Chereads / Sistem Transmigrasi: Cinta Pertama Tuan Penjahat / Chapter 26 - Istri Kecil Raja Setan (25)

Chapter 26 - Istri Kecil Raja Setan (25)

Tetapi, Geni langsung menutupi semua itu dengan cepat. Dia menatap Dwi dengan seringai di wajahnya. "Jadi, kenapa kalau aku dari wilayah setan? Apa kamu takut?"

Wajah Dwi memburuk. "Takut? Bukankah itu kamu?"

Kresna melihat ekspresi Geni yang tidak baik dan segera maju untuk ikut campur. "Amelia, apa kamu lelah berdiri? Ayo, kita mencari tempat duduk."

Geni dan Dwi mengalihkan perhatian mereka ke Raina secara serentak.

"Ayo, duduk di sampingku," ucap Geni sambil meraih tangan Raina.

"Hei, kita sudah lama tidak bertemu. Ayo, kemari, aku ingin berbicara denganmu!" Dwi meraih tangan Raina yang lain.

"Amelia, jangan dengarkan dia." Geni menarik tangan gadis itu.

"Dia bukan orang baik," lanjutnya.

"Hei, apa kamu mau mendengarkannya? Aku temanmu, oke?" Dwi juga ikut menarik tangan Raina. "Kamu tahu aku orang baik, bukan?"

Raina merasa tangannya hampir putus karena terus-menerus ditarik oleh kedua pria itu. "Sakit," keluhnya.

Geni dan Dwi langsung melepaskan tangan gadis itu.

"Ma... maaf," ucap Geni dengan panik. "Mana yang sakit?"

Dwi berkacak pinggang. "Bagaimana kamu bisa menjadi begitu lemah?!" serunya. "Kemari, aku akan mengatasinya."

"Apa yang akan kamu lakukan?! Kamu bisa saja semakin menyakitinya!" Geni melotot.

"Apa kamu pikir aku tidak memiliki kemampuan?!"

Geni menatap Dwi dengan tatapan meremehkan. "Apa kamu memilikinya?"

Raina merasakan rasa sakit yang menyerang kepalanya. Begitu berisik... Begitu kacau...

"Amelia!"

Mereka semua menoleh saat mendengarkan suara dari belakang mereka.

Raina terkejut untuk sesaat sebelum kembali ke senyuman standarnya. "Ibu."

Wanita setengah baya yang baru saja memanggilnya tersenyum lembut. Itu ibu Amelia yang asli, Nyonya Laura.

"Apa yang membawamu pulang? Apa seseorang mengganggumu di sekolah? Apa kamu mendapatkan masalah? Haruskah ibu membalaskan dendam?"

Raina tak bisa berkata-kata saat melihat mata wanita itu dipenuhi dengan emosi, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan ekspresi lembut yang tadi dia tampilkan.

"Ini tidak seperti itu," ucapnya kemudian.

"Oh, lalu apa yang terjadi?"

Raina menatap Geni.

Nyonya Laura juga mengikuti tatapan Raina saat melihat gadis itu tak kunjung membalas.

Geni tersenyum canggung. "Halo, perkenalkan, saya Geni, teman dekat Amelia."

"A-amelia... Ini..."

Nyonya Laura menatap Geni dengan ekspresi rumit. Ini adalah pria pertama yang anaknya bawa ke rumah, selain Ganesha yang notabenenya merupakan teman masa kecil anak itu. Jujur, dia tidak begitu mempermasalahkan hal ini. Hanya saja...

Dia melirik simbol ular yang disulam di baju pria itu. Apakah pria ini dari wilayah setan?

Geni sepertinya juga sudah menduga reaksi ini sejak awal dan tidak terkejut. Dia hanya menunjukkan senyuman tipis dari waktu ke waktu.

Raina menatap wanita setengah baya di hadapannya yang terdiam dan mengerti apa yang dia pikirkan.

"Ibu, bagaimana kalau kita berbicara di dalam terlebih dahulu?" tanyanya memecahkan keheningan.

Nyonya Laura mengangguk kaku. Dia akan melirik Geni dari waktu ke waktu. "Amelia, apa dia kekasihmu?" bisiknya pelan.

Raina hanya tersenyum, tidak menjawab.

"Dimana ayah?" ucapnya mengalihkan topik pembicaraan.

"Oh, dia sedang berbicara dengan Menteri Kanan," jawab Nyonya Laura sambil tersenyum pada Dwi yang entah mengapa juga mengikuti mereka.

"Oh, ada apa?" tanya Raina yang hanya dibalas dengan kedikkan bahu ibunya.

"Aku langsung kemari saat mendengar bahwa kamu datang," ucap Nyonya Laura. "Aiya, anakku, apa kamu tidak tahu betapa ibu merindukanmu?"

Raina meringis.

Nyonya Laura tersenyum maklum. "Tidak apa-apa. Yang penting, sekarang kamu sudah ada di sini."

Raina mengangguk.

"Oh, lihat, itu ayahmu!" seru Nyonya Laura. "Kebetulan sekali."

Raina mengangkat kepalanya dan melihat seorang pria dengan wajah keras yang berjalan menghampirinya. Di belakangnya, berdiri seorang pria pucat yang sepertinya seumuran dengan pria itu.

"Ayah," sapa Raina saat matanya bertemu dengan pria berwajah keras itu. Ya, dia ayah Amelia, Tuan Bima, salah satu jenderal paling berpengaruh di negara ini.

Tuan Bima hanya berdeham sebagai bentuk pengakuan. Dia melirik Geni dan Kresna yang asing di matanya lalu mengalihkan tatapannya ke Dwi.

"Dwi, kemarilah," ucap pria pucat yang berdiri di samping Tuan Bima. Itu Menteri Kanan, Tuan Sena, ayah Dwi.

Dwi merasa aneh dengan suasana yang berubah tiba-tiba tapi tetap bergerak mendekati ayahnya.

"Amelia, ayah sudah membicarakan hal ini dengan Menteri Kanan," ucap Tuan Bima tiba-tiba. "Kamu akan bertunangan dengan Dwi."

Senyuman di wajah Geni hampir retak saat mendengar hal ini. Tetapi, dia menutupinya dengan sangat cepat hingga tidak ada seorang pun yang menyadarinya.

"Huh?" Raina dan Dwi saling bertatapan dengan kebingungan.

"Tunggu! Apa ini? Bertunangan?!" Dwi mengalihkan tatapan ke ayahnya yang mengangguk setuju.

"Ayah, apa kamu gila?!" serunya.

Menteri Kanan menatap Dwi dengan tajam.

"Aku tidak mau!" ucap Dwi dan Raina secara bersamaan.

Tuan Bima dan Menteri Kanan melotot saat melihat reaksi kedua anak ini.

"Kamu..."

Amelia selalu menjadi gadis yang penurut dan lemah lembut. Sejak kapan anaknya menjadi pemberontak?

"Sayang!" seru Nyonya Laura.

Tuan Bima menatap ekspresi sedih istrinya dan menghela napas putus asa.

"Sayang, kenapa kamu melakukan ini?" Nyonya Laura mendekati suaminya. "Ini tentang anak kita. Kamu tidak bisa memutuskan seenaknya sendiri seperti itu! Dan lagi..."

Nyonya Laura menatap Geni yang masih melemparkan senyuman pada Raina, sepertinya berusaha menenangkan gadis itu. "Dia sudah memiliki kekasih," ucapnya setengah berbisik.

Tuan Bima ikut menatap Geni dengan mata menyipit.

"Ayah," ucap Dwi dengan mantap. "Kita harus berbicara."

Tuan Sena menatap anaknya dengan tatapan rumit.

"Hanya berdua," tambah Dwi.

"Amelia, apa yang dia lakukan di sini?" tanya Tuan Bima setelah kepergian Tuan Sena dan Dwi.

"Dia kekasih Amelia," ucap Nyonya Laura sekali lagi.

"Aku tidak bertanya siapa dia, aku bertanya apa yang dia lakukan di sini," ucap Tuan Bima.

Nyonya Laura mengalihkan tatapannya ke Geni.

Geni diam-diam mengepalkan tangan. "Aku di sini untuk melamar Amelia," ucapnya tegas.

Suasana menjadi semakin berat setelah dia mengatakan itu.

Tuan Bima menatap Geni dengan tatapan nyalang.

"Tinggalkan kami berdua," ucapnya kemudian.

Raina ingin mengatakan sesuatu tapi menelan kembali kata-katanya saat mendapatkan lirikan dari ayahnya.

"Ayo, kita pergi." Nyonya Laura menarik Raina keluar.

Kresna bertukar tatapan dengan Geni sebelum akhirnya mengikuti kedua wanita itu dengan enggan.

***

Tuan Sena menatap Dwi yang duduk di depannya. "Apa maksudmu?"

"Aku tidak ingin bertunangan dengannya. Apa aku mengatakannya kurang jelas?"

"Kenapa?" tanya Tuan Sena. "Kalian sudah bersama sejak kecil dan..."

"Aku tidak menyukainya."

"Apa kamu pikir aku buta?" Tuan Sena menatap Dwi yang membuang muka.

Bahkan meskipun anak laki-laki itu mencoba menyembunyikan wajahnya, dia masih bisa melihat telinganya yang memerah.

"Kamu menyukainya. Kenapa kamu menolak?" tanyanya dengan tidak sabar.

Dia tahu tempramen anaknya yang seenaknya sendiri dan bebas. Jadi, dia sudah menduga bahwa anak itu tidak akan mau terikat dengan sebuah pertunangan semacam ini bahkan jika itu adalah gadis yang dia sukai.

Dwi menatap ayahnya yang berdiri di depannya dengan serius. "Dia tidak menyukaiku."

"Kamu bisa melihat kalau aku menyukainya. Kamu juga harus bisa melihat kalau dia tidak menyukaiku," lanjutnya.

"Kamu..."

Tuan Sena tak bisa berkata-kata saat mendengar ucapan anaknya. Oke, dia tidak menduga jawaban seperti itu.

"Jadi, batalkan pertunangan ini," ucap Dwi.