Adegan favorit seorang Cathy saat mengikuti resepsi pernikahan adalah dimana mempelai pria mencium mempelai wanita. Seringkali Cathy akan tersenyum lebar melihat adegan romantis dihadapannya. Dia sering bertanya-tanya bagaimana rasanya berciuman? Apakah benar yang dikatakan orang-orang kalau ciuman itu membuat seseorang bahagia dan... ketagihan?
Meskipun penasaran, Cathy menolak untuk melakukannya. Dia tidak ingin melakukannya seumur hidupnya. Dia bahkan tidak bisa membayangkan bibirnya bersentuhan dengan bibir orang lain. Memikirkannya saja membuatnya bergidik dan merasa jijik. Tidak masalah kalau hanya melihat saja, tapi tidak kalau dirinya yang melakukan.
Pernah satu kali salah seorang pelanggan berusaha menciumnya yang langsung dia beri tamparan. Benar. Tidak sedikit yang berusaha mencuri ciuman darinya atau mencari kesempatan untuk merabanya. Bahkan manajernya sendiri juga mencari celah untuk menyentuhnya meski pria tua itu sudah beristri.
Karena itulah kebenciannya pada seorang lelaki bertambah besar dan menguatkan keputusannya untuk tidak jatuh cinta pada seorang pria manapun.
Hanya saja.. dia telah melanggar keputusannya. Dia jatuh cinta.. dan pria yang berhasil masuk ke dalam hatinya bernama Vincent. Pria yang tampan, penuh pengertian, humoris dan juga... menerimanya apa adanya.
Vincent adalah satu-satunya pria yang ia ijinkan menggenggam tangannya pertama kali. Satu-satunya pria yang ia ijinkan memeluknya dan berada disisinya. Tapi.. apakah ia akan mengizinkan pria ini mengambil ciuman pertamanya? Kalaupun ia mengizinkannya, bukankah ini terlalu cepat? Mereka kan baru resmi berpacaran beberapa jam yang lalu.
Dia berusaha mendorong tubuh Vincent menjauh darinya.. hanya saja dia tidak tahu apakah tubuh Vincent yang terlalu berat ataukah keputusannya yang terlalu lemah sehingga dia tidak bisa mendorong tubuh pria itu. Jantungnya berdetak dengan cemas bercampur gelisah, takut dan... antusias?
Cathy menelan ludah saat dia merasakan napas Vincent di hidungnya. Dia tidak bisa memandang tatapan pria itu lebih lama lagi, karenanya dia hanya memejamkan matanya.
Satu..dua..tiga..empat..lima.. masih tidak terjadi apa-apa. Kemudian dia sadar dia sudah tidak merasakan napas pemuda itu maupun aroma lemon, aroma khas pria itu. Akhirnya Cathy memberanikan dirinya membuka kedua matanya.
Dia melihat Vincent kembali pada posisi duduknya hanya saja kedua tangan pria itu saling menumpuk diatas setir. Wajahnya yang tampan berada di atas tangannya dengan sempurna menghadap ke arahnya. Cathy tidak habis berpikir bagaimana bisa pria itu membuat jantungnya tidak karuan seperti ini? Terlebih saat ini.. pose pria itu, tatapan pria itu, senyuman jahil itu... Senyuman jahil?
"Tadi apa yang sedang kau harapkan?" terlihat sekali orang usil ini berusaha menahan tawa gelinya.
"VINCENT!! Kau benar-benar menyebalkan!" Cathy memasang wajah cemberut yang menurut Vincent sangat imut. Untuk menyembunyikan wajahnya yang dia yakin pasti memerah, Cathy mengubah posisi duduknya memunggungi pria itu.
"Kau terlalu cepat untuk menjahiliku nona cantik." ujar Vincent sambil mengacak-acak rambutnya dan kembali menjalankan mobilnya.
Cathy masih tidak mau menoleh ke arahnya. Bahkan saat Vincent hanya mengetuk pundak Catherine dengan jari telunjuknya untuk memanggilnya, Cathy juga masih tidak mau berbalik.
Vincent mengelus kepala Cathy dengan lembut yang ditangkis oleh Cathy. Tentu saja bukan Vincent namanya kalau dia menyerah dengan cepat.
"Cathy," panggil Vincent dengan nada merayu yang tidak pernah didengar Cathy. "Kalau kau terus seperti ini, aku jadi tidak ingin mengantarmu pulang."
Bulu kuduk Cathy merinding mendengarnya. Kenapa dia merasa kalimat terakhir merupakan ancaman? Kenapa pula nada suara orang ini seperti sedang merayunya?
"Cathy," lagi-lagi suara rayuan maut Vincent terdengar, hanya saja kali ini tangan pria itu mengambil tangan Cathy untuk masuk ke dalam genggamannya.
Cathy mendecak.. dia menyerah. Dia tahu dia tidak akan pernah menang melawan sang kekasih.
"Jangan mentang-mentang kau bisa menyetir, kau tidak menggunakan kedua tanganmu." ujar Cathy sambil melepaskan genggaman Vincent dan meletakkannya di atas kemudi.
Vincent terkekeh dan kembali mengelus kepala Cathy.
"Sepertinya kau suka sekali dengan rambutku." rupanya Cathy masih belum pulih dari kejengkelannya, sehingga mengucapkannya dengan nada sinis.
Vincent menghela napas menyadari kekasihnya masih jengkel.
"Jika kau masih bersikap sinis, mau tidak mau aku akan berpikiran kalau kau merasa kecewa karena aku tidak melakukan sesuatu tadi."
"Kau.. aku.." Cathy kehabisan kata-kata. Kalau dipikir ulang kenapa dia harus merasa jengkel? Bukankah sebelum ini pria itu memang suka menjahilinya? Tidak. Kejahilannya yang satu ini sudah beda level.
Tapi.. kini dia bertanya-tanya, apakah dia memang merasa jengkel karena kejahilan Vincent atau kecewa karena....
"Aku tidak kecewa!" Cathy sendiri terkejut dengan suaranya yang lantang. "Aaaa, aku tidak tahu lagi." kali ini suaranya seperti sedang merajuk.
Cathy menutup wajahnya dengan kedua tangannya merasa malu dengan sikapnya. Sementara Vincent hanya tersenyum geli melihat tingkahnya.
Vincent mengelus punggung tangan Cathy berusaha membujuk tangannya untuk terlepas dari wajahnya. Setelah berhasil, Vincent tidak melepaskan genggamannya pada tangan gadis itu.
Selama perjalanan Vincent membuka obrolan dan keduanya berbincang-bincang dengan santai. Kali ini Vincent tidak menggodanya karena dia tidak ingin kekasihnya bersikap merajuk lagi.
Cathy juga memberitahu kalau besok siang dia akan bertemu dengan Kitty melakukan kencan antar wanita membuat Vincent kembali merajuk.
"Kenapa sepertinya kau lebih menyukainya dari padaku?"
"Tentu saja tidak. Kitty hanya punya waktu kosong tiga jam besok sebelum konser di malam harinya. Lusa dia akan kembali berkeliling mengadakan turnya. Bukankah dia hebat? Dulu sewaktu di SMA pun..." dan mulai lagi Cathy membanggakan Kitty dihadapannya. Cathy yang sekarang seperti seorang ibu yang sedang membanggakan putrinya yang berprestasi.
"Cathy, diantara aku dan Morse, siapa yang lebih kau sukai?"
Pertanyaan ini terdengar konyol bagi Cathy, tapi kapan lagi dia bisa mengerjai pria itu?
"..." Cathy sengaja tidak menjawabnya dan berpura-pura salah tingkah dan menghindar dari pertanyaannya.
"Ya ampun, kau tidak bisa menjawabnya?"
Barulah Cathy tidak bisa lagi menahan tawanya. Dia benar-benar tertawa lepas membuat Vincent terkejut. Dalam hati dia merasa senang mendengar tawa lepas yang sangat jarang keluar dari mulut Cathy, hanya saja untuk saat ini dia berpura-pura memasang muka cemberut.
Tidak lama kemudian mereka lanjut berbincang kembali dengan santai. Cathy bertanya usia Abigail dan mengapa anak kecil itu memanggil Vincent dengan nama Pinpin. Rupanya Abigail sangat terlambat berbicara dibandingkan anak umumnya. Dia baru bisa mengatakan kata 'mama' setelah usia tiga tahun. Karena tidak bisa mengatakan Vincent, jadi dirubah sendiri menjadi Pinpin. Sudah menjadi kebiasaan akhirnya berlanjut hingga sekarang. Meski Abi sudah berusia enam tahun, anak itu terkadang kesulitan mengucapkan huruf r. Setelah diucapkan berulang kali barulah Abi bisa mengucakapkannya dengan benar.
Seperti putri.. awalnya Abi mengucapkannya dengan putli. Setelah sering berlatih, akhirnya Abi bisa mengucapkannya dengan benar. Sedangkan nama Catherine merupakan kosa kata baru bagi Abi, sehingga anak itu kembali kesulitan mengucapkan huruf r. Walau Abi memang tidak seperti anak normal lainnya, bagi keluarga Vincent, Abi adalah anak yang sangat berharga.
Setelah menempuh dua jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di Red Rosemary. Tidak lupa Vincent segera turun untuk membukakan pintu Cathy layaknya seorang pengawal yang membuka pintu untuk sang tuan putri.
Setelah saling berpamitan, Cathy membuka pintu gerbangnya dan berbalik ingin mengungkapkan isi hatinya.
"Malam ini malam terbaikku. Terima kasih." lanjutnya dengan senyuman yang paling cantik yang pernah dilihat Vincent.
Vincent terpaku pada tempatnya sama sekali tidak siap dengan serangan itu. Vincent memegang dada kirinya merasakan ritme detak jantungnya yang sangat cepat. Vincent mengulas senyum sambil menggelengkan kepalanya. Bagaimana bisa hanya dengan kalimat gadis itu bisa membuatnya sesenang ini?
Vincent berjalan menuju ke sisi pengemudi sambil menelpon seseorang.
"Otniel, aku tidak jadi menjualnya... mansion itu yang ada danaunya... Hm.. kalau begitu turunkan saja iklannya. Pokoknya aku tidak jadi ingin menjualnya... Terima kasih."
Rupanya pemilik mansion dengan danau tadi tidak lain adalah Vincent yang diam-diam mendirikan Flex group yang kini hampir menyaingi Mercure bahkan Alvianc group. Di negara ini ada beberapa perusahaan yang memasuki golongan lima besar. Yang menduduki peringkat pertama adalah Bernz group disusul dengan Paxton dan Alvianc. Mercure dan Alvianc saling berebut posisi dan persaingan keduanya sangat ketat.
Dan baru dua tahun lalu, Flex group menduduki peringkat ke lima secara resmi. Tentu saja, selain rekan bisnis dan anggota tim elitnya, tidak ada yang tahu bahwa sebenarnya pemilik Flex group adalah Vincentius Regnz.
Begitu tiba di Blue Rosemary, Vincent masuk ke rumah sambil bersiul senang. Tanpa curiga apapun dan beranggapan seluruh penghuni rumah telah tidur, Vincent memasuki kamarnya di lantai dua dengan santai dan melepas pakaiannya. Sayangnya, pintu segera terbuka saat dia hendak memakai pakaian rumah yang bersih.
"Mama, kapan mama memberiku privasi?"
"Mungkin setelah kau menikah. Mama pasti tidak akan langsung menghambur masuk seperti ini."
Kening Vincent mengernyit, "Mama ingin aku tetap tinggal disini setelah menikah?"
"Tentu saja, Vanvan sudah dibawa pergi oleh suaminya, kau tega meninggalkan mama sendirian di rumah ini?"
Vincent menghela napas. "Aku mengerti. Bagaimana kalau kami menginap dua malam di akhir pekan tiap minggu?"
"Hmph! Apa bedanya kau pergi dari rumah ini?" Vienna mendengus, kemudian menyadari sesuatu. "Jadi kau memang serius pada Catherine?"
"Tentu saja. Memangnya mama mengizinkanku untuk tidak serius dalam menjalani suatu hubungan?" tanyanya sambil kembali memakai kaos rumahnya.
"Bukan itu maksudku. Hanya saja..." Vincent bisa mendeteksi keraguan ibunya. "Mama tidak ingin kau menyukainya hanya karena wajah Catherine mirip dengannya."
"Mirip siapa?" kali ini Vincent dibuat bingung oleh pernyataan ibunya.
"Wanita itu. Kau sama sekali tidak ingat?"
"Wanita yang mana? Seingatku tidak ada wanita yang memiliki wajah yang mirip dengan Cathy."
"Chloe,"
Deg! Hanya mendengar satu nama itu sudah membuat jantungnya serasa berhenti.
Chloe... wanita yang disayanginya seperti ibu, kakak dan sahabat. Dia pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi seperti mayat hidup di awal kematian wanita itu. Dan dia sering mengalami mimpi buruk yang sering membuatnya tidak bisa tidur nyenyak.
Hingga lima tahun yang lalu... lima tahun yang lalu dia merelakan kepergian Chloe dan tidak lagi menyalahkan dirinya sendiri. Sejak itu mimpi buruknya tidak pernah kembali dan dia bisa hidup seperti pemuda normal pada umumnya.
Sekarang.. kenapa dia harus mendengar nama wanita itu lagi? Disaat dia sudah memutuskan lepas dari apapun yang berhubungan dengan Paxton, disaat dia sudah melupakan wanita itu seutuhnya, kenapa nama itu harus muncul lagi?
Kening Vincent semakin berkedut mengingat pernyataan ibunya.
"Cathy mirip dengan Chloe?" kalau boleh jujur, Vincent sudah tidak lagi mengingat seperti apa wajah Chloe. Karena dia memang berusaha mati-matian mengeluarkan wajah Chloe dari pikirannya selama hampir tiga belas tahun.
Kini ibunya memberitahunya bahwa Cathy mirip dengan Chloe? Benarkah itu? Sejak awal pertemuan mereka, Vincent memang sudah merasa tidak asing dengan wajah Cathy.. tapi, bukan berarti Cathy mirip dengan Chloe kan?
Memangnya seperti apa wajah Chloe? Kenapa saat ini, ketika dia berusaha kembali menggali ingatannya mengenai Chloe, dia sama sekali tidak bisa mengingatnya. Anehnya, justru wajah Cathy yang terbayang di benaknya.
"Anakku, kau baik-baik saja?" sang ibu sudah berdiri dihadapannya dan menyentuh pipinya dengan lembut.
Karena tidak ingin membuat ibunya khawatir, Vincent mengulas senyumannya.
"Aku baik-baik saja. Mama juga tidak perlu khawatir. Aku menyukai Cathy bukan karena dia mirip dengan siapapun. Aku benar-benar menyukainya, aku bahkan merasa aku sangat mencintainya." jawabnya dengan sangat yakin.
"Kalau begitu, aku bisa tenang. Selama dia bukan dari Paxton, aku akan selalu mendukung kalian."
Vincent menatap punggung ibunya yang beranjak keluar dengan bingung. Dia tahu keluarganya sama sekali tidak menyukai Paxton, kecuali Benjamin. Hanya Benjamin yang disayang oleh keluarganya.
Vincent sendiri juga tidak suka dengan anggota Paxton, dia bahkan tidak sudi kembali berurusan dengan mereka. Hanya saja, dia sama sekali tidak menyangka.. ibunya lebih dari kata tidak suka. Menilai dari nada suara ibunya, ibunya sangat membenci Paxton. Kenapa? Memang apa yang sudah dilakukan Paxton pada ibunya sehingga membuat wanita yang baik hati itu memiliki rasa benci?
Vincent teringat akan ucapan ibunya. Memangnya semirip apa wajah mereka berdua? Tidak bisa menahan penasarannya, Vincent keluar kamar dan berjalan menuju gudang.
Dia membongkar-bongkar kardus yang diduganya adalah miliknya untuk mencari sesuatu. Karena tidak menemukan apa yang dicarinya, Vincent keluar dan menuju ke ruang penyimpanan album foto.
Dia mengambil album foto tentang dirinya dan melihat isinya. Vienna, sang nyonya besar Regnz suka sekali mengoleksi foto kedua anaknya dan menjadikannya album. Karena itu tidak heran jika ruangan ini dipenuhi album kenangan mengenai Vincent dan Vanessa.
Dia melirik sekilas satu per satu foto dengan cepat. Anehnya, foto dirinya sekitar umur tujuh hingga empat belas tahun tidak begitu banyak. Bahkan jumlahnya bisa dihitung jari, sementara fotonya di usia lain tak terhitung jumlahnya.
Dia juga tidak menemukan foto apapun mengenai Chloe atau bersama Benjamin saat mengunjungi Eastern Wallace. Dia yakin dia mengambil banyak foto di rumah Chloe. Tapi kenapa dia tidak bisa menemukan satupun foto Eastern Wallace?
Dan lagi... dia bertemu Chloe pertama kali saat berusia tujuh tahun, dan wanita itu meninggal dunia saat dia berusia empat belas tahun. Disaat yang sama, dia merasa banyak foto yang hilang semasa dia berusia tujuh hingga empat belas tahun. Apa ini hanya kebetulan?
"Vincent, apa yang sedang kau lakukan?" suara berat dan tegas terdengar dari arah pintu ruangan. "Mamamu mengira ada penyusup yang masuk."
"Maaf, aku hanya ingin melihat foto." jawabnya. "Papa, kenapa foto disaat aku berusia tujuh hingga empat belas sangat sedikit?"
Vincent yakin dia sempat melihat ketegangan mata ayahnya.
"Benarkah? Mungkin hanya perasaanmu saja." anehnya ekspresi ayahnya tampak kembali normal saat menjawabnya.
Vincent tahu, ada sesuatu ysng disembunyikan darinya. Ayah, ibu bahkan kakaknya selalu berusaha menghindar tiap kali dia bertanya mengenai kondisinya saat dia berusia empat belas tahun. Dia tidak ingat apa-apa. Yang dia ingat dia terbangun di rumah sakit dalam keadaan yang cukup memprihatinkan. Kepala dan tubuh bagian perutnya dibalut dengan perban. Dan tahu-tahu saja dia terbangun dan melewatkan setengah tahun hidupnya. Entah dia berbaring di rumah sakit selama enam bulan, atau dia melupakan kejadian enam bulan yang dilaluinya, dia sama sekali tidak tahu. Beberapa hari setelah dia bangun dia mendengar kabar kematian Chloe dan telah dimakamkan.
"Sudah malam. Sebaiknya kau segera tidur."
Vincent menurutinya dan segera membereskan album foto sebelum kembali ke kamarnya. Dia menghubungi Pasha, salah satu anggota yang ahli dengan komputer.
"Bisakah kau menyelidiki sesuatu untukku?"
"Apa?"
"Aku ingin kau menyelidiki kematian Chloeny Paxton delapan belas tahun yang lalu."
"Chloeny? Bukannya dia mati karena kecelakaan?"
"Sepertinya bukan kecelakaan biasa. Aku ingin kau mencoba menemukan sesuatu yang janggal."
"Itu tidak akan mudah. Apapun yang berhubungan dengan Chloeny sangat rahasia. Jika aku gagal, sistem pertahanan mereka malah akan balik menyerang kita."
"Aku tahu. Lakukan saja sebisanya. Jika memang tidak bisa, tidak masalah. Aku juga tidak terburu-buru."
"Baiklah, aku akan melakukannya sekarang."