"Uh! Capek banget gue!" Dengan tergesa, Iinas duduk di kubikelnya. Tangannya mengipas wajahnya, meski AC sudah menyala maksimal. "Na, air dong! Kering nih tenggorokan gue."
"Lo dari mana sih, Nas!" tanya Niana memberikan sebotol air mineral. Miliknya, belum sempat dia minum. Tapi tak apa, Iinas lebih membutuhkan.
"Aahh. Lapangan." Iinas mendesah setelah menghabiskan setengah botol air mineral. "Heran gue. Kenapa sih Pak Anjas, kalau ngajak gue ketemuan musti di lapangan terus? Kan panas, Na! Di sekitar situ kan juga banyak tuh cafe."
"Terima aja, Nas. Nasib kacung ya gini." jawab Niana kalem. Dia sudah biasa meladeni keluh kesah sahabatnya ini sejak kuliah.
"Uh, mana jauh banget lagi. Gue baru tau kalau ada pembangunan gedung di pelosok Jakarta."
"Proyek mana sih yang lo pegang?"
"Itu loh, pabrik kompor biogas. Udah proyeknya kecil, owner-nya rewel pula. Ah Ya Allah, kesel lagi kan gue."
"Udah, sabar aja. Jangan anggap ketemu owner, anggap aja lagi ketemuan sama cowok ganteng." jawab Niana enteng, lalu kembali ke kubikelnya. Pekerjaannya juga belum selesai. Nanti sore, Pak Rahmat pasti menagihnya.
"Siapa cowok ganteng?" tanya Iinaas bingung.
"Lah, ya Pak Anjas dong! Siapa lagi?"
"Iyyuuh. Nana!" Iinas mencubit pipi sahabatnya dengan gemas. "Ganteng sih ganteng. Buntutnya udah dua, Na! Lo mau kena amuk sama bininya?"
"Ya kan kalau bininya nggak tau, gak jadi masalah, Nas!"
"Ih. Amit-amit deh, Na! Yang single aja masih banyak. Ngapain ngincer yang yang udah ada buntutnya."
"Ya kali aja lo mau." Niana semakin kalem menanggapi kehebohan Iinaas. "Biasanya kan suami orang terlihat menggoda, apalagi yang udah punya anak gitu. Keliatan banget bapakable-nya." lanjutnya.
"Amit-amit! Jangan sampai deh, gue jadi pelakor. Bisa disumpahin para istri se-Indonesia gue."
"Aduh, kita kenapa jadi bahas ini sih? Maksi yuk! Lo udah makan belum?" tanya Niana. Dia sadar, kalau diteruskan, obrolan unfaedah ini akan berlanjut ke mana-mana. Lebih baik ia segera mengisi perutnya yang sudah mulai rewel. Bodo amatlah sama Pak Rahmat. Siapa suruh ngasih kerjaan mepet deadline begini.
"Belum lah! Di proyek mana ada makanan. Tumben lo ngajakin gue. Laki lo kemana?"
"Meeting di luar dia. Udah ah, yuk!" Niana segera menyeret lengan Iinas. Dia sedang ngidam siomay hari ini.
"Gue pengen siomay nih!" katanya masih mengamit lengan Iinas. Menyuarakan keinginan terpendamnya beberapa jam lalu. Niana jadi kesal lagi sama suaminya. Tadi pagi, suaminya itu gagal membawakannya sebungkus siomay. Alhasil, Niana ngambek dan nggak mau diajak maksi sama si Abang suami.
"Lagi?" Iinas menghentikan langkahnya sebentar, memandang sahabatnya yang tingginya hanya sebahunya itu. "Lo doyan apa ngidam sih? Tiap hari makan siomay mulu! Sarapan siomay, makan siang siomay. Jangan bilang kalau di rumah, lo makan siomay juga!"
"Ehehehe. Kok lo tau sih?"
"Ya Allah Na! Lo nggak kasian sama anak lo? Tiap hari di suruh makan siomay mulu!"
"Udah sih. Ini juga debay yang mau. Lo kan tau sendiri dulu gue kaya rada alergi gitu sama ikan. Eh, sekarang malah jadi begini."
"Ya tapi gue yang ikut eneg liat lo makan siomay tiap hari! Gue aja yang cuma liat, sampe bosen sendiri."
"Ya udah, lo jangan liat siomaynya! Liat aja muka gue yang imut ini."
"Najong lu!"
"Ah elah Nas! Demi calon ponakan lo nih!"
"Iye, iye! Serah apa kata lo dah!" jawab Iinas malas. Emang kalo debat sama bumil, dia nggak akan bisa menang.
"Gitu dong!" Senyuman secerah mentari pagi terang di bibir Niana. Tak lupa, tangannya dengan usil menjawil dagu sahabatnya itu.
----------
-tbc