Semula Catherine sudah curiga dengan aroma wangi disekitarnya. Dia merasa dirinya berada di sebuah taman yang dipenuhi dengan berbagai macam bunga. Dia pernah.. tidak, dia sering ke tempat taman yang penuh dengan bunga-bunga. Meski dia tidak bisa melihat kecantikannya, dia masih bisa menikmati harumnya berbagai macam bunga. Catherine paling suka dengan aroma wangi bunga, karena itu dia sering ke taman bunga.
Semenjak dia mencium aroma bunga tadi, dia menyangka Vincent membawanya ke sebuah taman bunga. Kenyataannya dia salah besar. Tempat ini sama sekali bukan taman bunga. Dan jelas sekali bukan taman yang pernah dikunjunginya.
Saat ini dia berdiri di sebuah bangunan berbentuk persegi tanpa jendela ataupun pintu. Hanya ada empat pilar di masing-masing ujungnya dan ditutupi dengan atap berbentuk tak biasa namun terkesan romantis. Tidak hanya itu.. jalanannya yang tadi dia lalui rupanya merupakan jalan penyebrangan melintasi genangan air. Sebuah danau. Dengan kata lain, dia berada di tengah-tengah danau saat ini.
Mata Cathy memandang ke arah danau yang luas dan jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Dia melihat belasan.. bahkan mungkin puluhan bunga teratai mengapung bersebaran di danau mengelilingi tempat mereka berada. Benar. Aroma yang diciumnya adalah wangi bunga teratai. Aroma favoritnya. Bahkan sabun, pengharum ruangan dan parfumnya tidak jauh dari aroma teratai.
Dia juga melihat ada titik cahaya di masing-masing bunga teratai. Apakah mungkin lilin?
Cathy memutar tubuhnya untuk melihat sisi yang lain dan disana dia melihat sebuah meja bundar dengan dua kursi berhadapan terletak persis di tengah tempat itu. Di tengah meja tersebut ada dua lilin dan setangkai bunga di dalam gelas kaca.
"Ada satu lagi." sahut Vincent sambil mengulurkan tangannya.
Cathy meletakkan sebelah tangannya dan membiarkan pria itu sekali lagi menuntunnya ke salah satu pojok bangunan tersebut. Di atas pagar kayu setinggi pinggang yang menjadi penghalang agar tidak ada yang terjatuh ke danau, terdapat sebuah kotak berisi batu dengan warna yang berbeda.
Vincent mengambil salah satu batu tersebut dan memberikannya pada Cathy.
"Coba lempar batu ini kearah sana. Kau akan menyukainya."
Cathy tidak mengerti namun tetap melempar batu ke arah yang ditunjukkan Vincent.
Pluk! Tepat saat batu tersebut tenggelam, Cathy mendengar alunan melodi yang sangat indah. Sayangnya melodi itu berhenti dengan cepat dan dia merasa penasaran. Cathy menoleh ke arah Vincent dengan mata yang bersinar-sinar layaknya anak kecil yang mendapatkan mainan baru.
Tahu apa yang diinginkannya, Vincent memberikan sebuah batu lain kepada Cathy.
Pluk! Terdengar alunan melodi lain yang tidak kalah indahnya. Cathy berusaha mencari sumber suara melodi tersebut, tapi tidak berhasil menemukannya. Melodi tersebut hanya memainkan beberapa nada dan kemudian berhenti membuatnya ingin mendengar lagi dan lagi.
"Bagaimana bisa? Darimana suaranya? Tidak ada alat musik disini. Tidak ada siapapun disini. Lalu bagaimana bisa?" tanpa disadarinya Cathy bertanya tanpa berhenti dan terlihat sekali dia sangat menyukai kejutannya.
"Apa kau bisa melihat cahaya disana?" Vincent menunjukkan ke arah dekat batu dilemparkan.
Cathy yang tidak bisa membedakan warna tidak tahu cahaya seperti apa yang dimaksud. Tapi saat melihat ada kilauan yang terkadang menyinari matanya, barulah dia mengerti cahaya yang dimaksud Vincent.
"Sepertinya aku melihatnya." jawab Cathy.
"Dibawah air ada sebuah mesin dengan beberapa tombol. Tiap kali batu menekan tombol tersebut, sebuah melodi singkat akan terdengar. Masing-masing tombol memiliki melodi yang berbeda-beda. Dan kau tidak akan bisa menemukan sumber suaranya, karena alat pengeras suara dipasang di keempat sisi dibawah pilar."
Sinar mata Cathy tampak terkagum-kagum mendengarkan penjelasannya.
"Ini pertama kalinya aku mendengar ada mesin seperti ini. Bagaimana kau bisa menemukan tempat seperti ini?"
Vincent mengusap belakang lehernya dengan gugup.
"Aku tidak menemukannya." ucap Vincent dengan sangat pelan hingga tak terdengar oleh Cathy.
"Apa aku boleh mencobanya lagi?"
"Tentu saja." kali ini Vincent membiarkan Cathy mengambil batu seberapapun yang dia inginkan.
Sementara Vincent hanya menyaksikan ekspresi yang terpasang wajah bahagia Cathy tanpa bosan. Vincent memangkukan sebelah tangannya ke atas pagar kayu dan meletakkan dagunya diatas tangannya agar wajahnya sejajar dengan Cathy. Dengan begitu dia bisa melihat wajah Cathy lebih jelas.
Setelah akhirnya merasa puas mendengar beberapa alunan melodi tersebut Cathy menoleh ke arah Vincent untuk bertanya berapa macam alunan melodi yang terdapat dalam mesin ajaib tersebut. Namun saat matanya bertatapan dengan mata pemuda disebelahnya, pertanyaan yang ingin ditanyakan terlupakan seketika.
"Kenapa kau memandangku seperti itu?" tanya Cathy dengan debaran jantung yang tidak normal.
Senyuman Vincent melebar membuat Cathy tidak sanggup menahan debaran jantungnya.
"Apa kau tahu, ini pertama kalinya untukku." ujar Vincent masih dalam posenya yang bersimpu pada tangannya.
"Pertama kali?"
"Hm. Pertama kali penasaran pada seorang gadis. Pertama kali ingin mengenalnya lebih dalam. Pertama kali ingin membuat orang itu tersenyum dan tertawa. Dan juga.. pertama kali gadis ini membuatku terpesona di tiap pertemuan kami."
Cathy merasa hatinya sakit saat mendengar ucapan itu. Dia merasa gadis yang dimaksudkannya bukanlah dirinya. Cathy takut mendengar kelanjutannya, tapi dia juga tidak tahu bagaimana cara menghentikannya. Jadi, yang dia lakukan hanyalah mendengarnya sambil mempersiapkan diri. Tanpa disadarinya kebiasaan buruknya muncul kembali... menggigit bibir bawahnya.
Vincent berdiri tegak dan mengelus pipi Cathy dan mengusap bibirnya dengan ibu jarinya. Gerakan jarinya seperti membujuknya untuk melepaskan gigitannya.
"Pertama kalinya hatiku sakit melihat gadis itu selalu melukai bibirnya tiap kali mengalami tekanan. Jadi, Catherine. Aku yakin aku tidak sedang menekanmu, kenapa kau melukai dirimu sendiri?"
Mendengar ini debarannya kembali tidak normal dan menatap Vincent dengan bingung. Dari kalimat terakhir pemuda itu, kenapa dia merasa dialah gadis yang dari tadi dibicarakan?
"Aku.. aku tidak mengerti." kenyataannya Cathy memang tidak mengerti sebenarnya apa maksud pembicaraan ini.
"Apa benar kau tidak mengerti? Atau kau hanya mencari alasan untuk melarikan diri?" entah kenapa nada pada suara Vincent kini terdengar jahil. "Kau selalu saja melarikan diri saat aku merayumu."
Cathy terkesiap mendengar kalimat terakhir pemuda itu.
"Me..merayuku?! Ka..kapan?"
Vincent terkekeh melihat kegugupan gadis didepannya sudah tidak terbendung lagi. Akhirnya secara perlahan Vincent menggenggam kedua tangan Cathy kemudian menariknya lembut hingga masuk kedalam dekapannya.
"Aku menyukaimu. Tidak. Aku jatuh cinta padamu. Kau gadis yang pertama kali memasuki hati dan pikiranku."
Deg...deg...deg..deg..deg.degdegdegdeg
Berhenti!! Jantungku sudah tidak kuat.. Teriak Cathy dalam hati. Bahkan saat Vincent menariknya kedalam pelukannya, jantungnya sudah berdebar tidak karuan, sekarang dia harus mendengar ungkapan pria itu. Cathy telah kehabisan kata-kata dan ide untuk menghadapi pria yang juga sudah mengisi hati dan pikirannya.
"A..aku.." entah sejak kapan seorang Catherine menjadi gagap seperti ini.
Vincent melonggarkan pelukannya sambil tersenyum.
"Bukankah kau sudah lapar? Ayo makan." Vincent masih menggenggam tangannya dan menuntunnya ke meja bundar tadi.
Tidak lama kemudian, beberapa pelayan menghampiri mereka sambil membawa makanan mereka.
Menu pertama salad buah dengan taburan keju membuat sinar mata Cathy bercahaya kembali. Kemudian berlanjut pada daging steak domba yang diirisi oleh Vincent terlebih dahulu sebelum memberikannya pada Catherine. Makanan penutup mereka es krim tart red velvet dengan taburan biskuit oreo.
Itu semua merupakan makanan favorit Catherine di daftar teratas. Bagaimana Vincent bisa mengetahuinya?
Cathy kembali teringat di pertemuan mereka sebelumnya. Dia merasa pemuda dihadapan ini selalu bisa membaca pikirannya. Bahkan sewaktu di Pina pun, pria itu dengan caranya sendiri mengetahui apa yang diinginkannya. Tentu saja dia tidak perlu merasa heran lagi jika seandainya Vincent mengetahui jenis makanan yang paling disukainya.
Tunggu dulu.. Di Pina? Seingatnya Vincent juga bersikap pengertian saat mereka di sana. Kini dia penasaran, sejak kapan pemuda ini menyukainya? Dan juga.. apakah pemuda itu memang tahu bahwa dia buta warna? Kalau memang sudah tahu, kenapa orang ini masih menyukainya?
"Uhm.. Vincent?"
"Hm?"
"Itu.. sebenarnya.. aku.." Cathy sama sekali tidak tahu bagaimana cara menanyakannya.
"Kita selesaikan makanan ini dulu baru kita bicarakan apapun yang ingin kau katakan. Bagaimana?"
Cathy menganggukkan kepalanya menyetujui usulan pemuda itu. Vincent tersenyum lega mendengarnya. Sebenarnya dia memang sangat penasaran jawaban apa yang akan diberikan gadis pujaannya, namun dia juga merasa takut mendengar jawabannya.
Vincent hanya tidak tahu, satu-satunya pria yang bisa membuat Cathy bersikap terbuka adalah dirinya. Karena itu Vincent juga tidak tahu bagaimana perasaan Cathy terhadap dirinya.
Saat salad buahnya hampir habis dia mendengar sebuah alunan musik band tidak jauh dari tempat mereka. Secara reflek Cathy menoleh ke arah sumber suara tersebut. Rupanya dari tempat dia datang terdapat sebuah panggung besar yang kini diisi pemain musisi band.
"Sejak kapan mereka ada disana?"
"Tentu saja sejak dari tadi, hanya saja mereka baru kuizinkan main sekarang."
Cathy tersenyum mendengarnya. Tampaknya pemuda satu ini telah menyiapkan banyak kejutan untuknya.
"Sebenarnya berapa banyak kejutan yang sudah kau siapkan?" Cathy berpura-pura merajuk berusaha meniru nada rajukan dari pemuda itu saat di rumah keluarganya.
Vincent hanya tertawa geli menjawabnya dan sekali lagi mereka menikmati makan malam romantis mereka.
Tepat saat mereka menghabiskan makanan penutup mereka, Cathy mendengar seseorang menyanyi di panggung tersebut. Anehnya dia merasa sangat mengenal suara indah nan seksi ini. Dia ragu apakah mungkin pemilik suara ini memang seperti yang diduganya atau tidak. Cathy berusaha memincingkan matanya untuk melihat wajah penyanyi tersebut.
Sayangnya jarak antara tempatnya dan panggung tersebut lumayan jauh, jadi dia tidak bisa melihatnya.
"Kau mau melihatnya?"
Cathy menganggukkan kepalanya dengan semangat dan sekali lagi membiarkan Vincent menggenggam tangannya dan berjalan ke arah panggung.
Cathy merasa seperti berjalan di atas air saat kembali berjalan diatas jalanan kayu untuk menyeberang kembali. Di sisi kanan dan kirinya tergenang air dengan bunga teratai yang menyebar. Dia memang tidak bisa melihat warna, tapi dia bisa merasakan suasana romantis disekitarnya.
Tadinya Cathy mengira kejutan Vincent berakhir pada band musik tersebut, nyatanya dia salah besar. Kebahagiaannya memuncak saat melihat wajah sang penyanyi itu yang kini mengedipkan mata kearahnya dengan menggoda.
Katleen Morse yang katanya sibuk konser di luar kota sekarang menyanyi disini?! Di hadapannya? Dia tahu untuk bertemu dengan sahabat tersayangnya harus menunggu paling tidak setengah tahun atau satu tahun sebelum Kitty mengambil break. Tapi kurang dari tiga bulan, dia bisa bertemu dengan sahabatnya lagi sungguh membuatnya sangat bahagia.
Cathy kembali memandang ke arah Vincent dengan tatapan kagum yang kini tidak bisa disembunyikannya lagi. Saat ini dia merasa bahagia dan dia yakin dia tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya.
"Nona Catherine West, apa kau bersedia memberikanku kehormatan untuk menjadi pasangan dansamu?"
Bagaimana mungkin dia bisa menolaknya? Cathy segera menerima tangan pemuda itu dan mereka berdansa santai sambil berhadapan.
Vincent menuntun kedua tangan Cathy melingkar ke lehernya sementara kedua tangannya melingkar di pinggang Cathy. Ini pertama kalinya tubuh mereka sangat dekat membuat Cathy menunduk tak sanggup mengadahkan wajahnya menatap pasangannya.
"Kenapa kau menghindariku?"
"Aku tidak menghindarimu."
"Kalau begitu kenapa kau tidak melihatku?"
"..." Cathy melirik ke arahnya dengan ragu, kemudian melihat senyuman dan mata yang jahil kearahnya. Barulah dia sadar, pria itu sedang menggodanya.
Kedua tangannya diturunkannya untuk menutupi wajahnya.
"Hari ini kau sangat menyebalkan." omel Cathy membuat Vincent tertawa geli.
"Jadi.. apa saja yang ingin kau tanyakan?"
Cathy mendongakkan wajahnya dengan bingung.
"Bukankah tadi aku sudah janji akan menjawab apapun yang kau tanyakan?"
Ah, benar. Vincent akan menjawab pertanyaan apapun darinya jika dia tidak mengintip saat berjalan kearah tengah danau tadi.
Di benak Cathy terdapat banyak sekali pertanyaan, tapi sebagai permulaan dia ingin memastikan sesuatu.
"Vincent.. kau.. bukan fotografer biasa. Tapi kau seseorang berasal dari keluarga Regnz." lebih tepatnya Cathy mengatakannya sebagai sebuah pernyataan, bukan pertanyaan.
Vincent sama sekali tidak menduga topik pertama yang muncul adalah mengenai asal usul keluarganya. Darimana Cathy bisa tahu kalau keluarganya adalah Regnz? Seingatnya selama perkenalan tadi, mereka sama sekali tidak menyebutkan perihal Regnz.
Tentu saja Vincent melupakan sesuatu. Gadis ini sangat pintar dan teliti, melebihi dari wanita umumnya. Seharusnya dia tidak perlu terkejut jika seandainya gadisnya mengetahui keluarganya saat pertemuan mereka tadi.