Semalaman Vincent tidak bisa tidur dengan nyenyak. Entah kenapa dia merasa gelisah seolah-olah ada sesuatu yang buruk akan terjadi. Vincent tidak melihat ke arah jam karena masih berusaha untuk tidur dengan menutup kedua matanya menggunakan bantalnya. Itupun tidak bisa membuatnya tidur.
Akhirnya setelah dia merasa telah terlelap dan yakin tidak akan bangun untuk kesekian kalinya; sebuah suara membangunkannya. Rupanya ponselnya berbunyi menandakan sebuah chat telah masuk.
'Hai, selamat pagi.'
Vincent tersenyum membaca chat itu. Dia melirik ke arah jam di ponselnya, ternyata sudah jam enam pagi lewat. Vincent memutuskan tidak peduli jika dia kurang tidur. Tanpa menunggu lagi, Vincent segera menelpon pengirim chat tersebut.
"Aku terkejut, tiba-tiba saja kau menelponku."
Vincent tertawa renyah mendengar suara gadis yang dirindukannya. Rindu? Padahal baru berpisah kemarin malam, tapi dia merasa sudah tidak bertemu dengan gadis itu berbulan-bulan.
"Selamat pagi Cathy."
"Selamat pagi. Tadinya kupikir kau belum bangun. Ini kan masih jam enam."
"Bagaimana denganmu?"
"Aku sudah terbiasa bangun pagi, hanya saja... akhir-akhir ini aku terlambat bangun. Semua orang di rumah ini melarangku melakukan kegiatan yang biasanya kulakukan."
Vincent tersenyum mendengar kekasihnya sedang merajuk.
"Bukankah kau bertemu dengan Morse jam dua belas? Kalau begitu aku akan menjemputmu jam sembilan."
"Huh? Apa tidak terlalu awal?"
"Tentu saja aku juga ingin kencan dengan kekasihku sendiri. Aku tidak mungkin melewatkan hari ini dan membiarkanmu kencan dengan orang lain."
"..." tidak ada jawaban dari Cathy, tapi Vincent yakin kekasihnya sedang merona. "Sepertinya kau terlalu banyak minum madu. Kenapa level kalimat manismu meningkat drastis?"
Vincent hanya tertawa mendengar omelannya. Pembicaraan mereka masih berlanjut selama hampir sejam sebelum akhirnya mereka memutuskan voice call mereka.
Jam sembilan kurang Vincent telah tiba dengan mobilnya di depan rumah Cathy. Sementara Cathy keluar tepat jam sembilan dan menatap mobil Vincent dengan terheran-heran.
"Kita naik mobil lagi?"
"Tentu saja."
"Aku lebih suka jalan dan naik kendaraan umum."
"Tenang saja. Aku akan memarkirkannya di lahan parkir, baru kita bisa berjalan-jalan."
"Baik tuan muda. Aku akan menuruti keinginanmu."
Vincent terkekeh mendengar suara genit kekasihnya.
"Aku tidak tahu kalau kau suka sekali jalan sambil bergandengan tangan denganku." goda Vincent.
"Pagi-pagi begini kau ingin membuatku cemberut?"
"Maaf tuan putri. Silahkan naik." Vincent membuka pintu mobilnya sambil membungkuk tubuhnya sedikit. Sikapnya seperti seorang pelayan yang membukakan pintu mobil kerajaan untuk sang tuan putri.
Cathy menahan senyumannya dan berusaha memasang wajah cemberut saat naik ke mobilnya. Saat Cathy hendak memasang sabuk pengamannya, Vincent telah mengambil alih.
"Sepertinya kau suka sekali memasang sabuk pengamanku."
Vincent menoleh kearah Cathy menyebabkan wajah mereka sangat dekat membuat Cathy menahan napasnya.
"Bagaimana bisa aku tidak menyukainya? Hanya ini kesempatan agar aku bisa melihatmu dengan sangat dekat."
"Kau menyebalkan." Cathy memukul pelan dada Vincent membuat pria itu tertawa.
Seperti biasa mereka berbincang selama perjalanan seolah mereka tidak pernah kehabisan bahan obrolan. Sesekali mereka saling menggoda dan bersikap jahil, tapi kebanyakan Vincent yang memenangkan permainan kata mereka.
Setelah memarkirkan mobilnya, keduanya berjalan melintasi bangungan rumah yang menuju ke arah taman bunga. Seperti biasanya, Vincent memotret dengan kamera analognya tiap sepuluh langkah.
"Vincent, antara kameramu dan aku, yang mana yang paling kau suka?" Cathy tertarik untuk menggoda pria itu.
Sayangnya tidak ada tanda-tanda Vincent akan menjawabnya. Pria itu bahkan tampak serius memikirkan jawabannya.
"Ternyata begitu. Kau tidak tahu jawabannya. Terima kasih, aku sudah tahu bagaimana perasaanmu." Cathy berjalan mendahului Vincent dengan langkah selebar mungkin.
Vincent yang masih bingung untuk mencari jawaban yang tepat baru menyadari bahwa dia sedang dalam bahaya. Bahaya menghadapi kesinisan sang kekasih.
"Cathy, tunggu." Vincent menyusulnya hanya dalam beberapa langkah saja. Kemudian mengaitkan jemarinya ke antara jari Cathy. "Bagaimana mungkin kalian bisa dibandingkan? Kameraku sama sekali tidak berarti dibandingkan dirimu."
"Benarkah? Kalau begitu bisakah kau melepasnya sekarang?"
Vincent mengalihkan pandangannya ke arah lain kemudian menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.
"Apa harus sekarang?"
Cathy tidak tahan lagi menahan senyumnya, dia langsung melingkarkan tangannya ke lengan Vincent dan kembali berjalan. Vincent hanya tersenyum menyadari kekasihnya berhenti menggodanya. Inilah salah satu alasan kenapa Vincent yang seringkali menang dalam kejahilannya. Cathy selalu berhenti di tengah-tengah karena merasa trauma konsekuensi yang akan diterimanya nanti kalau sampai Vincent membalasnya.
Benar. Cathy benar-benar akan terkena serangan jantung kalau sampai Vincent mendekatkan wajah kearahnya tanpa peringatan seperti kemarin malam. Karena itu Cathy tidak terlalu jauh saat menggoda kekasihnya. Lebih tepatnya, dia tidak berani.
"Tadinya kupikir memotret adalah pekerjaanmu. Setelah mengetahui siapa kau sebenarnya, sekarang aku menduga memotret adalah hobi kesukaanmu?" tebak Cathy.
"Hmmm.. bisa dibilang hobi, juga bisa dibilang pekerjaan. Terkadang aku menerima pekerjaan dari beberapa brand yang menginginkan jasaku. Kalau tidak ada pekerjaan, aku sering berjalan-jalan sambil memotret obyek yang menarik."
"O ya? Obyek apa yang paling kau sukai?"
"Semua yang menimbulkan kesan perasaan hangat. Misalnya pasangan suami istri yang sudah lanjut usia masih berjalan sambil bergandeng tangan. Atau saat sebuah keluarga yang sedang berpiknik. Hari Minggu adalah hari kesukaanku. Banyak keluarga yang berkumpul di tempat tamasya."
"Rupanya begitu." Cathy tersenyum lebar merasa dirinya lebih mengenal apa yang menjadi kesukaan kekasihnya.
"Tapi akhir-akhir ini ada satu obyek yang tidak bisa lepas dari kameraku."
"Apa itu?"
Vincent menjawabnya dengan tindakan. Dengan cepat Vincent mengarahkan kameranya ke arah Cathy dan... Klik! Suara kamera berbunyi menandakan sebuah foto telah diambil.
"Vincent," nada pada suara Cathy terdengar manja membuat Vincent tertawa.
Ternyata tidak berhenti sampai disitu, meski mereka masih berjalan, Vincent berjalan mundur berhadapan dengan Cathy sambil mengambil foto kekasihnya yang lain.
"Sudah hentikan." tangan Cathy berusaha menghalangi lensa kamera tersebut.
Akhirnya Vincent berhenti dan berjalan disebelah Cathy, tidak lupa kedua tangan mereka saling berkaitan.
"Bukankah kamera jenis itu sangat rumit? Aku dengar cara mencetaknya juga tidak mudah."
"Memang benar, tapi aku lebih suka melakukan proses pencetakannya."
"Kau mencetaknya sendiri?" Cathy lebih terkejut mendengar bahwa Vincent mencetak fotonya sendiri.
"Tentu saja. Kapan-kapan aku akan mengajakmu mencetaknya."
"Kenapa tidak sekarang?" Cathy malah merasa bersemangat melakukan hal yang baru.
"Tidak masalah kalau sekarang, tapi kau pasti akan terlambat menemui teman kencanmu."
"Ah, benar." jelas sekali Cathy tampak kecewa.
Vincent tersenyum lebar kemudian menarik tangan Cathy, "Sebagai gantinya aku akan menunjukkan sesuatu."
Cathy mengikuti langkah Vincent dan beberapa menit kemudian mereka tiba di depan sebuah gedung yang memiliki pintu berkaca.
Galeri V collection? Mengapa Vincent mengajaknya kemari?
Frank, seorang penjaga galeri sekaligus sahabat dekat Vincent menatap pasangan didepannya dengan tatapan menyelidik.
Cathy merasa malu bergandeng tangan dihadapan Frank, dia berusaha melepaskan tangannya dari tangan Vincent. Sayangnya, kekasihnya sama sekali tidak melepaskannya dan Cathy sama sekali tidak bisa berkutik.
"Apa kau membawanya kemari untuk pamer? Mentang-mentang tinggal aku yang masih single huh?"
Mata Cathy melebar dan salah tingkah saat melihat Vincent malah tertawa menghadapi nada sarkas sahabatnya.
"Frank, kau salah paham. Aku.. aku.."
"Tenang saja Cathy, dia tidak benar-benar serius mengatakannya. Hiraukan saja dia."
Frank mendengus mendengar penjelasan sahabatnya dan memutuskan pergi menjauh dari pasangan yang sedang kasmaran. Mana mau dia menjadi obat nyamuk diantara mereka?
Dengan masih menggandeng Cathy, Vincent menuntunnya naik ke lantai dua. Dipojok lantai dua ada sebuah pintu dengan huruf V menghiasi bagian atasnya.
Vincent hendak membuka pintu tersebut saat Cathy mencegahnya.
"Ada apa?" tanya Vincent bingung.
"Apanya ada apa? Sekali lihat semua orang juga tahu ini kantor V, kenapa kau mau masuk kedalam? Bagaimana kalau V marah? Bukankah ini namanya masuk tanpa izin?"
Ingin sekali rasanya mengoda gadis itu. Tapi Vincent mengurungkan niatnya. Entah amukan seperti apa yang akan dia hadapi nanti saat dia membongkar identitasnya sebagai V. Dia tidak ingin memperburuknya dengan menggodanya.
"Percayalah padaku, kita tidak akan melanggar apapun. Ayo."
Pintu terbuka dan Vincent membawa Cathy masuk ke dalam. Cathy terpengarah melihat apa yang menghiasi dinding ruangan itu. Dia seperti melihat puluhan dirinya ada disana dengan latar belakang yang berbeda-beda.
Cathy masih dalam keadaan terkejut saat tangannya ditarik menuju ke sebuah foto ukuran besar. Ada empat wanita didalam foto tersebut. Anehnya, dia merasa sangat familiar dengan keempat wanita itu. Wajah mereka memang tidak terlalu jelas, tapi dia yakin.. itu adalah ketiga adiknya bersama dengannya di Green Park.
"Ini.. bukankah mereka.."
"Hm. Mereka adalah empat bersaudara keluarga West. Ini foto pertamamu yang kuambil di Green Park."
"Bagaimana bisa? Kenapa foto yang kau ambil bisa ada disini?"
Vincent menyenderkan bahunya ke tembok dengan was-was masih menggandeng sebelah tangan Cathy. Vincent sengaja tidak segera memberinya jawaban karena dia melihat raut muka Cathy yang tampak seperti berpikir dengan serius. Pasti gadis itu sedang menghubungkan puzzle-puzzle mengenai dirinya.
Tidak lama kemudian, Cathy melirik ke arahnya dengan ragu. Tampaknya gadis itu sudah menemukan jawabannya.
"Jangan bilang kau adalah V?"
Ups.. seperti yang diduganya, nada suara Cathy mulai tak bersahabat.
"Uhm.. baiklah, aku tidak akan bilang."
Cathy langsung menyentakkan tangannya dan Vincent membiarkannya meski dia masih ingin menggenggam tangan kekasihnya.
"Kau! Wah, aku sama sekali tidak percaya ini. Dari awal kau adalah V dan kau mengatakan kalimat yang sangat menyakitkan sebagai V? Apa kau menikmatinya? Apa kau sedang mempermainkanku? Kau pasti tertawa mengejek di belakangku. Apa kau tahu aku merasa bersalah pada CEOku karena mengecewakannya? Kenyataannya ternyata selama ini justru V sendiri yang melakukan komersial itu?! Apa kau tahu aku hampir tidak bisa tidur tiap malam karena kegagalanku dalam merekrut V?...."
Vincent hanya menundukkan kepalanya seperti anak kecil yang sedang dimarahi oleh ibunya. Cathy masih mengutarakan isi hatinya dengan meluap-luap membuatnya tidak bisa menghentikannya. Sementara Vincent, dia hanya bisa mendengar ceramahnya dengan sabar.
Entah berapa lama Cathy menceramahinya, yang pasti gadis itu berhenti setelah kehabisan nafas. Vincent melirik ke arah Cathy ragu-ragu dan segera menundukkan wajahnya lagi begitu melihat pelototan Cathy yang berapi-api.
Vincent terheran-heran kenapa semua wanita yang disayanginya menjadi begitu mengerikan ketika marah?
Vincent menghela napas sebelum mencoba melirik kembali ke arah Cathy. Akhirnya dia bernapas lega menyadari Cathy sudah tidak menatapnya dengan marah lagi. Vincent bergerak dengan sangat pelan hingga akhirnya kedua tangannya melingkar di tubuh Cathy.
"Lepas! Aku masih marah."
"Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf. Aku juga tidak menyangka kalau akan seperti ini. Kalau dari awal aku tahu kau akan memenuhi hatiku, aku pasti sudah memberitahumu kalau aku adalah V."
Cathy mendecak kesal mendengar kalimat manis dari kekasihnya.
"Aku membencimu." rajuk Cathy sembari memberi pukulan pelan ke lengan yang memeluknya.
"Aku mencintaimu." lanjut Vincent memperat pelukannya sambil tersenyum lega. Dia sudah yakin Cathy tidak marah lagi padanya menilai dari nada suaranya.
Kemudian Vincent menggandeng Cathy dan berkeliling untuk melihat puluhan foto yang tertempel dengan sempurna di dinding. Sebagian besar foto disana adalah foto Cathy yang sedang tersenyum atau tertawa.
"Aku tidak menyadari kau mengambil fotoku diam-diam."
"Aku seorang fotografer profesional, tentu saja kau tidak akan tahu."
Cathy memutar matanya mendengar nada yang penuh bangga pada suara kekasihnya.
"Kau tidak mungkin memajangnya kan?"
"Tentu saja tidak. Untuk apa aku harus mengambil resiko banyak pria yang akan melihat kecantikanmu? Lebih baik aku menyimpannya sendiri."
Sedikit kurang Cathy mulai terbiasa dengan kalimat manis yang levelnya semakin meningkat semenjak mereka resmi menjalin hubungan. Hanya saja, terkadang pipinya masih merona jika pujian atau rayuan pria itu terlalu ekstrim.
Jam sebelas persis, Vincent mengajak Cathy makan bersama yang langsung ditolak dengan alasan Cathy akan makan siang bersama Kitty. Akhirnya Vincent menyerah dan mengantarkan Cathy ke tempat janji pertemuan dengan Kitty.
"Apa aku tidak boleh ikut?" kali ini Vincent merajuk karena tidak ingin berpisah dengannya.
Sebenarnya Cathy juga tidak ingin berpisah, tapi jika Vincent ikut dengannya, sudah dipastikan dia tidak akan bisa leluasa menceritakan apa yang ingin didengar Kitty. Yang ada malah dirinya yang akan jadi bahan kejahilan Vincent dan Kitty.
"Kita bisa bertemu kapanpun kita mau sementara aku harus menunggu setengah tahun lagi kalau hari ini aku tidak bersamanya." Cathy memasang wajah memelas ke arah Vincent membuat Vincent kehabisan kata-kata. Mana mungkin dia bisa menolak kalau kekasihnya memasang wajah seimut ini?
"Baiklah." jawabnya dengan sedih. Sayangnya, dia masih merasa berat untuk melepas tangannya membuat Cathy tersenyum geli.
Cathy menggoyangkan tangannya sambil melangkah mundur untuk melepas genggaman pria itu.
"Aku akan menjemputmu tiga jam lagi." ucap Vincent, kini hanya jemarinya yang masih mengait di jemari Cathy.
Cathy tersenyum lebar menyadari jari Vincent masih berusaha tidak lepas dari jarinya.
"Vincent, waktuku bersama Kitty akan semakin berkurang kalau begini terus."
Kali ini Vincent mendesah pasrah dan juga melangkah mundur ke arah berlawanan dari Cathy. Cathy tidak berhenti tersenyum melihat kekonyolan kekasihnya.
Cathy melambaikan tangannya melihat Vincent masih berjalan mundur darinya. Pertama tidak ingin melepas tangannya, kini pria itu tidak ingin membalikkan badannya? Sepertinya Vincent masih ingin melihat wajah Cathy.
"Berbaliklah, berbahaya berjalan seperti itu." tegur Cathy sambil menahan tawa geli saat melihat Vincent semakin cemberut.
Akhirnya Vincent berputar dan berjalan dengan normal. Baru beberapa langkah saja, Vincent sudah menoleh kembali.
"Aku akan menjemputmu tiga jam lagi."
Kini Cathy tidak bisa menahan tawanya lagi.