Tiap kali pelajaran seni lukis di sekolahnya, Catherine akan melirik sebelah temannya dan mengambil warna yang sama dengan temannya. Meskipun dia tidak bisa melihat warna, dia bisa melihat perbedaan tingkat warna. Dia hanya perlu mengambil level warna yang sama dengan teman di sebelahnya.
Meskipun dia tidak pernah mendapatkan nilai yang bagus untuk pelajaran seni, setidaknya hasil yang dibuatnya tidak terlalu buruk. Karenanya dia bisa bertahan di sekolahnya tanpa harus membongkar kecacatannya.
Disaat ketiga adik-adiknya meminta bantuan mengenai seni menggambar, dia akan mencari alasan dan menyuruh mereka untuk minta bantuan Bibi Len, pembantu keluarga di Red Rosemary.
Itulah sebabnya hingga detik ini.. tidak ada yang tahu bahwa dirinya memiliki kelainan buta warna.
"Tante malaikat, coba lihat gambar Abi. Cantik kan?"
Kini dia dihadapkan secara langsung oleh pertanyaan seorang anak kecil. Dia tidak bisa menghindar lagi, dia tidak tahu harus bagaimana mencari alasan.
Apa perlu dia menjawab dengan jawaban yang diinginkan anak itu? Bagaimana kalau anak itu mengajaknya mewarnai bersama?
"Abi, kenapa kau tidak tanyakan ke paman? Abi benar-benar melupakan paman."
Cathy merasa terselamatkan saat mendengar suara rajukan Vincent. Rajukan? Pemuda itu juga bisa merajuk?
Abi menghela napas sebelum menunjukkan hasil gambarnya pada pamannya yang sedang merajuk.
"Bagaimana, cantik kan?" Abi menanyakannya dengan nada yang imut membuat Vincent merasa gemas.
"Benar. Tapi tante Catherine paling cantik kan?"
Catherine yang tadinya merasa tegang kini berubah menjadi malu. Dalam sekejap kejadian dimana dia takut kelemahannya terbongkar, menghilang tanpa bekas. Kedua pipinya merona merah tanpa seizinnya.
"Astaga.. dia benar-benar cantik apalagi merona seperti ini." ujar Vanessa lebih membuat Cathy merasa malu dan menundukkan wajahnya menyembunyikan pipinya yang merona.
"Kakak, kau menakutinya."
"Apa kau bilang?"
Vincent segera menghindar dari pukulan kakaknya dan duduk disebelah Cathy. Tiba-tiba Abi menunjukkan sebuah gambar putri yang belum diberi warna.
"Tante malaikat, warna apa yang cocok untuk gambar rambut putri ini?" tanya Abi sambil memegang dua buah pensil dengan warna yang berbeda.
Cathy meremas kain roknya dengan sangat gugup. Yang mana yang harus dia pilih?
"Dia suka yang sebelah kiri." bisik Vincent ke arah telinga Cathy.
Tanpa pikir panjang, Cathy segera menunjuk ke arah pensil sebelah kiri yang digenggam tangan mungil anak itu. Senyuman Abi mengemban dengan sangat manis.
"Abi sangat suka warna pink, ternyata tante malaikat juga sama ya?"
Cathy mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia tahu seperti apa warna pink itu. Menurutnya pink sama sekali tidak cocok dijadikan sebagai warna rambut. Yah, dia tidak peduli, lagipula bukan dia yang memberi warna.
Abigail terus menerus minta pendapat Cathy dan dengan setia Vincent selalu membisikkan jawaban yang pastinya disukai Abigail. Awalnya, Cathy tidak merasa curiga hingga sampai di titik tertentu dia merasa aneh. Kecurigaannya semakin kuat saat Abigail menyuruhnya memilih satu warna dari lima pensil warna yang diarahkan ke hadapannya.
"Nomor dua dari kanan." bisik Vincent yang langsung dituruti Cathy.
Kenapa Vincent memberinya petunjuk? Kenapa Vincent tidak langsung memberitahu jenis warnanya langsung? Kenapa harus memberikannya arah seperti yang kiri, atau tengah atau nomor dua dari kiri dan lain sebagainya. Bukankah lebih praktis kalau pria itu langsung memberitahunya jenis warna yang diinginkan? Atau setidaknya Vincent tidak perlu membisikkan jawabannya dan Cathy bisa memilih warna sesuai seleranya?
Kenapa pria itu repot-repot memberikannya arahan kalau dia tidak tahu bahwa dirinya buta warna? Apakah pria itu memang mengetahuinya? Sejak kapan?
"Kalian akan tinggal untuk makan malam kan?" Vienna, ibu dari Vincent bertanya sambil merapikan pensil warna yang jatuh ke lantai.
"Tidak. Kami akan makan di luar." jawaban Vincent membuat Abigail merajuk sedih.
"Kenapa tidak makan disini saja? Abi masih ingin bersama tante malaikat."
"Hush, oma tahu kalau Catherine secantik malaikat. Tapi tidak baik memanggil orang bukan dengan namanya."
Abigail segera bangkit berdiri dan menghadapkan tubuh kecilnya kearah Cathy.
"Maaf tante. Mulai sekarang Abi akan memanggil tante.. tante Ketelin."
Rupanya Abi kecil masih belum bisa menyebutkan huruf r dengan benar membuat semua orang disana tertawa.
Catherine masih berada di rumah Vincent selama dua jam. Keluarga Vincent melakukan apapun untuk membuatnya nyaman dan Cathy memang sangat merasa nyaman di tengah-tengah mereka. Ini pertama kalinya dia merasakan hangatnya senyuman seorang ibu atau bagaimana rasanya memiliki seorang kakak perempuan. Untuk sejenak dia merasa iri pada Vincent.
Pemuda itu memiliki apa yang tidak dimilikinya. Ibu yang hangat dan kakak yang menyayanginya. Dia belum bertemu dengan sang ayah, tapi mendengar dari cerita mereka, tampaknya sang ayah juga memperlakukan keluarganya dengan penuh kasih dan tanggung jawab.
Hal ini membuatnya sedikit sedih.
"Ada apa sayang? Kau kelihatan sedih sekali?"
Vincent yang tadinya bermain bersama Abi segera menoleh ke arah Cathy mendengar nada khawatir pada ibunya.
"Kau sakit?"
Cathy tertegun melihat tatapan khawatir dari Vincent. Dia merasa dirinya sangat bodoh. Kenapa dia harus iri pada pemuda itu? Meskipun ibunya sudah tiada, meskipun ayahnya membencinya.. dia masih memiliki tiga adik perempuan cantik yang menyayanginya. Dan juga seorang paman yang menyayangi mereka dengan caranya sendiri.
Dia juga tidak melupakan Bibi Len yang sudah bersama mereka berempat sejak mereka tinggal di Red Rosemary. Meskipun Bibi Len bekerja karena upah, namun dia merasakan kasih yang diberikan wanita tersebut tidak palsu.
"Aku tidak apa-apa. Aku hanya.. sebenarnya ini pertama kalinya merasakan keutuhan keluarga."
"Apa yang terjadi?" tanya Vienna dengan nada keibuan khasnya.
"Aku.. sebenarnya kami sudah tidak memiliki orang tua. Saat ini kami dirawat oleh paman kami yang sangat sibuk di pekerjaannya. Bahkan aku sendiri.. aku tidak ingat bagaimana rasanya memiliki seorang ibu."
Baik Vienna dan Vanessa memberikan tatapan prihatin pada Cathy. Vienna datang menghampirinya dan duduk disisi satunya sambil memeluk erat tubuh Cathy.
"Aku turut prihatin mendengar itu. Pasti sangat berat untukmu."
Catherine menggelengkan kepalanya, "Setelah sekian lama, aku sudah terbiasa. Jadi sudah tidak terlalu berat."
Vienna mengurai pelukannya dan menatap putra bungsunya dengan tajam.
"Vincent, kau harus sering-sering membawanya kemari." perintah sang ibu.
"Tentu saja." senyuman Vincent melebar saat menjawabnya.
Cathy segera menatap Vincent dengan bingung. Kenapa dia harus sering datang ke rumahnya?
"Catherine, tadi kau bilang 'kami'.. apakah kau memiliki saudara?" kali ini Vanessa bertanya karena penasaran.
"Benar. Aku memiliki tiga adik perempuan."
Mendengar jawabannya, Vanessa dan Vienna saling bertatapan dengan agak terkejut. Kemudian mereka sama-sama tersenyum jahil pada Vincent.
"Siapa yang bilang dia tidak ingin dibandingkan dengan para suami saudara iparnya ya?" goda Vienna
"Mama, dia tidak perlu khawatir soal yang satu ini."
"Ah, benar juga. Dia tidak akan memiliki mertua yang akan membandingkannya."
Sementara itu Vincent terbatuk-batuk salah tingkah mendengar gurauan frontal dari kedua wanita yang disayanginya.
"Kau baik-baik saja?" Cathy menepuk pelan punggung Vincent membuat pria itu lebih tersedak dan bangkit berdiri dengan cepat.
Cathy yang sama sekali tidak tahu apa-apa sangat bingung dengan situasi ini.
"Ayo kita pergi. Aku sudah lapar." ucap Vincent kemudian menggandeng tangan kiri Cathy.
"Anak mama kabur,"
"Adik kamu yang kabur."
Vincent memutar matanya pasrah mendengar gurauan mereka lagi. Setelah berpamitan, Vincent dan Cathy berangkat dengan mobil mewah milik Vincent.
Selama perjalanan keduanya tidak berbicara dan larut dalam pemikirannya masing-masing. Cathy berusaha mencari jawaban atas pertanyaannya tadi. Apakah Vincent telah mengetahui kelemahannya?
Cathy kembali mengingat kebersamaannya bersama pria disebelahnya dan menyadari sesuatu. Kalau diingat kembali, tiap kali dia merasa ragu mengambil suatu benda yang berhubungan dengan warna, Vincent akan memberikan penjelasan padanya terlebih dulu.
Salah satunya adalah saus. Ada beberapa botol dengan model yang sama tapi berbeda warna. Vincent memberikan penjelasannya sebelum dia bimbang menentukan saos yang akan diambilnya. Pernah satu kali dia salah mengambil gelas mini yang dikiranya kecap yang ternyata berisi sambal pedas. Vincent langsung mencegahnya dan berkata yang diambilnya bukanlah kecap asin melainkan sambal.
Biasanya dia masih bisa melihat biji lombok didalam saos sambal di restoran masakan Asia. Namun di gelas khusus saos waktu itu tidak terdapat biji lombok apapun, karena itu dia mengira gelas yang dia ambil adalah kecap asin.
Lalu kejadian Abi saat memintanya memilih warna. Pemuda itu tidak lupa memberinya petunjuk tanpa menyebutkan warna. Ini sama sekali tidak masuk akal dan sulit dimengerti. Namun semuanya menjadi masuk akal kalau memang ternyata Vincent tahu kalau dirinya buta warna.
"Vincent.." dia ingin bertanya namun dia juga takut mendengar jawabannya.
"Hm?"
'Apakah mungkin kau tahu aku buta warna?' Pada akhirnya, Cathy hanya bertanya dalam pikirannya.
"Ada apa?" Vincent bertanya karena dari tadi Cathy tidak melanjutkan kalimatnya.
"Kita mau kemana?" Cathy masih belum berani bertanya dan menanyakan hal lain.
"Kau akan tahu nanti."
Kenapa sekarang pemuda disebelahnya bersikap misterius?
"Kita hampir sampai. Pejamkan matamu."
"Huh?"
"Aku tidak akan menjawab semua pertanyaanmu kalau kau mengintip."
Darimana Vincent tahu kalau dia memiliki banyak pertanyaan untuknya?
"Baiklah." Cathy menurutinya dan memejamkan kedua matanya.
Tidak lama kemudian mobil mereka berhenti dan setelah Vincent menyuruhnya untuk tidak bergerak, Vincent turun dari mobilnya. Pintu disebelah Cathy terbuka beberapa detik kemudian dan tangannya digandeng oleh pemuda itu.
"Bagaimana aku bisa turun tanpa terjatuh kalau aku harus menutup mataku?"
"Aku tidak akan membiarkanmu jatuh." jawab Vincent sambil menahan tawa geli mendengar rajukan Cathy.
"Aku akan tersandung." sekali lagi Cathy berusaha membujuk Vincent agar segera membiarkannya membuka matanya.
"Tenang saja. Jalan didepan sangat mulus tanpa halangan."
Cathy mendesah pasrah. Dia ingin sekali membuka matanya, tapi dia juga ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang akan ditanyakannya nanti. Karenanya dia hanya menuruti keinginan pria itu dan membiarkan Vincent menuntunnya ke suatu tempat.
Vincent mengalungkan tangannya ke lengannya dan berjalan dengan sangat pelan agar dirinya tidak terjatuh karena tidak melihat jalan.
Tok! Tok! Lama-lama Cathy mendengar suara langkah kaki mereka. Mereka seperti berjalan diatas jalanan terbuat dari kayu. Suasana disekitar mereka juga terasa sunyi. Hanya terdengar angin yang berhembus dan juga suara seperti... genangan air? Sebenarnya mereka ada dimana?
Semakin jauh mereka berjalan Cathy mulai mencium aroma wangi yang menyenangkan.
"Aku masih belum boleh membuka mataku?"
"Belum."
"Sampai kapan?"
"Sebentar lagi. Tunggu." langkah Vincent berhenti yang otomatis membuat langkah Cathy juga turut berhenti. "Kita akan berjalan menaiki dua anak tangga."
"Bukankah akan lebih cepat kalau aku membuka mataku sekarang?"
Kali ini Vincent tidak sanggup menahan tawanya menyadari gadisnya sudah tidak sabar membuka matanya.
"Aku janji, setelah kau berjalan sepuluh langkah melewati anak tangga ini, kau boleh membuka matamu."
Cathy memasang wajah cemberut mendengar itu membuat Vincent tidak berhenti tertawa geli. Dengan bantuan dan arahan Vincent, Cathy berhasil menaiki dua anak tangga tersebut tanpa halangan dan kedua matanya masih terpejam.
Cathy menghitung langkahnya hingga sepuluh selesai menaiki anak tangga. Dia merasa lega saat Vincent mengizinkannya membuka matanya.
"Baiklah. Kau boleh membuka matamu."
Cathy membuka matanya secara perlahan kemudian semakin melebar akan apa yang dilihatnya.