Saat memasuki ruangan Benjamin tidak terlalu terkejut melihat banyak undangan yang datang menghampirinya. Namun yang membuatnya terkejut adalah bisikan beberapa undangan, khususnya dari kaum pria yang mengarah pada keponakannya.
Entah harus merasa bangga atau frustasi, Benjamin harus mengakui keponakannya saat ini tidak jauh berbeda dengan para anak gadis di kalangan atas.
Dengan tatapan tegasnya, wibawa yang ditujukannya belum lagi senyumannya yang khas bisa membuat para lelaki jatuh hati padanya.
Dia merasa bangga karena dia merasa tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengenalkan keponakannya sebagai seorang Paxton. Disaat yang sama dia juga merasa frustrasi. Rasanya ingin sekali membungkam mulut mereka dan menjauhkan keponakannya dari tatapan mereka.
Benjamin hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sadar dia telah berpikir tidak biasanya. Kemudian dia tertawa sinis ditujukan untuk dirinya sendiri.
Entah sejak kapan dia bersikap seprotektif ini terhadap keponakannya yang sebelumnya dia tidak pernah ambil pusing mengenai keadaannya.
"Benben!" seru seorang wanita yang sangat dikenalnya. "Akhirnya kau datang juga. Tadinya kupikir kau tidak datang."
Benjamin hanya menjawabnya dengan senyuman. Namun dia memutuskan untuk bicara dengannya.
"Jadi kau mencoba bilang, kau tidak akan datang kalau aku tidak datang?" tebaknya.
Gadis tersebut tertawa sambil menutupi tangannya dengan anggun. "Bagaimana menurutmu?"
"Benjamin, apakah kali ini kau datang sendiri?"
"Apakah dia sekretaris barumu?"
"Dia terlihat muda sekali."
Benjamin merasa tidak nyaman dengan pertanyaan yang terlontar dari kerumunan para wanita disekelilingnya, namun dia tetap memasang ekspresi biasa dan memasang senyum profesional miliknya.
Satu-satunya wanita yang dia biarkan untuk mendekatinya hanyalah Felicia. Hanya wanita itu, dia mau berbicara lebih banyak.
Sementara terhadap wanita lain, Benjamin hanya menjawab ala kadarnya dan tidak berminat untuk berlama-lama dengan mereka.
Benjamin melihat Felicia melambaikan tangan pada seseorang. Otomatis, dia penasaran dengan orang yang disapanya.
Dia merasa terkejut akan apa yang dilihatnya. Adik sepupunya, Vincentius Regnz, tidak pernah menunjukkan batang hidungnya ke dalam acara yang seperti ini. Apa yang membuatnya datang malam ini?"
"Apa kau benar adalah Vincent?" Sebenarnya dia tidak bermaksud menggoda, tapi sudah menjadi kebiasaannya untuk menggangu adik sepupunya yang satu ini.
Dia tidak bisa melewati hari tanpa menggoda pemuda dihadapannya yang sedang cemberut. Mungkin karena dia sudah ketularan oleh bibinya dan Vanessa.
"Anggap saja aku bukan Vincent yang kau kenal."
"Oo? Kalau begitu kau Vincent yang mana?"
"Apa kau tidak bisa membiarkan hari ini berlalu tanpa menggangguku?"
"Tidak."
Kening Vincent semakin mengerut mendengar ini. Belum lagi ada gosip baru ditengah-tengah mereka.
"Bukankah dia putra tunggal keluarga Regnz?"
"Sepertinya bukan. Regnz tidak akan berpakaian sederhana seperti itu."
"Tapi wajahnya mirip dengan Vanessa Regnz."
"Tidak. Tidak. Vincent Regnz tidak pernah mau datang ke acara seperti ini. Jadi dia pasti bukan Vincentius Regnz."
"Salam kenal." tiba-tiba Vincent berbicara dengan suara cukup keras untuk didengar oleh para penggosip. "Saya teman baik Nona Felicia. Nama saya Vincent Black H, saya datang karena Nona Felicia mengajak saya untuk menemaninya." lanjutnya sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
Sebelah alis Benjamin terangkat mendengar kata 'Black H' dan menoleh ke arah Felicia yang sedang berusaha menahan tawanya. Black H atau Black Hedgehog... landak hitam.
Seolah bisa membaca pikiran saudara sepupunya yang jahil, Vincent memberinya tatapan gemas seolah mengatakan 'Lepaskan aku hari ini!'
Benjamin menahan senyumnya menghadapi adik sepupunya yang malang. Dia juga merasakan sesuatu menyikut lengannya dengan lembut. Akhirnya dia memutuskan untuk tidak melanjutkan 'kejahilannya'.
"Salam kenal. Tuan Black H" dengan sengaja Benjamin mengucapkan 'Black' dengan sangat perlahan dan tegas, seolah takut lawan bicaranya tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang diucapkannya.
Mereka saling berjabat tangan dengan tidak mengalihkan pandangan satu sama lain.
'Setelah ini kita harus bicara.'
'Apa kau mau mengomel lagi?'
Hanya mereka berdua yang tahu arti tatapan satu sama lain. Bagi orang luar, mereka terlihat seolah baru pertama kali bertemu dan saling tidak menyukai.
Bahkan Cathy sendiri merasa ini pertama kalinya melihat sosok pamannya bersikap seperti saat ini. Dia tidak pernah tahu pamannya memiliki sifat jahil seperti ini.
Dia tidak tahu siapa Vincent dihadapannya, satu hal yang dia yakini; pamannya dan Vincent sudah saling mengenal satu sama lain. Dan pemuda ini cukup spesial dimata pamannya.
"Benben, ayo kita kesana. Ada yang ingin kukenalkan denganmu." sahut Felicia dengan lembut.
Benjamin mengangguk pelan sebelum mengikuti wanita tadi. Kemudian seolah merasa melupakan sesuatu, langkahnya terhenti dan menoleh ke arah Cathy.
"Catherine, bersantailah dan nikmati hidangan sesukamu. Jika kau merasa tidak nyaman, jangan lupa memberitahuku."
Catherine menundukkan kepalanya untuk mengiyakan sekaligus memberi hormat.
Cathy melirik ke arah pemuda bernama Vincent yang menatap kepergian dua orang dengan tatapan sedih.
Dia tahu Felicia memiliki perasaan terhadap pamannya, meskipun dia tidak tahu apakah pamannya memiliki perasaan yang sama; namun dia bisa melihat pamannya memperlakukan Felicia dengan lain dari wanita lainnya.
Lalu sekarang, dia bisa melihat secerah langit di siang hari; Vincent memiliki perasaan terhadap Felicia.
Cathy menghela napas panjang. Dia memang tidak pernah jatuh cinta sebelumnya, tapi melihat cinta segitiga antara mereka bertiga, dia merasa cinta itu sangat menyusahkan.
Sementara itu Vincent mendesah untuk suatu alasan yang sama sekali berbeda dengan apa yang dipikirkan Cathy.
Memang benar Vincent menatap keduanya dengan sedih tapi bukan karena cintanya bertepuk sebelah tangan.
Namun dia merasa kedua orang itu sudah berbuat kejam padanya. Saudara sepupunya selalu menggodanya di tiap kali ada kesempatan. Sementara sahabatnya meninggalkannya bersama gadis yang sama sekali tidak ingin ditemuinya.
Yah, karena dia memang kalah taruhan, dan dia telah berjanji pada kedua orangtuanya untuk menghabiskan waktu dengan salah satu undangan; dia tidak punya pilihan lain.
Hanya saja dia sama sekali tidak tahu bagaimana cara memulai sebuah pembicaraan. Tapi dia bisa melihat gadis itu tidak jauh berbeda dengan dirinya.
Mereka sama-sama tidak merasa nyaman dan canggung antara satu sama lain. Belum lagi pandangan para undangan yang seperti ingin menerkam mereka berdua.
Vincent merasa tidak peduli dengan pandangan mereka, lagipula dengan identitasnya sebagai orang biasa, para undangan wanita sudah tidak lagi menatapnya dengan antusias.
Melihat acaranya masih dimulai dengan pidato atau sambutan yang membosankan, dia memutuskan untuk mencoba mengajaknya keluar dari aula. Dengan begitu gadis itu tidak memiliki kesempatan untuk kembali ke sisi sepupunya.
"Apa kau keberatan kalau kita kesana?" ucapnya sambil menunjuk pada pintu samping yang terletak beberapa langkah dari tempat mereka berdiri
Gadis itu menatapnya dengan bingung. Kemudian melirik sekilas ke arah Benjamin yang sedang mengobrol dengan para tetua.
"Baiklah."
Mereka berdua berjalan di luar lingkaran kerumunan para undangan untuk menghindari mata-mata yang ingin mencari celah untuk membuat masalah.
Begitu membuka pintu balkon, wajah keduanya disambut angin dingin dan aroma harum semerbak.
Tanpa mempedulikan orang disisinya, Cathy menghirup aroma harum tersebut sambil memejamkan mata. Dia sama sekali tidak menyadari kakinya telah berjalan menjauhi pintu tersebut dan mendekati sumber bau harum yang diciumnya.
Vincent mengedipkan matanya tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Ini pertama kalinya dia melihat seorang gadis telah masuk ke dalam dunianya sendiri tapi masih terlihat cantik.
Apa yang dikatakan para undangan pria memang ada benarnya. Saat gadis itu masuk bersama dengan sepupunya, tidak sedikit para undangan yang mengekspresikan kekaguman mereka terhadap gadis itu.
Gadis dihadapannya seperti seorang malaikat cantik yang turun ke bumi. Seolah baru tiba dan melihat sebuah pemandangan yang tidak pernah dilihat sebelumnya, gadis itu berjalan lurus mendekati ujung balkon.
Dia nyaris bisa melihat gadis itu mengepakkan kedua sayapnya di punggungnya dan terbang menjauhinya. Rambut cokelat yang terurai berkibar dengan indah saat angin menghembus ke arah mereka.
Dia tidak bisa melihat ekspresi gadis itu karena kini posisi gadis itu semakin jauh memunggunginya. Tapi dia yakin, jika seandainya dia membawa kameranya, dia akan menangkap momen indah tersebut.
Setelah membiarkan salah satu pintu balkon terbuka sedikit, Vincent berjalan santai ke arah gadis itu... kalau tidak salah dengar, nama gadis itu adalah Catherine?
Semakin dekat dengan ujung balkon tempat dimana Catherine berdiri, dia bisa melihat taman penuh berbagai macam bunga di bawah.
Tidak jauh darinya ada sebuah tembok tanaman menjalar di kedua sisi sebuah jalan. Dilihat dari bentuknya yang bisa dilihat dari posisinya di lantai dua, tampaknya tempat itu merupakan sebuah labirin.
Vincent juga melihat ada beberapa penerangan yang tidak terlalu terang di kedua sisi jalan dimana dibawahnya tertanam bunga-bunga indah.
Arrghh!! Seharusnya dia membawa kameranya untuk mengambil gambar dari pemandangan ini! Serunya dengan jengkel. Tentu saja dia tidak mengucapkannya secara langsung. Dia menyimpan penyesalannya dalam hatinya.
Setelah puas menikmati pemandangan dibawahnya, dia menoleh ke orang yang berdiri disampingnya. Dia baru sadar ternyata gadis itu masih memejamkan matanya sambil tersenyum.
"Apa kau melihatnya? Bukankah sangat cantik?" Vincent mencoba memulai sebuah percakapan.
Dia melihat mata Catherine terbuka secara perlahan. Namun apa yang dilihatnya tidak sesuai dengan dugaannya. Senyuman gadis itu menghilang dalam sekejam dan tatapannya terasa dingin.
Dia bahkan nyaris merasakan aura yang tak bersahabat dari tubuh gadis itu.
Tunggu.. kenapa dia merasa dia pernah mengalami hal seperti ini? Dimana? Kapan?
Waktu itu juga dia merasa dia pernah bertemu dengan gadis itu? Sebenarnya siapa gadis itu? Dimana mereka pernah bertemu?
Kenapa tiap kali dia bersama dengan gadis itu, hatinya merasa tidak nyaman? Bahkan jauh lebih tidak nyaman disaat dia berurusan dengan wanita lainnya.
Vincent mengalihkan pandangannya dari ekspresi dingin yang ada disampingnya dan menatap ke arah langit.
Tidak ada bintang atau apapun yang bisa dilihatnya untuk membuat suasana hatinya membaik.
Pada akhirnya, tidak ada satupun dari mereka yang bicara untuk selama beberapa menit kedepan.