Geni memutar mata. "Tentu saja. Aku sendiri yang mengambilnya."
"Begitu banyak," gumam Kresna.
"Yah, Delja terus tertawa hingga menangis dan tidak bisa berhenti. Jadi, aku..."
"Delja?" Kresna menatap Geni dengan tatapan kosong. "Tunggu! Tunggu! Delja yang itu?"
"Huh, kamu pikir Delja yang mana?"
"Delja... Delja... Putri duyung anak Raja Baruna? Dia anak penguasa laut itu?"
Geni mengangguk. "Ya. Kenapa?"
"Kenapa katamu?! Apa yang kamu pikirkan?! Aku memintamu untuk mencari air mata putri duyung alias duyung perempuan, bukan putri duyung secara harfiah!" Kresna menatap Geni dengan mata melotot.
Geni cemberut. "Kamu tidak memberitahuku dengan jelas," ucapnya beralasan.
Kresna menggeleng. "Aku benar-benar tidak bisa berkata-kata karenamu. Bagaimana bisa kamu menjadi begitu cerdas dan bodoh di saat yang bersamaan? Apa kamu tidak tahu berapa banyak masalah yang akan kamu buat kalau kamu terus bersikap seperti ini dan mem..."
"Kamu bilang kamu tidak bisa berkata-kata," sela Geni. "Tapi kamu terus berbicara."
Kresna menatap Geni yang merebahkan diri di sofa dengan malas. "..." Bocah ini... bajingan.
Geni menyeringai lebar. "Boo!"
Putih melompat ke arah Kresna. Kawan, tenanglah! Jangan sia-siakan emosimu untuk orang yang tidak memiliki emosi!
Kresna menatap Putih dan menghela napas panjang. Setidaknya dia bukan satu-satunya orang yang sial karena bertemu dengan pria itu.
Senyum Geni memudar. "Kenapa kamu hanya diam? Cepat! Amelia masih belum sadar!"
Kresna tersentak. "Ah! Murid kesayanganku!" pekiknya sebelum kembali ke kamar dengan membawa setumpuk bahan yang tadi Geni keluarkan.
Geni berjalan mengikutinya. "Bagaimana keadaannya?"
"Tidak buruk. Aku yakin dia tidak akan mati hari ini."
"..." Geni menatap Kresna. "Bagaimana dengan besok?"
"Aku tidak yakin."
Sistem yang memperhatikan mereka sejak pertama kali mereka memasuki kamar mendengar ini dan tak tahu harus bersikap seperti apa. Kenapa mereka berdua bersikap seakan-akan mereka sedang membahas cuaca hari ini? Begitu santai dan tidak perduli... Apakah mereka benar-benar memikirkan tuannya?!
Sistem menoleh ke tubuh Amelia di ranjang lalu menatap Raina di sampingnya.
Raina bertopang dagu. Dia melirik sistem yang terlihat serius dengan tatapan dalam, membuat sistem berkeringat dingin.
"A-apa?" tanya sistem.
"Tidak ada," jawab Raina yang jelas-jelas berbohong.
Sistem ingin bertanya lebih jauh tapi tidak berani. "Tu-tuan, apa kamu benar-benar mempercayaiku? Kamu menyerahkan hidup matimu di tanganku. Tidakkah kamu merasa khawatir sedikit saja?"
"Tidak," jawab Raina.
"..."
"Jika aku mati, maka aku mati."
Sistem tidak bisa mengatakan apapun tentang logika tuannya. Oke, jika kamu mati, maka kamu mati.
Apa maksudnya itu?!
(╯°□°)╯︵ ┻━┻
Sistem tiba-tiba teringat sesuatu yang pemiliknya katakan dulu...
Jika kamu tidak peduli, kamu tidak akan memiliki masalah; jika kamu tidak memiliki masalah, kamu tidak akan takut; dan jika kamu tidak takut, kamu akan dapat menonjol dari kerumunan dan mendominasi langit dan bumi.
Hmm, aku rasa tuanku adalah tipe orang seperti itu.
╮(╯_╰)╭
"Aiya, tidakkah kamu merasa bahwa ini seperti dongeng putri tidur?" komentar Geni, membuat sistem dan Raina mengalihkan perhatian mereka. "Haruskah aku menciumnya supaya dia terbangun?"
Kresna menatap Geni tajam. "Jangan coba-coba..."
"Aku hanya becanda," sela Geni. "Kamu begitu serius dan tidak memiliki selera humor. Membosankan."
Kresna: "..."
Sistem yang sudah berkeringat dingin: "..."
Membosankan kepalamu ah! Kamu itu yang tidak memiliki selera humor!
(╯°□°)╯︵ ┻━┻
Geni menghela napas saat melihat Kresna yang hanya terdiam. "Kapan kira-kira dia akan bangun?"
"Aku tidak tahu. Aku alkemis, bukan peramal."
"..."
"Dimana bocah itu?"
Geni bertopang dagu, "Siapa? Ganesha?"
Kresna mengangguk.
"Hmm. Mungkin masih di sekolah?" ucap Geni asal-asalan.
Kresna berdecak pelan. "Apa yang dia lakukan? Kekasihnya di sini tapi dia malah bermain di luar sana," gumamnya.
Geni mengangkat salah satu alisnya. "Kekasih?"
"Huh? Mereka tidak berpacaran?"
Geni tersenyum miring. "Aku rasa tidak akan."
Kresna memberi Geni tatapan penuh arti. "Jangan menyakiti muridku!" ucapnya memperingatkan.
"Aiya, aku tidak pernah menyakiti seorang gadis, oke?" Geni terlihat tak terima saat merasa diancam oleh Kresna.
"Tidak pernah bukan berarti tidak akan," ucap Kresna dengan penuh keraguan.
"Aku pasti akan langsung membunuhmu bahkan kalau kamu hanya menggoresnya sedikit saja," tambahnya.
Geni menyipitkan mata. "Kamu baru bertemu dengannya selama sehari dan aku sudah mengenalmu selama bertahun-tahun. Ini tidak adil. Hitam, kamu pilih kasih!"
"Jadi apa? Aku akan membunuhmu." Kresna berkata dengan keras kepala.
"Kamu tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya," sahut Geni.
Dia menatap sosok manusia Kresna dari atas ke bawah dengan pandangan meremehkan. "Kamu bahkan tidak bisa mempertahankan sosok aslimu untuk waktu yang lama."
Kresna menggigit bibir, berusaha menahan diri supaya tidak mengumpat. Tenang. Dia seorang sarjana yang baik dan memiliki budi pekerti, tidak baik untuk mengumpat seorang bajingan seperti Geni. Itu hanya akan menyia-nyiakan napasnya.
Geni menatap Kresna dengan tatapan mencemooh sebelum berbalik pergi.
"Kemana kamu akan pergi?" tanya Kresna.
"Bukan urusanmu," jawab Geni sebelum menghilang di balik pintu.
"Dasar..."
Putih melompat ke bahu Kresna. Kenapa kamu terus memperdulikan pria itu? Dia tidak pantas mendapatkan perhatianmu! Dia jahat!
Kresna tersenyum tipis. "Kamu seharusnya tidak mengatakan itu," ucapnya. "Kita harus memeluk paha emasnya kuat-kuat, oke?"
Putih terlihat tidak setuju.
Kresna menepuk-nepuk hewan itu dengan lembut. "Kamu juga harus bersikap sedikit lebih baik supaya bisa terus berkultivasi dan mengubah wujudmu menjadi manusia."
Putih menatap Kresna dengan mata membulat. Kamu... tahu?
Kresna tersenyum. "Bukan, aku tempe."
Putih: "..."
Sistem: "..."
Raina: "..."
Kresna mengalihkan tatapannya ke tubuh Amelia dengan senyuman yang masih menghiasi wajahnya.
Sistem yang melihat ini tiba-tiba berkeringat dingin. Apa? Apa dia mengetahui sesuatu tentangku? Kenapa dia menatap dengan cara yang seperti itu? Ah! Tuan! Aku takut! Selamatkan aku!
Raina menatap wajah Kresna di layar dengan serius. Seperti biasa, tidak ada yang bisa menebak apa yang dia pikirkan.
Senyum Kresna melebar tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Dia melirik tubuh Amelia sekilas sebelum mengalihkan perhatiannya ke ramuan di meja.
Putih melihat ini dan kebingungan. Apa? Apa? Hah? Kenapa aku merasa seakan-akan aku ketinggalan sesuatu?
Tak lama kemudian, Geni kembali dengan senyuman lebar.
Kresna mengerutkan kening. "Kamu bau darah. Menjijikkan!"
Geni mendengus tubuhnya. "Aku tidak mencium apa-apa."
Kresna masih menatap Geni dengan tatapan jijik.
"Yah, aku mungkin harus mandi," ucap Geni sebelum menuju ke kamar mandi dengan enggan.
Putih menatap Kresna dan Geni secara bergantian. Mengapa aku selalu merasa seperti aku ketinggalan sesuatu?
Kresna menoleh ke arah jendela yang menghadap ke halaman belakang.
Putih melihat Kresna yang tak kunjung mengalihkan pandangannya dari jendela dan merasa penasaran. Dia mengikuti arah tatapan Kresna dan membeku saat melihat pemandangan di luar.
Halaman itu dipenuhi darah dan mayat hingga Putih tidak bisa mengenali halaman itu sendiri.
Darah.
Darah.
Perkelahian.
Mayat.
Semua gambar ini menyatu bersama untuk menghadirkan adegan yang tragis.
Gunung-gunung dang sungai semerah darah. Selain merah, tidak ada warna lain di dunia ini.
Kresna melihat keanehan Putih dan segera memeluknya. "Hei, jangan menatapnya kalau kamu tidak menyukainya," ucap Kresna.
Putih menatap Kresna dengan tatapan kosong, sepertinya masih tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Putih?" panggil Kresna dengan lembut.
Putih berkedip.
Kresna melihat Putih yang kembali normal dan menghela napas lega. Dia berbalik menghadap ke pintu kamar mandi yang barus saja dibuka dan berteriak dengan penuh emosi. "Bukankah aku sudah mengatakan padamu untuk membersihkan kekacauan sebelum orang lain melihatnya?!"
Geni melirik Putih yang masih gemetaran lalu ke halaman di luar jendela yang masih dipenuhi darah. "Oh, aku lupa," ucapnya dengan santai.
"Kalian berdua, keluar!' perintah Geni sambil menatap sekelilingnya.
Detik berikutnya, dua bayangan hitam muncul entah dari mana. Mereka tidak lain merupakan dua orang pria yang mengikuti Geni dan Raina di hutan kemarin.