Putih melirik wanita bertanduk yang duduk di atas pohon sambil menggigit apel hijau. Dia segera bersembunyi semakin dalam ke dalam jubah Geni saat matanya bertemu dengan mata tajam wanita itu.
"Oh, apa kabar, Melda?" sapa Geni. "Kamu terlihat semakin... uh, miskin?"
Apel di tangan wanita itu hancur karena tekanan yang dia berikan. "Apa katamu?" tanyanya dingin.
"Apa kamu kekurangan kain? Sebagai tangan kanan Raja Setan, kamu seharusnya memiliki uang yang cukup, bukan?" Geni menunjuk pakaian Melda yang lebih minim daripada saat terakhir kali dia melihatnya.
"Dia tidak mungkin menjadi begitu pelit," gumamnya.
"..." Melda menatap Geni dengan penuh kemarahan seakan-akan dia bisa menyerang pria itu kapanpun.
Geni mengambil sekantong koin emas dari cincin penyimpanannya. "Yah, sebagai seorang pangeran yang baik hati dan tidak sombong, aku akan menyumbangkan beberap..."
Sebuah apel mengenai kepala Geni sebelum pria itu bisa menyelesaikan ucapannya.
"Kamu..." Geni menatap Melda dengan tatapan tak percaya.
Melda mendengus kasar. "Aku tidak kekurangan uang! Ini mode, oke?! Jenis pakaian ini sedang tren!" serunya.
Geni menatap Melda dari atas ke bawah dengan skeptis. "Apa kamu tidak kedinginan?"
Melda ingin mengumpat tapi menahan diri saat mengingat bahwa pria di hadapannya ini memiliki kedudukan yang lebih tinggi darinya dan dia tidak bisa bertindak berlebihan.
"Pergi," ucapnya setelah berhasil memadamkan api amarahnya sendiri. "Pergi sebelum aku berubah pikiran dan memutuskan untuk membunuhmu!"
Geni menatap wanita itu dengan kritis sebelum pergi tanpa suara.
Melda meraih salah satu apel di dekatnya lalu menggigitkan dengan hati dongkol. "Semakin dewasa, semakin menyebalkan," gumamnya.
"Geni!!" seru suara cempreng seseorang.
Geni menatap tajam pria tinggi kurus dengan baju zirah yang terlihat kebesaran di tubuhnya.
Pria itu berlari menghampirinya lalu memukulnya dengan keras di dada. "Kawan, aku merindukanmu!" ucapnya dengan senyuman lebar di wajahnya.
Geni menyentuh dadanya dengan hati-hati. Oke, itu tidak terasa sakit jika saja tangan itu tidak dilapisi sarung tangan besi.
"Aku tidak bisa menemukanmu di sekitar istana maupun di pasar. Apa kamu pergi ke wilayah manusia?" tanya pria itu. Dia sepertinya buta karena tidak kunjung menyadari wajah Geni yang memucat.
"Toya," panggil Geni dengan suara serak.
Pria tinggi kurus yang dipanggil Toya mengalihkan perhatiannya ke Geni dan mata pria itu membulat saat melihat wajah Geni yang sudah seputih kertas. "Geni, apa kamu baik-baik saja?!" seru pria itu dengan panik.
Geni menunjuk ke sarung tangan besi Toya dengan tangan gemetar.
Toya mengikuti arah yang ditunjuk Geni dan tertegun saat menatap sarung tangannya sendiri. "Sial! Aku lupa kalau aku sudah mengoleskan racun di atas sarung tangan ini!" ucapnya pelan.
Geni melotot. "Kamu... idiot, untuk apa kamu melapisinya dengan racun?!"
"Yah, kamu tahu, kamu tidak bisa mempercayai orang-orang di sini," ucap Toya berusaha menjelaskan. "Jadi, aku melakukannya untuk berjaga-jaga. Lagipula, temanku di tempat ini hanya kamu dan kamu tidak ada di sini."
"Kamu..." Geni ingin memarahi pria itu tapi tidak bisa melanjutkan kata-katanya saat merasakan rasa ngilu yang menyerang dadanya.
"Oh! Oh! Geni! Jangan mati!" ucap pria itu.
Geni mendengar teriakan cempreng Toya yang menyakiti indra pendengarannya dan merasa semakin buruk.
"Cepat, lepaskan pakaianmu!" perintah Toya sambil melepas sarung tangan besinya.
Tangannya ditahan tangan Geni saat pria itu berusaha melepaskan jubah Geni.
"Apa yang akan kamu lakukan?" desis Geni dari sela-sela giginya.
"Melepas pakaianmu?"
Geni menatap sekelilingnya dan matanya bertemu dengan mata para pelayan kastil dan beberapa menteri yang lewat.
Mereka semua menatap Geni dan Toya dengan tatapan aneh, membuat Geni merasa bahwa dia baru saja melakukan sebuah dosa meskipun pada kenyataannya dia tidak melakukan apa-apa.
"Apa yang kamu tunggu? Aku harus segera membersihkan racunmu!" ucap Toya setengah berbisik.
Geni melotot. "Kalau begitu, lakukan saja di kamarku!"
Semua orang terengah-engah saat mendengar apa yang Geni katakan.
Geni: "..." Sampah sialan!
Genis segera menyeret Toya yang terlihat kebingungan ke kamarnya, mengabaikan tatapan orang-orang yang ditujukan pada mereka berdua.
"Jadi, apakah gosip tentang pangeran dan jenderal muda itu benar?" bisik seorang pelayan pada pelayan lain di sampingnya.
"Kamu baru saja mendengar apa yang mereka katakan," sahut pelayan lainnya. "Apa yang kamu ragukan?"
"Yah, sesuatu terasa tidak benar tapi aku tidak yakin apa itu."
Pelayan lainnya mengabaikan apa yang temannya katakan dan tersenyum lebar. "Yang penting, aku akhirnya mendapatkan inspirasi da melanjutkan cerita yang aku tulis!"
"Kamu menulis cerita tentang hubungan mereka?"
Pelayan lainnya segera menutup mulut gadis yang tiba-tiba muncul. "Diam! Ini rahasia!"
Gadis itu berkedip. "Apa... aku boleh membacanya?"
***
Toya mengamati dada Geni yang sudah menghitam untuk waktu lama. "Maafkan aku! Aku begitu ceroboh hingga menyakitimu!"
"Yah, aku akan memaafkanmu kalau kamu berhenti menatap tubuhku dengan cara seperti itu," ucap Geni pelan. "Itu membuatku merasa tidak nyaman."
"Ma-maaf, aku akan langsung membersihkannya," ucap Toya sambil mengambil guci air dari pinggangnya.
Geni menatap Toya yang mengendalikan air supaya air itu bisa menyerap racun di tubuhnya.
Geni dan Toya lahir di hari yang sama. Di saat Geni memiliki kemampuan bawaan sebagai pengendali api, Toya memiliki kemampuan bawaan sebagai pengendali air. Itu merupakan berita yang menggembirakan mengingat kemampuan bawaan merupakan kemampuan yang langka.
Sayangnya, kegembiraan itu tidak bertahan lama karena mereka semua menyadari bahwa kemampuan kedua anak itu berbahaya.
Bangsa Setan memiliki kemampuan untuk tahan terhadap api. Tetapi, mereka semua terbunuh saat bersentuhan dengan api Geni. Toya juga tidak bernasib lebih baik karena ternyata air yang dia kendalikan selalu berubah menjadi air suci yang jelas-jelas merupakan senjata paling ampuh untuk membunuh setan.
Mereka berdua dikucilkan, baik oleh rakyat mereka maupun keluarga mereka sendiri. Sebagai seorang anak, ditinggalkan bukan sesuatu yang menyenangkan. Rasa kesepian ini membuat mereka berdua merasa dekat dan bersahabat dengan baik. Pada akhirnya, mereka dibuang ke wilayah manusia dengan alasan untuk mencari pengalaman.
Wilayah setan baru mengakui mereka saat mendengar berita bahwa mereka berdua sudah bisa mengendalikan kemampuan mereka dan bahkan berhasil mengembangkan kemampuan mereka.
Ya, Geni menjadi senjata terbaik dengan apinya dan Toya menjadi petarung sekaligus penyembuh yang paling bermanfaat di medan pertempuran.
Mereka berdua tahu bahwa mereka dimanfaatkan tapi apa? Mereka tidak bisa meletakkan jari pada keluarga mereka sendiri. Dalam lubuk hati mereka, mereka masih menyayanginya meskipun mereka sudah dibuang.
Toya melihat otot-otot Geni dengan iri. "Kamu memiliki tubuh yang bagus," pujinya.
Geni melotot. "Jangan memujiku! Kamu membuatku merasa aneh."
Toya mendesah.
"Apa yang membawamu datang kemari?" tanya Toya yang akhirnya mengubah topik pembicaraan.
"Aku ingin bertemu Raja Setan."
Toya mengangkat alis. "Bukankah upacara pergantian kekuasaan masih akan diadakan tiga bulan lagi? Apa kamu sudah tidak sabar?"
Geni memutar mata. "Aku datang bukan untuk itu, oke? Kenapa kamu begitu senang mengasumsikan hal-hal sesukamu?"
Toya mengangkat bahu. "Mungkin ini karena aku terlalu lama bergaul dengan manusia?" ucapnya tak yakin.
Geni berdecak. "Aku hanya ingin mengambil segel Estri," ucapnya.
Toya tersentak dan secara tidak sengaja membuat racun baru saja dia kumpulkan tercecer di lantai.
Geni menyeringai saat matanya bertemu dengan mata Toya. "Bukankah orang tua itu memintaku untuk mendapatkan seorang gadis sebelum aku menjadi raja? Aku sudah mendapatkannya."