Chereads / Sistem Transmigrasi: Cinta Pertama Tuan Penjahat / Chapter 27 - Istri Kecil Raja Setan (26)

Chapter 27 - Istri Kecil Raja Setan (26)

Tuan Bima menatap Geni yang duduk berhadapan dengannya dengan enggan. "Kamu kekasih Amelia?"

Geni tersenyum. Dia bukan tapi dia tidak akan jujur karena tahu bahwa itu hanya akan mempersulit keadaan sekarang. "Ya."

Mata Tuan Bima menyipit. "Kamu ingat kalau kalian berbeda, bukan? Dia manusia dan kamu..." Dia mengalihkan tatapannya ke simbol ular di lengan baju Geni.

"Aku ingat dan tidak masalah dengan hal itu," ucap Geni.

"Apa yang kamu miliki hingga berani melamar anakku?" tanya Tuan Bima.

Geni tersenyum.

"Semua yang kamu inginkan," ucapnya langsung membuat Tuan Bima menatapnya.

Sebelum datang ke sini, dia sudah menyelidiki latar belakang keluarga Amelia dan tahu kalau ayah gadis itu, Tuan Bima, tidak terlalu mencintai Amelia dan hanya merawatnya karena dia bisa digunakan sebagai alat politik.

Ya, di mata pria itu, Amelia hanyalah pion yang dia simpan untuk dia gunakan nanti.

Dia teringat wajah tidak bersalah gadis yang tertidur dengan pulas tadi dan menghela napas berat.

Tuan Bima mengangkat alisnya. "Kamu tahu apa yang aku inginkan?"

Geni menyesap teh di cangkirnya dan tersenyum lemah. "Apa aku tidak boleh tahu?"

Tuan Bima hanya terdiam.

"Aku bisa memberikan semua itu," ucap Geni. "Senjata, harta, atau bahkan... tahta."

Tuan Bima menatap Geni yang masih tersenyum dengan waspada.

Geni mulai memikirkan hal ini saat mendengar bahwa Menteri Kanan datang ke sini, tempat tinggal Jenderal Tertinggi kerajaan ini.

Apa yang akan terjadi jika kedua orang ini bekerja sama? Mereka bisa memiliki kekuatan politik dan militer di tangan mereka sekaligus dan jika mereka memiliki ambisi, itu pasti mudah untuk menggulingkan tahta raja sekarang yang terkenal lemah dan bergantung pada bawahannya.

Tuan Bima mendengus. "Nak, untuk anak seusiamu, kamu cukup berani."

"Tentu saja karena aku memiliki kemampuan untuk itu," ucap Geni sambil mengeluarkan sebuah token dari balik jubahnya.

Tuan Bima tertegun sejenak saat melihat benda itu. Dia pernah melihatnya sekali dan dia yakin dia tidak akan pernah melupakannya sampai kapan pun.

"Kamu... Apa hubunganmu dengan Raja Setan?"

"Tebak?"

Tuan Bima mengerutkan kening. Pria di depannya jelas bukan Raja Setan karena dia pernah bertemu dengan pria itu sebelumnya dan ingat dengan jelas bagaimana wajahnya. Setahunya, satu-satunya orang yang memiliki token itu selain Raja Setan hanyalah...

"Geni?" tebaknya. "Kamu satu-satunya anak Raja Setan?"

Geni mengangguk pelan.

"Kalau aku menikah dengan Amelia, aku bisa langsung naik tahta," ucap Geni. "Bukankah itu akan lebih mudah bagimu jika memiliki dukungan Raja Setan?"

Dia tersenyum tapi Tuan Bima bisa melihat dengan jelas kalau senyuman itu tidak mencapai matanya.

***

Raina tidak bisa mengalihkan tatapannya dari ruangan yang tertutup sejak tadi. Bohong kalau dia mengatakan bahwa dia tidak mengkhawatirkan Geni.

"Tuan, kenapa kamu mengkhawatirkannya?~" tanya sistem saat melihat detak jantung Raina yang tidak terdengar normal. "Ini benar-benar berbeda dari gayamu yang biasanya."

Raina teringat bagaimana mata suram Tuan Bima menatapnya lalu senyuman penuh makna yang Geni lemparkan padanya sebelum memasuki ruangan dan hatinya tidak bisa merasa tenang.

"Aku tidak bisa menebak apa yang mereka berdua pikirkan dan itu membuatku tidak nyaman." Uh, dia benar-benar tidak suka jika ada hal-hal yang lepas dari kendalinya semacam ini.

"Apa yang kamu takutkan? Apa kamu pikir ayah Amelia akan menyakiti Geni?" tanya sistem.

"Sebaliknya," jawab Raina. "Aku takut Geni menyakiti pria itu dan mengacaukan semuanya."

Sistem: "..."

Raina bertanya pada Nyonya Laura dan Kresna tapi mereka juga tidak bisa mendengar apa-apa karena ruangan itu sudah diberi mantra khusus untuk mencegah seseorang menguping pembicaraan orang yang ada di dalam.

"Geni tidak akan melakukan sesuatu yang bodoh," ucap Kresna menenangkan.

"Apa kamu yakin?" tanya Raina skeptis.

"Tidak." Kresna berkata dengan sedih. "Tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk sekarang."

***

Tuan Bima terlihat berpikir untuk sementara waktu sebelum akhirnya menatap Geni. "Kapan kamu akan melamarnya secara resmi?"

"Sekarang." Geni menatap jam di dinding. "Mereka seharusnya sudah sampai di sini."

***

Raina, Nyonya Laura, dan Kresna saling menatap dengan penuh kebingungan saat mendengar keributan dari depan gerbang.

"Apa yang terjadi?" tanya Raina.

Nyonya Laura mengangkat bahu.

"Nyonya! Nyonya!" Seorang pelayan berlari menghampiri mereka dengan terburu-buru.

"Ada apa?" tanya Nyonya Laura.

Pelayan itu melirik Raina sekilas sebelum kembali menatap wanita di depannya. "Di depan ada rombongan dari wilayah Setan! Me-mereka bilang mereka datang untuk melamar Nona Muda!"

Tepat pada saat itu, Tuan Bima dan Geni keluar dari dalam ruangan.

"Apa mereka sudah ada di sini?" tanya Geni.

Raina berkedip kebingungan.

Mereka semua menuju ke pintu gerbang dan terdiam saat melihat puluhan kereta yang berjejer rapi di jalan. Tidak ada seorang pun yang bisa melihat ujung rombongan itu.

Beberapa orang menurunkan peti-peti dari dalam kereta dan membawanya ke hadapan keluarga Amelia.

Tuan Bima melirik Geni sekilas dan memutuskan untuk membuka peti itu setelah mendapatkan persetujuan dari Geni.

Raina merasakan matanya hampir buta saat melihat isi peti itu. Emas. Isi peti itu dipenuhi dengan emas!

Tiga puluh peti emas, tiga belas peti permata, dua puluh peti senjata, lima peti gaun untuk Amelia, tiga belas peti..."

Raina dan Kresna saling bertukar tatapan saat mendengar penjelasan Geni. Apa kamu mengenalnya?

Mereka berdua menggeleng secara bersamaan.

"Totalnya ada enam puluh enam peti dan..." Geni terdiam saat melihat seorang pria yang turun dari kereta kuda dan menghampiri mereka.

"Raja Setan, apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya.

Sudut bibir Raja Setan berkedut. "Aku datang ke sini sebagai ayahmu. Jadi, berhenti memanggilku dengan sebutan formal semacam itu. Dan..."

"Bagaimana bisa kamu meninggalkan ayahmu di belakang?! Kita seharusnya datang ke sini bersama! Apa kamu menganggapku tidak ada?! Aku, ayahmu, masih hidup, oke?!"

Untuk pertama kalinya, Raina melihat dengan mata kepalanya sendiri pria yang disebut dengan Raja Setan.

"Sistem, apa kamu yakin kalau pria itu benar-benar Raja Setan dan bukan seorang penipu?"

"Huh, bagaimana bisa dia seorang penipu?" Sistem balik bertanya.

Raina menatap pria yang terus mengomeli Geni. "Dia tidak terlihat seperti seorang raja sama sekali."

"Dia Raja Setan. Tuan, apa kamu tidak bisa melihat simbol ular emas di jubahnya?~"

"Aku bisa," jawab Raina. "Aku hanya tidak percaya dengan mataku sendiri."

Sekarang dia tidak heran kenapa Geni begitu 'bersemangat' dan tidak masuk akal. Ternyata itu semua sudah mengalir dalam darah keluarganya sejak awal.

"Bagaimana kalau kita membicarakan ini di dalam?" usul Tuan Bima setelah tidak tahan melihat keributan yang dibuat Raja Setan.

Pada akhirnya, mereka semua masuk ke dalam tapi Raina tidak mau menggunakan otaknya untuk mendengarkan pembicaraan serius mereka dan memutuskan untuk keluar dan mencari angin segar.

"Apa kamu benar-benar menyukainya?"

Raina berbalik dan melihat Dwi yang menatapnya. "Apa kamu merasa keberatan?"

Dwi mengerutkan bibirnya. "Kenapa aku harus keberatan?"

Raina menatap pria itu sejenak. "Bagaimana pun juga, awalnya kamu yang akan menjadi tunanganku, bukan?"

"Jadi apa? Itu tidak seakan-akan aku menyukaimu," jawab Dwi ketus. "Jangan terlalu percaya diri!"

Raina menatap bar cinta Dwi yang jelas-jelas terisi penuh. "Ya, aku tidak seharusnya percaya diri."

Dwi mengangkat dagunya dengan sombong. "Bagus kalau kamu tahu," ucapnya lalu berbalik pergi.

Raina: "..."

Sistem: "..."

"Dia menyedihkan," komentar Raina.

Sistem mengangguk setuju. "Dia akan menderita sendiri."

Raina menghela napas dan mengalihkan tatapannya ke atas.

Sekarang sudah malam dan dia hanya bisa melihat langit yang gelap dan bulan purnama yang sebagian besar ditutupi awan.

Itu pemandangan yang biasa dia lihat tapi kali ini dia tidak bisa merasakan hal yang sama seperti yang dia rasakan dulu.

Sesuatu berubah. Dia berubah. Semuanya berubah.

Dia merindukan perasaannya dulu tapi dia tidak ingin kembali mengulang masa itu.

"Aku bosan," gumamnya.

Sistem: "..." Lalu?

Raina menutup matanya saat merasakan angin dingin yang berhembus.

"Tuan, Geni sedang menatapmu!" ucap sistem memberitahu.

"Huh?" Raina membuka mata dan menatap ke sekelilingnya tapi tidak melihat sosok yang dia cari. "Dimana?"

Tiba-tiba Raina merasakan napas berat yang berhembus di belakang lehernya

"Apa kamu mencariku?"

Raina berbalik dan melihat wajah Geni yang begitu dekat dengannya. Dia membeku saat melihat bar cinta yang terus terisi.

Cinta 49%

Cinta 50%

Cinta 51%

Cinta 52%

Cinta 53%

Cinta 54%

Dia tidak berani bergerak karena takut menghentikan proses itu.

"Sistem, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa bar cinta Geni terus terisi?" tanya Raina pada sistem yang ada di dalam benaknya.

"Itu terus bertambah sejak dia menatapmu tadi. Tuan, apa kamu tidak mendengar suara pemberitahuan dari sistem utama?~"

"Tidak," jawab Raina.

"Huh? Mungkinkah ada masalah?" tanya sistem pada dirinya sendiri.

"Kenapa perasaannya tiba-tiba berubah seperti ini? Apakah mungkin dia... terpesona pada kecantikanku?"

Sistem: "..." Aku tidak tahu dengan pasti tapi aku bisa memastikan kalau hal itu bukan alasannya.

Cinta 59%

Cinta 60%

Cinta 61%

Raina menatap bar cinta yang berhenti bergerak.

"Kamu lagi-lagi hilang dalam pikiranmu sendiri," ucap Geni menyadarkan Raina.

"Apa yang sebenarnya ada di dalam pikiranmu?"

Sistem diam-diam berkeringat dingin.

"Apa kalian sudah selesai berbicara?" tanya Raina mengalihkan pembicaraan.

Geni mengangguk.

"Aku panik saat melihat kamu menghilang. Kenapa kamu keluar? Apa kamu tidak senang? Apa kamu berubah pikiran?"

Raina menatap Geni yang terlihat sedih dan sedikit bergetar. "Ti-tidak, aku hanya merasa sedikit bosan dan memutuskan untuk mencari angin segar di luar."

Geni menatap Raina sejenak dan mendesah. "Di sini dingin. Ayo, masuk," ucapnya sambil menyampirkan jubahnya di bahu Raina.

Raina terdiam untuk sesaat sebelum mengangguk.

"Kapan kita menikah?" tanya Raina.

Geni menyeringai. "Apa ini? Apa kamu sudah tidak sabar? Ingin segera menikah denganku?" tanyanya dengan nada menggoda.

Raina mengangguk.

Geni yang awalnya ingin membuat Raina malu akhirnya malu sendiri saat melihat reaksi gadis itu. "Ti-tidak perlu terburu-buru," ucapnya kemudian. "Kamu tidak perlu memikirkannya. Kamu hanya perlu fokus sekolah dan menjadi penyihir yang hebat. Aku yang akan mengurus sisanya."

"Tapi aku tidak ingin menjadi penyihir."

Geni menghentikan langkahnya. "Huh?"

"Aku ingin menjadi alkemis seperti guru," ucap Raina.

Alis Geni saling bertautan. Menjadi alkemis membutuhkan waktu yang lama dan para alkemis tidak memiliki umur panjang kecuali jika mereka mengkonsumsi ramuan-ramuan khusus atau mempelajari teknik tertentu yang jelas membutuhkan lebih banyak usaha daripada menjadi penyihir.

Dia mengalihkan tatapannya ke Raina di sampingnya dan tersenyum pasrah saat melihat tekad dalam mata gadis itu. "Ya, aku akan mendukung apapun yang kamu inginkan," ucapnya. "Bekerja keraslah!"

***

Tidak butuh waktu lama untuk menyebarkan berita bahwa dia dilamar oleh seorang pangeran setan. Kabar itu menimbulkan pro dan kontra di kerajaan ini mengingat mereka tidak begitu akrab dengan wilayah setan.

Meskipun Menteri Kanan membiarkan hal itu terjadi dan tidak mempermasalahkannya, bukan berarti orang lain juga akan melakukan hal yang sama.

Ayah Amelia, Tuan Bima, langsung dipanggil ke istana oleh raja keesokan harinya.

Raina menatap kepergian pria itu dengan tatapan dalam.

"Kamu tidak perlu khawatir," ucap Nyonya Laura saat melihat ini. "Ayahmu bukan orang yang akan jatuh hanya karena badai kecil semacam ini. Kamu harus percaya padanya."

Raina tersenyum dan mengangguk pelan saat mendengar wanita itu berusaha menenangkannya. Tidak. Dia tidak mengkhawatirkan pria itu. Sebenarnya, dia mengkhawatirkan dirinya sendiri.

"Tuan, apa yang menggangu pikiranmu?~" tanya sistem saat melihat gadis itu kembali tenggelam dalam pemikirannya.

"Aku hanya merasa ada yang salah," jawab Raina. "Bagaimana bisa Tuan Bima menerima Geni begitu saja? Bukankah itu mencurigakan? Hubungan kita dengan wilayah setan tidak begitu baik..."

Sistem hanya diam sambil mendengarkan tuannya yang terus berpikir.

"Sistem, apa kamu tidak bisa menyelidiki mereka?" tanya Raina setelah beberapa saat.

"Tentu saja, aku bisa~"

"Sungguh?"

"Ya, kamu hanya perlu memberiku seribu poin~"

"..." Apa ini? Perampokan di siang bolong?

Pada akhirnya, Raina melepaskan masalah ini dan bersiap-siap kembali ke sekolah. Ya, dia masih harus sekolah atau mungkin dia akan ketinggalan ujian.

Ah, ujian...

***

Ganesha segera pergi mengunjungi Raina saat mendengar kabar bahwa gadis itu kembali ke asrama.

"Apa yang terjadi? Kenapa kamu pergi begitu lama?" tanya Ganesha. "Dan aku dengar kamu bertunangan dengan Geni. Apa itu benar? Apa kamu gila?"

"Ya, itu benar," jawab Raina santai. "Tapi aku tidak gila."

Ganesha menatap Raina dengan mata membulat. "Kamu benar-benar bertunangan dengannya? Apa kamu ingin mati?!"

"Ya, tapi tidak sekarang."

"..." Apa kamu depresi?

"Ganesha, aku mencintainya," ucap Raina saat melihat pria itu masih menatapnya.

Ganesha tertegun. "Apa kamu sungguh mencintainya?"

Raina tersenyum. "Bahkan kalau aku memberi tahumu, itu tidak akan ada hubungannya denganmu," ucapnya lalu berbalik pergi.

Tangan Ganesha mengepal. "Aku juga mencintaimu," gumamnya. "Tentu saja itu ada hubungannya denganku."

Sayangnya, Raina sudah pergi begitu jauh hingga tidak mendengar itu dan tidak bisa melihat bar cinta Ganesha yang menghitam.

"Amelia!"

Raina menoleh dan melihat seorang pria tinggi yang berlari menghampirinya. "Pak Jo," sapanya.

"Dari mana saja kamu? Apa kamu tidak tahu aku mencarimu sejak lama? Ayo, ikut aku ke laboratorium! Aku ingin membahas tentang ramuan yang kita coba kembangkan waktu itu," ucap pria itu sambil menyeret Raina.

Dia bahkan tidak menunggu persetujuan gadis itu, terlihat jelas tidak menginginkan penolakan.

"Selamat siang, Pak Jo!"

Raina dan Jonathan menoleh saat mendengar suara seseorang.

"Oh, siang, Sekar!" balas Jonathan.

Raina ikut menatap gadis yang baru saja menyapa Jonathan dan tertegun saat melihatnya.

"Kamu..."

Gadis itu merasakan tatapan Raina dan mengalihkan perhatiannya ke dia. Dia sedikit tersentak saat berhadapan dengan Raina.

Mereka berdua saling menatap entah untuk berapa lama.

Raina menatap gadis itu dari atas ke bawah dan merasa familiar karena sosok gadis itu... sama dengan tubuh Amelia yang dia gunakan sekarang.

Kalau bukan karena mata biru dan rambut pirang gadis itu yang berbeda dengan mata dan rambut hitam Amelia, Raina mungkin akan berpikir bahwa dia sedang berhadapan dengan cermin.

Jonathan menatap Raina dan gadis itu secara bergantian. "Uh, aku baru menyadari hal ini," ucapnya sambil memperbaiki letak kacamatanya. "Kalian berdua terlihat mirip."

"Sistem, siapa gadis ini? Jangan katakan padaku kalau Amelia memiliki saudara? Aku sudah merasa cukup dengan masalah yang aku miliki sekarang."

"Tuan, dia bukan saudara Amelia~"

"Ah! Apa kalian belum saling mengenal?" tanya Jonathan saat merasakan kecanggungan di antara mereka berdua.

"Oh, ya, Sekar, perkenalan, ini Amelia, kamu mungkin sudah mendengar tentangnya dari Ganesha. Dan Amelia, ini Sekar, siswa pindahan dari..."

"Oh! Kamu Amelia?!" Sekar menatap Amelia dengan mata berbinar.

Raina berkedip. "Kamu tahu aku?"

Sekar tertawa. "Bagaimana aku tidak tahu? Ganesha tidak bisa berhenti membicarakanmu!"

"Benarkah?"

"Ya," jawab Sekar. "Dia bahkan me..."

"Aku rasa sudah cukup perkenalannya," potong Jonathan. "Maaf, Sekar, tapi aku dan Amelia sedang terburu-buru. Kalian bisa mengobrol nanti, bukan?"

"Eh? Uh, ya, maafkan aku sudah menganggu kalian," ucap Sekar canggung. "Amelia, kita akan bertemu lagi nanti!"

Raina melihat Sekar yang melambaikan tangan padanya dan sudut bibirnya berkedut. Untuk alasan yang tidak jelas, dia memiliki keinginan untuk menjauh dari gadis itu.

Sekar tersenyum dan tidak ada seorang pun yang menyadari bahwa tangannya yang tersembunyi mengepal dengan kuat. Dia merasakan kehadiran seseorang dan berbalik.

"Oh, Ganes, sejak kapan kamu di sini?" tanyanya sambil menghampiri Ganesha yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakangnya.

"Apa yang kamu lakukan di sini?"

Sekar mengangkat kepalanya dan menatap wajah Ganesha saat tak kunjung mendengar jawaban pria itu. Dia melihatnya terus menatap ke depan tanpa berkedip dan diam-diam mengikuti arah tatapannya.

Senyumnya memudar saat melihat siapa yang dia tatap.

Amelia.

Lagi-lagi Amelia.

Sekar menatap Ganesha sekali lagi dan menggigit bibir saat melihat kelembutan di mata pria itu. Kenapa? Kenapa kamu tidak bisa menatapku sebagaimana kamu menatap gadis itu?

Catatan penulis:

Halo, semua!~ ╰(*°▽°*)╯

Awalnya cerita ini mau aku suspend buat sementara waktu karena mau fokus ke cerita sebelah [Setan dan Iblis: Dosa Seorang Pria] dulu #promoterselubung

Tapi aku lihat ada beberapa orang yang masih ngasih batu kuasa ke cerita ini dan bikin cerita ini tetap masuk peringkat (meski nggak pernah up) #uhuk

Jadi, aku putuskan buat lanjut nulis di sini juga~uwu

Walaupun nggak akan up tiap hari, tapi tiap babnya aku panjangin kok~ Seenggaknya dua kali lipat, deh~ Serius~ Eheheh~

Terima kasih buat semua yang sudah mendukung (dan bikin aku mood lagi buat nulis)!~~

Jangan bosan memberikan dukungan, ya!~

ヾ(≧▽≦*)o

P.s. Mungkin bakal up lebih banyak bab kalau cerita ini masuk peringkat tertentu (?) #kodekerad

P.s.s. Nggak bisa nulis di kolom catatan penulis yang sebenarnya karena terlalu panjang ( QAQ )

P.s.s.s. Iya, udah~ Segini dulu~