Pelangi.. Apa itu pelangi? Pelangi adalah sebuah gejala optik dan meteorologi berupa cahaya beraneka warna saling sejajar tampak di langit atau medium lainnya.
Dari mana dia mengetahuinya? Tentu saja dia mencarinya di internet. Kenapa dia ingin tahu? Karena dia selalu penasaran mengapa dia bisa melihat sebuah pelangi di suatu waktu sementara tidak melihatnya di lain waktu.
Seolah-olah pelangi hanya muncul sesukanya tanpa diketahui siapapun.
Catherine adalah seorang wanita berusia dua puluh lima tahun yang hidup bersama ayahnya. Catherine memiliki tiga adik perempuan yang usianya cukup jauh darinya.
Putri kedua dari ayahnya adalah Anatasia yang berusia delapan tahun dibawahnya, sedangkan putri ketiga dan keempat merupakan anak kembar yang baru saja memasuki SMA. Mereka adalah Carolina dan Elizabeth.
Semenjak ibunya meninggal lima belas tahun yang lalu, ayahnya terpuruk dan menjadi peminum berat. Beliau sama sekali melupakan keempat putrinya yang masih bertumbuh.
Beliau menganggap dengan kepergian istrinya, dia hidup sebatang kara tanpa memperdulikan anggota keluarga lainnya.
Catherine yang masih berusia sepuluh tahun merasa dunia ini tidak adil. Dia masih membutuhkan kasih sayang orangtua. Setelah melahirkan bayi kembar, ibunya mengalami pendarahan hebat mengakibatkan kehilangan nyawanya. Semenjak itu ayahnya menganggap keempat putrinya tidak ada. Dia diharuskan untuk mengganti posisi ibunya bagi ketiga adiknya.
Pernah satu kali dia tidak memperdulikan ketiga adik kecilnya, dia hanya peduli pada mainannya. Namun suara tangisan bayi kembar menggangu telinganya. Ditambah lagi, Anatasia juga ikut menangis melihat adik kembarnya menangis dengan kencang.
Catherine melempar mainannya dan berbaring di ranjang sambil menutup telinganya dengan bantal. Tidak peduli seberapa rapatnya dia menutup telinganya, tangisan adik-adiknya masih terdengar.
Brak!! Catherine terlonjak kaget mendengar suara benturan yang sangat keras. Untuk beberapa saat tangisan ketiga adiknya terhenti membuat jantungnya berdebar dengan keras.
Belum sempat memikirkan apa yang telah terjadi, suara tangisan terdengar lagi... kali ini lebih kencang dari sebelumnya.
Rasa penasarannya berhasil menaklukkannya. Catherine bergerak secara perlahan keluar dari kamarnya. Begitu pintu kamarnya terbuka, dia melihat ayahnya bergerak ke arah kamar ketiga adiknya yang sedang menangis.
Anehnya, cara ayahnya berjalan tidak seperti biasanya. Dia melihat ayahnya berjalan tidak dengan tegap, melainkan bergoyang ke kanan-kiri seakan-akan hendak terjatuh.
Dia juga melihat ayahnya membawa sebuah botol minuman di tangan kanannya. Dia bahkan tahu ayahnya telah menghabiskan isi botol tersebut.
Catherine merasa ada yang aneh dengan gerakan ayahnya. Dia merasa ayahnya sedang berada dalam suasana hati yang tidak bagus. Jika dia keluar sekarang, dia pasti akan kena amarah ayahnya.
Lebih baik dia menutup pintu kamarnya dan bersembunyi didalam. Dengan begitu, dia akan aman terlindungi dari amukan ayahnya.
Itulah yang dipikirkannya, itulah yang harus dia lakukan. Tapi, entah kenapa badannya berkehendak lain.
Kakinya berlari kearah kamar adik-adiknya dan menutup pintu kamar tepat dihadapan ayahnya. Dia langsung berdiri tegak memunggungi pintu dibelakangnya.
Kini matanya bertaut dengan mata ayahnya yang gelap. Kakinya gemetaran sementara penglihatannya mulai kabur karena air mata. Dia masih bisa mendengar suara tangisan adik-adiknya dibelakangnya, bahkan dia sendiripun ingin menangis. Entah kenapa saat itu dia merasa ketakutan berdiri didepan ayahnya.
"HUH??" itulah yang dikatakan ayahnya sebelum mengangkat tangannya yang bebas ke atas, dan....
PLAK!!
Dia merasa tubuhnya melayang kesamping dan terbentur lantai dengan keras. Dia tidak bisa membendung air matanya lebih lama lagi saat merasakan sakit pada pipinya. Tidak hanya itu, kepalanya terasa agak pusing dan dia bisa melihat bayangan ayahnya menjadi dua.
"Papa.." isaknya sama sekali tidak tahu kenapa dia kena pukulan.
"Siapa kau? Huh? Mengganggu saja? Berisik!! Semuanya mengganggu!"
Catherine melihat ayahnya mengucapkannya sambil menutup mata. Bahkan kedua tangannya bergerak tanpa arah saat berbicara.
"Aaaaa.." ayahnya melempar botol minumannya ke samping saat mengetahui tidak ada yang tersisa di dalam botol tersebut.
Tubuh Catherine melonjak kaget melihat pecahan-pecahan kaca yang sangat dekat dengan kakinya.
Air matanya mengalir dengan deras, namun dia tidak berani mengeluarkan suara. Dia memperhatikan ayahnya dengan was-was dan baru bisa bernapas lega saat melihat ayahnya berjalan menjauhinya.
Meskipun dia merasa lega, kedua kaki dan tangannya masih gemetar karena rasa takutnya. Dengan tangan yang bergetar, dia membuka pintu kamar dengan perlahan.
Melihat Anatasia beserta dua bayi yang menangis, dia bangkit berdiri dan memeluk adiknya dengan tubuh gemetaran.
"Mama...mama dimana?"
"Disini. Mama ada disini." jawabnya sambil mengelus kepala adiknya.
Tidak lama kemudian, Catherine memaksakan dirinya untuk bangkit berdiri dan keluar dari kamar. Dia menutup kembali pintu kamar untuk mencegah adiknya berjalan keluar.
Dia merasakan sakit yang luar biasa pada kakinya saat berdiri diatas pecahan botol. Catherine menggigit bibirnya berpikir bisa mengurangi rasa sakit pada kakinya. Mengetahui usahanya sia-sia, dia sudah tidak peduli lagi.
Tanpa memperdulikan rasa sakitnya, Catherine berlari keluar rumah menuju ke rumah sebelah.
Catherine menggedor pintu rumah sambil memanggil pemilik rumah tersebut dengan suara nyaring.
Begitu pintu terbuka dan melihat seseorang memandangnya dengan bingung, Catherine menelan ludah untuk bisa berbicara dengan jelas.
"Tolong, tolong kami."
"Cathy? Ada apa?"
"Lina dan Lizzy tidak berhenti menangis."
Nyonya Dorcas sudah menjadi tetangga dengan keluarga Cathy lebih dari lima tahun. Dia merasa simpati dengan empat putri yang baru saja ditinggalkan ibunya sebulan lalu.
Meskipun begitu dia tidak bisa berbuat banyak untuk membantu mereka. Ayah dari keempat anak tersebut tidak mengizinkan siapapun masuk ke rumahnya. Anak-anak malang tersebut hanya bisa mengikuti perintah ayah mereka.
Hari itu dia mendengar suara aneh dari rumah sebelahnya. Tentu saja dia sama sekali tidak bisa membayangkan apa saja yang terjadi didalam rumah keluarga Cathy. Sekarang, Cathy muncul didepan rumahnya dengan mata yang lebam, pipi yang bengkak beserta bibir yang berdarah. Apa yang telah terjadi?
'Lina dan Lizzy tidak berhenti menangis.'
Tanpa banyak bertanya, Dorcas segera menggandeng tangan Cathy menuju ke rumah anak itu. Dia sama sekali tidak peduli apakah ayah si anak akan memarahinya atau mencelanya.
Alisnya mengernyit saat melihat jejak darah berbentuk telapak kaki di lantai. Dia melihat ke arah kaki anak yang digandengnya. Matanya membelalak melihat segumpalan darah didaerah kedua kaki anak itu.
Dorcas mengangkat anak tersebut dan mendudukkannya di kursi.
"Tunggu disini!" perintahnya sebelum dia masuk ke kamar bayi kembar dengan menggunakan sandal untuk bisa berjalan melalui pecahan kaca tanpa luka.
Dengan pintu kamar terbuka lebar, Cathy, panggilan akrab Catherine, bisa melihat dengan jelas apa saja yang dilakukan Dorcas pada kedua adik kembarnya.
Wanita itu mengganti popok dengan lihai dan sangat berhati-hati. Kemudian, dia menggendong Anna, panggilan akrab Anastasia; membawanya keluar kamar untuk duduk disampingnya.
Dengan cekatan Dorcas memasak air untuk membuat susu. Tidak lama kemudian, dua botol bayi berisi susu hangat telah siap.
Wanita itu mengambil seorang bayi, menggendongnya sambil memberikan susunya sambil bernyanyi.
Kemudian, Cathy melihat Dorcas memandangnya; berjalan kearahnya sambil menyerahkan adik bayinya kepadanya. Cathy memandang wanita itu dengan tatapan bingung.
"Dia harus bisa sendawa terlebih dahulu sebelum dibaringkan kembali. Pastikan dia tidak terjatuh, ya."
Cathy mendekap adiknya dengan erat takut kalau adiknya akan terlepas dari pelukannya.
"Tidak perlu terlalu kencang sayang. Dia nanti kesakitan."
Cathy segera melonggarkan dekapannya namun tetap mendekap dengan tak tergoyahkan.
Setelah memastikan kedua anak didepannya akan baik-baik saja, Dorcas menuju ke bayi satunya dan melakukan hal yang sama.
Anna yang dari tadi duduk disampingnya mulai merasa bosan dan memutuskan untuk berjalan masuk kembali ke kamar.
"Anna! Duduk!"
Ini pertama kalinya Dorcas mendengar suara yang tegas pada mulut Cathy yang masih berusia sepuluh tahun.
Sambil memberikan susu pada bayi kecil, Dorcas berjalan keluar dan menghalangi jalan masuk ke dalam kamar. Dengan begini Anna tidak akan berjalan diatas pecahan botol.
Tidak lama setelah selesai menyusui bayi kedua, Dorcas mendengar sendawa dari bayi kecil yang digendong Cathy.
Dorcas segera membaringkan bayi yang digendongnya terlebih dahulu, kemudian membawa Anna ke atas ranjang kamar.
Setelah memberikannya beberapa mainannya, dia segera mengambil bayi yang digendong Cathy sebelum membaringkannya di ranjang bayi.
Kemudian dia menggendong bayi yang belum bersendawa dan memosisikannya seperti sedang berdiri. Dorcas menatap prihatin ke kaki Cathy, namun dia juga tidak bisa langsung membiarkan bayi ini terbaring tanpa bersendawa terlebih dulu.
Dorcas memang sudah berusia lanjut dan tidak memiliki keturunan. Meskipun begitu, jiwa keibuan dalam dirinya masih sangat kuat.
Karena itu saat dia melihat kaki berdarah, anak usia dua tahun tak terurus dan dua bayi kembar menangis kelaparan, hatinya terasa teriris. Dia sama sekali tidak bisa membiarkan keempat anak ini terlantar.
Begitu dia mendengar sendawa dari bayi kedua, dia segera membaringkan disisi saudaranya. Kemudian menutup pintu kamar dan berjalan kearah Cathy.
Dengan ahli Dorcas mencabut beberapa pecahan kaca yang menusuk kakinya. Dia nyaris meneteskan air mata saat mendengar gumaman kesakitan dari suara anak itu.
Bagaimana bisa? Bagaimana bisa seorang ayah membiarkan anak-anaknya menderita seperti ini?
Dia bukanlah seorang dokter ataupun ahli medis. Dengan penglihatannya yang kurang bagus karena usia, Dorcas tidak yakin apakah dia sudah mengambil semua pecahan kaca dari kaki Cathy. Namun dia juga tidak bisa membawa pergi Cathy ke dokter dan meninggalkan ketiga anak balita didalam rumah tanpa pengawasan orang dewasa.
Dia juga tidak bisa membawa keempatnya dan menjaganya seorang diri. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah memanggil dokter untuk datang.
Sambil menunggu, Dorcas memasak masakan sederhana untuk dimakan Cathy dan Anna. Kemudian, dia menyapu dan membersihkan serpihan kaca beserta darah yang sudah mengering.
Tepat setelah lantai itu bersih kembali, seorang dokter tiba.
Sekali lagi Cathy meringis kesakitan saat kakinya disentuh. Namun dia bisa bertahan saat merasakan genggaman tangan Dorcas dan pelukan hangat melingkari tubuhnya.
Setelah perawatannya selesai, Dorcas menggendong Cathy untuk masuk ke kamarnya.
"Tante, Cathy bisa jalan sendiri."
"Mana bisa, pasti sakit sekali. Biar bibi bantu."
"Tapi Cathy sangat berat. Cathy sudah tidak merasa sakit." Untuk membuktikannya, Cathy berjalan tanpa ragu menuju kamar adik-adiknya.
"Lihat kan? Terima kasih atas bantuannya." ucap Cathy sambil membungkukkan badannya dengan rasa terima kasih.
"Iya. Jika butuh bantuan lagi, tidak perlu takut ke rumah tante ya."
Cathy menjawabnya dengan senyuman sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar dan menutup pintu kamar dengan rapat.
Jika orang lain melihat, maka Cathy pasti dianggap anak yang tidak sopan dan tidak tahu berterimakasih. Seharusnya Cathy mengantar kepergian penolongnya dengan lebih sopan tanpa harus membiarkan tamunya pulang dengan sendirinya.
Namun hanya Dorcas yang tahu apa yang dipikirkan gadis mungil berusia sepuluh tahun tersebut.
Anak itu tidak ingin membebaninya lebih lagi dan memaksakan diri untuk berjalan dengan kedua kakinya. Meskipun tidak ada yang melihat, Dorcas masih bisa melihat tangan mungilnya yang mengepal di bajunya menahan rasa sakit pada kakinya.
Apa yang diduga Dorcas memang benar. Begitu pintu tertutup, Cathy langsung merangkak berjalan keranjang. Setelah tubuhnya terlentang dia menangis dengan tertahan. Hanya dirinya yang tahu, hatinya sedang menjerit kesakitan.