Chapter 18 - Keputusan

Dipikir seperti apapun, Vincent tidak bisa mengerti. Sepengetahuannya karakter sepupunya adalah seorang penyayang. Yah, meskipun Ben tidak akan membantu orang yang tidak dikenalnya, setidaknya pria itu akan selalu membantu anggota keluarga tanpa ragu.

Tidak hanya Ben, Vanessa dan dirinya juga akan melakukan hal yang sama. Sifat ini sudah dibangun semenjak kecil berkat didikan dari ibunya.

Benjamin memang memiliki orang tua waktu masa mudanya. Hanya saja ayahnya tidak terlalu menyayanginya sedangkan ibunya selalu sibuk mengurusi usaha keluarga. Karena itu Ben sering menghabiskan waktu di tempat kediaman Regnz.

Vincent tahu betul, Paxton adalah termasuk salah satu konglomerat yang masuk di sepuluh besar orang terkaya di dunia ini. Dan dia sangat tahu seperti apa sifat egois, arogan, dan kesombongan yang ditunjukkan tiap-tiap anggota Paxton.

Baginya hanya Benjamin Paxton yang tidak termasuk dalam kategori jelek mereka. Dia sudah sering mendengar, antar sesama Paxton, mereka saling merebut dan mengambil alih usaha saudaranya. Mereka tidak akan peduli jika saudaranya jatuh miskin dan mati kelaparan.

Mengetahui akan hal ini, kedua orangtuanya bersedia mendukung Ben dalam membangun sebuah hotel pribadi. Dengan begini, jikalau seandainya Ben ingin melepaskan warisannya dan tidak ingin terlibat dalam permainanan licik Paxton, Ben tetap masih memiliki asetnya sendiri.

'Kau pikir aku ingin membantunya? Tidak. Tidak sama sekali. Aku justru ingin membeli semua saham yang ia miliki. Aku ingin mengambil semua kepunyaannya hingga tak bersisa.'

Kalimat inilah yang membuatnya sangat terkejut. Apakah benar pria yang ada dihadapannya saat ini adalah sepupunya yang selama ini dia kenal? Kenapa sepupunya berubah memiliki hati yang dingin?

Tidak. Pasti sepupunya memiliki alasan kenapa dia ingin mengambil aset saudaranya. Dia yakin jika dia menanyakan alasannya saat ini juga, pria itu tidak akan memberinya jawabannya.

"Hanya kau satu-satunya yang bisa membantuku."

Vincent bisa mendengar nada keputusasaan pada suara sepupunya membuatnya mendesah.

"Jika aku melakukannya, aku akan melibatkan seluruh keluarga Regnz, dan lagi.. aku tidak punya uang sebanyak itu. Kau juga tahu itu."

"Benar, kau tidak punya. Tapi V memilikinya."

Saat itulah wajah Vincent menjadi kaku.

Identitasnya sebagai V saja sudah sangat rahasia, ditambah lagi pendapatan dan aset yang V collection miliki juga sangat dirahasiakan. Lalu, mengapa sepupunya ini bisa terlihat sangat yakin, bahwa V sanggup membeli sebagian besar saham Payton?

"Kau menyelidikiku?" tuduh Vincent nyaris tidak mempercayai pertanyaannya sendiri.

Mereka berdua memang hanyalah saudara sepupu, tapi mereka tumbuh bersama sehingga hubungan mereka seperti saudara kandung.

Karena itu rasanya akan sangat aneh jika sepupunya memang menyelidikinya. Dan dia sama sekali tidak menyukainya.

"Tidak. Aku hanya mendengar dari beberapa temanku. Aku dengar V mengambil alih beberapa cabang perusahaan yang hampir hancur. Tidak hanya itu, ada beberapa dari mereka memberikan properti mereka sebagai bayaran atas jasa V. Aku tidak yakin apakah jasa yang dimaksud adalah sama dengan jasa yang selama ini dipikirkan oleh masyarakat. Apa aku salah?"

Vincent mendesah tak sanggup membantah.

"Tampaknya V yang sekarang jauh lebih kaya dan berkuasa daripada seorang Vincent Regnz. Jika kedua orangtuamu mengetahuinya, mereka pasti sangat bangga padamu."

"Tidak. Kau tidak boleh membertiahu mereka." akan runyam jika keluarganya mengetahui identitasnya. Tidak hanya itu.. orang yang memandang V sebagai musuh akan menyerang usaha keluarganya jika identitasnya terbongkar.

"Lagipula, bagaimana kau bisa tahu aku adalah V?"

Ben tersenyum penuh kemenangan membuatnya sadar. Dia baru saja masuk ke jebakan sepupunya.

"Aku hanya menebaknya dan barusan kau yang memberitahuku."

Vincent memijat keningnya dengan tangan kanannya. Sampai kapanpun; tidak peduli seberapa hati-hatinya dalam bertindak ataupun berbicara, dia tidak akan bisa menang dalam permainan kata-kata sepupunya.

"Vincent, apa kau menyukai tempat itu?"

Vincent melirik ke arah sepupunya merasa bingung dengan perubahan topik pembicaraan mereka?

"Tempat apa?"

"Vilaku di gunung.. bukankah kau tinggal disana beberapa minggu yang lalu?"

"Ah, itu.. Iya aku sangat menyukainya. Aku bahkan ingin kesana lagi jika kau mengizinkannya."

"Tidak perlu. Tempat itu sekarang adalah milikmu."

Mendengar ini, Vincent tak sanggup berkata-kata.

"Kau berusaha menyogokku?"

Benjamin tersenyum sebelum menjawab dengan keyakinan penuh. "Bukan. Aku berusaha menyogok V untuk mengabulkanku dua hal."

Sekali lagi Vincent memijat keningnya yang mulai terasa gerah. Dia tahu begitu sepupunya menginginkan sesuatu, maka tidak akan ada yang bisa menghentikannya.

Dia bisa saja menolaknya.. tapi tempat itu.. vila itu.. suasana sejuk itu... dia tidak bisa tidak mengakui bahwa dia sangat tergiur dengan tawaran pria cerdik dihadapannya.

Lagipula... kalaupun dia memang ingin membantu sepupunya, dia tidak ingin melibatkan Regnz. Dia yakin Benjamin juga pasti menginginkan hal yang sama.

Karena itu dengan menggunakan nama V.. maka Regnz tidak akan terlibat dan Benjamin juga tidak akan diserang oleh anggota Paxton lainnya.

Setelah memikirkan hal ini dengan seksama, akhirnya dia menyetujuinya.

"Baiklah, aku akan melakukannya. Tapi jangan beritahu siapapun mengenai identitas V."

"Tentu saja. Aku harap kau juga jangan sering muncul di galerimu lagi. Kau tahu, fotomu menyebar dimana-mana. Jika seandainya kau kreatif sedikit, mungkin aku tidak akan pernah menebak kalau kau adalah V."

"Huh?"

"Vincent.. V.. lalu V collection. Orang-orang terdekatmu akan langsung menebak kau adalah V."

Astaga... Jadi karena itu si macan betina juga bsa langsung menebaknya bahwa dia adalah V?!

Vincent mendecak.

"V bukan singkatan dari namaku. V adalah singkatan dari Victory. Aku yakin sudah ada penjelasan di beberapa majalah." protesnya

"Ah.. Victory.. sayangnya aku tidak pernah membaca majalah." balas Ben memasang senyym polos.

Vincent mendengus, menyerah untuk berdebat lagi pada sepupunya yang sekarang memasang wajah jahil seperti biasanya.

"Aku tidak mau berdebat denganmu lagi. Jadi hal apa yang kedua?"

"Ah, itu. Berhubung aku sudah berhadapan dengan V secara langsung, bagaimana kalau kau menerima permintaan Star Risen untuk mengiklankan tempat kami? Sekalian mengambil foto bagus disaat acara pembukaan resmi kami."

"Jika kau melakukannya, aku akan tutup telinga terhadap permintaan ibumu yang menginginkanku untuk mengenalkanmu pada beberapa gadis lajang."

"Mama memintamu secara langsung?"

"Iya. Tapi seharusnya aku tidak boleh memberitahumu."

"Kau benar-benar ahlinya dalam membujuk orang. Apa semua Paxton sepertimu?"

Benjamin hanya tersenyum mendengar pertanyaan sinis dari adik sepupunya.

"Baiklah. Tapi aku tidak akan datang sebagai V. Aku akan membantumu karena sepupuku yang memintaku melakukannya. Aku hanya datang sebagai fotografer biasa yang sama sekali tidak berhubungan dengan V collection. Aku juga tidak ingin hubungan kita sebagai saudara sepupu diketahui siapapun. Dengan begini aku bisa bergerak bebas tanpa perlu berhati-hati dan mengambil foto apapun yang kau inginkan. Bagaimana?"

"Tentu saja. Sepakat."

-

Vincent berjalan dari halte bis ke galerinya sambil melihat kesekelilingnya. Sesuai kebiasaannya dia akan menjepret tiap kali ada sesuatu yang menarik perhatiannya.

Sayangnya... dia tidak membawa kamera kesayangannya. Si macan betina menariknya keluar tanpa membiarkannya mengambil barangnya.

Untung saja dia sudah memasukkan dompet ke dalam saku celananya, kalau tidak dia juga tidak akan bisa pulang naik bis.

Vincent mendecak pelan. Jika seandainya kameranya tidak tertinggal dia akan langsung pulang ke rumah begitu selesai dari hotel.

Selangkah demi selangkah Vincent berjalan semakin dekat dengan galerinya. Melihat galerinya penuh dengan para gadis muda, Vincent mengurungkan niatnya.

Pada akhirnya dia mengambil ponselnya untuk menghubungi Frank.

"Aku akan menutup galeri satu jam lagi."

"Hah? Ini masih jam empat sore. Biasanya kan kita tutup jam delapan?"

"Aku malas kembali, dan kameraku tertinggal disana."

Maksudnya adalah karena terlalu ramai di dalam galeri, Vincent tidak mau kembali berhadapan dengan mata-mata penasaran hanya untuk mengambil kameranya.

Yah, alasan utamanya Vincent tidak mau kabar bahwa dia bekerja di V collection semakin menyebar.

Setelah memasukkan ponselnya ke sakunya, Vincent berjalan-jalan ke arah taman yang letaknya tidak jauh sambil menunggu disana.

Dia memutuskan untuk duduk di sebuah bangku panjang dan memandang ke arah langit.

Ah.. sangat membosankan. Kamera tidak ada padanya, buku sketsa juga tidak.. dia merasa bosan sekali.

Sekali lagi dia mengeluarkan ponselnya dan melihat beberapa aplikasi yang ia miliki.

Spotify, Sudoku, Photo Edittor, dan lainnya sama sekali tidak membangkitkan minatnya. Pada akhirnya dia hanya bermain sudoku untuk membuang waktu.

Tepat applikasi sudoku dibuka, smartphonenya bergetar dan nama kakaknya muncul di layarnya.

"Ya?"

"KAU BEKERJA DI V COLLECTION?!"

Vincent nyaris melempar ponselnya menjauh dari telinganya.

"Tidak. Ada apa?"

"Fotomu ada dimana-mana."

"Oh.. Mungkin karena aku ingin jadi selegram jadi hanya mampir ke galeri untuk menguji ketampananku?"

"..." Vanessa menjauhkan ponselnya dari mulutnya untuk berbicara pada seseorang. "Mama, sepertinya ada masalah dengan Vincent. Kita harus membawanya ke rumah sakit." dan ternyata suara kakaknya masih bisa didengarnya dengan jelas.

"Kakakku tersayang. Kalau memang tidak ingin aku mendengar kalimatmu, jangan bicara keras-keras."

"Oh? Aku memang sengaja mengatakannya dengan keras."

Vincent memutar kedua bola matanya dengan pasrah.

"Jadi? Kau sama sekali belum menjawab pertanyaanku."

Vincent mendesah mendengar itu.

"Yah, bisa dibilang aku disuruh kesana untuk menambah jumlah pengunjung? Entahlah. Setelah ini aku akan berhenti."

"Huh? Kenapa? Mereka sama sekali tidak cantik?"

Nah, apa hubungannya antara menarik pengunjung dengan perempuan cantik? Vincent sedang tidak berada dalam suasana hati yang baik untuk menanggapi godaan kakaknya, jadi dia lebih memilihi menghindar.

"Ah, aku lupa aku ada janji. Sampai ketemu nanti malam. Bye."

"Hei.."

Vincent segera menutup ponselnya tanpa menunggu kakaknya menyelesaikan kalimatnya.

Setelah termenung untuk beberapa saat, Vincent menekan sebuah nomor sebelum menempelkan kembali ponselnya ke telinganya.

"Ini aku. Coba periksa semua media sosial yang memiliki fotoku; hapus semuanya."

Beberapa menit kemudian, segala foto dirinya di media apapun telah terhapus seolah fotonya tidak pernah ada disana.

Setelah memastikan tidak ada lagi foto dirinya yang bermunculan di berbagai media sosial, Vincent tersenyum puas.

Satu jam kemudian, Vincent berjalan kembali ke arah galerinya dan bisa bernafas lega saat mengetahui gedung tersebut kosong menyisakan Frank beserta dua karyawan yang kini membersihkan lantai.

"Kau tahu, banyak yang mengeluh karena kita tutup lebih awal."

"Hm.."

"Sudah saatnya kita memasang gambar baru."

"Hm.. Aku sedang mengerjakannya."

"Dan ini..." Frank menyerahkan sebuah amplop putih persegi panjang pada Vincent.

"Buang saja."

"Hei, ini bukan surat cinta."

Frank sudah mengetahui kebiasaan sahabatnya. Jika Vincent mendapatkan surat cinta dalam bentuk apapun, tanpa membaca isinya, dia akan langsung membuangnya ke tempat sampah.

"Lalu apa? Ah, surat cinta darimu? Ok, aku akan membacanya."

Tubuh Frank bergidik.. "Hei, jika ada yang mendengarmu, mereka benar-benar akan mengira kita homo."

Sembari memasukkan kameranya ke dalam tasnya, Vincent melirik ke arah dua karyawan yang sibuk menyapu lantai dan membersihkan pigora foto.

"Hm.. mereka berdua pasti mendengarnya."

Tanpa menghentikan pekerjaannya, kedua orang yang sedang bersih-bersih tersenyum sambil menahan tawa geli.

Frank mendecak beberapa kali sambil menggelengkan kepalanya.

"Pokoknya baca saja. Kalau kau tidak suka isinya, buang saja atau bakarlah sesukamu. Pokoknya aku sudah menyampaikannya padamu."

"Siapa?"

Ups.. seharusnya dia tidak perlu mengucapkan kalimat terakhir. Kini Frank menyesali perkataannya sendiri.

"Didalamnya ada namanya. Kau juga akan tahu."

Kening Vincent merengut menandakan suasana hatinya berubah.. ke arah buruk pastinya.

"Dengar, ini memang bukan surat cinta. Percayalah padaku. Aku tidak membaca isinya, tapi aku yakin... ini bukan surat cinta."

Melihat Frank yang bersungguh-sungguh berharap agar dia membacanya, akhirnya Vincent menurutinya. Hanya saja, dia tidak membacanya saat itu juga. Dia memasukkan amplop tersebut ke dalam tas ranselnya.

"Aku akan membacanya,"

"Benarkah?"

"Kalau ingat."

"Hei!"

Vincent tertawa dan melambaikan tangannya sebelum keluar dari galerinya.