Chereads / My Only Love: Aku Hanya Bisa Mencintaimu / Chapter 53 - Pengakuan Cathy

Chapter 53 - Pengakuan Cathy

Saat pertama kali Catherine memasuki kediaman keluarga Vincent, Cathy segera mengenali wajah ibu dan kakak perempuan Vincent. Dia yakin kedua wanita itu tidak mengingatnya, tapi Cathy masih mengingat wajah mereka. Ingatan Cathy dalam mengingat wajah orang cukup tajam, karena sudah menjadi kebiasaannya untuk mengingat siapapun yang ia temui. Bisa dibilang tuntutan pekerjaan. Saat dia bekerja sebagai pelayan restoran, dia harus mengingat masing-masing pelanggannya. Belum lagi saat bekerja sebagai asisten Benjamin Paxton, dia harus lebih cepat menghapal wajah serta nama rekan bisnis pamannya.

Cathy mungkin tidak begitu ingat nama depan mereka, tapi setidaknya dia mengingat nama keluarga mereka. Regnz. Benar. Satu-satunya keluarga yang diundang seluruhnya oleh Benjamin di acara pembukaan hotel di Pina adalah keluarga Regnz.

Di bidang industri, Regnz memang tidak sebesar Paxton ataupun Bernz. Tapi nama Regnz cukup berpengaruh dalam bidang furniture dan kontraktor. Mungkin salah satu alasan mengapa pamannya mengundang Regnz adalah seluruh furniture dan design dari bangunan Star Risen dipegang penuh oleh Regnz.

Hanya saja ibu Vincent yang memeluknya seolah beliau sudah mengenalnya lama membuatnya sangat terkejut. Wanita itu memperlakukannya dengan hangat seperti dia berada dalam anggota keluarganya. Begitu juga dengan kakaknya.

Dia tidak pernah berdebat dengan adik-adiknya meskipun sering melihat Anna berdebat dengan si kembar. Mungkin karena jarak usia mereka sangat dekat sementara dia sendiri berada delapan tahun di atas Anna, karenanya dia sering mengalah dan adik-adiknya hanya akan menurutinya kalau dirinya sedang marah.

Melihat perdebatan kecil antara Vincent dan kakaknya membuatnya iri. Bukan karena dia ingin berdebat juga..meskipun kedua kakak adik itu bertengkar, disaat bersamaan mereka tampak sedang saling menggoda satu sama lain. Jahil, usil, nakal.. seolah mereka seperti sahabat yang tak terpisahkan.

Cathy tidak pernah merasakannya. Dia tidak memiliki seorang saudara yang bisa menemaninya atau bercanda dengannya. Selama ini dia bersikap seperti sosok ibu sekaligus kakak yang baik untuk ketiga adiknya.

"Omaaaaa... mama sama paman Pinpin kayak anak kecil."

Dia juga mengingat anak itu. Anak itu yang mengecup pipi Vincent saat dirinya mencari adiknya sementara Vincent mengenakan pakaian serba hitam dengan maskernya.

Cathy sendiri sudah terbiasa menangani anak kecil sewaktu dia menjaga dan menemani adik-adik kecilnya, jadi dia sama sekali tidak keberatan saat anak bernama Abi ini langsung naik ke pangkuannya dan meminta izin untuk menyentuh rambutnya.

Dia hanya terkejut anak untuk seusia Abi sama sekali tidak merasa takut saat bertemu dengan orang asing. Dia ingat adik-adiknya dulu akan bersembunyi di belakangnya atau menyapa dengan malu saat bertemu dengan orang yang tak dikenal.

Cathy masih ingat saat awal perkenalan mereka Vincent hanyalah seorang fotografer biasa yang hanya menunggu pelanggan untuk memanggil jasanya. Kalau setelah dipikir-pikir, pemuda ini tidak pernah khawatir akan finansialnya tiap kali menraktirnya makan. Meskipun sangat jarang melihat pemuda itu bekerja, Cathy tidak merasakan aura pengangguran atau malas bekerja pada diri Vincent.

Sekarang semuanya masuk akal kalau ternyata Vincent adalah putra dari keluarga Regnz.

"Vincent.. kau.. bukan fotografer biasa. Tapi kau seseorang berasal dari keluarga Regnz."

"Benar. Namaku sebenarnya Vincentius Regnz. Darimana kau bisa tahu?"

"Aku ingat mereka hadir ke acara pembukaan Star Risen di Pina."

"Aku tidak tahu apakah harus bangga atau takut. Daya ingatanmu sangat mengerikan." Vincent mengucapkannya dengan nada humor membuat Cathy tertawa pelan.

"Aku juga ingat di malam acara jamuan pertemuan kita yang kedua, kau memperkenalkan dirimu sebagai Vincent Black H. Nama apa itu?"

Vincent berdehem beberapa kali berusaha lepas dari pertanyaan yang satu ini. Mana mungkin dia memberitahu arti sebenarnya dari nama julukannya. Si wanita macan yang menyematkan nama julukan itu sehingga dia hanya asal ambil nama saat memperkenalkan diri, Black Hedgehog atau landak hitam. Mana mungkin dia akan memberitahukan gadis tercintanya julukan memalukan itu?

"Kasus ini ditutup. Tanyakan hal lain."

Cathy tertawa geli mendengarnya. Sepertinya dia sudah tidak bisa menggodanya dengan topik ini. Jadi dia berhenti dan kini serius membahas hal yang sedari tadi membuatnya gelisah.

"Vincent. Sebenarnya, aku tidak bisa membedakan warna."

"Hm. Aku tahu."

Ternyata dugaannya memang benar. Pria itu sudah mengetahui kelemahannya.

"Dan kau masih menyukaiku?"

"Apa hubungannya perasaanku denganmu yang tidak bisa melihat warna? Aku tidak melihat ada masalah, dan aku sama sekali tidak peduli. Jika kau tidak bisa menikmati keindahan melalui penglihatan, aku akan membuatmu menikmati keindahan melalui inderamu yang lain. Pendengaran, penciuman, dan juga..." Vincent mengangkat sebelah tangan Cathy ke arah bibirnya, "Sentuhan." lanjutnya setelah memberi kecupan singkat pada punggung tangannya.

Sekali lagi jantung Cathy berdetak dengan cepat. Hanya saja ada masalah lain yang lebih membebaninya saat ini.

"Tapi.. kau sama sekali tidak mengenalku. Maksudku.."

"Jika kau khawatir aku akan meninggalkanmu setelah mengetahui kelemahanmu, maka kau tidak perlu khawatir. Aku tidak peduli seperti apa masa lalumu atau seperti apa keluargamu, bagiku aku sudah mengenal karaktermu dan juga caramu berpikir.. yah, sebenarnya terkadang aku tidak bisa langsung tahu apa yang kau inginkan, tapi itu semua sudah cukup membuatku yakin." Vincent berhenti sejenak untuk menatap mata Cathy dengan serius. "Aku yakin kau adalah wanita satu-satunya yang kuinginkan untuk menemaniku seumur hidupku."

Hati Cathy merasa hangat seperti diselimuti tebal di tengah musim dingin, dan matanya berkaca-kaca merasa terharu mendengar itu. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa dia akan menemukan seorang pria yang sedemikian penyayang, penuh pengertian seperti Vincent.

Kalau bisa, dia ingin segera menjawab dan membalas perasaan pemuda itu. Dia ingin bilang padanya bahwa dia juga telah jatuh cinta pada pria itu. Bahwa Vincent juga adalah orang yang pertama kali membuatnya bereaksi yang bukan dirinya sebelumnya. Vincent adalah orang yang pertama kalinya membuatnya ingin dimanja dan bersantai tanpa memikirkan pekerjaan. Pertama kalinya membuatnya untuk mengandalkan seseorang.

Tapi... dia tidak ingin kelak membuat pemuda itu menderita. Masih ada satu lagi kelemahannya yang dia yakin Vincent belum mengetahuinya. Dia harus memberitahunya. Dia akan siap jika seandainya pria itu langsung menghindarinya begitu mengetahui kelemahannya. Tapi.. jika seandainya Vincent masih mau menerimanya... apakah dia boleh berharap? Apakah dia bisa hidup bahagia bersama pria yang dicintainya di masa depan nanti?

"Vincent, sebenarnya aku dulu bisa melihat warna. Setidaknya aku tahu seperti apa warna merah, biru, kuning, warna-warna umum seperti itu aku tahu. Bahkan aku bisa membayangkannya, terkadang aku bisa melihat berbagai macam warna dalam mimpiku."

Kegugupan Cathy bertambah melihat wajah Vincent yang kebingungan.

"Kau tidak buta warna sejak lahir?"

"Benar. Aku masih bisa melihat warna hingga usiaku sepuluh tahun."

"Apa yang terjadi?"

Sekali lagi Cathy menggigiti bibirnya tanpa sadar.

"Jika hal ini membuatmu tertekan kau bisa menceritakannya lain waktu." lanjut Vincent sambil menguraikan bibir Cathy lepas dari gigitannya. "Kau tahu, kau harus menghilangkan kebiasaan burukmu yang satu ini. Kenapa kau suka sekali membuat bibirmu berdarah tiap kali kau tertekan?"

Cathy tertegun mendengar ada nada marah pada suara pemuda itu. Apakah pria itu marah karena dia melukai dirinya sendiri? Tidak. Bukan ini inti masalahnya.

"Vincent.."

"Cathy, tidak peduli seperti apa masa lalumu, perasaanku tetap tidak berubah. Karena itu kau tidak harus menceritakannya sekarang."

"Tapi aku ingin menceritakannya sekarang. Aku tidak ingin ada penyesalan nantinya."

"Baiklah. Kau boleh menceritakannya asal kau janji tidak menggigit bibirmu lagi."

"Aku janji."

Vincent tersenyum hangat tanpa ada rasa jahil atau menggoda seperti yang selama ini ditunjukkannya. Cathy merasa terheran-heran bagaimana bisa pria ini selalu tahu kapan bersikap dewasa dan kapan bersikap jahil?

"Mama memang sudah tiada, tapi.. papa masih hidup. Semenjak mama tiada, papa mengalami keterpurukan yang luar biasa hingga menelantarkan keempat anak perempuannya. Hari itu... saat si kembar menangis karena lapar, papa pulang dalam keadaan mabuk."

"Aku tidak pernah merasa takut seperti saat itu. Aku ingin bersembunyi, tapi badanku sudah bergerak sendiri berusaha menghalangi papa menuju ke kamar adik-adik. Lalu..lalu..." kini air matanya mulai mengalir.

Vincent memeluk Cathy sambil menepuk punggungnya dengan lembut. Dia ingin sekali menghentikan cerita Cathy. Jika ceritanya membuat gadisnya mengingat masa lalu yang kelam hingga menangis, dia lebih suka tidak mendengarnya. Tapi, dia juga tahu.. Cathy pasti ingin mengurangi rasa bebannya dan dia juga ingin agar gadis itu yakin akan perasaannya yang tidak akan pernah berubah.

"Papa menamparku dengan keras." lanjut Cathy membuat tubuh Vincent menegang.

Dia sama sekali tidak mengerti tekanan batin yang dialami oleh anak berusia sepuluh tahun. Selama ini ia berlimpah akan kasih sayang dari kedua orangtuanya dan juga kakaknya. Selama ini dia mengira Cathy juga sama seperti dirinya melihat hubungan erat antara Cathy dengan adik-adiknya. Dia sama sekali tidak pernah memikirkan ternyata didalam hati Cathy terdapat kepahitan yang sangat dalam akan perlakuan sang ayah.

"Sejak saat itu, aku tidak lagi bisa membedakan warna. Aku hanya bisa melihat warna kelabu yang sempat membuatku... mencakar mataku hingga terluka selama beberapa minggu."

Lagi-lagi Vincent merasa hatinya dihujani benda tajam. Kenapa Catherinenya memiliki masa lalu kelam seperti ini? Dia sama sekali tidak tahu dibalik senyuman profesional Cathy terdapat kesedihan yang sangat besar.

Vincent sama sekali tidak berkata dan terus mendengarnya dengan perasaan pilu. Tangannya tidak berhenti mengelus punggung Cathy dengan menenangkan, meskipun sebenarnya dia juga merasa sedih.. sangat sedih.

"Aku pernah menanyakan kondisiku pada dokter diam-diam. Apa kau tahu apa yang mereka katakan? Mereka bilang tidak ada yang salah dengan kondisi mataku. Mereka bilang seharusnya aku bisa melihat warna dengan normal. Mereka juga bilang... alasan kenapa aku tidak bisa melihat warna adalah... karena aku... karena ada yang salah dengan mentalku." Cathy mulai terisak saat mengucapkan kalimatnya yang terakhir. "Kau tahu dimana papa sekarang? Dia ada di rumah sakit jiwa... ada kemungkinan... yang akan datang, aku mungkin.. mungkin juga.."

"Sst.. Itu tidak akan terjadi." potong Vincent meyakinkan.

"Bagaimana kau bisa yakin? Biar bagaimanapun aku adalah putri ayahku... bisa jadi penyakit keturunan ini..."

"Percayalah itu tidak akan terjadi. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Kau bukan ayahmu yang mengalami keterpurukan dan putus asa. Aku akan memastikan hidupmu tidak akan jatuh kedalam kondisi yang sama seperti ayahmu. Hari-harimu hanya akan dipenuhi senyuman dan kebahagiaan."

Begitu mendengar penjelasan Vincent dengan suara yang lembut, Cathy sudah tidak bisa lagi berbicara dan terus menangis dalam dekapan Vincent.

Untungnya semenjak Cathy mulai terisak, Vincent telah membawa mereka menjauhi panggung konser agar tangisan Cathy tidak menarik perhatian sekitarnya.

Kini Cathy bisa menangis sepuasnya dengan suara teredam dalam dekapan Vincent.