Chereads / Sistem Transmigrasi: Cinta Pertama Tuan Penjahat / Chapter 16 - Istri Kecil Raja Setan (15)

Chapter 16 - Istri Kecil Raja Setan (15)

Delja mengangguk lemah.

Geni mendekat ke arah Delja dengan mata memicing. "Berapa banyak taruhanmu?" bisiknya.

"Dua puluh ribu koin emas."

"Hanya dua puluh ribu?!"

Raina: "..."

Sistem: "..."

"Itu sudah separuh tabunganku, oke?!" seru Delja.

Raina: "..."

Sistem: "..."

"..." Geni menatap Delja dengan tidak percaya.

Delja balas melotot. "Apa?!"

"Aku tidak percaya putri sebuah kerajaan bisa menjadi begitu miskin," ucap Geni pelan tapi Deljaa masih bisa mendengarnya dengan jelas.

Gadis itu ingin membalikkan meja saat mendengarnya tapi berusaha menahan diri mengingat bahwa pria itu tidak akan merasakan apa-apa bahkan jika dia melemparkan seluruh istana ke arah pria itu.

Sebenarnya itu tidak bisa disebut dengan miskin. Satu koin emas di sini sama dengan seratus koin perak dan satu koin perak sama dengan seratus koin perunggu. Satu koin perunggu di tempat ini bisa digunakan untuk menghidupi sebuah keluarga biasa selama satu bulan.

"Oke, kembali ke pokok pembahasan," ucap Delja setelah selesai mengatur emosinya. "Apa yang aku dapatkan kalau aku memberimu air mataku?"

"Uang?"

Delja mengepalkan tangan. "Aku tidak semiskin itu! Aku tidak butuh uangmu!" serunya karena merasa harga dirinya terluka.

"Hmm, nyawaku atau hatiku?"

"...bajingan."

Geni menghela napas panjang. "Aku memiliki semuanya hingga aku bingung harus memberimu yang mana."

"..." Sombong.

Geni menatap sekelilingnya sebelum menjatuhkan tatapannya ke Delja. "Seingatku aku memiliki properti di wilayahmu,"

Delja mengangguk setuju. "Apa kamu mau memberikannya padaku?"

Geni mengangkat salah satu alisnya. "Apa kamu mau?"

Delja mengangguk. "Atlantis."

Geni menatap Delja dengan mata membulat. "Apa kamu becanda?!"

Delja memutar mata. "Apa? Kamu tidak rela memberikan sebuah kota untuk menyelamatkan kekasihmu?"

Geni meringis. "Bukan begitu maksudku," sahutnya. "Tidak bisakah kamu meminta kota yang lain?"

"Kamu tahu kota itu merupakan kota paling makmur, bukan?" ucap Geni menjelaskan. "Aku mendapatkan sebagian keuntungan dari sana."

Delja mengangkat dagunya dengan arogan. "Jadi?"

Geni menghela napas. "Ambillah."

Delja tersenyum penuh kemenangan. "Itu bagus."

Geni mengeluarkan sebuah botol kecil kosong dari balik jubahnya lalu menyerahkannya ke Delja. "Sekarang air matamu," ucapnya.

Delja tersenyum. "Aku tidak tahu caranya menangis."

"Ap..."

"Aku tidak pernah menangis."

"Kam..."

"Yah, maklum, aku bukan gadis cengeng," ucap Delja dengan bangga.

"..." Bocah sialan.

Geni terdiam sambil menundukkan kepala. Tidak ada yang tahu apa yang dia pikirkan.

Delja mengangkat bahu. "Bagaimana?"

Geni melirik Delja lalu menyeringai lebar. "Kamu tahu aku pandai membuat gadis menangis, bukan?" ucapnya.

Delja terlihat tak percaya. "Benarkah?"

Geni tak menjawab dan hanya menatap Delja dengan senyuman yang tak kunjung luntur di wajahnya.

Tak lama kemudian, Putih yang sejak beberapa saat lalu terlupakan sudah dihadapkan dengan wajah serius Geni.

"Nak, ini merupakan tugas yang berat," bisik Geni. "Kamu harus melakukannya dengan baik."

Putih memutar matanya dengan enggan.

"Kalau kamu menggagalkannya..."

Putih merinding saat merasakan aura jahat dari tubuh Geni yang memadat. Dia mengangguk dengan cepat, berusaha meyakinkan Geni.

Geni menepuk-nepuk Putih dengan lembut. "Anak pintar."

"Apa yang kalian rencanakan?" tanya Delja saat melihat interaksi mereka.

Geni dan Putih menatap Delja dengan tatapan dalam sebelum saling bertukar tatapan.

Geni mengangguk lalu melempar Putih ke arah Delja. "Lakukan dengan baik, nak!" serunya.

Delja panik saat melihat bola bulu yang dilemparkan ke arahnya dan tidak sempat menghindar. "Geni!" pekiknya.

Dan seperti yang sudah Geni perintahkan, Putih melakukan tugasnya; menggelitiki Delja.

"Apa yang-- haha--kamu lakukan?! Ahahahah!" Delja tertawa begitu keras hingga dia meneteskan air mata.

Raina: "..."

Sistem: "..." Kamu becanda, kan?

(╯°□°)╯︵ ┻━┻

Geni buru-buru membuka botol yang dia bawa dan mendekatkan diri ke arah Delja.

"Ahahah! Geni, apa yang kamu--ahah--lakukan?!"

Geni memegang kepala Delja dengan hati-hati. "Diam! Jangan bergerak terlalu banyak! Aku tidak mau air matamu sia-sia, oke?!'

"Kamu--ahaha---bajingan!"

Geni tersenyum dan menatap botol di tangannya yang sudah terisi dengan air mata Delja dengan puas. "Terima kasih," ucapnya tidak terdengar seperti sedang berterima kasih sedikit pun.

Delja mencoba menangkap Putih dan melemparkan hewan itu. Dia menatap Geni dengan tajam. Napasnya masih terengah-engah karena terlalu banyak tertawa. "Kamu... licik."

Geni menyeringai. "Ini cerdik, bukan licik."

Delja memutar mata. "Apa kamu membutuhkan sebanyak itu?"

Geni segera menyimpan botol itu ke dalam cincin penyimpanannya. "Apa? Apa kamu menyesal?" tanyanya dengan waspada. "Bahkan kalau kamu menyesal, aku tidak akan mengembalikannya, oke?!"

Delja memutar bola matanya sekali lagi. "Apa kamu pikir aku sepelit itu?"

Geni mengangguk.

"..." Bajingan.

"Yah, karena aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan, aku rasa aku harus segera pergi," ucap Geni dengan seringai di bibirnya.

Delja menyipitkan mata. "Kamu melupakan sesuatu," ucapnya sambil menarik ujung jubah Geni.

"Huh?"

"Akta kota."

Geni menepuk kepalanya. "Ah, aku lupa."

"Apa kamu pikir aku akan percaya?" tanya Delja sinis.

"Serahkan!" perintahnya sambil mengulurkan tangan.

"Aku tidak membawanya."

"Cincin penyimpananmu." Delja menunjuk cincin di jari manis Geni. "Kamu selalu menyimpannya di sana."

Geni mengeluarkan setumpuk dokumen dari dalam cincin dengan enggan. "Kamu mengenalku terlalu baik. Itu tidak baik," komentarnya.

Delja tersenyum tipis. "Aku rasa tidak. Aku hanya mengamati sesuatu yang jelas terlihat dengan mata."

Geni mendengus, tidak mengatakan apa-apa lagi karena terlalu malas menggunakan otaknya untuk berbicara dengan gadis itu.

"Aku pulang," pamitnya sebelum berbalik pergi.

"Tunggu!" sahut Delja. "Kamu melupakan sesuatu."

Geni menoleh. "Ap..."

Ucapannya terpotong karena terkejut saat merasakan sesuatu yang lembut jatuh di wajahnya.

"Bola bulumu."

Geni menatap Putih yang menempel di wajahnya dengan tatapan datar, membuat hewan itu merinding karenanya.

"Oke, terima kasih," ucap Geni sebelum keluar dari istana.

Delja menatap punggung Geni hingga pria itu menghilang di balik pintu gerbang. "Pria bodoh," gumamnya.

Putih diam-diam melirik Geni.

"Kamu sudah melakukannya dengan baik," puji Geni. "Aku akan memberimu hadiah nanti."

Putih menggeleng cepat. Hadiah? Kapan pria ini memberikan hadiah yang baik? Tidak pernah! Dia tidak mau mengambil resiko untuk hadiah yang mungkin saja bisa membunuhnya.

Geni terlihat kecewa saat melihat Putih yang menolak dengan cepat. "Kenapa kamu tidak mau? Apa hadiahku begitu buruk?"

Putih mengangguk lalu menggeleng.

Geni berdecak kesal. "Kalau begitu aku hanya akan meninggalkanmu di rumah bersama Kresna nanti," ucapnya.

Mata Putih berbinar. Dia mengangguk bersemangat. Bagus! Akhirnya aku bisa berinteraksi dengan makhluk yang memiliki otak normal!

Geni menghela napas saat melihat betapa bahagianya Putih. Dia bahkan bisa melihat bunga-bunga yang bertebaran di sekeliling makhluk itu.

Kresna baru saja keluar dari kamar saat dia melihat Geni. "Begitu cepat? Apa yang kamu dapatkan?" tanyanya. "Yah, aku tidak berharap banyak. Itu baik-baik saja kalau kamu baru mendapatkan satu atau dua bahan minor. Mereka semua memang sulit didapat kare..."

Geni melemparkan dirinya ke sofa, terlihat malas. "Semua."

"Oh, oke, ak... tunggu! Apa?!"

Geni mengeluarkan semua bahan-bahan yang dia dapatkan ditambah beberapa bahan yang memang sudah dia miliki sejak awal.

Kresna menatap bunga lotus hitam dan barang-barang lainnya tergeletak di lantai dengan sembarangan seakan-akan itu semua bukan sesuatu yang berharga. Dia mengambil sebuah botol yang terisi penuh dengan air dan mengerutkan kening. "Kamu yakin ini semua air mata putri duyung?"