"Kamu masih dekat sama si Agus Agus itu, Dek?"
"Hmm."
"Kok hmm sih?"
"Iya, masih Ma."
"Terus? Gimana kelanjutannya?"
"Nggak tau."
"Kok nggak tau? Dia serius nggak sih sama kamu? Mama tuh dari awal udah nggak sreg sama si Agus itu. Nggak punya sopan banget sama orang tua. Kapan dia pernah nemuin Mama sama Papa? Nggak pernah kan? Padahal kami juga nggak bakalan apa-apain dia."
Iinaas diam lagi. Memikirkan si Agus itu, membuat kepalanya tambah pusing. Perutnya melilit.
"Udah dua tahun lho Dek, kamu sama dia. Kamu nggak diapa-apain kan sama dia?"
"Mama ih!"
"Awas kamu! Jangan malu-maluin orang tua!"
"Enggak Mamaa!" jawab Iinaas kesal. Boro-boro diapa-apain dicium aja ogah Iinaas. Deket sih deket, tapi Iinaas juga masih bisa mikir kok. Apa lagi melihat gelagatnya Mas Agus yang nggak terlalu jelas itu.
"Papa nggak setuju sama si Agus itu." Papanya Iinas tau-tau sudah duduk manis di kursi kebesarannya. Menatap Iinaas penuh intimidasi.
"Kenapa Pa?" tanya Iinaas asal.
Sebenarnya, orang tuanya tidak setuju dengan Mas Agus itu, Iinas juga tidak masalah. Toh dia juga tidak cinta amat. Dia hanya menjalani hidupnya bagaikan air sungai yang mengalir tanpa bebatuan.
Flat, dengan sedikit riaknya.
Ada yang mendekati, yaudah hayuk. Iinas malas mikir lagi. Lagi pula, selama ini hatinya juga belum pernah berdetak pada siapapun. Oh, kecuali cinta pertamanya jaman SMP dulu, tapi sekarang Iinas juga sudah lupa wajahnya.
"Nggak jelas anak itu." jawab papanya singkat.
"Ya apanya yang nggak jelas, Pa? Papa nih yang nggak jelas!" sungut Iinaas kesal.
"Dia itu nggak sopan, Nas. Ngajak jalan anak orang nggak pernah izin. Lagi pula, dia itu juga sudah tua. Sudah bukan waktunya lagi untuk pacar-pacaran. Kelihatan sekali kan, kalau dia cuma mainin kamu. Sudah, tinggalkan saja! Orang seperti itu, memang tidak bisa diajak serius!" jawab Papanya berapi-api.
"Nah, itu maksud Mama tadi. Kamu cari yang lain kek, Dek. Jangan si Agus yang nggak jelas itu! Uh, namanya aja enggak banget deh! Nanti Mama harus bilang apa kalau ditanyain temen-temen arisan Mama, nama mantunya siapa, jeng? Terus Mama jawab Agus gitu? What? Agus? Please dek, ini udah tahun 2016 loh!"
Iinaas hanya bisa melongo mendengar celotehan Mamanya. Dari sekian banyak pilihan untuk dicela, Mamanya lebih memilih untuk mencela namanya? Lagi pula bukan salah Mas Agus juga kan, kalau namanya Agus. Dulu dia tidak bisa menolak saat orang tuanya memberikan nama itu. Sama seperti dirinya, kalau bisa, Iinas akan lebih memilih untuk menuliskan namanya dengan 'Inas' saja dari pada 'Iinas'. Kepanjangan. Kalau kata banyak temannya, alay!
"Mama apaan sih, nggak jelas banget!"
"Kamu nih ya, kalau dibilangin suka ngeyel. Kamu contoh tuh, si Arwaa. Meskipun petakilan begitu, dia dapat suaminya cakep banget. Yah, meskipun rada tua sedikit sih. Mama aja suka."
"Ekhm!" Papa berdehem keras-keras.
"Suka sebagai mantu, Pa! Papa ih!"
"Ya udah, Mama kalau pas arisan bilang aja kalau Mas Dona itu mantunya Mama. Beres kan?"
"Ya nggak bisa begitu dong, Dek! Mama juga tetep mau punya mantu sendiri. Lagi pula, mereka sekarang kan sudah menetap di Solo."
"Susul aja kalau gitu!"
"Iinaas!"
"Mama jangan tanya itu lagi deh. Iinaas pusing, Ma. Temen-temein Iinas juga banyak kok yang belum menikah. Padahal mereka lebih tua dari Iinaas." Meletakkan sendoknya, Iinaas mencoba berbicara. "Dan plis, Ma. Ini sudah 2016, dimana wanita juga banyak yang berkarir, berprestasi. Umur 30 itu masih muda, Ma."
"Kamu ini. Bisa banget kalau bantah Mama." Mamanya mendelik kesal. "Itu prinsip mereka, bukan prinsip Mama. Mama tidak perduli mereka mau menikah atau tidak. Tapi, Mama mau kamu menikah, Sayang. Mama mau kamu bahagia."
"Iinas bahagia, Ma. Mama jangan khawatir. Dengan belum menikah, bukan berarti Iinas tidak bahagia."
"Iya. Mama tahu. Tapi kamu akan lebih bahagia kalau kamu menikah. Mama Papa juga bahagia. Percaya sama kami, Nak. Kamu tidak mau melihat Mama Papamu ini bahagia?" Mama mengusap rambut Iinas pelan. Kalau sudah begini, mau membantah, Iinaas juga segan. "Mama juga pengen ngerasaan punya Mantu, Dek. Punya cucu sendiri. Mama Papa sudah tua. Apalagi Papamu itu. Kamu tidak kasihan lihat Papa?"
"Mama ih!" kini Papanya yang mendelik kesal. Kenapa juga umur nya harus dibawa-bawa.
"Papa diam deh. Papa kan memang sudah tua. Papa nggak ingat dulu menikahi gadis di bawah umur?" giliran Mamanya Iinaas yang menyindir tajam.
"Delapan belas itu sudah tua, Ma. Teman Mama umur segitu juga sudah banyak yang punya anak." Sungut Papanya tidak terima. Selama ini, dia tidak pernah merasa menikahi gadis di bawah umur.
"Ya tapi waktu itu Papa sudah umur tiga puluh. Dapat istri masih kinyis-kinyis begini."
"Itu dulu, Ma. Mama ingat umur, sekarang sudah tidak kinyis-kinyis lagi. Badannya aja udah mau kayak kulkas dua pintu."
"PAPAAA!! Awas ya! Nggak usah masuk kamar!!"
Papa Iinaas segera berlari meninggalkan meja makan, disusul oleh istrinya. Meninggalkan Iinas sendirian di sana. Terkadang, Iinaas suka kesal dengan orang tuanya. Tapi, melihat tingkah orangtuanya yang seperti ini, membuatnya tersenyum.
Dalam hati, Iinas juga ingin punya keluarga yang harmonis seperti orang tuanya. Punya pasangan yang saling mengerti, saling mencintai seperti mama dan papanya.
Iinas menggeleng.
Ah, sudahlah. Sepertinya bayangan itu masih jauh untuk Iinas.
----------
-tbc