"Baru pulang, Dek?"
"Dari tadi Ma. Ini juga baru masuk." sindir Iinas kesal.
"Kamu nih. Kerja nggak ada habisnya. Kapan nikahnya, Dek?"
"Mamaa... Itu lagi yang dibahas. Iinas capek Ma."
"Ya udah, mandi dulu sana. Abis itu makan, mama temenin."
"Ya, Ma."
Iinaas melemparkan tubuhnya di ranjang besar kesayangannya. Tubuhnya lelah sekali. Sudah pukul 21.41 WIB, dan dia baru sampai rumah. Harinya sangat melelahkan. Pekerjaannya overload akhir-akhir ini.
Huhhh.
Iinas menghembusakn nafasnya kasar. Tubuhnya memeluk erat beruang super besar di sampingnya. "Cintaaa.. Mama lelah ciin!" adunya pada beruang kesayangannya itu. Semakin erat dipeluknya boneka itu. Kado dari kakaknya saat ulang tahun mereka yang ke-17 tahun. Cinta namanya.
Mengabaikan lelahnya, Iinas segera masuk ke kamar mandi. Mungkin dengan guyuran shower, tubuhnya akan segar kembali dan lelahnya hilang. Setelah itu, dia segera turun mengingat Mamanya sedang menunggunya untuk makan.
"Papa mana, Ma?" tanyanya pada Mama yang menyiapkan nasi untuknya.
"Tuh, di kamar. Temannya telfon tadi."
"Awas selingkuh loh!" goda Nanas pada Mamanya.
"Hus! Kamu jangan ngaco deh ngomongnya!"
"Kakak?"
"Kakakmu ke luar kota. Tadi sore pulang, terus berangkat lagi."
"Kok nggak kasih tau Iinas sih, Ma?" protesnya. Sepertinya dia sudah lama tidak mengobrol dengan kakaknya itu. Jadi kangen kan!
"Ya gimana mau ngasih tau? Kamu kapan terakhir ketemu sama Kakak mu itu? Dia berangkat, kamu belum bangun. Kakakmu tidur, kamu belum pulang. Kamu ini kerja apa sih, Dek?" giliran Mamanya yang protes. Mamanya sedikit miris dengan kehidupan anak bungsunya ini. Perempuan, tapi kerja nggak ada habisnya.
"Ya kerja kayak biasanya, Ma. Mama kan udah tau!"
"Bukan itu maksud Mama. Mama serius loh Dek. Kamu ini udah 27 tahun."
Ah, mulai lagi deh Mamanya. Batin Nanas mendumel dalam hati.
"Kamu kerja terus cari apa sih? Dulu Mama seusia kamu sudah gandeng kalian berdua jalan-jalan keliling taman. Kamu? Kalau ditanya nikah, langsung aja berbelit nggak jelas. Nikah itu ibadah, Dek!"
"Iya Ma, Iinas tau. Ya kalau memang jodohnya belum dateng, Iinas bisa apa?"
"Kamu selalu begitu kalau dibilangin. Gimana kamu ketemu jodohmu, kalau kamu kerja tanpa ada berhentinya. Berangkat pagi, pulang menjelang pagi. Weekend juga sering masuk. Kalau kamu menuruti kerjaan kamu itu, nggak akan ada habisnya, Dek. Kalau kamu menuruti dunia, nggak akan ada habisnya. Apa lagi yang kamu cari? Memang kamu nggak mau menikah? Nggak mau bangun keluarga kamu sendiri?"
Lagi, Iinas menghela nafasnya. Sejak tiga tahun yang lalu, hal ini sudah biasa terdengar di telinganya. Sampai Iinas sendiri bosan. Herannya, cuma dia yang diceramahi, kakaknya tidak.
"Ya mau, Ma!" jawabnya malas. Kembali memasukkan nasi dan sup kambingnya ke mulut.
"Lalu?" tanya Mamanya. "Kapan kamu mau menikah? Mau tunggu apa lagi?"
"Tau ah Ma! Iinas pusing. Kakak aja tuh yang disuruh nikah. Kenapa Iinas terus sih?"
"Kakak kamu itu laki-laki Iinas."
"Ya terus kenapa? Kan sama aja."
"Beda! Kalau kamu itu punya masa kadaluarsa. Rahim kamu itu ada masa aktifnya. Ada batas berlakunya. Sebentar lagi kamu mau tiga puluh loh. Keburu jadi perawan tua kamu! Memang kamu mau rahim kamu kering, padahal kamu belum punya anak?"
"Mama ih! Amit-amit!"
"Makanya nikah, Dek!"
Iinaas membiarkan Mamanya. Dia lelah. Dia lapar. Makan saja dulu, barangkali nanti kalau sudah kenyang, perutnya bisa lagi diajak berpikir.
----------
-tbc