Chapter 9 - Persahabatan

Begitu Vincent turun dari bis, Vincent menyebrang ke seberang dan berjalan melewati beberapa toko di sebelah kanannya.

Berbagai macam toko sederhana berada dideretan yang dilewatinya. Kebanyakan diantaranya adalah toko butik dan tas untuk peralatan sekolah maupun kantor.

Toko yang menjual peralatan untuk kalangan menengah ke bawah.

Meskipun Vincent dan Felicia termasuk golongan kalangan atas, mereka tidak merasa jijik atau berpikir ulang untuk makan di rumah makan sederhana. Yang terpenting bukanlah harga mahal atau gengsinya, tapi cita rasa yang khas dan suasana hangat yang terpenting.

Jika mereka berdua berjalan secara individu di tengah-tengah keramaian, tidak akan ada yang menyangka bahwa masing-masing dari mereka merupakan penerus sebuah perusahaan besar.

Vincent melewati blok berikutnya, barulah dia melihat deretan rumah makan sederhana khas pinggiran kota.

Vincent memasuki salah satunya yang sudah menjadi salah satu tempat langganannya. Untungnya tidak terlalu ramai sehingga dia bisa menemukan orang yang dicarinya.

"Hai landak hitam, lama sekali kau."

Vincent hanya menjawabnya dengan cekikikan saat duduk berhadapan dengan sahabatnya.

"Kau belum memesan makanan?"

"Tentu saja belum. Aku ingin membuat taruhan denganmu." jawab wanita itu dengan mata berbinar-binar.

"Lagi? Kali ini aku pas." Vincent menyibakkan tangannya menolak tantangan yang tidak pernah bisa ia menangkan.

"Yakin? Tidak menyesal?"

"Kenapa aku harus menyesal?"

"Aku dengar Sabtu ini kau akan datang ke gala para usahawan."

"Siapa yang memberitahumu?"

Semua orang sudah mengenal sifat Vincent. Vincent adalah seorang yang paling malas jika diundang ke acara pesta formal. Dia lebih suka datang ke acara festival atau parade yang diadakan di jalanan.

Karena itu tidak akan ada yang menyangka kalau Sabtu ini dia akan datang ke acara tersebut. Jika macan betina mengetahuinya, maka sudah pasti salah satu anggota keluarganya yang memberitahunya.

"Siapa lagi? Tentu saja dari kak Vanvan. Kemarin ibumu juga meneleponku untuk memintaku agar meninggalkanmu sendirian di acara Sabtu ini."

"Kau akan melakukannya?"

"Tentu saja. Untuk apa aku mengorbankan diriku demi landak hitam. Lebih baik aku bersama dengan Benbenku."

"Dia juga datang?"

"Duh.. apa perlu ditanyakan? Aku hanya mau datang jika dia datang."

Ah, benar. Dia telah melupakan kenyataan yang sudah wajar bagi mereka.

"Karena itu aku menawarkan taruhan ini. Jika aku kalah, aku tidak akan menuruti ibumu dan menemanimu hingga akhir acara."

"Benarkah? Bagaimana kalau aku kalah? Bukankah kau tetap akan menuruti ibuku?"

"Jika kau kalah, aku ingin kau membantuku menjauhkan Benben dari sekretaris barunya."

"Memang ada apa dengan sekretarisnya?"

"Sekretaris barunya adalah gadis muda. Aku sama sekali tidak menyukainya."

Gadis muda? Sepengetahuan Vincent, Benjamin Paxton tidak pernah mempekerjakan sekretaris wanita.

"Mungkin hanya rumor?"

"Aku melihatnya dengan kedua mataku sendiri. Yang membuatku kesal dia sama sekali tidak terintimidasi denganku."

"Sungguh merepotkan, kau ingin aku mengahabiskan waktuku untuk mencegahnya mengikuti pujaanmu selama acara nanti?"

"Tepat sekali!"

Vincent mendengus mendengar ini.

"Apa bedanya dengan kau yang meninggalkanku sendirian disana?"

"Bedanya kau hanya perlu menghadapi satu orang wanita daripada puluhan wanita disana. Bagaimana? Bukankah tawaranku lebih baik?"

Yang dikatakannya memang masuk akal. Lebih baik dia menangani seorang wanita daripada entah ada berapa banyak undangan wanita yang telah masuk daftar kandidat calon menantu ibunya.

"Lagipula Benben pasti akan membiarkanmu membawa pergi sekretarisnya. Kau kan sepupu kesayangannya."

Vincent mendesah pasrah mendengar ini. "Baiklah. Kali ini aku tidak akan menyerah begitu saja." lanjutnya bertekad untuk memenangkan taruhan kali ini. Dia masih lebih memilih ditemani macan betina daripada gadis asing lainnya.

Felicia tersenyum senang dan bangkit berdiri untuk memesan sesuatu.

Tidak perlu bertanya, Vincent sudah tahu apa yang dipesannya. Empat sup daging lemak dalam porsi besar. Siapa yang lebih dulu menghabiskan supnya, dialah pemenangnya... seperti biasanya.

Kalau seandainya hanya perlu menghabiskan satu porsi, dia yakin dia bisa menang.. tapi tiap kali taruhan, persyaratannya harus menghabiskan dua porsi. Dan sudah dipastikan, Vincent selalu kalah.

Sambil menunggu pesanan mereka, Vincent bertanya-tanya mencari tahu mengenai sekretaris baru Benjamin. Dan jawaban sahabatnya sama sekali tidak membantunya.

"Mana aku tahu. Aku terlalu malas berurusan dengannya."

"Dasar macan betina."

Felicia menjulurkan lidahnya tidak peduli dengan julukannya.

Tidak lama kemudian, pesanan mereka datang. Bukannya empat porsi, tapi terdapat dua porsi di atas meja mereka.

Seharusnya Vincent melonjak kegirangan karena kali ini dia akan menang. Kecepatannya dalam menghabiskan satu mangkuk besar lebih cepat daripada Felicia. Sayangnya, begitu memakan mangku kedua, kecepatannya berkurang drastis dan tidak bisa menandingi kecepatan sahabatnya.

Karena itu melihat sahabatnya hanya memesan dua porsi saja dimana masing-masing harus menghabiskan satu porsi, seharusnya dia bisa lebih bersemangat karena yakin akan menang pada taruhan kali ini.

Tapi sup kental bewarna merah beserta bau pedas yang menyengat membuatnya ngeri.

"Kau tahu ini namanya pelanggaran. Kau sama sekali tidak memberitahuku memesan makanan super pedas."

"Salah siapa yang tidak mau bertanya lebih dulu sebelum menerima tantanganku?"

Vincent mendesah pasrah, untuk sekian kalinya dia masuk ke jebakan sahabatnya.

Dia mengambil sendok dan menyuapkan sedikit kuah kearah mulutnya. Saat itulah bau pedas masuk menyerang tenggorokannya mengakibatkan dia terbatuk-batuk.

Felicia yang melihat sikapnya tertawa sambil terus menikmati makanannya. "Aku menang lagi." serunya.

"Aku heran mengapa aku bisa bertahan dengan dirimu."

Menanggapi sarkasme sahabatnya, Felicia hanya menggoyangkan kepalanya dengan senang sambil mengunyah daging sup di mulutnya seolah masakan pedas itu merupakan makanan terenak di dunia ini.

Melihat suasana gadis itu sedang baik dan senyuman puas menghiasi wajahnya, Vincent tidak bisa marah lebih lama lagi.

Vincent menyingkirkan sup miliknya ke samping sambil memesan makanan lain. Tepat saat pesanannya datang, Felicia telah menghabiskan sup miliknya dan mengambil porsi yang sebelumnya ditujukan untuknya.

"Apakah Benjamin tahu kalau kau sanggup menghabiskan dua porsi besar dengan cepat?"

"Kau gila? Tentu saja aku tidak akan membiarkannya melihatku makan seperti ini."

"Itu sebabnya dia tidak pernah melirikmu. Apa kau tahu, semua pria di dunia ini tidak suka sikap wanita yang dibuat-buat atau penuh dengan kepura-puraan."

"Wanita juga tidak boleh memberikan kesan buruk untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Kalau tidak, sama saja dengan bunuh diri."

"Tapi kau menunjukan semua sifat aslimu padaku."

"Kau kan berbeda. Aku sama sekali tidak memandangmu sebagai seorang pria."

"Kebetulan sekali aku juga tidak memandangmu sebagai seorang wanita."

"Iya kan? Karena itulah kita bisa secara bebas membahas apapun dan tidak perlu takut dibenci. Lain halnya dengan pria idamanku. Aku tidak ingin dia membenciku, bagaimana mungkin aku menunjukkan sifat asliku padanya?"

"Cepat atau lambat dia akan mengetahui sifat aslimu."

"Itu bisa dipikirkan nanti. Untuk saat ini, aku ingin memberikan kesan terbaikku dihadapannya. Satu lagi... kau dilarang keras memanggilku macan betina di sana."

"Baik, nyonya." sambil mengangkat tangannya layaknya seorang prajurit memberikan hormat pada atasannya.

Yang sebenarnya, saudara sepupunya sudah tahu sifat asli sahabatnya dan sama sekali tidak keberatan. Dia tahu sepupunya juga memiliki perasaan yang sama dengan wanita yang sedang duduk dihadapannya.

Hanya saja, ada sesuatu yang mengganjal; yang tidak bisa dihiraukan dalam hati sepupunya, menghalanginya untuk menjalin hubungan dengan Felicia. Tidak.. tidak hanya Felicia, tapi dengan wanita manapun.

Vincent hanya mendesah dan dia tidak membocorkan hal ini pada sahabatnya. Dia tidak ingin memberikan harapan palsu dan membiarkan pria itu menangani hubungan pribadinya sendiri.

Vincent dan Felicia menghabiskan waktu mengobrol disana hingga tanpa terasa hari sudah gelap. Setelah mengantar gadis itu pulang, Vincent berjalan ke arah rumahnya yang letaknya hanya beberapa blok dari rumah sahabatnya.

Vincent dan Felicia sudah saling mengenal satu sama lain sejak usia lima tahun. Mereka masuk di sekolah yang sama hingga kuliah. Ajaibnya mereka selalu ditempatkan di kelas yang sama. Mungkin karena mereka berdua sama-sama murid unggulan di sekolahnya, karena itu mereka selalu masuk di kelas unggulan.

Hanya waktu kuliah saja mereka berbeda kelas karena jurusan yang mereka ambil berbeda. Meskipun beda kelas, mereka masih saling bertemu tiap kali ada waktu luang.

Vincent dan Felicia mendapatkan julukan masing-masing dari pemberian satu sama lain.

Felicia memberikannya julukan landak hitam, karena tiap kali Vincent bangun pagi, rambutnya akan berdiri seperti duri seekor landak. Terlebih lagi warna rambutnya yang hitam pekat sangat persis seperti landak hitam yang sedang bersikap defensif.

Sedangkan karakter Felicia sangat tomboy dan selalu mengatakan apa yang ada dipikirannya. Dia tidak takut pada apapun atau siapapun meskipun dia dihadapkan dengan pria mafia bertubuh besar.

Felicia belajar takwondo dari ayahnya, itu sebabnya tidak banyak pria yang berani mendekatinya.

Tiap kali ada pria yang mendekatinya, Felicia akan menatap pria itu dengan tatapan menyelidik. Semua pria merasa terintimidasi dan tidak berani melakukan pendekatan padanya.

Dari sinilah, Vincent memberikannya julukan macan betina.

'Lain halnya dengan pria idamanku. Aku tidak ingin dia membenciku,'

Pria idaman? Vincent tersenyum mengetahui akhirnya ada seseorang yang menarik perhatian sahabatnya.

Ibu kandung Benjamin Paxton adalah saudari perempuan ibunya yang berarti antara dia beserta kakaknya bersepupu dengan Benjamin. Saudara sepupunya itu berusia lima tahun diatas mereka dan sangat ahli dalam mengelola perhotelan.

Hotel yang tampaknya akan bangkrut, bisa bangkit kembali dalam waktu singkat jika dipegang olehnya. Tangan pria itu seperti tangan emas. Hotel apapun yang dikerjakan pria itu tidak peduli seberapa suram kedepannya, pasti akan berhasil.

Kenyataan bahwa Benjamin belum menikah membuat wanita lajang dari para konglomerat ingin menjadikan pria itu sebagai suami mereka. Salah satunya adalah sahabatnya.

Padahal mereka berdua memiliki perasaan yang sama, tapi kenapa sepupunya tidak segera maju? Sebenarnya apa yang sudah membuat pria itu merasa ragu? Masalah apa yang sanggup membuat sepupunya mengorbakan perasaannya?

Sekali lagi Vincent mendesah berat. Meskipun dia ingin menjadi cupid cinta diantara mereka, dia masih merasa ngeri jika diharuskan untuk mengalihkan perhatian sekretaris baru dari sepupunya.

Dia sama sekali tidak tahu siapa gadis muda itu ataupun sifatnya. Dia sama sekali tidak begitu ahli dalam berbincang dengan seorang wanita.

Vincent masih memikirkan ini dan begitu larut dalam pikirannya. Bahkan saat memasuki kamarnya, dia sama sekali tidak menyadari kehadiran seseorang yang sedang menunggunya.

Dia berjalan kesamping untuk menemukan sakelar lampu yang sudah dikenalnya. Begitu lampu menyala, dia menoleh ke belakang untuk menutup pintu kamarnya. Namun yang dilihatnya adalah seorang wanita berbaju putih yang panjang dengan rambut menutupi wajahnya berada persis didepan wajahnya.

Sontak dia melonjak terkejut dan mundur kebelakang sambil berteriak secara refleks.

Wanita itu menyibakkan rambutnya ke belakang sambil tertawa terbahak-bahak.

"Kakak! Sama sekali tidak lucu!" jantungnya masih berdebar akibat keterkejutannya.

"Salahnya siapa tidak bilang-bilang kalau sudah pulang."

"Pasti si macan betina." maksudnya adalah pasti Felicia yang memberitahu kepulangannya pada kakaknya.

"Hari ini kalian tidur disini?" tanya Vincent menyadari kakaknya memakai baju tidurnya.

"Benar. Hari ini Bryant lembur di kantornya, jadi malam ini kami akan menginap disini."

"Abi?"

"Tentu saja sudah tidur di kamarnya. Selain menemui Felicia, kau pergi kemana?"

"Mampir sebentar di galeri."

"Untung saja mama sudah tidur, kalau tidak dia akan mengomel seharian karena kau menyembunyikan kepulanganmu." menanggapi komentar Vanessa, Vincent mengangguk setuju.

"Ngomong-ngomong apa kau perlu bantuanku Sabtu nanti?"

"Bantuan apa?"

"Aku tahu kau paling anti berhubungan dengan seorang gadis. Aku bisa menemanimu."

"Dan membuat papa memaksaku kembali untuk menjalankan usahanya? Tidak. Aku akan melakukannya sendiri. Lagipula aku sudah membuat rencana yang baik dengan Felis. Jadi kurasa aku akan baik-baik saja."

"Ah, maksudmu sekretaris muda itu ya?"

Vincent mendesah... jika memang Felicia sudah menceritakan semuanya pada kakaknya, kenapa pula kakaknya memancingnya dengan pertanyaan?

"Ya, soal itu." jawabnya sambil mengeluarkan buku-buku dari ranselnya dan merapikannya di atas meja. "Apa kau mengetahui sesuatu tentang sekretaris itu? Seperti apa orangnya?"

"Tidak. Aku belum pernah bertemu dengannya. Aku dengar Benjie memiliki seorang asisten baru sekitar seminggu lalu, tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau orang itu adalah seorang gadis."

"Oo," hanya itu tanggapannya. "Kakak, sampai kapan kakak disini? Aku mau ganti baju dan mandi... Awww.." sekali lagi dia menerima pukulan dari kakaknya.

"Baiklah. Selamat malam." jawab Vanessa sambil tersenyum.

Vincent hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menyaksikan punggung kakaknya berjalan keluar kamar.

Semua wanita yang disayanginya sungguh membuatnya kewalahan. Ucapnya dalam pikirannya.

Saat hendak menuju ke kamar mandinya, matanya menangkap sebuah foto di atas mejanya.

Foto itu diambil saat dia wisuda bersamaan dengan Felicia.

'Apa kau tidak pernah memiliki perasaan padanya? Sedikitpun?'

Vincent tersenyum mengingat pertanyaan yang dilontarkan baik teman-temannya maupun keluarganya.

Akan bohong jika dia mengatakan tidak pada pertanyaan mereka. Karena itu dia tidak pernah menjawabnya secara langsung dan mengalihkan topik pembicaraan mereka.

Benar. Dulu dia memang memiliki perasaan pada gadis itu, tapi dia tidak pernah menyatakan perasaannya. Dia tahu... Felicia bukanlah orang yang ingin dinikahinya.

Karena itulah dia tidak pernah melewati batas persahabatan mereka. Dia adalah anak bungsu di keluarganya dan selalu diperlakukan seperti anak kecil. Dia ingin memiliki seorang adik dan merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang kakak.

Yah, dia tahu dia tidak mungkin meminta seorang adik pada ibunya, kalau tidak kepalanya akan dijitak oleh ibundanya. Karena itulah, dia memperlakukan Felicia seperti adiknya. Dia menjadi seorang kakak yang jahil, suka mengalah dan tentunya akan selalu siap jika gadis itu mengalami masalah.

Masalah... Tampaknya orang yang membuat keributan dengan sahabatnyalah yang akhirnya akan mendapat masalah.

Mengetahui kemampuan bela diri sahabatnya, dia yakin.. tidak akan ada yang berani mencari masalah dengan macan betina.

Memikirkan ini Vincent hanya tertawa geli sambil menuju ke kamar mandi.