untuk bersikap tenang tapi emosinya bergejolak saat mengingat betapa dekatnya Geni dan Amelia.

Seharusnya dia yang ada di posisi itu. Seharusnya dia yang bersama Amelia. Seharusnya Geni tidak muncul.

Ganesha tidak sadar bahwa hatinya sudah menggelap dan pikirannya mulai berkabut hingga tidak bisa berpikir secara jernih lagi.

Dia segera memasuki ruang kepala sekolah setelah mengetuk pintu.

"Ayah," sapa Ganesha dengan hormat.

Seorang pria setengah baya duduk di kursi kepala sekolah. Pria itu, Indra, merupakan kepala sekolah yang juga orang yang mengadopsi Ganesha sejak dia masih kanak-kanak.

"Kemari," ucap Indra sambil melambaikan tangannya.

Ganesha melangkah dengan mantap. Dia menatap Indra dengan serius tapi Indra bisa melihat kesuraman tersembunyi dalam mata pria itu.

"Aku memiliki tugas untukmu," ucap Indra.

Bahkan kalau dia tahu bahwa Ganesha sedang tidak dalam kondisi mental yang stabil, dia tidak terlalu peduli. Asalkan anak itu bisa melakukan pekerjaannya dengan baik, dia akan berpura-pura seakan dia tidak mengetahuinya.

Ganesha menerima gulungan dari tangan Indra.

"Aku akan mengirimmu ke lokasi pelatihan besok," tambah Indra.

Tubuh Ganesha membeku. "Apa itu di luar kota?" tanyanya.

"Ya."

"Berapa lama?"

Indra mengerutkan kening.

"Aku hanya ingin tahu," ucap Ganesha saat melihat ketidaksenangan di wajah Indra. "Kamu tahu kalau Amelia akan menikah, bukan? Aku..."

"Itu tidak akan terjadi," sela Indra.

"Huh?"

Indra tersenyum miring. "Apa kamu pikir raja akan membiarkannya membantu bocah itu naik tahta begitu saja?"

Dia menatap Ganesha yang terlihat kebingungan. "Kamu juga tidak ingin membiarkannya terjadi, bukan?"

Tangan Ganesha diam-diam mengepal. "Aku..."

"Dengarkan aku," ucap Indra. "Tugasmu kali ini..."

Ekspresi Ganesha berubah dari terkejut, tidak percaya, hingga mengerti saat mendengar penjelasan pria itu.

"Kamu adalah kunci dari tugas kali ini. Kalau kamu melakukannya dengan baik..."

"Aku pasti akan melakukannya dengan baik."

Indra mengangguk puas saat melihat tekad di mata Ganesha.

"Kamu bisa pergi," ucapnya.

Ganesha mengangguk dan berbalik pergi.

***

Geni membawa Raina masuk ke sebuah rumah yang terletak di sebuah sudut terpencil di pinggir kota.

"Bibi, aku datang!" seru Geni sambil membunyikan lonceng di atas meja. "Bibi, dimana kamu?"

Raina menatap Geni yang memasuki rumah dengan sembrono, terlihat seperti seseorang yang tidak memiliki aturan.

Geni melihat Raina yang canggung dan tersenyum. "Jangan malu-malu," ucapnya. "Anggap saja seperti rumahmu sendiri."

"Apa kamu pikir ini rumahmu?!" Suara nyaring yang memekakkan telinga terdengar dari lantai atas.

Raina dan Geni mengalihkan tatapan mereka ke wanita yang baru saja menuruni tangga.

"Geni, kamu anak nakal, apa yang ingin kamu lakukan di sini?!"

Raina menatap orang yang berbicara dengan tatapan terpana.

Wanita di depannya memiliki rambut pirang bergelombang dan kulit kuning langsat yang adil. Dia memiliki mata biru langit yang senada dengan jubah yang dia kenakan, menambah kesan lembut dan ceria pada dirinya. Wajahnya juga terlihat cantik meskipun dia sedang marah. Dan walaupun dia mengenakan jubah lebar yang menutupi tubuhnya dengan rapat, Raina merasa bahwa hal di balik jubah itu juga tidak akan terlihat buruk.

Geni melihat tatapan Raina yang ditujukan pada wanita itu dan tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa kesal. Dia segera menghalangi tatapan Raina. "Apa yang kamu lihat? Apa dia terlihat begitu cantik? Tidakkah aku jauh lebih baik?"

Raina berkedip saat melihat Geni yang cemberut. "Apa kamu cemburu?"

Wajah Geni memerah saat mendengar Raina yang bertanya secara blak-blakan. "Apa maksudmu?!"

Raina memiringkan kepalanya. Dia menunjuk wajah pria di depannya. "Lihat, wajahmu memerah, telingamu juga memerah, kamu terlihat dalam suasana hati yang buruk, dan..."

Raina mendekatkan telinganya ke dada Geni. "Jantungmu berdegup dengan kencang."

Sistem ragu. "Tuan, apa kamu yakin dia sedang cemburu dan bukannya sedang marah?~"

Cinta 62%

Cinta 63%

Cinta 64%

Sistem merasakan tamparan di wajahnya saat melihat bar cinta yang terus naik. Sial. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana otak makhluk-makhluk ini bekerja.

Raina mengulum senyum. Kalau dia tahu sejak awal bahwa mengumpulkan poin cinta semudah ini, dia mungkin sudah melakukannya sejak dulu.

Wajah Geni memanas saat melihat Raina yang bersandar di dadanya dan sepertinya tidak berniat bergerak sedikit pun. Dia segera meraih bahu gadis itu dan menjauhkannya dari dirinya.

"Apa?" Raina berkedip sambil menatap wajah Geni yang semakin merah padam.

"Apa kamu mencoba menggodaku?" tanya Geni.

"Tidak."

"..." Ya, kamu mencoba menggodaku! Lihatlah tingkahmu yang imut dan menggemaskan! Aku ingin segera membawamu pulang ah!

"Ehem. Maaf mengganggu tapi bisakah kalian tidak bersikap intim di depanku? Apa kalian tidak kasihan melihatku yang hanya bisa menggigit jari sendiri?"

Geni terbatuk. "Maaf," ucapnya. "Perawan tua sepertimu tidak akan mengerti."

Wanita itu hanya tersenyum tapi Raina bisa melihat pembuluh darah di dahinya yang hampir meledak.

"Um, Amelia, perkenalkan, ini Bibi Mita," ucap Geni. "Dia adalah orang yang akan membuat gaun untukmu."

Mita mengerutkan kening. "Gaun apa?"

"Dan ini Amelia, calon istriku," lanjut Geni tanpa mendengarkan pertanyaan wanita itu. "Kami akan menikah segera. Jadi, aku harap kamu bisa membuatkan gaun yang indah dengan cepat."

Mita menatap Geni dengan tatapan meragukan. "Kamu akan... menikah?"

Geni mengangguk sambil tersenyum bangga.

Mita masih tampak ragu. Dia mengalihkan tatapannya ke Raina. "Gadis, apa kamu benar-benar akan menikah dengannya?"

Raina mengangguk.

Mita segera menariknya menjauh dari Geni. "Katakan dengan jujur, apa dia memaksamu?" tanyanya pada Raina. "Kamu tidak perlu menahan diri, aku akan melindungimu jika dia benar-benar melakukannya."

Tangan Geni bergetar saat mendengar ini. "Apa aku begitu buruk?"

Mita dan Raina mengangguk serentak.

Geni tak bisa berkata-kata karenanya.

"Cukup. Aku ke sini untuk memintamu membuatkan gaun, bukan untuk menindasku," ucapnya kemudian.

Mita memanyunkan bibirnya dengan enggan. "Aku penyihir, bukan penjahit. Apa yang kamu inginkan?"

"Penjahit biasa tidak akan bisa membuatnya. Ini spesial!"

"Huh?"

Geni mengeluarkan sebuah karung dari dalam cincin penyimpanannya.

Mita dan Raina menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.

"Apa it..." Mita belum bisa menyelesaikan ucapannya saat matanya disilaukan oleh benda bercahaya yang ada di dalam karung.

"Sial! Apa itu bulu Phoenix?!" serunya.

Dia segera menghampiri Geni dengan bersemangat. "Dari mana kamu mendapatkannya? Apa kamu mencurinya?! Begitu banyak!"

Geni mengusap hidungnya dengan bangga. "Apa yang kamu katakan? Tentu saja aku mendapatkannya dengan tanganku sendiri."

Raina tertarik saat melihat bulu-bulu keemasan yang berkilau dengan cahaya samar. "Ini bulu dari Burung Phoenix?" tanyanya penasaran.

Mita mengangguk. Sebagai seorang penyihir yang mengkhususkan diri di penjinakan binatang, dia adalah orang yang tahu dengan pasti betapa berharganya benda itu.

Satu bulu Phoenix saja sudah cukup untuk dijadikan sebagai simbol kemuliaan sebuah keluarga. Menggunakan sekarung bulu Phoenix untuk membuat gaun? Hanya bisa dijelaskan dengan satu kata: Gila!

Geni merangkul Raina dengan lembut. "Aku akan membuat istriku menjadi objek iri semua wanita yang ada di bumi di hari pernikahan kami!"

Mita sudah sedih hanya dengan memikirkan bahwa bulu-bulu itu akan dijadikan gaun. Ini benar-benar pemborosan sumber daya ah...

"Aku akan memberikan beberapa untukmu kalau kamu mau melakukannya," ucap Geni saat melihat apa yang wanita itu pikirkan.

Dia mengambil satu kantong seukuran kepala manusia dari dalam cincin penyimpanannya dan melemparkannya pada Mita. "Apa ini cukup?"

Mita membuka kantong itu dan Raina bisa melihat matanya yang berkilau saat melihat bulu-bulu Phoenix yang ada di dalamnya. "Ini lebih dari cukup!"

Dia langsung menarik tangan Raina. "Kemari, biarkan aku mengukur tubuhmu! Aku pastikan aku akan membuatkan gaun terindah untukmu!"

Raina ingin mengatakan sesuatu tapi tidak bisa membuka mulutnya saat mendengar Mita yang terus berbicara tanpa henti.

Dia merasakan perubahan seratus delapan puluh derajat sikap Mita setelah mendapatkan kantong dari Geni dan tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya pada sistem. "Apa bulu itu begitu berharga?"

"Ya, satu bulu saja bisa ditukar dengan sebuah rumah~" jawab sistem.

Raina menatap Geni dengan mata membulat.

"Apa ada yang ingin kamu tanyakan?" tanya Geni saat melihat ekspresi di wajah gadis itu yang bisa terbaca dengan mudah.

"Apa kamu sangat kuat?" tanya Raina.

Geni terkekeh pelan saat mendengar pertanyaan Raina yang terkesan polos. "Ya, aku kuat."

"Sekuat apa?"

"Hmm." Geni mengusap rahangnya dengan pelan. "Cukup kuat untuk menjatuhkan kerajaanmu sendirian?"

Dia berkata dengan nada main-main tapi Raina merasa bahwa pria itu mengatakannya dengan serius. Dia sangat overpower hingga membuat gadis itu mulai merasa takut.