"Lo liatin apa sih Nas?" tanya Niana. Dia ngoceh sedari tadi, tapi Iinas seperti kehilangan fokusnya. Matanya kosong, menerawang hingga ke belakang Niana.
"Itu." tunjuk Iinas dengan dagunya, membuat Niana menoleh ke belakang.
"Apaan?"
"Gue kayak pernah liat orang itu deh, Na." kata Iinas masih fokus melihat apa yang dilihatnya. Bahkan matanya tak mau repot beralih pada Niana, meski sebentar saja.
"Yang mana sih?"
"Itu, yang cakep itu. Yang pakai kemeja biru muda." tunjuknya lagi. Lelaki itu, benar-benar bersinar di antara yang lainnya. Wajah dan perawakannya jauh dari kata standar.
"Yang duduk sama yang kacamataan itu?"
"Iya."
"Ya elah, lo masak nggak tau sih? Dia itu anaknya yang punya gedung ini, Nas. Terus yang di depannya itu sepupunya atau apanya gitu. Gue lupa. Dokter dia." jelas Niana. Gedung ini, gedung yang mereka tempati itu adalah gedung mixed use. Ada pusat perbelanjaan, hotel, apartemen, dan rent office yang mereka tempati sekarang. Dan semua milik ayah dari lelaki yang mereka bicarakan itu.
"Serius lo?" tanya Iinas tidak percaya. Otaknya masih mengingat siapa lelaki itu. Rasanya tidak asing, tubuhnya seperti mengenali pria itu.
"Iya. Lo kemana aja sih? Basic info kayak gini aja nggak tau."
"Lo kan tau sendiri gue jarang di kantor, ke lapangan mulu! Apalagi buat ngerumpi nggak jelas kayak gini. Mana sempet sih, Na." jelas Iinas yang kembali mulai kesal dengan pekerjaannya. Di saat orang-orang makan siang cantik sambil ngerumpi nggak jelas, maka Iinas masih berjibaku melawan sengatan matahari. Menghadapi owner, pelaksana, bahkan pernah langsung ke tukangnya.
Sigh! Beginilah hidup! Batin Iinaas.
"Ya elo udah berapa tahun sih di sini? Gue kira lo tahu, emang kuper lo. Makanya jangan kencan mulu sama Si Agus!"
"Sialan Lo!" Iinas mengumpat, melemparkan tisu bekasnya ke wajah Niana.
"Resek lo ah!"
"Eh tapi beneran deh Na, gue kayak pernah liat itu orang."
"Papasan di jalan kali, atau lo lagi halu. Wajar sih, biasanya kalo ketemu cowok cakep ya gitu, berasa pernah ketemu, atau pernah kenal, atau mirip kenalan, bisa jadi berasa mirip mantan!"
"Serius gue!"
"Terus kenapa? Lo naksir? Nih ya, gue kasih tahu. Menurut gosip yang beredar..." Niana menggantung kalimatnya.
"Apaan sih?" tanya Iinas tak sabaran, kesal Niana malah semakin membuatnya penasaran.
"Dia itu maho!" bisiknya kemudian.
"Maho?"
"Iya, homo, gay, penyuka sesama jenis."
"Dia nggak suka cewek?"
Niana mengangguk, kembali memasukkan sepotog siomay ke mulutnya.
"Oh, panteasan."
"Apaan?"
"Ya cowok cakep kalau nggak homo ya udah taken." kata Iinas. Tapi, dalam otaknya dia mengingat sesuatu. Lelaki itu, lelaki yang ditemuinya minggu lalu di kantin ini juga. Lelaki yang tak sengaja ditabraknya dan melah mendorongnya hingga jatuh ke lantai.
Pantesan, maho toh? Tapi sampai segitu alerginya sama cewek apa ya?
"Heh! Malah ngelamun!"
"Tapi serius lo Na, dia maho? kata siapa?"
"Biasa, dari anak-anak tukang gosip. Nggak tau juga sih, bener apa enggak, tapi menurut gosip yang beredar sih gitu. Secara, dia nggak pernah kelihatan sama cewek. Bahkan kabarnya, semua pegawai di sekitarnya itu cowok." jelas Niana menggebu, tapi masih sambil berbisik.
"Sayang banget sih kalau gitu." Niana mengangguk lagi. Iya, sayang. Cowok sekece itu, tapi nggak suka cewek. "Terus dia kerja di sini juga? Kok gue nggak pernah tau ya?"
"Elo taunya apa sih? ada anak baru sekantor aja lo nggak tau!"
"Tapi Na, kok anak konglomerat gitu mau-maunya sih makan di kantin bareng rakyat jelata macam kita begini?" Iinas mengabaikan gerutuan Niana, meskipun pertanyaannya yang tadi belun dijawab oleh sahabatnya itu.
"Mau down to earth kali. Nggak tau juga sih." jawab Niana asal.
"Ah, nggak lengkap gosip lo mah!" protes Iinas. Entah mengapa dia jadi penasaran dengan lelaki yang masih sibuk mengobrol dengan sepupunya itu.
"Ada yang bilang," Niana menelan potongan siomay terakhirnya. "sepupunya yang dokter itu kerja di rumah sakit sebelah. Terus, dia nggak punya waktu banyak buat sekedar makan siang. Nah, mungkin dari pada makan di kantin rumah sakit, mending di sini kan?" lanjutnya, menutup sendok dan garpunya di piring.
"Masuk akal juga sih," Iinas hanya mengannguk sambil berpikir. "meskipun gue nggak begitu percaya."
"Namanya juga gosip. Gue kan menyampaikan gosip, bukan kebenaran. Dan, kebenaran itu hanya milik Allah. Hahahha."
"Ck. Gila lo!"
"Bodo! Yuk ah, Lo udah belum? Kerjaan gue masih banyak nih."
"Ayo, gue juga masih harus ngecek gambar nih, abis itu mau ketemu owner."
"Sore nanti?"
"Iya."
"Gila sih. Itu owner sore-sore masih juga ngajak meeting."
"Ya gue bisa apa sih, Na. Pegawai rendahan mah cuma bisa nurut aja."
"Iya sih. Hahaha." Mereka tertawa bersama, lalu meninggalkan kantin yang masih tetap ramai itu.
----------
-tbc